Melalui syafaat, seseorang dapat mencapai kesucian batin, kedekatan dengan Allah, dan kemajuan dalam perjalanan spiritualnya.
Penulis: Muhammad Taufik Ali Yahya
Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran
Syafaat adalah pertolongan atau perantaraan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, khususnya pada hari kiamat, Dan juga di dunia dengan izin Allah. Berikut makna syafaat:
1.Pertolongan di Akhirat:
Syafaat merupakan pertolongan yang diberikan oleh Nabi Muhammad dan makhluk tertentu atas izin Allah kepada umat manusia di hari kiamat untuk meringankan penderitaan mereka.
2.Permohonan Ampunan:
Syafaat dapat berupa permohonan kepada Allah agar dosa-dosa seseorang diampuni, baik secara penuh maupun sebagian.
3.Peningkatan Derajat:
Syafaat juga bisa bermakna permohonan untuk meningkatkan derajat orang-orang saleh di surga.
4.Masuk Surga Tanpa Hisab:
Syafaat diberikan kepada orang-orang tertentu sehingga mereka bisa masuk surga tanpa harus menjalani proses perhitungan amal (hisab).
5.Keluar dari Neraka:
Syafaat bisa membantu orang yang berdosa keluar dari neraka dan masuk ke surga setelah mereka dihukum atas dosa-dosanya.
6.Perantaraan tidak untuk Orang Kafir:
Dalam beberapa pandangan, syafaat tidak berlaku bagi orang kafir atau mereka yang mati dalam keadaan syirik, karena syafaat hanya berlaku bagi orang yang beriman.
7.Pertolongan di Padang Mahsyar:
Di hari kiamat, ketika manusia berada di Padang Mahsyar, syafaat diberikan agar mereka mendapatkan kemudahan dalam menghadapi peristiwa-peristiwa besar di hari tersebut.
8.Pertolongan untuk Ketenangan:
Syafaat juga berarti menenangkan hati orang beriman di saat hisab atau saat menghadapi ketakutan di hari kiamat.
9.Penolong dalam Mizan (Timbangan Amal):
Syafaat bisa membantu agar amal baik seseorang lebih berat daripada amal buruknya di hari perhitungan.
10.Syafaat Umum dan Khusus:
Ada syafaat yang bersifat umum, seperti syafaat Nabi Muhammad untuk umat manusia pada hari kiamat, dan syafaat khusus yang hanya diberikan kepada orang-orang tertentu berdasarkan amal mereka di dunia.
Syafaat ini semuanya terjadi dengan izin Allah, karena tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali atas kehendak dan izin-Nya.
Berikut referensi tentang syafaat yang terdapat dalam Al-Qur’an:
1.Surah Al-Baqarah (2:255) –
Ayat Kursi: “Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya?”
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada yang bisa memberi syafaat kecuali dengan izin Allah.
2.Surah Az-Zumar (39:44):
“Katakanlah, ‘Hanya milik Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya kamu dikembalikan.’”
Ayat ini menekankan bahwa syafaat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan Allah.
3.Surah Al-Anbiya’ (21:28):
“Dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.”
Ini menunjukkan bahwa syafaat hanya berlaku bagi orang yang diridhai oleh Allah.
4.Surah Al-Muddatstsir (74:48):
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberi syafaat.”
Ayat ini menegaskan bahwa syafaat tidak bermanfaat bagi orang-orang kafir atau mereka yang tidak diridhai Allah.
5.Surah Yunus (10:3):
“Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya.”
Menunjukkan bahwa izin dari Allah diperlukan sebelum syafaat dapat diberikan.
6.Surah Saba’ (34:23):
“Dan tiada berguna syafaat di sisi Allah kecuali bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat.”
Menegaskan bahwa hanya orang-orang tertentu yang diperbolehkan untuk mendapatkan syafaat.
7.Surah Taha (20:109):
“Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberinya izin dan Dia meridhai perkataannya.”
Ayat ini menggarisbawahi bahwa syafaat hanya bermanfaat bagi orang yang diizinkan Allah dan perkataannya diridhai-Nya.
8.Surah Al-Isra’ (17:79):
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”
Ini terkait dengan syafaat terbesar yang dimiliki Nabi Muhammad, yakni “Maqam Mahmud” di akhirat.
9.Surah Al-An’am (6:51):
“Dan berilah peringatan dengan ayat Al-Qur’an itu kepada orang yang takut akan dikumpulkan kepada Tuhannya, di mana tidak ada bagi mereka pelindung dan pemberi syafaat selain Allah.”
Menegaskan bahwa tidak ada pemberi syafaat yang sejati selain Allah.
10.Surah Al-Najm (53:26):
“Dan berapa banyak malaikat di langit, syafaat mereka sedikitpun tidak berguna kecuali setelah Allah mengizinkan bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridhai.”
Ini menunjukkan bahwa bahkan para malaikat hanya bisa memberi syafaat dengan izin Allah.
Dari ayat-ayat ini, terlihat bahwa konsep syafaat dalam Islam sangat terkait dengan izin dan kehendak Allah.
