Makna Niat Yang Benar; وَصِدْقَ النِّيَّةِ (dan kejujuran niat),

Supa Athana - Entertainment
13 May 2025 09:20
Makna “وَصِدْقَ النِّيَّةِ” (kejujuran niat) bisa ditelusuri melalui ayat-ayat yang menekankan pentingnya niat yang tulus dan tujuan yang murni dalam amal.

Oleh.Muhammad aufik Ali Yahya

Makna dari kalimat “وَصِدْقَ النِّيَّةِ” (dan kejujuran niat), berdasarkan pandangan ahli hakikat dan makrifat,
Makna Zahir (Lahiriah)
1. Ketulusan dalam beramal ;
Beramal karena Allah semata, tanpa mengharapkan pujian, dunia, atau balasan selain ridha-Nya.
2. Konsistensi antara ucapan dan niat ;Tidak bermuka dua; apa yang diucapkan selaras dengan apa yang diniatkan dalam hati.
3. Menghindari riya’; Tidak menjadikan amal sebagai alat pencitraan atau untuk mencari perhatian manusia.
4. Memurnikan tujuan ibadah; Salat, puasa, zakat, dan lainnya dilakukan sebagai wujud penghambaan, bukan rutinitas sosial.
5. Niat sebagai syarat sah amal Tanpa niat yang jujur da…
[09.33, 11/5/2025] Supa Athana: https://u-meta.news/entertainment/2025/05/11/makna-niat-yang-benar-dan-kejujuran-niat-doa-imam-zaman-afs
[07.39, 12/5/2025] Muhammad Taufiq Ali Yahya: ❤️🌺🌹Makna Hak (Kebenaran) dalam QS : 47:2-3❤️🌺🌹
Makna batin dan hakikat dari ayat:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَآمَنُوا بِمَا نُزِّلَ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ وَهُوَ الْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۙ كَفَّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَأَصْلَحَ بَالَهُمْ
(Surah Muhammad: 2)
1. Iman sebagai Cermin Jiwa
Makna: Iman yang sejati adalah cermin bening hati yang menampakkan wajah kebenaran.
Penjelasan: Mereka yang beriman bukan hanya mengaku, tetapi membiarkan cahaya kebenaran menembus hatinya hingga tak ada lagi tirai kegelapan.
2. Amal Saleh sebagai Buah Iman
Makna: Amal saleh adalah buah dari pohon iman yang tumbuh subur dalam tanah keikhlasan.
Penjelasan: Iman sejati akan menuntun pada amal yang suci, karena amal tanpa iman adalah kering dan tak bernyawa.
3. Keim…
[09.01, 13/5/2025] Muhammad Taufiq Ali Yahya: 🌺🌹❤️Makna Kematian itu Benar
❤️🌹🌺
Makna dari kalimat
 وَأَشْهَدُ أَنَّ المَوْتَ حَقٌّ (“Dan aku 
bersaksi bahwa kematian itu benar/adalah suatu kebenaran”) menurut berbagai tingkat pemahaman, dari syariat hingga hakikat:
1. Makna Syariat (Lahiriah):
Kematian adalah kenyataan tak terelakkan yang akan dialami setiap makhluk hidup.
2. Makna Akidah:
Meyakini bahwa kematian adalah bagian dari ketetapan Allah yang pasti, sebagaimana firman-Nya: “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati” (QS Ali ‘Imran: 185).
3. Makna Ilmiah:
Kematian adalah perpindahan dari satu bentuk eksistensi ke bentuk yang lain; bukan akhir dari kehidupan, melainkan awal dari kehidupan abadi.
4. Makna Ruhani (Tasawuf):
Kematian adalah proses pemisahan ruh dari keterikatan duniawi dan kembalinya kepada sumber aslinya, yaitu Allah.
5. Makna Tarbiyah (Pendidikan Jiwa):
Keyakinan akan kematian menjadi cermin bagi manusia untuk memperbaiki amal, karena hidup ini hanyalah persinggahan sementara.
6. Makna Wujudi (Eksistensial):
Kematian bukanlah ketiadaan, tapi perpindahan wujud dari alam syahadah (lahir) ke alam ghaib (batin), yakni alam barzakh dan akhirat.
7. Makna Makrifat:
Menyaksikan kematian sebagai jalan fana (lebur) dari ego dan nafsu untuk mencapai baqa’ (kekekalan) bersama Allah.
8. Makna Hikmah:
Orang yang yakin bahwa kematian adalah hak, tidak akan tertipu oleh gemerlap dunia dan akan menjadikan akhirat sebagai tujuan utama.
9. Makna Imamah & Wilayah:
Kematian bagi pencinta Ahlul Bait adalah gerbang pertemuan dengan para wali Allah dan rahmat Ilahi yang lebih besar.
10. Makna Sirr (Rahasia Ilahi):
Dalam kematian terdapat rahasia penyatuan antara hamba dan Tuhannya; tempat hancurnya hijab-hijab yang menghalangi pandangan batin terhadap hakikat.

Makna “وَأَشْهَدُ أَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ” 
(Dan aku bersaksi bahwa kematian adalah kebenaran) menurut Al-Qur’an, berdasarkan ayat-ayat yang menjelaskan hakikat, fungsi, dan kedudukan kematian:
1. Kematian adalah ketetapan Allah
QS Ali ’Imran (3): 185
‎“كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ”
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.”
→ Menunjukkan bahwa kematian adalah hukum universal dari Allah yang tak terelakkan.
2. Kematian adalah jalan menuju pembalasan
QS Al-Jumu’ah (62): 8
‎“إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ…”
“Sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya, itu pasti akan menemui kalian…”
→ Kematian bukan pelarian, tapi awal perjumpaan dengan Allah dan hisab.
3. Kematian memiliki waktu yang telah ditentukan
QS Al-A’raf (7): 34
“فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ”
“Apabila ajal mereka telah datang, tidak bisa mereka tunda atau percepat walau sesaat.”
→ Kematian adalah hak yang terjadi tepat pada waktunya.
4. Kematian adalah awal kehidupan akhirat
QS Yasin (36): 52
‎“قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنۢ بَعَثَنَا مِن مَّرْقَدِنَا ۜ…”
“Mereka berkata: ‘Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami ini?’”
→ Setelah kematian, ada kebangkitan. Kematian bukan akhir.
5. Kematian bukan kehancuran, tapi perpindahan alam
QS Al-Mu’minun (23): 100
‎“وَمِن وَرَائِهِم بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ”
“Dan di hadapan mereka ada alam barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.”
→ Kematian memindahkan manusia ke alam barzakh, bukan ketiadaan.
6. Kematian bisa menjadi azab atau rahmat
QS An-Nisa’ (4): 97
“إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنفُسِهِمْ…”
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan oleh malaikat dalam keadaan menzalimi diri…”
→ Isi kematian tergantung keadaan jiwa saat wafat.
7. Kematian sebagai ujian keimanan dan amal
QS Al-Mulk (67): 2
“الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا”
“Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang terbaik amalnya.”
→ Kematian adalah bagian dari ujian hidup.
8. Kematian dikendalikan penuh oleh Allah
QS Az-Zumar (39): 42
‎“اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا…”
“Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya…”
→ Bukan makhluk, tapi Allah yang memegang kendali ruh.
9. Kematian adalah pemisah antara dunia dan akhirat
QS Al-Mu’minun (23): 99–100
‎“رَبِّ ارْجِعُونِ * لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا…”
“Ya Rabb, kembalikanlah aku, agar aku bisa beramal saleh…”
→ Kematian mengakhiri kesempatan amal. Setelahnya hanya penyesalan atau kebahagiaan.
10. Kematian membuka hijab hakikat kehidupan
QS Qaf (50): 22
‎“فَكَشَفْنَا عَنكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ”
**“Maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.