Tidak ada yang memiliki hak untuk memberikan syafaat kecuali dengan izin-Nya, dan syafaat hanya berlaku bagi orang yang diridhai oleh-Nya.
Berikut ini penjelasan tentang syafaat menurut mufassir atau ahli tafsir dalam Islam, berdasarkan pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis:
1.Ibn Kathir
Menurut tafsir Ibn Kathir, syafaat adalah perantaraan yang diberikan kepada orang-orang yang berdosa di akhirat, terutama melalui Nabi Muhammad ﷺ.
Ibn Kathir menegaskan bahwa syafaat tidak bisa terjadi kecuali atas izin Allah dan diberikan kepada mereka yang diridhai-Nya, seperti dijelaskan dalam tafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan syafaat (misalnya, dalam tafsir Surah Al-Baqarah 2:255 dan Az-Zumar 39:44).
2.Al-Qurtubi
Dalam tafsir Al-Qurtubi, syafaat dipahami sebagai salah satu karunia besar yang diberikan Allah kepada para nabi, rasul, malaikat, dan hamba-hamba-Nya yang saleh.
Namun, Al-Qurtubi juga menekankan bahwa syafaat hanya berlaku bagi orang-orang yang beriman, sesuai dengan kehendak dan izin Allah. Dia juga mengingatkan bahwa syafaat tidak berguna bagi orang kafir dan musyrik.
3.Al-Tabari
Imam Al-Tabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa syafaat adalah bentuk belas kasih dari Allah yang diberikan kepada umat manusia melalui perantaraan Nabi dan para wali Allah. Ia menekankan bahwa izin Allah adalah syarat utama terjadinya syafaat, seperti disebutkan dalam tafsirnya terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan syafaat (seperti Al-Baqarah 2:255 dan Yunus 10:3).
4.Fakhruddin Al-Razi
Dalam tafsirnya, Al-Razi menjelaskan bahwa syafaat tidak bersifat otomatis, tetapi tergantung pada kehendak Allah.
Dia menjelaskan syafaat sebagai bentuk perantaraan yang diperbolehkan oleh Allah bagi orang-orang yang diridhai-Nya.
Al-Razi juga memberikan penjelasan filosofis tentang hubungan antara syafaat dan keadilan Allah.
5.Al-Baghawi
Menurut Al-Baghawi, syafaat adalah pemberian istimewa yang diberikan kepada para nabi, malaikat, dan orang-orang saleh pada hari kiamat untuk membantu umat manusia yang berdosa.
Namun, ia menegaskan bahwa syafaat hanya berlaku atas izin Allah dan terbatas pada orang-orang yang beriman dan diridhai oleh Allah, sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Surah Az-Zumar 39:44.
6.Ibn ‘Ashur
Tafsir Ibn ‘Ashur menyoroti aspek keadilan dalam syafaat. Menurutnya, syafaat adalah mekanisme di mana Allah menunjukkan kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya, tetapi tanpa mengorbankan prinsip keadilan.
Syafaat diberikan kepada orang-orang yang memiliki iman, namun Allah tetap berkuasa penuh atas siapa yang mendapatkan manfaat dari syafaat ini.
7.Al-Sa’di
Dalam tafsir Al-Sa’di, syafaat adalah sarana bagi orang-orang beriman untuk mendapatkan keringanan dalam hisab atau mendapatkan pengampunan dari dosa-dosa kecil yang belum diselesaikan.
Syafaat diberikan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan makhluk-makhluk yang dekat dengan Allah, tetapi dengan batasan bahwa hanya Allah yang bisa memberikan izin untuk terjadinya syafaat.
8.As-Syaukani
As-Syaukani dalam tafsirnya memaparkan bahwa syafaat adalah sebuah bentuk syafaat yang dijamin oleh Allah untuk umat Nabi Muhammad ﷺ.
Dia menegaskan bahwa syafaat terjadi atas kehendak Allah, dan bahwa para pemberi syafaat hanya bertindak sebagai perantara yang diizinkan oleh-Nya.
9.Sayyid Qutb
Dalam tafsir “Fi Zilal al-Qur’an”, Sayyid Qutb menekankan bahwa syafaat menunjukkan kasih sayang Allah kepada umat manusia.
Ia juga mengingatkan bahwa meskipun syafaat adalah bentuk pertolongan, Allah tetap memiliki kekuasaan mutlak untuk menentukan siapa yang berhak menerimanya.
Menurutnya, syafaat adalah manifestasi dari keadilan dan rahmat Allah di akhirat.
10.Al-Mawardi
Dalam tafsirnya, Al-Mawardi menekankan bahwa syafaat diberikan kepada orang-orang yang beriman yang mungkin memiliki dosa-dosa yang tidak terhapus selama hidup mereka.
Syafaat adalah bentuk rahmat yang diperbolehkan oleh Allah, tetapi terbatas pada orang-orang yang diridhai-Nya.
Al-Mawardi juga menekankan bahwa syafaat adalah tanda belas kasih Allah, bukan sebuah hak yang bisa dituntut oleh manusia.
Secara umum, para mufassir sepakat bahwa syafaat adalah pertolongan khusus yang diberikan kepada umat manusia dengan izin Allah.
Syafaat tidak berlaku bagi orang kafir atau musyrik, dan syafaat hanya bisa diberikan kepada orang-orang yang diridhai oleh Allah.
Dalam pandangan mufassir Syiah, konsep syafaat memiliki makna yang mendalam dan sangat penting, terutama terkait dengan peran para Nabi, Imam, dan orang-orang yang dekat dengan Allah.
Berikut ini beberapa pandangan mengenai syafaat menurut para mufassir Syiah:
1. Al-Mizan oleh Allamah Tabataba’i
Allamah Tabataba’i, seorang ulama dan mufassir besar Syiah, dalam tafsirnya Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, menjelaskan bahwa syafaat adalah salah satu bentuk kasih sayang Allah yang diberikan kepada orang-orang beriman.
Dalam pandangannya, syafaat adalah permohonan yang dilakukan oleh para nabi, malaikat, dan Imam Ahlul Bait kepada Allah untuk memberikan pengampunan dan keringanan siksa kepada umat yang berdosa.
Dia menekankan bahwa syafaat hanya bisa terjadi dengan izin Allah, dan bahwa para Imam memiliki kedudukan istimewa sebagai pemberi syafaat.
2. Tafsir Al-Kasyani
Mulla Fathullah al-Kasyani, dalam tafsirnya Manhaj al-Sadiqin, menekankan pentingnya syafaat sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Ia menyatakan bahwa syafaat yang diberikan oleh para Nabi, terutama Nabi Muhammad, serta Imam-Imam Ahlul Bait, adalah wujud rahmat Allah yang diperuntukkan bagi mereka yang beriman.
Al-Kasyani juga menegaskan bahwa syafaat adalah bentuk syafaat spiritual yang dapat membantu manusia mencapai kesempurnaan spiritual dan mendapatkan pengampunan.
3. Al-Tafsir Al-Safi oleh Al-Fayd al-Kashani
Dalam Al-Tafsir Al-Safi, Al-Fayd al-Kashani menjelaskan bahwa syafaat diizinkan oleh Allah untuk orang-orang yang memiliki keimanan yang tulus dan cinta kepada Ahlul Bait.
Syafaat ini tidak hanya terbatas pada Nabi Muhammad, tetapi juga diberikan kepada para Imam Syiah yang dianggap memiliki peran besar dalam memberi syafaat kepada pengikut mereka.
Syafaat adalah bagian dari rahmat ilahi yang hanya berlaku bagi orang yang memenuhi syarat keimanan dan kecintaan pada Ahlul Bait.
4. Tafsir al-Qummi oleh Ali bin Ibrahim al-Qummi
Ali bin Ibrahim al-Qummi, salah satu mufassir terkemuka dalam tradisi Syiah, dalam tafsirnya menekankan bahwa syafaat adalah hak eksklusif yang diberikan kepada Nabi Muhammad dan Imam-Imam dari Ahlul Bait.
Menurutnya, hanya mereka yang memiliki hubungan spiritual dengan Ahlul Bait yang akan mendapatkan syafaat di hari kiamat.
Syafaat ini adalah pertolongan untuk mendapatkan pengampunan dan penyelamatan dari siksa neraka, dengan catatan bahwa hal itu tidak berlaku untuk orang-orang yang memusuhi atau tidak mengakui hak para Imam.
5. Tafsir Nur al-Tsaqalayn oleh Al-Huwaizi
Al-Huwaizi dalam tafsirnya Nur al-Tsaqalayn menegaskan bahwa syafaat adalah salah satu bentuk manifestasi keadilan dan rahmat Allah.
Ia mengutip banyak riwayat dari Ahlul Bait yang menekankan peran penting para Imam dalam memberi syafaat kepada para pengikut mereka.
Dia menegaskan bahwa syafaat diberikan kepada mereka yang memiliki ikatan cinta dan ketaatan kepada Ahlul Bait, serta yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
6. Tafsir Majma’ al-Bayan oleh Al-Thabarsi
Al-Thabarsi dalam Majma’ al-Bayan membahas syafaat dalam konteks eskatologis, di mana para nabi, imam, dan orang-orang yang dekat dengan Allah diberi wewenang oleh Allah untuk memberi syafaat kepada orang-orang yang beriman.
Dia juga menekankan bahwa syafaat tidak berlaku bagi orang kafir atau munafik, dan bahwa syafaat adalah bentuk belas kasihan ilahi yang hanya diberikan kepada mereka yang diridhai Allah.
7. Tafsir As-Safi oleh Muhammad bin Mas’ud al-’Ayyashi
Muhammad bin Mas’ud al-’Ayyashi dalam tafsir As-Safi menjelaskan bahwa syafaat adalah hak istimewa yang diberikan kepada Nabi Muhammad dan para Imam Ahlul Bait untuk menolong umat yang beriman di hari kiamat.
Al-’Ayyashi juga menjelaskan bahwa syafaat adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang Allah yang diberikan kepada orang-orang yang mencintai Ahlul Bait.