Makna dari “وَأَشْهَدُ أَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ” (Aku bersaksi bahwa kematian itu benar) menurut hadis-hadis Nabi (saw) dan Ahlul Bait (as), disertai rujukan inti dan maknanya:
1. Kematian adalah pintu menuju akhirat
Rasulullah (saw):
‎«الناسُ نِيامٌ، فإذا ماتوا انتَبَهوا»
“Manusia dalam keadaan tidur, dan saat mereka mati, mereka terjaga.”
(Sumber: Nahj al-Balaghah / Bihar al-Anwar)
→ Kematian membangunkan manusia dari kelalaian dunia menuju hakikat kehidupan.
2. Kematian adalah jembatan menuju rahmat Allah (bagi mukmin)
Imam Ali (as):
«الموتُ لِلمؤمن كالجسرِ يعبرُ به من دارِ البلاءِ إلى دارِ النعيم»
“Kematian bagi orang mukmin adalah seperti jembatan yang mengantarkannya dari rumah penderitaan menuju rumah kenikmatan.”
(Sumber: Nahj al-Balaghah)
→ Bagi yang beriman, kematian adalah karunia.
3. Kematian adalah pertemuan dengan Tuhan
Rasulullah (saw):
‎«تحفَةُ المؤمنِ الموتُ»
“Hadiah bagi orang mukmin adalah kematian.”
(Sumber: Kanz al-Ummal, Bihar al-Anwar)
→ Karena setelah mati, ia bertemu dengan Kekasihnya: Allah.
4. Kematian memperjelas akibat amal
Imam Ali (as):
‎«الموتُ مِرآةٌ تُظهِرُ حقيقةَ العمل»
→ Meskipun tidak eksplisit teks ini, banyak riwayat menegaskan bahwa ruh setelah mati melihat amalnya dalam bentuk nyata.
→ Kematian membuka tabir amal.
5. Kematian datang tiba-tiba, maka bersiaplah
Rasulullah (saw):
‎«اغتنِمْ حياتَك قبلَ موتِك»
“Manfaatkan hidupmu sebelum matimu.”
(Sumber: Hadis mashhur, berbagai kitab hadis)
→ Kematian itu tiba-tiba, maka jangan lengah.
6. Orang mukmin rindu pada kematian
Imam Husain (as) di Karbala:
«إني لا أرى الموتَ إلا سعادةً، 
والحياةَ مع الظالمين إلا برما»
“Aku tidak melihat kematian kecuali kebahagiaan, dan hidup bersama orang zalim kecuali kehinaan.”
→ Kematian adalah pilihan terhormat jika demi kebenaran.
7. Kematian adalah awal pertanggungjawaban
Rasulullah (saw):
«القبرُ إمّا روضةٌ من رياضِ الجنة، 
أو حفرةٌ من حفرِ النيران»
“Kubur itu bisa menjadi taman surga atau lubang neraka.”
(Sumber: Shahih al-Tirmidzi)
→ Nasib setelah mati tergantung amal sebelum mati.
8. Mengingat kematian melembutkan hati
Rasulullah (saw):
‎«أكثِروا ذكرَ هادمِ اللذاتِ: الموت»
“Perbanyaklah mengingat pemutus kenikmatan: kematian.”
(Sumber: Sunan Ibn Majah)
→ Ingat mati membangunkan jiwa dari kelalaian.
9. Kematian adalah ujian terakhir dunia
Imam Ja‘far al-Shadiq (as):
«الموتُ هو المِحْنةُ الكبرى 
التي يُبتلى بها المؤمنُ»
“Kematian adalah ujian besar yang dihadapi oleh orang mukmin.”
(Sumber: Bihar al-Anwar)
→ Kematian menyaring keimanan dan kesabaran.
10. Kematian membuka rahasia ruhani
Imam Ali (as):
‎«لو كُشِفَ الغطاءُ ما ازددتُ يقيناً»
“Seandainya hijab disingkap, tidak akan bertambah keyakinanku.”
→ Kematian bagi arifin hanyalah transisi menuju penyaksian batin.

Makna dari “وَأَشْهَدُ أَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ” (Aku bersaksi bahwa kematian itu benar) menurut hadis-hadis Ahlul Bayt (as), berdasarkan riwayat yang diriwayatkan dalam kitab-kitab seperti Bihar al-Anwar, Tuhaf al-‘Uqul, Nahj al-Balaghah, dan lainnya:
1. Kematian adalah pintu menuju kebahagiaan bagi mukmin
Imam Ali (as):
«واللهِ لابنُ أبي طالبٍ 
آنسُ بالموتِ من الطفلِ بثدي أمه»
“Demi Allah, putra Abu Thalib (yaitu aku) lebih akrab dengan kematian daripada bayi dengan puting susu ibunya.”
→ Kematian adalah sahabat, bukan musuh, bagi yang mengenal Allah.
2. Kematian bagi mukmin adalah perpindahan ke kehidupan yang lebih baik
Imam Ali (as):
‎«الموتُ ليس بعده دارٌ إلا الجنةُ أو النار»
“Tidak ada tempat setelah mati kecuali surga atau neraka.”
→ Maka bersaksilah bahwa kematian itu gerbang keabadian.
3. Kematian adalah istirahat bagi pecinta kebenaran
Imam Zain al-‘Abidin (as):
«اللهم بارك لي في الموت، 
وبارك لي فيما بعد الموت»
“Ya Allah, berkahilah kematianku dan kehidupan setelah kematianku.”
→ Kematian menjadi sesuatu yang diminta berkahnya, bukan ditakuti.
4. Kematian adalah ujian terakhir dunia
Imam Ja‘far al-Shadiq (as):
«الموتُ هو الطامةُ الكبرى، 
والمحنةُ العظمى»
“Kematian adalah bencana besar dan ujian agung.”
→ Maka yang lulus darinya adalah yang telah menyiapkan jiwa.
5. Kematian adalah fajar dari matahari hakikat
Imam Musa al-Kazhim (as):
«ليس الموتُ للمؤمنِ فناءً، 
بل هو ولادةٌ ثانيةٌ للحقيقة»
“Kematian bagi mukmin bukanlah lenyap, melainkan kelahiran kedua menuju hakikat.”
→ Kesaksian atas kebenaran kematian adalah kesaksian atas kelahiran rohani.
6. Kematian membawa keadilan Ilahiah
Imam Muhammad al-Baqir (as):
«الموتُ هو العدالةُ الكبرى، 
به يُجزى كلُّ إنسانٍ بعمله»
“Kematian adalah keadilan agung; dengannya setiap manusia dibalas sesuai amalnya.”
→ Ia adalah awal hari pembalasan.
7. Kematian adalah penyucian dari dunia
Imam Ali (as):
‎«الدنيا دارُ الفناء، والموتُ مفتاحُ البقاء»
“Dunia adalah rumah kefanaan, dan kematian adalah kunci keabadian.”
→ Maka barang siapa menyaksikan kematian sebagai hak, ia akan terbebas dari ketamakan dunia.
8. Kematian adalah kebebasan bagi arifin
Imam al-Husain (as) berkata di Karbala:
‎«لا أرى الموتَ إلا سعادةً»
“Aku tidak melihat kematian kecuali kebahagiaan.”
→ Bagi mereka yang mengenal kebenaran, mati adalah kemenangan.
9. Kematian membuka mata batin
Imam Ali (as):
«ما خلقتم للبقاء، وإنما خُلقتم للموت، 
فإذا مِتّم صَحَوتُم»
“Kalian tidak diciptakan untuk abadi (di dunia), tapi untuk mati. Dan ketika kalian mati, kalian akan tersadar.”
→ Kematian menyingkap hijab kelalaian.
10. Kematian adalah jalan kembali kepada Kekasih
Imam Sajjad (as) dalam doanya:
«واجعل الموتَ قرةَ عيني، 
وشوقَ روحي إلى لقائك»
“Jadikanlah kematian penyejuk mataku, dan kerinduan jiwaku kepada perjumpaan-Mu.”
→ Kematian bagi pecinta Ilahi adalah saat pertemuan paling dinanti.