8. Tafsir Al-Burhan oleh Al-Bahrani
Syekh Al-Bahrani dalam tafsirnya Al-Burhan menegaskan bahwa syafaat adalah bentuk keistimewaan yang diberikan kepada Imam-Imam Ahlul Bait, dan ini adalah salah satu rahmat Allah yang sangat besar. Ia menekankan bahwa syafaat tidak diberikan secara sembarangan, melainkan kepada orang-orang yang layak menerimanya berdasarkan iman dan ketaatan mereka kepada Allah serta kecintaan mereka kepada Ahlul Bait.
9. Tafsir Qummi oleh Sheikh Ali bin Ibrahim Qummi
Sheikh Ali bin Ibrahim Qummi dalam tafsirnya menyatakan bahwa syafaat adalah hak yang diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad dan Ahlul Baitnya.
Para Imam dianggap sebagai pemberi syafaat yang utama di antara manusia, dan mereka akan memberikan syafaat kepada umat yang setia dan beriman kepada mereka di hari kiamat.
10. Tafsir al-Amthal oleh Ayatollah Nasir Makarim Shirazi
Ayatollah Nasir Makarim Shirazi dalam tafsirnya Al-Amthal menekankan bahwa syafaat adalah wujud dari rahmat ilahi yang diberikan kepada orang-orang beriman, dengan syarat bahwa mereka memiliki hubungan spiritual yang kuat dengan Allah dan Ahlul Bait.
Menurutnya, syafaat akan membantu orang-orang yang berdosa tetapi tetap menjaga iman dan amal saleh mereka untuk mendapatkan pengampunan Allah di hari kiamat.
Kesimpulan
Pandangan para mufassir Syiah mengenai syafaat sangat menekankan peran Nabi saw dan Ahlul Bait as sebagai perantara utama dalam memberikan syafaat di hari kiamat.
Syafaat diberikan dengan izin Allah dan hanya berlaku bagi orang-orang yang beriman serta memiliki hubungan spiritual dengan Nabi saw dan para Imam.
Para mufassir Syiah juga menekankan bahwa syafaat adalah bentuk rahmat dan kasih sayang Allah, namun hanya diperuntukkan bagi mereka yang diridhai-Nya.
Syafaat menurut para ahli makrifat dan hakikat lebih dalam dari sekadar perantaraan atau pertolongan di akhirat.
Syafaat dalam perspektif ini sering kali dikaitkan dengan perjalanan spiritual seseorang menuju kesempurnaan, rahmat ilahi, dan pengampunan yang melampaui aspek fisik duniawi.
Berikut makna syafaat menurut para ahli makrifat dan hakikat:
1.Manifestasi Rahmat Ilahi
Para ahli makrifat memandang syafaat sebagai perwujudan rahmat Allah yang tak terhingga.
Dalam hal ini, syafaat tidak hanya berlaku di hari kiamat, tetapi juga di dunia sebagai bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya yang sedang mencari jalan menuju-Nya. Syafaat menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2.Perantara Spiritual
Syafaat dilihat sebagai proses di mana seorang wali, nabi, atau orang yang dekat dengan Allah (seperti para Imam dalam tradisi Syiah) bertindak sebagai perantara yang membantu seseorang mencapai kesucian batin dan kebersihan spiritual.
Syafaat ini bisa terjadi melalui doa, bimbingan spiritual, atau melalui hubungan rohani yang kuat antara murid dan guru (syaikh).
3.Cahaya Hidayah
Dalam konteks makrifat, syafaat juga dianggap sebagai cahaya hidayah yang diberikan oleh Allah melalui para wali atau nabi kepada umat manusia.
Cahaya ini menuntun manusia keluar dari kegelapan dosa dan kebodohan menuju pengetahuan dan kesadaran akan kebenaran ilahi.
4.Pembersihan Jiwa
Syafaat bukan sekadar pengampunan dosa, tetapi juga proses pembersihan hati dan jiwa seseorang dari kotoran duniawi dan ego.
Melalui syafaat, seseorang dibimbing untuk melepaskan diri dari hawa nafsu dan kecenderungan duniawi, sehingga mencapai kebersihan batin dan kedekatan dengan Allah.
5.Pertolongan dalam Maqam Spiritual
Para ahli hakikat memandang bahwa syafaat dapat memberikan bantuan kepada para pencari Tuhan (salik) dalam mencapai maqam-maqam spiritual yang lebih tinggi.
Misalnya, seorang syaikh atau wali dapat memberikan syafaat kepada muridnya agar dapat naik ke tingkatan spiritual yang lebih tinggi dalam perjalanan menuju Allah.
6.Pembebasan dari Ego (Nafs)
Syafaat dalam makrifat dipahami sebagai sarana untuk membebaskan seseorang dari dominasi ego (nafs).
Melalui bimbingan seorang wali atau nabi, seseorang mendapatkan syafaat yang memungkinkannya melampaui batasan egonya dan mendekati hakikat ilahi yang sejati.
7.Kebangkitan Ruhani
Syafaat juga dimaknai sebagai kebangkitan ruhani.
Seseorang yang menerima syafaat dari wali atau nabi mengalami pencerahan ruhani yang membangkitkan kesadaran mereka tentang hakikat kehidupan dan hubungan mereka dengan Tuhan.
8.Keterhubungan dengan Alam Malakut
Dalam makrifat, syafaat adalah sarana untuk menjembatani dunia material dengan alam malakut (alam spiritual).
Orang yang menerima syafaat akan lebih mudah terhubung dengan dimensi spiritual yang lebih tinggi, sehingga dapat melihat kebenaran ilahi yang tersembunyi di balik realitas fisik.
9.Kesatuan dengan Kehendak Ilahi
Syafaat dalam konteks ini juga dianggap sebagai cara untuk menyelaraskan diri dengan kehendak Allah.
Melalui syafaat, seorang hamba diampuni dan diberi rahmat untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sehingga semakin dekat dengan-Nya.
Syafaat membantu seseorang untuk menyerahkan kehendaknya kepada Allah dengan ikhlas.
10.Cinta Ilahi dan Keterikatan Spiritual
Para ahli hakikat sering mengaitkan syafaat dengan cinta ilahi (mahabbah).
Cinta kepada Allah, Rasul, dan wali-wali-Nya menjadi kunci bagi seseorang untuk mendapatkan syafaat.
Bagi mereka, syafaat adalah wujud dari cinta Tuhan kepada hamba-hamba-Nya, dan mereka yang mencintai Allah dan wali-Nya akan selalu mendapatkan syafaat baik di dunia maupun di akhirat.
Kesimpulan:
Dalam pandangan para ahli makrifat dan hakikat, syafaat bukan sekadar bentuk pertolongan fisik di hari kiamat, melainkan proses pembimbingan spiritual yang terus-menerus terjadi selama kehidupan seseorang.
Syafaat berfungsi untuk membersihkan jiwa, membimbing ruhani, dan membawa manusia mendekat kepada Allah dengan menyingkirkan penghalang-penghalang yang ada dalam hati dan batinnya. Ini adalah jalan menuju kesempurnaan spiritual, pencapaian hakikat, dan persatuan dengan kehendak ilahi.
Berikut adalah beberapa referensi dari para ahli makrifat dan hakikat tentang konsep syafaat, berdasarkan karya dan pandangan mereka dalam tradisi tasawuf dan spiritual Islam:
1. Ibn Arabi (1165–1240)
•Karya Utama: Futuhat al-Makkiyah dan Fusus al-Hikam.
•Pandangan tentang Syafaat:
Ibn Arabi, seorang tokoh besar dalam tradisi tasawuf dan makrifat, memandang syafaat sebagai manifestasi dari kasih sayang dan rahmat Allah yang universal.
Dalam Futuhat al-Makkiyah, ia menjelaskan bahwa syafaat adalah wujud dari rahmat Ilahi yang menembus segala realitas, membantu hamba-hamba Allah yang berdosa untuk mencapai keselamatan.
Bagi Ibn Arabi, syafaat adalah refleksi dari nama Allah “Ar-Rahman” (Maha Pengasih) dan “Ar-Rahim” (Maha Penyayang) yang bekerja melalui para nabi, rasul, dan orang-orang suci.
•Ibn Arabi juga menekankan bahwa syafaat adalah alat untuk mencapai pengetahuan dan kedekatan dengan Tuhan, membimbing manusia ke jalan hakikat dan makrifat.
2. Al-Ghazali (1058–1111)
•Karya Utama: Ihya’ Ulum al-Din dan Mishkat al-Anwar.
•Pandangan tentang Syafaat:
Dalam Ihya’ Ulum al-Din, Imam Al-Ghazali membahas syafaat dalam konteks hubungan antara hamba dan Tuhan.
Dia menjelaskan bahwa syafaat adalah cara di mana Nabi Muhammad ﷺ dan para wali Allah membantu umat manusia, bukan hanya di akhirat, tetapi juga dalam kehidupan spiritual di dunia.
Al-Ghazali mengaitkan syafaat dengan tahapan-tahapan dalam perjalanan spiritual, di mana para wali dan nabi memberi syafaat untuk menuntun orang yang beriman mencapai maqam yang lebih tinggi.
•Dalam Mishkat al-Anwar, syafaat dipahami sebagai bentuk pencahayaan batin yang membantu hamba mendekat kepada Allah melalui intervensi spiritual dari mereka yang lebih dekat dengan Tuhan.
3. Rumi (1207–1273)
•Karya Utama: Masnavi.
•Pandangan tentang Syafaat:
Jalaluddin Rumi, melalui karyanya Masnavi, berbicara tentang syafaat sebagai bentuk kasih sayang dan cinta Allah yang diberikan melalui para wali dan nabi.
Syafaat, menurut Rumi, adalah ekspresi dari cinta Tuhan kepada hamba-Nya yang terwujud dalam bentuk pertolongan ilahi.
Rumi menggambarkan syafaat sebagai cahaya yang membawa manusia dari kegelapan dosa menuju terang pengetahuan dan cinta Ilahi.
Melalui syafaat, manusia dapat melewati hambatan-hambatan duniawi dan batiniah untuk mencapai persatuan dengan Allah.
4. Abdul Qadir al-Jilani (1077–1166)
•Karya Utama: Al-Ghunya li-Talibi Tariq al-Haqq.
•Pandangan tentang Syafaat:
Syekh Abdul Qadir al-Jilani, pendiri tarekat Qadiriyah, dalam karyanya Al-Ghunya li-Talibi Tariq al-Haqq membahas pentingnya syafaat dalam perjalanan spiritual menuju Allah.
Beliau menekankan bahwa syafaat adalah bagian integral dari rahmat Allah yang diberikan kepada mereka yang beriman dan mencari jalan kebenaran.
Para wali dan nabi adalah perantara yang diberikan kekuasaan oleh Allah untuk memberikan syafaat kepada hamba-hamba-Nya.
Syafaat dianggap sebagai bentuk pertolongan ilahi yang melampaui dosa-dosa kecil dan besar, membawa mereka yang menerima syafaat kepada tingkat spiritual yang lebih tinggi.
5. Najmuddin Kubra (1145–1221)
•Karya Utama: Fawa’ih al-Jamal wa Fawatih al-Jalal.
•Pandangan tentang Syafaat:
Najmuddin Kubra, pendiri tarekat Kubrawiyah, menjelaskan syafaat dalam konteks hubungan antara wali dan murid.
Dalam Fawa’ih al-Jamal, dia menyebutkan bahwa para wali Allah, yang sudah mencapai maqam spiritual yang tinggi, memiliki kemampuan untuk memberikan syafaat kepada murid-murid mereka.
Syafaat ini berupa pertolongan spiritual yang memungkinkan murid untuk melepaskan diri dari pengaruh duniawi dan mencapai pengetahuan hakikat.
Syafaat, menurut Najmuddin Kubra, adalah cara bagi wali untuk membimbing murid-muridnya melalui berbagai tahap perjalanan spiritual menuju Allah.
6. Sheikh Ahmad al-Alawi (1869–1934)
•Karya Utama: Al-Risala al-Qudsiyya.
•Pandangan tentang Syafaat:
Syekh Ahmad al-Alawi, seorang sufi besar dari Afrika Utara, menjelaskan syafaat sebagai cara di mana seorang guru spiritual (murshid) membantu muridnya mendekati Allah.
Dalam Al-Risala al-Qudsiyya, ia menekankan bahwa syafaat adalah bentuk dukungan spiritual yang diberikan oleh mereka yang lebih dekat kepada Allah untuk membantu murid-murid mereka mencapai maqam yang lebih tinggi.
Syafaat ini tidak hanya terjadi di akhirat, tetapi juga di dunia melalui doa, dzikir, dan bimbingan spiritual.
7. Syaikh Ibn Ajibah (1747–1809)
•Karya Utama: Al-Bahr al-Madid.
•Pandangan tentang Syafaat:
Ibn Ajibah, seorang sufi besar dari Maroko, dalam tafsirnya Al-Bahr al-Madid, membahas syafaat sebagai sarana bagi wali-wali Allah untuk memberikan dukungan spiritual kepada murid-murid mereka.
Menurutnya, syafaat adalah bantuan spiritual yang membantu seseorang untuk membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit batin dan mendekatkan diri kepada Allah.
Syafaat, dalam konteks ini, adalah cara untuk mencapai pencerahan spiritual dan kesucian hati.
8. Bahauddin Naqsyaband (1318–1389)
•Pandangan tentang Syafaat: Bahauddin Naqsyaband, pendiri tarekat Naqsyabandiyah, menekankan pentingnya syafaat dari seorang guru spiritual dalam membimbing murid-muridnya melalui jalan tasawuf.
Dalam ajaran Naqsyabandiyah, syafaat adalah bentuk dukungan spiritual yang diberikan oleh seorang syaikh untuk membantu murid dalam menghadapi tantangan-tantangan duniawi dan batiniah. Melalui syafaat, murid dapat mencapai maqam-maqam yang lebih tinggi dalam perjalanan spiritual mereka.
9. Syekh Abdul Karim Jili (1366–1428)
•Karya Utama: Al-Insan al-Kamil.
•Pandangan tentang Syafaat:
Dalam Al-Insan al-Kamil, Abdul Karim Jili membahas syafaat sebagai salah satu atribut manusia sempurna (al-insan al-kamil), yang merupakan manifestasi sempurna dari sifat-sifat Ilahi.
Menurutnya, syafaat adalah wujud dari kekuatan spiritual yang diberikan Allah kepada para wali dan nabi untuk membantu manusia mencapai kesempurnaan.
Syafaat menjadi alat bagi manusia sempurna untuk menarik orang lain ke arah kesempurnaan spiritual yang lebih tinggi.
10. Shah Waliullah Dehlawi (1703–1762)
•Karya Utama: Hujjatullah al-Baligha.