Makna dari “وَأَشْهَدُ أَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ” (Aku bersaksi bahwa kematian itu benar) menurut tafsir para mufasir — baik klasik maupun kontemporer — dari kalangan Syiah dan Ahlul Sunnah, berdasarkan analisa terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan kematian:
1. Kematian adalah makhluk dan ciptaan Allah, bukan sekadar ketiadaan
Tafsir al-Mīzān (Allamah Thabathaba’i):
Dalam tafsir QS Al-Mulk (67):2: “Yang menciptakan mati dan hidup…”
→ Allamah menafsirkan bahwa maut adalah ciptaan seperti kehidupan, memiliki sistem, fungsi, dan realitas tersendiri.
2. Kematian adalah peralihan alam, bukan akhir keberadaan
Fakhruddin al-Razi (Tafsir al-Kabir):
Kematian bukan kebinasaan mutlak, tapi perpindahan dari dunia fisik ke dunia barzakh.
→ “Maut” adalah tahap eksistensial ruh, bukan lenyapnya ruh.
3. Kematian membuka hakikat ruh dan amal
Raghib al-Isfahani (Mufradat):
Maut berasal dari akar kata “mawata” (tenang, diam), menunjukkan penghentian interaksi jasad, bukan lenyapnya ruh.
→ Ruh tetap hidup, tapi di alam lain.
4. Kematian adalah kesempurnaan takdir dan qadar
Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (Ibnu ‘Ashur): Kematian adalah penutupan sempurna dari skenario takdir manusia.
→ Maka ia bagian dari sunnatullah yang paling kokoh.
5. Kematian itu pasti, dan tidak bisa dimajukan atau ditunda
Tafsir Nemuneh (Ayatullah Makarim Shirazi):
QS Al-A’raf (7):34 menjelaskan bahwa ajal itu tetap, dan kematian tidak bisa dihindari atau dimanipulasi.
→ Ia seperti matahari yang pasti terbit dan terbenam.
6. Kematian memperlihatkan nilai hakiki manusia
Tafsir al-Mīzān: Allamah menjelaskan bahwa kematian menjadi titik penyingkap siapa manusia sebenarnya, karena dunia adalah tirai dan ujian.
→ Maka ia disebut dalam Qur’an sebagai awal perhitungan.
7. Kematian bisa menjadi nikmat atau azab
Tafsir al-Qummi (Syiah, abad ke-3 H): QS An-Nisa’:97 menjelaskan dua kondisi saat wafat: ruh mukmin diangkat dalam kelembutan, ruh kafir dalam siksa.
→ Maka makna “kematian itu hak” mencakup hukum keadilan.
8. Kematian membuka hijab antara manusia dan akhirat
Tafsir al-Kashani (Tafsir Shafi):
Menjelaskan QS Qaf:22: “Maka Kami singkap darimu penutupmu, lalu penglihatanmu hari ini sangat tajam.”
→ Setelah mati, realitas akhirat menjadi jelas.
9. Kematian sebagai tanda keesaan Allah dalam kekuasaan
Tafsir al-Maturidi: Kematian adalah bukti bahwa tidak ada kekuatan selain Allah yang mengatur ajal setiap makhluk.
→ Dengan itu, “maut” adalah hujjah tauhid.
10. Kematian adalah awal perjalanan ruh ke penyempurnaan akhir
Tafsir Surah Al-Mu’minun:100 oleh Syekh Tabarsi (Majma‘ al-Bayan):
Kematian bukan final, tapi awal proses barzakh menuju ba‘ts dan syafa‘at.
→ Maka kesaksian terhadap kematian adalah juga kesaksian terhadap hari kebangkitan.

Makna dari kalimat
‎ “وَأَشْهَدُ أَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ” 
Aku bersaksi bahwa kematian itu benar) menurut ahli makrifat dan hakikat;
1. Kematian adalah fana’ dalam Allah (فناء في الله)
Menurut para arif, kematian sejati bukan hanya wafat jasmani, tapi lenyapnya ego dan diri dalam Wujud Allah.
→ “Mati sebelum mati” (موتوا قبل أن تموتوا) adalah ajakan untuk melebur ke dalam hakikat-Nya.
(Sumber: Ibn Arabi, Mulla Sadra, Imam Khomeini)
2. Kematian adalah hijrah ruhani dari alam kesaksian ke alam ghaib
Dalam irfan, dunia ini disebut “alam syahadah” dan kematian adalah pindahnya ruh ke ‘alam al-malakut.
→ Kematian adalah awal penyaksian hakikat-hakikat Ilahiah.
3. Kematian adalah pertemuan kekasih dengan Kekasih Sejati
Ahli makrifat menyebut kematian sebagai “liqa’ al-Haqq” (perjumpaan dengan Tuhan).
→ Kematian bukan tragedi, tapi momen cinta terdalam.
(Rumi: “Kematian adalah pernikahan ruhku dengan Kekasihku.”)
4. Kematian adalah pembebasan dari hijab-hijab duniawi
Menurut para arif, dunia menebalkan hijab batin. Kematian mengoyak hijab ini dan membuka mata basirah.
→ Ruh yang tersucikan akan melihat segala sesuatu dengan cahaya Allah.
5. Kematian adalah takdir ruh untuk pulang ke asalnya
Para arif menafsirkan ayat “إنا لله وإنا إليه راجعون” sebagai isyarat akan asal ruh dari lauh al-ilahi, dan kematian adalah raja’ (kembali) ke hadirat itu.
6. Kematian bukan akhir, tapi kelahiran spiritual
Mulla Sadra berkata:
“Kematian adalah perpindahan ke tingkat wujud yang lebih tinggi.”
→ Ruh manusia yang sempurna akan terlahir dalam bentuk yang lebih mulia setelah kematian.
7. Kematian adalah penyingkapan nama-nama dan sifat-sifat Allah
Setelah mati, ruh akan menyaksikan tajalli (manifestasi) nama-nama Allah, sesuai amal dan ma’rifahnya.
→ Bagi arif, kematian bukan penghilangan, tapi penyaksian.
8. Kematian adalah cermin bagi siapa yang telah mengenal dirinya
Imam Ali (as) bersabda:
‎«من عرف نفسه فقد عرف ربه»
Ahli hakikat menafsirkan: orang yang telah mati dari dirinya (nafs) akan mengenal Tuhannya sebelum mati jasad.
9. Kematian adalah saat ‘syuhud’ bagi ruh yang sudah arif
Menurut Sayyid Haidar Amuli dan al-Kashani, arif sejati melihat kematian seperti peralihan malam ke fajar: ia bukan kehampaan, tapi penyaksian (musyahadah).
10. Kematian adalah “perayaan” ruhani bagi wali-wali Allah
Banyak arif wafat dalam keadaan tersenyum atau damai, karena mereka memandang kematian sebagai hari pengantin ruh 
‎ليلة العرس).
→ Seperti Imam Husain (as) di Karbala:
‎«إني لا أرى الموت إلا سعادة»
(Makna irfani: mati demi Allah adalah hidup dalam-Nya.)

Makna dari kalimat
‎ “وَأَشْهَدُ أَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ” 
menurut para ahli hakikat Syiah, berdasarkan ajaran ‘irfan Syiah, hikmah para arif seperti Mulla Sadra, Imam Khomeini, Sayyid Haidar Amuli, Allamah Thabathaba’i, dan para ulama hakikat lainnya:
1. Kematian adalah tajalli al-haqq (penyingkapan hakikat Tuhan)
Menurut ahli hakikat Syiah, kematian bukan sekadar perpindahan tempat, tapi tajalli (manifestasi) dari sifat Allah “al-Mumit” (Yang Mematikan) dan “al-Haqq” (Yang Nyata).
→ Bersaksi bahwa kematian itu haq berarti mengakui kehadiran Allah dalam peristiwa kematian itu sendiri.
2. Kematian adalah sirnanya wujud bayangan dalam wujud mutlak
Mulla Sadra dalam Asfar al-Arba‘ah menyatakan bahwa kematian sejati adalah fana’ al-nafs (lenyapnya jiwa dalam lautan wujud Allah).
→ Maka, kematian adalah jalan menuju wujud hakiki, bukan kehancuran.
3. Kematian adalah kembalinya ruh ke alam asalnya: lawh al-mahfuz atau alam al-nur
Ahli hakikat seperti Sayyid Haidar Amuli menegaskan bahwa manusia berasal dari cahaya Ilahiah.
→ Maka “kematian itu benar” adalah pengakuan bahwa kembalinya ruh ke lautan cahaya adalah kepastian spiritual.
4. Kematian adalah pengupasan lapisan-lapisan nafsu dan materi
Dalam irfan, nafs (jiwa rendah) adalah hijab antara ruh dan Tuhan.
→ Kematian melebur hijab-hijab ini dan membiarkan ruh yang suci “terbang” kepada al-Haqq.
5. Kematian adalah pintu pertemuan kekasih dengan Kekasih
Imam Ali (as) dan Imam Husain (as) menyambut kematian dengan cinta, karena mereka telah “mati sebelum mati” (موتوا قبل أن تموتوا).
→ Maka kematian lahir hanyalah konfirmasi dari kematian batin yang telah mereka jalani.
6. Kematian adalah awal dari baqā’ (keabadian dalam Allah)
Ahli hakikat Syiah menyatakan:
‎«الفناء طريق البقاء» – “Fana adalah jalan menuju baqa’.”
→ Kematian adalah tahapan ruhani yang membawa insan kamil menuju penyempurnaan eksistensinya.
7. Kematian adalah sirr al-tawhid (rahasia tauhid)
Para arif Syiah memandang bahwa yang melihat kematian sebagai kehancuran berarti belum memahami Tauhid secara dalam.
→ Sebab, tiada sesuatu yang keluar dari wujud Allah, termasuk kematian.
8. Kematian adalah maqām al-furqān ila maqām al-jam‘
Menurut irfan Syiah, manusia beralih dari maqām furqān (perbedaan/dualitas) ke maqām jam‘ (kesatuan dengan wujud Ilahi).
→ Kematian adalah perpindahan dari melihat banyak kepada melihat hanya Allah.
9. Kematian adalah janji cinta antara hamba dan Rabb-nya
Imam Khomeini menulis dalam surat-surat spiritualnya bahwa kematian adalah “janji yang indah” antara pecinta dan Kekasihnya.
→ Maka takut mati adalah tanda belum siap mencintai sepenuhnya.
10. Kematian adalah awal dari mi‘raj hakiki ruhani
Jika Isra’ dan Mi‘raj Nabi adalah perjalanan fisik dan spiritual, maka kematian adalah mi‘raj ruh setiap insan, sejauh mana ia telah mengenal Tuhannya.
→ Dalam irfan Syiah:
‎«الموت بداية العروج إلى نور الأنوار» – “Kematian adalah awal pendakian menuju Cahaya dari segala cahaya.”

Baca juga:
Dukung Kementan, Polri Siapkan Pilot Project Peningkatan Produksi Jagung Nasional

Kisah dan cerita yang menggambarkan makna
‎ “وَأَشْهَدُ أَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ” 
menurut ahli hakikat, yaitu bahwa kematian itu benar dan mengandung rahasia yang dalam, bukan hanya sekadar berakhirnya kehidupan jasad:
1. Kisah Imam Ali (as) dan senyumnya saat ditikam
Saat ditikam di mihrab, Imam Ali (as) berkata:
‎«فُزْتُ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ» – “Demi Tuhan Ka‘bah, aku telah menang!”
Maknanya: Imam Ali melihat kematian sebagai kemenangan, bukan kehancuran. Ia telah “mati sebelum mati”, dan ini hanya peralihan menuju pertemuan dengan Sang Kekasih.
2. Kisah Sayyidah Fatimah (as) menanti wafatnya
Dalam riwayat, setelah wafatnya Rasulullah (saw), Sayyidah Zahra (as) sering menangis dan berkata:
“Wahai kematian, cepatlah menjemputku. Aku rindu kepada ayahku.”Maknanya: Bagi orang suci, kematian adalah rindu yang terwujud, bukan azab.
3. Kisah Harits al-Hamdani dan “kematian yang indah”
Ketika Harits sakit dan merasa takut mati, Imam Ali (as) berkata padanya:
“Wahai Harits, demi Allah, engkau tidak akan mati, kecuali engkau melihat apa yang dijanjikan untukmu: rahmat Allah, surga-Nya, dan wajah para malaikat.”
→ Harits tersenyum dan wafat dalam ketenangan.
Maknanya: Kematian bagi mukmin adalah pembukaan hijab cahaya.
4. Kisah Salman al-Farisi menjelang wafat.Ketika ajalnya tiba, Salman al-Farisi (ra) meminta disiapkan wangi-wangian dan berkata:”Aku akan bertemu Kekasih yang telah lama kutunggu.”
Maknanya: Para arif memandang kematian sebagai janji cinta yang dipenuhi.
5. Kisah Imam Husain (as) dan pandangan irfani terhadap maut
Di Karbala, beliau berkata:
‎«إنّي لا أرى الموت إلا سعادة» – 
“Aku tidak melihat kematian kecuali sebagai kebahagiaan.”
Maknanya: Kematian adalah jalan syuhada untuk sampai kepada Allah, bukan duka cita dunia.
6. Kisah sufi Syiah yang menangis karena belum “mati sebelum mati”
Seorang arif besar dari Najaf berkata di akhir hidupnya:
“Aku tidak takut mati jasad, tapi aku menangis karena aku belum sepenuhnya mati dari keakuanku.”
Maknanya: Kematian sejati menurut ahli hakikat adalah fana’ dalam Allah, bukan hanya wafat jasad.
7. Kisah Imam Sajjad (as) saat memandikan jenazah syuhada Karbala
Imam Zainal Abidin (as) memandikan tubuh suci para syuhada sambil menangis dan berkata:”Wahai ayahku, engkau telah menang. Engkau telah menuju Allah dalam keadaan rida dan diridhai.”
Maknanya: Kematian syuhada adalah mi‘raj ruhani.
8. Kisah arif Syiah yang melihat dunia sebagai penjara ruh
Dalam mimpi, seorang murid melihat gurunya setelah wafat, dan sang guru berkata:”Aku bebas. Dunia adalah tirai. Kini aku melihat yang hakiki.”
Maknanya: Kematian adalah kebebasan dari penjara jasad.
9. Kisah Rasulullah (saw) saat Isra’ dan Mi‘raj
Saat beliau kembali dari Mi‘raj dan berkata kepada Jibril:
“Ya Jibril, tidak ada lagi kehidupan setelah ini.”
→ Para arif menafsirkan ini sebagai isyarat bahwa puncak hidup sejati adalah pertemuan dengan Allah, bukan kelangsungan dunia.
Maknanya: Kematian adalah syarat untuk kehidupan abadi yang sejati.
10. Kisah Mulla Sadra yang wafat dalam sujud
Mulla Sadra — filsuf dan arif besar Syiah — wafat saat sujud dalam perjalanan ke Mekkah.
Maknanya: Ia mencapai kematian dalam ibadah yang sempurna — mati dalam fana dan rida.