•Pandangan tentang Syafaat:
Dalam Hujjatullah al-Baligha, Shah Waliullah Dehlawi berbicara tentang syafaat sebagai bentuk pertolongan spiritual yang diberikan oleh Allah kepada mereka yang beriman melalui para nabi dan wali.
Syafaat, menurut Shah Waliullah, adalah bagian dari sistem Ilahi untuk membersihkan jiwa manusia dan mempersiapkannya untuk kehidupan setelah mati.
Para wali dan nabi bertindak sebagai perantara untuk memohon rahmat Allah bagi umat manusia.
Kesimpulan:
Para ahli makrifat dan hakikat memandang syafaat sebagai pertolongan spiritual yang mendalam, bukan hanya dalam konteks akhirat, tetapi juga dalam kehidupan spiritual sehari-hari.
Syafaat adalah wujud rahmat Ilahi yang diberikan melalui perantaraan para nabi, wali, dan guru spiritual yang membimbing manusia menuju kesempurnaan, pencerahan, dan persatuan dengan Allah.
Referensi ini menunjukkan bahwa syafaat adalah bagian penting dari perjalanan makrifat dan pencapaian hakikat yang lebih tinggi.
Dalam tradisi Syiah, konsep syafaat memiliki makna yang mendalam dan sangat terkait dengan kepercayaan pada para Imam Ahlul Bait as.
Para ahli makrifat dan hakikat dalam kalangan Syiah memberikan penafsiran yang unik dan kaya mengenai syafaat.
Mereka menekankan pentingnya hubungan spiritual yang kuat dengan Allah melalui para Imam sebagai perantara yang diberi kuasa untuk memberikan syafaat.
Berikut adalah beberapa pandangan ahli makrifat dan hakikat dari perspektif Syiah tentang syafaat:
1. Allamah Tabataba’i (1903–1981)
•Karya Utama: Tafsir al-Mizan.
•Pandangan tentang Syafaat:
Dalam tafsirnya Al-Mizan, Allamah Tabataba’i menekankan bahwa syafaat adalah bentuk rahmat Allah yang diberikan melalui perantaraan para Nabi dan Imam.
Menurutnya, syafaat bukan sekadar permohonan ampunan, tetapi sebuah bimbingan spiritual yang membawa manusia lebih dekat kepada Tuhan.
Para Imam Ahlul Bait memainkan peran penting sebagai pemberi syafaat, dengan izin Allah.
Allamah menegaskan bahwa syafaat diizinkan oleh Allah untuk mereka yang memiliki hubungan batin yang tulus dan cinta kepada Ahlul Bait.
2. Ayatollah Khomeini (1902–1989)
•Karya Utama: Misbah al-Hidayah ila al-Khilafah wa al-Wilayah.
•Pandangan tentang Syafaat:
Ayatollah Khomeini, seorang pemikir besar dalam tradisi Syiah, menjelaskan bahwa syafaat adalah salah satu cara rahmat Ilahi diungkapkan melalui perantaraan para Imam.
Dalam bukunya tentang esoterisme Imamah, Khomeini menekankan bahwa para Imam memiliki kedekatan yang istimewa dengan Tuhan sehingga mereka mampu memberikan syafaat kepada para pengikut yang beriman. Bagi Khomeini, syafaat adalah manifestasi cinta dan belas kasih Ilahi yang melalui para Imam membantu orang-orang berdosa kembali kepada jalan yang benar.
3. Mulla Sadra (1571–1640)
•Karya Utama: Asfar Arba’a.
•Pandangan tentang Syafaat:
Mulla Sadra, seorang filsuf dan ahli makrifat besar dari tradisi Syiah, dalam karya-karyanya menjelaskan bahwa syafaat adalah proses transformasi spiritual.
Ia melihat syafaat sebagai sarana di mana seseorang yang memiliki kekurangan spiritual dapat ditarik menuju maqam spiritual yang lebih tinggi melalui bantuan seorang perantara (Nabi atau Imam).
Dalam Asfar Arba’a, Mulla Sadra mengaitkan syafaat dengan perjalanan ruhani menuju Tuhan, di mana syafaat membantu mempercepat kemajuan spiritual seorang salik (pencari Tuhan).
4. Sayyid Haydar Amuli (1319–1385)
•Karya Utama: Jami’ al-Asrar.
•Pandangan tentang Syafaat:
Sayyid Haydar Amuli, seorang sufi dan ahli filsafat dalam tradisi Syiah, menjelaskan bahwa syafaat adalah cerminan dari peran spiritual para Imam sebagai wasilah (perantara) antara manusia dan Allah.
Dalam Jami’ al-Asrar, ia menyatakan bahwa syafaat adalah bentuk penyucian batin dan jiwa dari dosa-dosa dan kekotoran spiritual.
Para Imam Ahlul Bait bertindak sebagai pemimpin spiritual yang dapat memberikan syafaat kepada mereka yang mengikuti jejak mereka dan menjalani kehidupan dengan cinta kepada Ahlul Bait.
5. Sayyid Muhammad Husayn Tehrani (1925–1995)
•Karya Utama: Ruh al-Mujarrad.