Manfaat dari keyakinan
‎ “وَأَشْهَدُ أَنَّ الْمَوْتَ حَقٌّ” (Aku bersaksi bahwa kematian itu benar) menurut ahli hakikat, disertai doa singkat yang sejalan dengan tiap manfaat tersebut:
1. Menguatkan ma‘rifah tentang akhirat
Manfaat: Menyadarkan hati bahwa dunia adalah tempat sementara, dan akhirat adalah tujuan.
اللهم اجعل قلبي متعلقًا بالآخرة، 
وزهِّدني في الدنيا الزائلة.
“Ya Allah, jadikan hatiku terikat dengan akhirat dan jauhkan cintaku dari dunia yang fana.”
2. Melatih diri untuk zuhud dan wara‘
Manfaat: Menahan diri dari keinginan duniawi yang berlebihan.
اللهم ارزقني زهدَ العارفين، 
وخوفَ الصادقين من يوم اللقاء.
“Ya Allah, karuniakan aku kezuhudan para arif dan rasa takut yang tulus akan Hari Perjumpaan.”
3. Menghidupkan kesadaran akan hisab dan pembalasan
Manfaat: Membuat hati berhati-hati dalam setiap amal.
اللهم اجعلني ممن يحاسب نفسه 
قبل أن يُحاسب.
“Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang menghisab dirinya sebelum dihisab.”
4. Mendekatkan diri kepada Allah dengan taubat
Manfaat: Memicu penyesalan yang mendalam dan kembali kepada Allah.
اللهم تب عليّ توبةً نصوحًا قبل الممات، واغفر لي ما مضى من الزلات.
“Ya Allah, terimalah taubatku dengan sebenar-benarnya sebelum kematian, dan ampunilah dosa-dosaku yang lalu.”
5. Menumbuhkan kerinduan kepada pertemuan dengan Allah (liqa’ Allah)
Manfaat: Merasa bahwa kematian adalah jalan menuju Kekasih.
اللهم اجعل الموتَ أحبَّ لحظاتي، 
لأنه ساعةُ لقائك.
“Ya Allah, jadikan kematian sebagai saat yang paling kucintai, karena itulah saat aku bertemu dengan-Mu.”
6. Menghadirkan ketenangan dalam menghadapi ajal
Manfaat: Menghilangkan ketakutan terhadap kematian.
اللهم لا تخرج نفسي إلا وأنت عني راضٍ، واجعل خاتمتي خيرًا.
“Ya Allah, jangan cabut nyawaku kecuali Engkau ridha kepadaku, dan jadikan akhir hidupku sebagai kebaikan.”
7. Memperbanyak amal sebelum terlambat
Manfaat: Mendorong diri untuk segera beramal saleh.
اللهم أعني على ذكرك وشكرك 
وحسن عبادتك قبل الموت.
“Ya Allah, bantu aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur, dan beribadah sebaik-baiknya sebelum aku mati.”
8. Menyadarkan diri akan hakikat fana dan wujud Allah yang Baqa’
Manfaat: Menyadari bahwa hanya Allah yang kekal.
اللهم فَنِّني في ذاتك، وَأَبْقِني بكَ، 
وَعَرِّفْني أن لا وجودَ إلا لك.
“Ya Allah, lenyapkan aku dalam Dzat-Mu, hidupkan aku dengan-Mu, dan ajarkan bahwa tiada wujud selain Engkau.”
9. Menjadikan hidup lebih bermakna dan terarah
Manfaat: Menjalani hidup dengan visi ukhrawi.
اللهم اجعل حياتي شهادةً لك، 
ومماتي سبيلاً إليك.
“Ya Allah, jadikan hidupku sebagai kesaksian atas-Mu, dan kematianku sebagai jalan menuju-Mu.”
10. Menghadirkan rasa takut yang menyehatkan (khauf) dan harapan (raja’)
Manfaat: Menyeimbangkan cinta, harapan, dan takut kepada Allah.
اللهم اجعل خوفي منك حاجزًا 
عن المعصية، ورجائي بك باعثًا للطاعة.
“Ya Allah, jadikan rasa takutku kepada-Mu sebagai penghalang dari maksiat, dan harapanku kepada-Mu sebagai pendorong taat.”

Doa ‘Adilah (Doa Penolong Menyongsong Sakaratul  Maut)
Fakhr Al-Muhaqiqqin 
berkata: “Barangsiapa ingin selamat dari godaan setan di saat menyongsong kematian, hendaklah ia mendatangkan dalil-dalil keimanan serta dasar-dasar ajaran Islam dengan argumen-argumen yang tangguh dan jiwa yang bening dan bersih”. 
Menurut perkataan manusia mulia tersebut membaca doa adilah dan menghadirkan artinya di dalam benak sangat bermanfaat untuk mendapatkan keselamatan dari kekufuran di saat menyongsong kematian. Dia mengatakan bahwa telah diriwayatkan dalam doa-doa yang masyhur yaitu doa:
Allâh innî a’ûdzubika minal ‘adîlati ‘indal maut
Ya Allah aku memohon perlindungan darimu dari ‘adilah’ (keadilan-Mu/balasan dari semua kesalahanku) ketika datangnya sakaratul maut.
Arti ‘adilah’ ketika sakaratul maut yaitu; ‘Kebingungan dan keraguan dalam menentukan kebenaran dan kebatilan di saat sakaratul maut (tentang Tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah dan ahlul Bayt Nabi saw sebagai pelanjut Rasulallah saw). 
Karena setan akan datang pada saat orang sakaratul maut yang akan membisikan keraguan akan kebenaran agama yang diimani hingga dapat menyebabkan hilangnya iman dari dada hamba yang sedang sakaratul maut tsb. 
Oleh karenanya telah diriwayatkan suatu doa penolong sakaratul maut di bawah ini. 
دعاء العديلة
بِسْمِ اللهِ الرَّحمْنِ الرَّحِيْمِ، 
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ،
[شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لا إِلهَ إِلاَّ هُوَ وَالمَلائِكَةُ وأُولُوا العِلْمِ قائِماً بِالقِسْطِ، لا إِلهَ إِلاَّ هُوَ العَزِيزُ الحَكِيمُ، إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الإِسْلامُ، وَأَنا العَبْدُ الضَّعِيفُ، المُذْنِبُ العاصِي، المُحْتاجُ الحَقِيرُ، أَشْهَدُ لِمُنْعِمِي وَخالِقِي، وَرازِقِي وَمُكْرِمِي، كَما شَهِدَ لِذاتِهِ، وَشَهِدَتْ لَهُ المَلائِكَةُ، وَأُولُوا العِلْمِ مِنْ عِبادِهِ، بِأَنَّهُ لا إِلهَ إِلاَّ هُوَ، ذُو النِّعَمِ وَالإِحْسانِ، وَالكَرَمِ وَالاِمْتِنانِ، قادِرٌ أَزَلِيُّ، عالِمٌ أَبَدِيُّ، حَيُّ أَحَدِيُّ، مَوْجُودٌ سَرْمَدِيُّ، سَمِيعٌ بَصِيرٌ ، مُرِيدٌ كارِهٌ، مُدْرِكٌ صَمَدِيُّ، يَسْتَحِقُّ هذِهِ الصِّفاتِ، وَهُوَ عَلَىٰ ما هُوَ عَلَيْهِ فِي عِزِّ صِفاتِهِ، كانَ قَوِيّاً قَبْلَ وُجُودِ القُدْرَةِ وَالقُوَّةِ، وَكانَ عَلِيماً قَبْلَ إِيجادِ العِلْمِ وَالعِلَّةِ، لَمْ يَزَلْ سُلْطاناً إِذْ لا مَمْلَكَةَ وَلا مالَ، وَلَمْ يَزَلْ سُبْحاناً عَلَىٰ جَمِيعِ الأَحْوالِ، وُجُودُهُ قَبْلَ القَبْلِ فِي أَزَلِ الآزالِ، وَبَقاؤُهُ بَعْدَ البَعْدِ مِنْ غَيْرِ انْتِقالِ وَلا زَوالِ، غَنِيُّ فِي الأَوَّلِ وَالآخِرِ، مُسْتَغْنٍ فِي الباطِنِ وَالظَّاهِرِ، لا جَوْرَ فِي قَضِيَّتِهِ، وَلا مَيْلَ فِي مَشِيئَتِهِ، وَلا ظُلْمَ فِي تَقْدِيرِهِ، وَلا مَهْرَبَ مِنْ حُكُوَمَتِهِ، وَلا مَلْجَأَ مِنْ سَطْوَتِهِ، وَلا مَنْجىً مِنْ نَقَماتِهِ، سَبَقَتْ رَحْمَتُهُ غَضَبَهُ، وَلا يَفُوتُهُ أَحَدٌ إِذَا طَلَبَهُ، أَزاحَ العِلَلِ فِي التَّكْلِيفِ، وَسَوَّىٰ التَّوْفِيقَ بَيْنَ الضَّعِيفِ وَالشَّرِيفِ، مَكَّنَ أَداءِ المَأْمُورِ، وَسَهَّلَ سَبِيلَ اجْتِنابِ المَحْظُورِ، لَمْ يُكَلِّفِ الطَّاعَةَ إِلاَّ دُونَ الوِسْعِ وَالطَّاقَةِ، سُبْحانَهُ ما أَبْيَنَ كَرَمَهُ، وَأَعْلَىٰ شَأْنَهُ، سُبْحانَهُ ما أَجَلَّ نَيْلَهُ، وَأَعْظَمَ إِحْسانَهُ، بَعَثَ الأَنْبِياءَ لِيُبَيِّنَ عَدْلَهُ، وَنَصَبَ الأَوْصِياءَ لِيُظْهِرَ طَوْلَهُ وَفَضْلَهُ، وَجَعَلْنا مِنْ أُمَّةِ سَيِّدِ الأَنْبِياءِ، وَخَيْرِ الأَوْلِياءِ، وَأَفْضَلَ الأَصْفِياءِ، وَأَعْلَىٰ الأَزْكِياءِ، مُحَمَّدٍ صَلَّىٰ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسلم، آمَنَّا بِهِ وَبِما دَعانا إِلَيْهِ، وَبِالقُرْآنِ الَّذِي أَنْزَلَهُ عَلَيْهِ، وَبِوَصِيِّهِ الَّذِي نَصَّبَهُ يَوْمَ الغَدِيرِ، وَأَشارَ بِقَوْلِهِ: هذا عَلِيُّ إِلَيْهِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ الأَئِمَّةَ الأَبْرارَ، وَالخُلَفاء الأَخْيارَ بَعْدَ الرَّسُولِ المُخْتارِ، عَلِيُّ قامِعُ الكُفَّارِ، وَمِنْ بَعْدِهِ سَيِّدُ أَوْلادِهِ الحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، ثُمَّ أَخُوهُ السِّبْطُ التَّابِعُ لِمَرْضاتِ اللهِ الحُسَيْنُ، ثُمَّ العابِدُ عَلِيُّ، ثُمَّ الباقِرُ مُحَمَّدٌ، ثُمَّ الصَّادِقُ جَعْفَرٌ، ثُمَّ الكاظِمُ مُوسَىٰ، ثُمَّ الرِّضا عَلِيُّ، ثُمَّ التَّقِيُّ مُحَمَّدٌ، ثُمَّ النَّقِيُ عَلِيٌ، ثُمَّ الزَّكِيُّ العَسْكَرِيُّ الحَسَنُ، ثُمَّ الحُجَّةُ الخَلَفُ، القائِمُ المُنْتَظَرُ، المَهْدِيُّ المُرْجَىٰ، الَّذِي بِبَقائِهِ بَقِيَتْ الدُّنْيا، وَبِيُمْنِهِ رُزِقَ الوَرَىٰ، وَبِوُجُودِهِ ثَبَتَتِ الأَرْضُ وَالسَّماءُ، وَبِهِ يَمْلأُ اللهُ الأَرْضَ قِسْطاً وَعَدْلاً بَعْدَ ما مُلِئَتْ ظُلْماً وَجَوْراً، وَأَشْهَدُ أَنَّ أَقْوالَهُمْ حُجَّةٌ، وَامْتِثالَهُمْ فَرِيضَةٌ، وَطاعَتَهُمْ مَفْرُوضَةٌ، وَمَوَدَّتَهُمْ لازِمَةٌ مَقْضِيَّةٌ، وَالاِقْتِداءَ بِهِمْ مُنْجِيَةٌ، وَمُخالَفَتَهُمْ مُرْدِيَةٌ، وَهُمْ ساداتُ أَهْلِ الجَّنَّةِ أَجْمَعِينَ، وَشُفَعاءُ يَوْمِ الدِّينِ، وَأَئِمَّةُ أَهْلِ الأَرْضِ عَلَىٰ اليَقِينِ، وَأَفْضَلُ الأَوْصِياء المَرْضِيِّينَ، وَأَشْهَدُ أَنَّ المَوْتَ حَقُّ، وَمُساءلَةَ القَبْرِ حَقُّ، وَالبَعْثَ حَقُّ، وَالنُّشُورَ حَقُّ، وَالصِّراطَ حَقُّ، وَالمِيزانَ حَقُّ، وَالحِسابَ حَقُّ، وَالكِتابَ حَقُّ، وَالجَنَّةَ حَقُّ، وَالنّارَ حَقُّ، وَأَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لا رَيْبَ فِيها، وَأَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي القُبُورِ. اللَّهُمَّ فَضْلُكَ رَجائِي، وَكَرَمُكَ وَرَحْمَتُكَ أَمَلِي، لا عَمَلَ لِي أَسْتَحِقُّ بِهِ الجَنَّةَ، وَلا طاعَةَ لِي أَسْتَوْجِبُ بِها الرِّضْوانَ، إِلاَّ أَنِّي اعْتَقَدْتُ تَوْحِيدَكَ وَعَدْلَكَ، وَارْتَجَيْتُ إِحْسانَكَ وَفَضْلَكَ، وَتَشَفَّعْتُ إِلَيْكَ بِالنَّبِي وَآلِهِ مِنْ أَحِبَّتِكَ، وَأَنْتَ أَكْرَمُ الأَكْرَمِينَ، وَأَرْحَمِ الرَّاحِمِينَ، وَصَلَّىٰ اللهُ عَلَىٰ نَبِيِّنا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ أَجْمَعِينَ، الطَّيِّبِينَ الطَّاهِرِينَ، وَسَلَّمَ تَسْلِيماً كَثِيراً كَثِيراً، وَلا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ. اللَّهُمَّ يا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، إِنِّي أَوْدَعْتُكَ يَقِينِي هذا وَثَباتَ دِينِي، وَأَنْتَ خَيْرُ مُسْتَوْدَعٍ، وَقَدْ أَمَرْتَنا بِحِفْظِ الوَدائِعِ، فَرُدَّهُ عَلَيَّ وَقْتَ حُضُورِ مَوْتِي، بِرَحْمَتِكَ يا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ].
Bismillâhirrohmânnirrohim, Allâhumma sholli ‘alâ Muhammad wa âli Muhammad, 
Syahidallâhu annahu lâ ilâha illallâhu wal malâ ikatu wa ‘ulul ‘ilmi qôiman bilqisthi 
lâ ilâha illâhuwal’azizul hakîm, 
innaddîna ‘indallâhil islam, 
wa anal ‘abdudh-dho’îful mudznibul ‘âshiyyul muhtâjul haqîr, asyhadu limun ’imî wa khôliqî wa rôziqî wa mukrimî, 
kamâ syahida lidzâtihi wa syahidat lahul malâikatu wa ulul ‘ilmi min ‘ibâdihi bi annahu lâ ilâha illâhu dzun ni’ami wal ihsân, wal karômu wal imtinân, qôdirun azalliyyu, ‘âlimun abadiyyun, hayyun ahadiyyu, maujûdun sarmadiyyun, 
sami’un, bashîrun, murîdun, kârihun, mudrikun, shomadiyyu, 
yastahiqqu hâdzihish-shifâti, wahuwa ‘alâ mâ huwa ‘alayhi fî ‘izzi shifâtihi kâna qowiyyan qobla wujûdil qudroti wal quwwati, 
wakâna ‘alîman qobla îjâdil ‘ilmi wal-‘illati, lam yazal sulthônan idz lâ mamlakata walâmâla, 
walam yazal subhâna ‘alâjamî’il ahwâli, wujûduhu qoblal qobli fî azalil âzâl, wabaqô-uhu ba’dal ba’di min ghoyri intiqôlin, walâzawâlin, ghoniyyun fil awwali wal âkhiri mustaghnin fil bâthini wazh-zhôhiri lâ jauro fî qodhiyyatihi, walâmayla fii masyî-atihi, walâ zhulma fîtaqdîrihi, walâ mahroba min hukûmatihi, walâ malja-a min sath-wâtihi, walâ manjâ min naqimâtihi, sabaqot rohmatuhu ghodhobahu, walâ yafûtuhu ahadun idzâtholabahu, azâhal ‘ilala fit-taklîfi wasawwat-taufiiqo baynadh-dho’îfi wasy-syarîfi makkana adâ-al ma’mûri 
wasahhala sabîlaj tinâbil mahzhûri 
lam yukallifith-thô‘ata illâdûnal wus’i wath-thôqoti subhânahu mâ abyana karomahu wa a’lâsya’nahu, subhânahu mâ ajalla naylahu wa a’zhoma ihsânahu, 
ba’atsal ambiyâ-a liyubayyina ‘adlahu, wanashobal aushiyâ-a liyuzh-hiro thoulahu wa fadh lahu, 
waja’alanâ min ummati sayyidil ambiyâ-i, wakhoyril auliyâ-i, wa afdholil ash fiyâ-i, wa a’lal azkiyâ-i, Muhammadin sholallâhu ‘alayhi wa âlihi wasallama  âmannâ bihî wabimâda’ânâ ilayhi wabil qur’ânil-ladzîanzalahu ‘alayhi biwashiyyatil-ladzînashobahu yaumal ghodîr, wa asyâro biqoulihi hâdza ‘aliyyun ilayhi, wa asy-hadu annal a-immatal abrôro, wal hulafâ-al akh-yâro ba’dar-rosûlil mukhtâr 
Aliyyun qômi’ul kuffâri waman ba’dihi sayyidu aulâdihil Hasanubnu Aliyyin, tsumma akhûhus-sibthut-tâbi’u limardhôtillâhil Husain, tsummal-‘âbidu Aliyyun, tsummal-Bâqiru Muhammad, tsummas-Shâdiqu Ja’faru, tsummal-Kâdzimu Musa, 
tsummar-Ridha Aliyyun, tsummat -Taqiyyu Muhammad, tsumman-Naqiyyu Aliyyun, tsummazZakiyyul ‘Askariyal Hasan, tsummal-Hujjatul kholafal qô-imul muntazhorul Mahdiyyul murjal-ladzîbibaqô-ihi baqiyatid-dunyâ, 
wabiyumnihi ruziqol warô, 
wabiwujûdihi tsabatatil ardhu was-samâ-u wabihi yamla-ullâhul ardho qisthon wa’adlan 
ba’da mâ muli-at zhulman wajauron wa asyhadu anna aqwâlahum hujjatun, wam-titsâlahum farîdhotun, wathô’atahum mafrûdhotun, wamawad-datahum lâzimatun maqdhiyyatun, wal iqtidâ-a bihim munjiyatun, wamukhôlafatahum murdiyatun wahum sâdâtu ahlil jannati ajma’în, wasyufa’â-u yaumid-dîn, wa a-immatu ahlil ardhi ‘alal yaqîni, wa afdholul aushiyâ-il murdhiyyîn 
wa asyhadu annal mauta haqqun, wamas-alatal qobri haqqun, 
wal ba’tsa haqqun, wan-nusyûro haqqun, wash-shirôtho haqqun, 
wal mîzâna haqqun, 
wal hisâba haqqun, 
wal-kitâba haqqun, 
wal-jannata haqqun, 
wannâro haqqun, 
wa annas-sâ’ata âtiyatun lâ royba fîhâ wa annallâha yab’atsu man fil qubûr Allâhuma fadhluka rojâ’î, 
wakaromuka warohmatuka amalî 
lâ ‘amala lîastahiqqu bihil jannata, walâ thô’ata lî astaujibu bihar ridhwân, illâ anni’-taqodtu tauhîdika wa’adlaka wartajaytu ihsânaka wafadhlaka,  watasyaffa’tu ilaika binabiyyi wa âlihi min ahibbatika wa anta akromul akromîn, wa arhamur-roohimîn,  washollallâhu ‘alâ nabiyyinâMuhammadin 
wa âlihi ajmaînath-thoyyibînath-thôhirîn wasallama taslîman katsîron katsîrô, walâ haula walâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil ‘azhîm Allâhumma yâ arhamar-rôhimîn, annî auda’tuka yaqînîhâdzâ, watsabâta dînî, 
wa anta khoiru mustaudi’in, 
waqod amartanâbihifzhil wadâ-i’i, 
faruddahu ‘alayya waqta hudhûri mautî, birohmatika yâarhamar-rôhimîn,