•Pandangan tentang Syafaat:
Sayyid Muhammad Husayn Tehrani dalam karyanya Ruh al-Mujarrad berbicara tentang konsep syafaat sebagai bentuk bantuan spiritual yang diberikan oleh Imam dan wali kepada umat manusia.
Tehrani menjelaskan bahwa syafaat adalah bentuk pertolongan dari yang lebih tinggi (Imam) kepada mereka yang sedang berjuang di jalan makrifat dan hakikat.
Para Imam, dalam pandangannya, memberikan syafaat kepada mereka yang memiliki keimanan kuat kepada Ahlul Bait, membantu mereka membersihkan jiwa mereka dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
6. Sayyid Ali Qadhi Tabataba’i (1866–1946)
•Pandangan tentang Syafaat:
Sayyid Ali Qadhi Tabataba’i, seorang guru spiritual dari tradisi Irfan Syiah, menekankan pentingnya syafaat dalam kehidupan spiritual seorang murid.
Menurutnya, syafaat tidak hanya terjadi di akhirat, tetapi juga di dunia, di mana seorang guru spiritual (murshid) dapat memberikan syafaat kepada murid-muridnya melalui doa dan bimbingan spiritual.
Dalam pengajarannya, Qadhi Tabataba’i menekankan bahwa syafaat adalah proses di mana seorang wali Allah memberikan rahmat kepada orang-orang beriman yang membutuhkannya, membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan.
7. Ayatollah Muhammad Baqir al-Sadr (1935–1980)
•Karya Utama: Falsafatuna.
•Pandangan tentang Syafaat:
Ayatollah Muhammad Baqir al-Sadr dalam karyanya Falsafatuna membahas syafaat sebagai bentuk pertolongan yang diberikan oleh Imam-imam kepada para pengikut yang setia.
Al-Sadr melihat syafaat sebagai proses pengampunan dan bimbingan spiritual yang memungkinkan seorang hamba kembali ke jalan yang benar setelah melakukan dosa.
Bagi al-Sadr, syafaat adalah aspek penting dari hubungan antara Allah, para Imam, dan umat manusia.
8. Ayatollah Nasir Makarim Shirazi (1926–2021)
•Karya Utama: Tafsir al-Amthal.
•Pandangan tentang Syafaat:
Dalam Tafsir al-Amthal, Ayatollah Nasir Makarim Shirazi menjelaskan bahwa syafaat adalah bentuk rahmat yang diberikan oleh Allah melalui para Imam kepada umat manusia.
Syafaat dianggap sebagai sarana untuk memperoleh pengampunan dan rahmat ilahi.
Makarim Shirazi juga menekankan bahwa syafaat berlaku bagi mereka yang menunjukkan cinta dan kesetiaan kepada Ahlul Bait, dan bahwa syafaat ini akan membantu mereka di akhirat dalam menghadapi dosa-dosa mereka.
9. Allamah Sayyid Muhammad Husayn Husayni Tehrani (1926–1995)
•Karya Utama: Mihrab al-Wilayah.
•Pandangan tentang Syafaat:
Dalam Mihrab al-Wilayah, Sayyid Muhammad Husayn Tehrani menekankan bahwa syafaat adalah salah satu cara untuk mendapatkan rahmat Allah melalui para Imam.
Menurut Tehrani, para Imam memiliki kemampuan spiritual yang tinggi untuk menjadi pemberi syafaat bagi para pengikut yang beriman, membantu mereka mengatasi dosa-dosa dan mencapai kesucian spiritual.
10. Mulla Hadi Sabzawari (1797–1873)
•Karya Utama: Sharh Manzuma.
•Pandangan tentang Syafaat:
Mulla Hadi Sabzawari, seorang filsuf dan mistikus besar dari tradisi Syiah, dalam Sharh Manzuma menjelaskan syafaat sebagai bagian dari hubungan antara Allah dan manusia melalui perantara para Imam.
Menurut Sabzawari, syafaat adalah bentuk intervensi ilahi yang memungkinkan seseorang untuk melewati tahap-tahap kehidupan spiritual dengan bimbingan dari yang lebih tinggi.
Syafaat membantu manusia mengatasi kelemahan batiniah dan mencapai maqam spiritual yang lebih tinggi.
Kesimpulan:
Dalam pandangan para ahli makrifat dan hakikat dari tradisi Syiah, syafaat adalah aspek penting dari hubungan spiritual antara Allah, para Imam, dan manusia.
Syafaat tidak hanya terkait dengan pengampunan dosa di akhirat, tetapi juga berfungsi sebagai sarana pertolongan spiritual di dunia.
Para Imam Ahlul Bait dianggap sebagai perantara yang memiliki kedudukan khusus di hadapan Allah, yang mampu memberikan bimbingan dan bantuan spiritual kepada para pengikut mereka yang setia.
Melalui syafaat, seseorang dapat mencapai kesucian batin, kedekatan dengan Allah, dan kemajuan dalam perjalanan spiritualnya.
Comments (0)
There are no comments yet