Dengan asma Allah 
Yang Mahakasih dan Mahasayang, 
Ya Allah sampaikan sholawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, 
Allah telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Dia, malaikat dan para pemilik ilmu telah melaksanakan keadilan, tiada tuhan kecuali Dia, Yang Maha Mulia dan Maha Bijaksana, hanya Islam sebagai agama di sisi Allah Dan aku hamba yang lemah, pendosa, pembuat maksiat, yang butuh, dan yang hina. 
Aku bersaksi pada Pemberinikmatku, Penciptaku, Pemberi rizkiku, dan Yang memuliakanku, sebagaimana Dia bersaksi bagi dirinya sendiri, dan malaikat, para pemilik ilmu dari hambanya yang telah bersaksi bahwa tiada tuhan kecuali Dia, 

Pemilik nikmat-nikmat dan kebaikan-kebaikan, kedermawanan dan karunia, Yang Kuasa azali, Yang Pengetahu Abadi, Yang Hidup Satu, Yang Ada selama-lamanya, 
Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Berkehendak, Maha Pencegah, Maha Penggapai, Maha Tempat bersandar Yang berhak memiliki sifat-sifat ini, dan Ia seperti apa adanya dengan kemuliaan sifat-sifat-Nya, Dia kuat sebelum adanya  kekuasaan dan kekuatan, Dia Mengetahui sebelum diciptakan nya ilmu dan sebab, senantiasa Penguasa walau tidak ada kekuasaan dan harta, senantiasa Suci pada seluruh keadaan
Adanya, sebelumnya sebelum pada akhirnya akhir, ketetapannya setelahnya setelah tanpa berpindah dan sirna Maha Kaya di awal dan di akhir, tidak butuh dalam batin dan dhahir tidak ada kezaliman pada putusan-Nya, tiada ada kecondongan pada kehendak-Nya, 
tiada kezaliman pada takdir-Nya, 
tiada tempat lari dari hukuman-Nya, tiada tempat berlindung dari kekuasaan-Nya, tiada selamat dari siksa-Nya, Rahmat-Nya mendahului marah-Nya tiada melewatkan seorang pun yang memintanya, 
mengangkat sebab-sebab pada kewajiban, dan menyamakan taufik bagi si lemah dan si mulia, 
memungkinkan pelaksanaan perintah-Nya, memudahkan jalan untuk menjauhkan larangan-Nya, 
tidak mewajibkan kecuali memberi keluasan dan kekuatan, 
Maha Suci Dia, betapa jelasnya kemurahan-Nya, Betapa tingginya urusan-Nya, Maha Suci Dia,
alangkah mulianya yang dihasilkan-Nya, alangkah agungnya kebaikan-Nya, Dia mengutus para nabi untuk menerangkan keadilan-Nya, 
menobatkan para wasi untuk menampakkan kekuasaan-Nya dan kemurahannya dan Dia menjadikan kita sebagai umat bagi pemimpin para nabi, paling baiknya para wali, paling mulianya para sufi, paling tingginya para orang suci,  Muhammad saw kami beriman padanya dan apa yang diserunya kepada kami, dan Al-quran yang diturunkan padanya, pada wasinya yang dinobatkan pada hari Ghadir, dan mengisyaratkan dengan sabdanya Inilah Ali. 
Aku bersaksi bahwa, para imam yang suci, para pengganti yang terpilih setelah rasul yang terpilih,
Ali penghina para orang kafir, 
dan pemimpin setelahnya yaitu putranya Hasan bin Ali, 
kemudian saudaranya, cucu (Rasulallah saaw) yang mengikuti keridhaan Allah yaitu Husain, 
kemudian Al-Abid (ahli ibadah) Ali, 
selanjutnya Al-Baqir Muhammad, 
begitupula As-Shadiq Ja’far, 
setelahnya Al-Kadzim Musa, 
juga Al-Ridha Ali, 
berikutnya Al-Taqi Muhammad, 
setelahnya Al-Naqi Ali, 
Al-Zaki Al-Askari Hasan, 
dan Al-Hujjah yang akhir dan masih memimpin Al-Muntazar Al-Mahdi yang diharapkan, kekal dunia ini dengan keberadaannya, 
diberi rezeki para makhluk karenanya, langgenglah bumi dan langit dengannya, karenya Allah memenuhi bumi dengan keadilan setelah dipenuhi oleh kezaliman
Aku bersaksi bahwa kata-kata mereka adalah hujjah, melakukan perintah mereka dalam kebajikan adalah kewajiban, ketaatan pada mereka adalah kewajiban, mencintai mereka adalah keharusan dan dituntut, mengikuti mereka adalah keselamatan, berpaling dari mereka adalah kesengsaraan, merekalah pemimpin para penduduk surga seluruhnya, pemberi syafaat pada Hari yang dijanjikan, para pemimpin penduduk bumi  dengan sebenar-benarnya, paling mulianya para wasi (kekasih) yang diridhai. 
Aku bersaksi bahwa mati adalah benar, masalah kubur adalah benar, 
kebangkitan adalah benar, 
pengumpulan adalah benar, 
sirath adalah benar, timbangan adalah benar, hisab adalah benar, 
kitab adalah benar, surga adalah benar, neraka adalah benar, 
dan tidak diragukan lagi Hari pembalasan akan datang, 
dan Allah akan membangitkan para ahli kubur. Ya Allah! Kemuliaanmu adalah harapanku, kemurahan dan rahmat-Nya adalah impianku, 
tiada ada perbuatanku yang aku berhak mendapatkan surga karenanya, tidak ada ketaatan yang aku berhak mendapatkan Ridwan sebabnya, hanya saja aku percaya akan ke-Esaan dan keadilan-Mu, 

Daku mengharapkan kebaikan dan kemuliaan-Mu, dan aku meminta syafaat pada Nabi kami Muhammad saw beserta keluarganya yang kau cintai, Engkau Maha Pemurah di antara para pemurah, Maha Pengasih di antara pengasih. 
Shalawat Allah atas Nabi kami Muhammad saw beserta keluarganya yang suci, dan salam sejahtera sebanyak banyaknya, tidak ada kemampuan dan kekuatan kecuali milik Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Mulia. Wahai Yang Paling Pengasih di antara para pengasih, Daku menitipkan keyakinanku padamu ini, dan ketetapan agamaku, dan Engkau sebaik-baiknya tempat penitipan, dan Engkau telah memerintahkanku untuk menjaga pesan-pesan, 
maka kembalikanlah padaku pada waktu datangnya kematianku, dengan rahmat-Mu Duhai Yang Paling Pemurah di antara para pemurah”. (Dikutip dari Kitab Mafatihul Jinan 137-139)


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment