Makna Niat Yang Benar; وَصِدْقَ النِّيَّةِ (dan kejujuran niat), Doa Imam Zaman afs

Supa Athana - Entertainment
11 May 2025 09:33
Meski lafaz “niyyah” (niat) tidak disebut secara eksplisit dalam Al-Qur’an, maknanya banyak tercermin dalam konsep “ikhlas”, “ridha Allah”, dan “mencari wajah Allah” (ابتغاء وجه الله).

Oleh: Muhammad Taufiq Ali Yahya

Makna dari kalimat “وَصِدْقَ النِّيَّةِ” (dan kejujuran niat), berdasarkan pandangan ahli hakikat dan makrifat,
Makna Zahir (Lahiriah)
1. Ketulusan dalam beramal ;
Beramal karena Allah semata, tanpa mengharapkan pujian, dunia, atau balasan selain ridha-Nya.
2. Konsistensi antara ucapan dan niat ;Tidak bermuka dua; apa yang diucapkan selaras dengan apa yang diniatkan dalam hati.
3. Menghindari riya’; Tidak menjadikan amal sebagai alat pencitraan atau untuk mencari perhatian manusia.
4. Memurnikan tujuan ibadah; Salat, puasa, zakat, dan lainnya dilakukan sebagai wujud penghambaan, bukan rutinitas sosial.
5. Niat sebagai syarat sah amal Tanpa niat yang jujur dan benar, amal menjadi tidak bernilai di sisi Allah.
Makna Batin (Hakikat dan Makrifat) ;
6. Menyerahkan seluruh niat kepada Allah; Ahli makrifat tidak mengandalkan dirinya dalam berniat, tetapi meyakini bahwa niat suci datang dari Allah.
7. Menghapus ego dalam niat
Niat yang benar adalah ketika tidak ada ‘aku’ dalam niat tersebut; hanya Allah sebagai tujuan.
8. Niat sebagai cermin cahaya hati
Niat yang jujur adalah pancaran dari hati yang bersih dan dipenuhi nur ma’rifat.
9. Niat sebagai awal dari tajalli Ilahi; Dalam pandangan arif, niat yang benar membuka pintu tajalli (penampakan) sifat-sifat Ilahi dalam diri.
10. Niat sebagai janji ruh kepada Allah; Orang arif melihat niat sebagai kelanjutan dari perjanjian primordial (alast) yang diikrarkan ruh kepada Tuhan: “Alastu birabbikum?” – Qālū balā.

Menurut Al-Qur’an, makna “وَصِدْقَ النِّيَّةِ” (kejujuran niat) bisa ditelusuri melalui ayat-ayat yang menekankan pentingnya niat yang tulus dan tujuan yang murni dalam amal. Meski lafaz “niyyah” (niat) tidak disebut secara eksplisit dalam Al-Qur’an, maknanya banyak tercermin dalam konsep “ikhlas”, “ridha Allah”, dan “mencari wajah Allah” (ابتغاء وجه الله).
1. Amal Harus Ikhlas untuk Allah
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.”(QS Al-Bayyinah: 5)
→ Kejujuran niat berarti amal dilakukan semata-mata karena Allah.
2. Allah Menilai dari Hati dan Niat
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.”(QS Al-Ma’idah: 27)
→ Amal tidak diterima jika tidak ada niat tulus dari hati yang bertakwa.
3. Jangan Beramal untuk Dunia
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, Kami akan beri balasan itu di dunia.”
(QS Hud: 15)
→ Niat duniawi merusak nilai amal.
4. Cari Wajah Allah
وَمَا تُنفِقُونَ إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللَّهِ
“Kalian tidak memberi kecuali demi mencari wajah Allah.”
(QS Al-Baqarah: 272)
→ Kejujuran niat adalah ketika amal ditujukan untuk “wajah Allah” semata.
5. Allah Mengetahui Isi Niat
إِن تَكْتُمُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ
“Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam dada kalian atau kalian tampakkan, Allah mengetahuinya.”
(QS Ali ’Imran: 29)
→ Allah mengetahui kejujuran niat, walau tersembunyi.
6. Jangan Merusak Amal dengan Riyaa
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jangan batalkan sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti, seperti orang yang bersedekah karena riya kepada manusia.”(QS Al-Baqarah: 264)
→ Niat yang tidak jujur (riya’) membatalkan amal.
7. Allah Tidak Butuh Amal Tanpa Niat yang Benar
قُلْ أَأُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا… الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Maukah Aku beritahu kalian siapa yang paling merugi amalnya…? Mereka yang sia-sia amalnya karena salah arah meski merasa berbuat baik.”(QS Al-Kahf: 103–104)
→ Niat yang tidak jujur menyebabkan amal tersesat walau tampak baik.
8. Amal Akan Diadili Berdasarkan Niat
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا
“Kami hadapkan semua amal mereka, lalu Kami jadikan seperti debu yang berterbangan.”
(QS Al-Furqan: 23)
→ Amal tanpa niat tulus tidak bernilai di sisi Allah.
9. Pahala Sesuai Niat
مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ
“Siapa yang menginginkan hasil akhirat, Kami tambah hasilnya.”
(QS Ash-Shura: 20)
→ Niat akhirat dilipatgandakan pahalanya.
10. Allah Mencintai Orang Jujur
هَٰذَا يَوْمُ يَنفَعُ الصَّادِقِينَ صِدْقُهُمْ
“Inilah hari di mana kejujuran orang-orang yang jujur memberi manfaat bagi mereka.”(QS Al-Ma’idah: 119)
→ Niat yang jujur membawa keselamatan di akhirat.

Makna “وَصِدْقَ النِّيَّةِ” (kejujuran niat) menurut hadis-hadis Nabi Muhammad (saw) dan Ahlul Bait (as), baik dari aspek zahir maupun makrifat:
1. Amal Bergantung pada Niat
قال رسول الله (ص):
«إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى»
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan setiap orang hanya mendapatkan apa yang ia niatkan.”(Bukhari & Muslim; juga diterima di kalangan Syiah)
→ Kejujuran niat adalah penentu sah dan nilai suatu amal.
2. Niat Lebih Baik dari Amal
قال الإمام الصادق (ع):
«نيّة المؤمن خير من عمله»
“Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya.”(Al-Kāfī, 2/84)
→ Allah menilai isi hati lebih daripada penampilan amal.
3. Niat sebagai Timbangan di Akhirat
قال الإمام الباقر (ع):
«يُبعث الناس على نيّاتهم يوم القيامة»
“Manusia akan dibangkitkan sesuai niat-niat mereka pada hari kiamat.”
(Bihār al-Anwār, 70/210)
→ Kejujuran niat akan menentukan nasib seseorang di akhirat.
4. Allah Menulis Pahala karena Niat
قال رسول الله (ص):
«من همّ بحسنة فلم يعملها كتبها الله له حسنة كاملة»
“Siapa yang berniat baik namun tidak melakukannya, Allah mencatatnya sebagai satu kebaikan penuh.”(Muslim)
→ Kejujuran niat menghasilkan pahala meski amal belum dilakukan.
5. Ikhlas adalah Inti Niat
قال الإمام الصادق (ع):
«العمل الخالص الذي لا تريد أن يحمدك عليه أحد إلا الله»
“Amal yang ikhlas adalah amal yang engkau tidak ingin dipuji atasnya kecuali oleh Allah.”(Al-Kāfī, 2/16)
→ Kejujuran niat menghapus semua unsur riya dan pamrih.
6. Niat Jujur Mengangkat Amal Biasa
قال رسول الله (ص):
«ربّ عمل صغير تعظّمه النية، وربّ عمل كبير تصغّره النيّة»
“Betapa banyak amal kecil yang dibesarkan oleh niat, dan amal besar yang dikecilkan oleh niat.”
(Nahj al-Fasahah)
→ Kejujuran niat memberi nilai spiritual yang tinggi pada amal.
7. Niat Adalah Amalan Hati
قال الإمام علي (ع):
«النية أحد العملين»
“Niat adalah salah satu dari dua unsur amal.”(Ghurar al-Hikam)
→ Amal tanpa niat adalah kosong.
8. Allah Menilai dengan Niat
قال رسول الله (ص):
«إن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أعمالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم ونيّاتكم»
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa kalian dan amal kalian, tapi pada hati dan niat kalian.”
(Musnad Ahmad, juga dalam riwayat Syiah)
→ Niat yang jujur memantulkan kebersihan hati.
9. Niat Membedakan Ibadah dan Adat
قال الإمام الصادق (ع):
«ربّ طعامين واحد يأكله العبد لله، والآخر لهواه، فشتّان ما بينهما»
“Dua orang makan makanan yang sama; satu karena Allah, satu karena hawa nafsu—maka amat jauh perbedaan antara keduanya.”
(Al-Kāfī, 2/84)
→ Niat yang benar mengubah hal duniawi menjadi ibadah.
10. Niat yang Benar Menggugurkan Dosa
قال الإمام علي (ع):
«النية الصادقة تدفع البلاء»
“Niat yang jujur menolak bala dan musibah.”(Nahj al-Balāghah,)
→ Kejujuran niat memiliki kekuatan spiritual yang menyelamatkan.

Makna “وَصِدْقَ النِّيَّةِ” (kejujuran niat) menurut hadis-hadis Ahlul Bayt (alaihimussalam), baik secara zahir (syariat) maupun batin (hakikat dan makrifat):
1. Niat yang Jujur Lebih Baik dari Amal
الإمام الصادق (ع):
«نية المؤمن خير من عمله»
“Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya.”
(Al-Kāfī, j.2, h.84)
→ Karena amal bisa tercampur dengan hawa nafsu, tapi niat yang tulus datang dari hati yang suci.
2. Kejujuran Niat Adalah Tanda Kemurnian Tauhid
الإمام الصادق (ع):
«العمل الخالص: الذي لا تريد أن يحمدك عليه أحد إلا الله عزّ وجلّ»
“Amal yang murni adalah yang engkau tidak ingin dipuji atasnya kecuali oleh Allah.”(Al-Kāfī, j.2, h.16)
→ Niat yang jujur adalah amal tauhid—murni hanya untuk Allah, bukan makhluk.
3. Kejujuran Niat Mengangkat Amal Kecil Jadi Besar
الإمام الباقر (ع):
«لا عمل إلا بنيّة»
“Tidak ada amal tanpa niat.”
(Bihār al-Anwār, j.70, h.210)
→ Amal kecil bisa menjadi besar karena niat yang suci.
4. Niat Jujur Membuka Pintu Makrifat
الإمام الصادق (ع):
«إذا علم الله صدق نيّتك أطلعك على غيب ملكوته»
“Jika Allah melihat kejujuran niatmu, Dia akan menampakkan kepadamu rahasia-rahasia kerajaan-Nya.”
(Al-Mahajjah al-Bayḍā’, j.8, h.173)
→ Niat yang benar membuka tirai ghaib.
5. Niat Jujur Menolak Bala dan Musibah
الإمام علي (ع):
«النية الصادقة تدفع البلاء»
“Niat yang jujur menolak bala’.”
(Nahj al-Balāghah, hikmah no. 90)
→ Keikhlasan hati menjadi pelindung spiritual.
6. Niat Jujur adalah Amal Batin
الإمام الصادق (ع):
«النية سرّ المؤمن»
“Niat adalah rahasia batin orang beriman.”Mīzān al-Ḥikmah, 10,739)
→ Ia tersembunyi di dalam, tapi bernilai tinggi di sisi Tuhan.
7. Niat yang Jujur Mengubah Hal Duniawi Menjadi Ibadah
الإمام الصادق (ع): كم من عمل يُتَقبّل بنيّة، وكم من عمل يُردّ بنيّة»
“Berapa banyak amal diterima karena niat, dan berapa banyak amal ditolak karena niat.”
(Al-Kāfī,2,85)
→ Hal biasa bisa jadi ibadah jika diniatkan karena Allah.
8. Niat Membedakan Derajat Hamba
الإمام الصادق (ع):
إِنَّمَا دَرَجَاتُهُم وَفُضُولُهُم عَلَى قَدْرِ نِيَّاتِهِم»
“Sesungguhnya derajat dan keutamaan mereka (para hamba) sesuai dengan kadar niat mereka.”
(Al-Kāfī, j.2, h.84)
→ Tinggi-rendah derajat seseorang diukur dari ketulusan niatnya.
9. Allah Menilai dari Kejujuran Niat
الإمام الصادق (ع):
«إنّما خُلِّدَ أهلُ النّار في النّار بنيّاتهم، وإنّما خُلِّدَ أهلُ الجنّة في الجنّة بنيّاتهم»
“Sesungguhnya orang-orang neraka dikekalkan karena niat mereka, dan begitu pula ahli surga.”
(Al-Kāfī, j.2, h.85)
→ Niat adalah akar dari seluruh amal dan balasan.
10. Amal yang Sama, Hasil Berbeda Karena Niat
الإمام الصادق (ع):رُبَّ عمل صغير تُعظِّمه النيّة، وربّ عمل كبير تُصغِّره النيّة»
“Betapa banyak amal kecil dibesarkan oleh niat, dan amal besar dikecilkan oleh niat.”
(Al-Kāfī, j.2, h.84)
→ Kejujuran niat adalah ukuran nilai hakiki amal.

Makna “وَصِدْقَ النِّيَّةِ” (kejujuran niat) menurut para mufasir, baik dari tafsir lahiriah (zahir) maupun isyari-batiniyah (maknawi dan hakikat),
1. Syarat Diterimanya Amal (Tafsir Zahir)
Al-Ṭabarsī (Tafsīr Majmaʿ al-Bayān): Kejujuran niat adalah syarat pertama diterimanya amal. Tanpa niat yang benar, amal menjadi riya atau sia-sia.: QS. Al-Bayyinah [98]:5 – ”…dan mereka tidak diperintah kecuali agar menyembah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya.”
2. Pemurnian Tauhid dalam Ibadah (Tafsir Zahir)
Al-ʿAllāmah Ṭabāṭabāʾī (Tafsīr al-Mīzān): Kejujuran niat berarti tidak mencampur ibadah dengan kepentingan duniawi, agar amal bersumber dari tauhid murni.
→ Tafsir ayat QS. Al-Zumar [39]:2 – “Sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.”
3. Niat sebagai Amal Qalbi (Tafsir Batin) ; Sayyid Ḥaydar Āmulī (Tafsīr al-Muḥīṭ al-Aʿẓam): Niat adalah amal ruhani, perjalanan batin jiwa menuju Allah. Jika niat tercampur dengan selain Allah, ia gagal dalam suluk (perjalanan spiritual).
→ Makna isyari: niat adalah gerakan awal qalbu dalam “miʿrāj” ruh menuju Maʿrifah.
4. Mizan (Timbangan) Akhirat (Tafsir Batin) ; Mulla Ṣadrā (Tafsīr al-Qurʾān al-Karīm): Setiap amal tidak ditimbang berdasarkan lahirnya, tetapi berat-ringannya diukur dari kadar niat.
→ Tafsir maknawi dari QS. Al-Zalzalah [99]:7–8 – “Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah…”, dzarrah niat lebih besar dari dzarrah amal.
5. Kejujuran Niat Menarik Cahaya Ilahi ; ʿAllāmah Ṭabāṭabāʾī: Ketika niat benar-benar karena Allah, cahaya makrifat akan masuk ke dalam hati.
→ Berdasarkan QS. Al-Nūr [24]:35 – “Allah adalah cahaya langit dan bumi…” yang ditafsirkan secara batin sebagai cahaya yang memasuki qalbu mukhlis.
6. Ikhlas sebagai Maqam Awal Orang Arif ; Sayyid Ḥaydar Āmulī:
“Sidqu al-niyyah” adalah maqam awal suluk ilā Allāh. Siapa yang tidak jujur dalam niat, tidak akan pernah mencapai makrifat. Dihubungkan dengan ayat QS. Al-Baqarah [2]:2 – “Petunjuk bagi orang-orang bertakwa”, yang menurutnya dimulai dari kejujuran niat.
7. Kejujuran Niat sebagai Cermin Sifat Allah; ʿAbd al-Razzāq al-Kāshānī (mufassir isyari): Ketika seseorang jujur dalam niatnya, ia telah menampakkan sifat al-Ṣidq (Maha Benar) dalam dirinya, yakni manifestasi dari asma Allah.
→ Berdasarkan konsep al-insān al-kāmil, niat mencerminkan tajalli asmaʾ Ilahiyyah.
8. Ikhlas Menjaga dari Syirik Tersembunyi (Riya’); Raghib al-Iṣfahānī (Mufradāt): Kata “ṣidq” (jujur) mengandung makna kesesuaian antara batin dan lahir. Maka niat yang jujur menyelamatkan dari kemunafikan. Tafsir dari QS. Al-Baqarah [2]:8-9 – “Di antara manusia ada yang berkata: kami beriman… padahal mereka tidak beriman.”
9. Rahasia antara Hamba dan Tuhan ; Al-Kāshānī: Kejujuran niat adalah sirrun min asrārillāh (rahasia dari rahasia Allah) yang hanya diketahui oleh Dia dan hamba-Nya.
→ Sejalan dengan riwayat: “Niat adalah urusan hati yang hanya Allah mengetahuinya.”
10. Awal Jalan Makrifat dan Akhirnya ; Sayyid Ibn Ṭāwūs (dalam Miṣbāḥ al-Zāʾir): Seluruh suluk dan maqām ruhani berawal dari sidqu al-niyyah, dan siapa yang sempurna niatnya, dia telah sampai ke hadirat Allah. Ia menafsirkan QS. Al-Baqarah [2]:112 – “Barang siapa menyerahkan wajahnya kepada Allah dan dia muhsin…”, sebagai simbol kejujuran niat yang membuahkan ihsan dan wusul (sampai kepada Allah).

Makna “وَصِدْقَ النِّيَّةِ” (kejujuran niat) menurut para ahli makrifat dan hakikat, khususnya dari tradisi ‘irfān Syiah dan para sufi arif, disertai penjelasan zahir & batinnya:
1. Niat Adalah Akar Amal dan Cermin Jiwa ; Menurut al-Sayyid Ḥaydar Āmulī, niat bukan sekadar kehendak, tetapi pantulan hakikat jiwa dalam amal. Jika jiwamu jujur, maka niatmu lurus, dan amalmu bersinar. Niat adalah wajah batin yang menghadap Allah. Bila ia murni, engkau telah berada di hadirat-Nya meski belum bergerak.”
2. Sidqu al-Niyyah adalah Maqām al-Ikhlāṣ; Menurut Ibn Ṭāwūs dan Mulla Ṣadrā, niat yang jujur adalah tanda maqām ikhlāṣ, yaitu ketika hamba tak melihat selain Allah dalam niat dan amalnya.
→ Makna batinnya: bukan sekadar “karena Allah”, tapi “dengan Allah, kepada Allah, dan bersama Allah.”
3. Niat yang Jujur Melenyapkan Ego ; Para arif berkata:”Siapa yang jujur dalam niatnya, ia telah melenyapkan kepentingan nafsunya dari setiap langkah.”
→ Dalam maqām ini, tidak ada lagi “aku”, kecuali kehendak Allah yang hidup dalam batin hamba.
4. Sidqu al-Niyyah Membuka Tirai Ghaib (Kashf al-Ḥijāb); Menurut al-Kāshānī, jika niat benar-benar tulus, maka Allah menyingkap hijāb (tabir batin) dan membuka mata maknawi (bashīrah). Makrifat sejati dimulai dari jujurnya niat, bukan banyaknya dzikir lahir.
5. Niat Adalah Jalan Rahasia Menuju Wushūl (Penyampaian)
Para sufi berkata:Ketika niat menjadi jujur, maka setiap amal menjadi kendaraan menuju Allah.” Bahkan tidur, makan, atau diam, jika dengan niat suci, menjadi sulūk ilā Allāh.
6. Sidqu al-Niyyah Menghasilkan Nur al-Yaqīn; Niat yang benar akan memancar menjadi cahaya dalam qalbu yang menerangi hakikat-hakikat. Menurut al-Ṭustarī, ini adalah awal lahirnya “yaqīn” (keyakinan murni) dalam batin salik.
7. Hanya Hati yang Suci Bisa Jujur dalam Niat; Para arif membedakan antara “niat syar‘ī” dan “niat haqīqī”.
→ Yang pertama dilakukan oleh lidah dan akal, yang kedua hanya bisa dilakukan oleh qalb yang telah fana dari selain Allah.
8. Sidqu al-Niyyah Menarik Tajalli al-Asmāʼ (Pancaran Nama-Nama Ilahi); Menurut Mulla Ṣadrā, dalam niat yang jujur, Allah mentajallikan nama-Nya “al-Ṣādiq” (Yang Maha Jujur) ke dalam hati hamba. Maka amalnya menjadi manifestasi kejujuran Allah, bukan sekadar tugas manusia.
9. Hakikat Niat adalah Cinta
Dalam maqām ‘isyq (cinta ilahi), niat bukan lagi kehendak rasional, melainkan getaran cinta kepada al-Maḥbūb (Yang Dicintai). Para arif berkata: “Niat sejati adalah bisikan cinta di dalam dada para pecinta.”
10. Sidqu al-Niyyah adalah Kunci Surga Batin ; Menurut al-Nūrī al-Ṭabarī, niat yang jujur membuka pintu surga ruhani sebelum surga jasmani. Salik merasakan ketenangan, kelezatan dzikir, dan kehadiran Tuhan dalam tiap geraknya.

Makna “وَصِدْقَ النِّيَّةِ” (kejujuran niat) menurut para ahli hakikat dari tradisi Syiah, khususnya para arifin dan urafa Ahlul Bayt yang berbicara tentang batin niat, maqam ruhani, dan jalan menuju tauhid murni:
1. Sidqu al-Niyyah adalah Tajallī Tauḥīd; Menurut Sayyid Ḥaydar Āmulī (arif besar Syiah), kejujuran niat adalah pantulan tauhid sejati dalam amal. Bila niat mengandung selain Allah (riya, dunia, nafsu), maka tauhidnya masih tercemar. “Niat adalah pintu menuju tauhid; siapa yang jujur dalam niatnya, ia telah mengesakan-Nya dengan sebenar-benarnya.”
2. Hakikat Niat adalah Tashfiyah (Pemurnian Jiwa); Imam Khomeini (QS, dalam Adabus Salah): Sidqu al-niyyah bukan hanya niat yang ikhlas, tapi buah dari tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Niat menjadi jujur bila jiwa sudah bebas dari kecintaan terhadap dunia, kedudukan, dan pujian.
3. Sidqu al-Niyyah Menuntut Fanā’ (Luruhnya Diri dalam Allah) Menurut para arif seperti ʿAllāmah Ṭabāṭabāʾī, sidqu al-niyyah tidak mungkin dicapai tanpa fanā’ – lenyapnya keakuan dalam kehendak Allah. Selama ada ‘aku ingin’, maka niat belum jujur. Sidqu al-niyyah adalah ‘Allah ingin, maka aku melangkah’.”
4. Kejujuran Niat: Jantung Ibadah
Mulla Ṣadrā, dalam Asfār, menyebutkan bahwa seluruh amal zahir bergantung pada qalb dan niatnya. Bila niatnya dusta, amal yang tampak besar pun hampa hakikatnya. Niat adalah ruh ibadah, sebagaimana ruh bagi jasad.
5. Sidqu al-Niyyah adalah Awal dan Akhir Suluk; Dalam karya-karya Ahlul Haqiqah Syiah, seperti Miṣbāḥ al-Shālikīn, dijelaskan bahwa sidqu al-niyyah adalah langkah pertama suluk dan juga puncaknya, karena: Di awal, niat menggerakkan suluk. Di akhir, niat menyatu dengan kehendak Ilahi (irādah Rabbāniyyah).
6. Niat yang Jujur: Penentu Tajallī Nama Allah; Menurut para arif Syiah, bila seseorang jujur dalam niat, maka Allah mentajallikan asma’Nya (seperti “al-Ṣādiq”, “al-Wakīl”) dalam qalb-nya. Maka setiap amal menjadi manifestasi nama-nama Ilahi.
7. Tanda Sidqu al-Niyyah: Hilangnya Rasa Butuh pada Makhluk; Seorang arif Syiah berkata:
“Jika engkau masih berharap pujian manusia, engkau belum jujur dalam niat. Niat yang jujur hanya mengharap ridha Allah.”
8. Niat yang Jujur Menyambungkan Ruh ke Al-Ḥaqq; Menurut al-Nūrī al-Ṭabarī dan al-Kāshānī, niat yang tulus membentuk tali batin antara hamba dan Tuhan yang tidak putus walau amalnya kecil. Kadang satu sujud dengan niat jujur, lebih tinggi dari ibadah seribu rakaat tanpa niat yang lurus.”
9. Sidqu al-Niyyah Membuka Bashīrah (Mata Batin)
Ahli hakikat Syiah menyatakan bahwa niat yang murni memancarkan nur al-bashīrah, yaitu cahaya yang menyingkap hakikat amal, kehidupan, dan Tuhan. Seorang salik akan tahu ke mana amalnya mengarah, apakah ke surga atau ke ridha-Nya.
10. Sidqu al-Niyyah adalah Syahadah Batin; Menurut Ibn Ṭāwūs, niat yang benar adalah bentuk syahadah batin – penyaksian terhadap Allah bukan lewat lisan, tapi lewat niat terdalam.
→ Maka niat bukan sekadar awal amal, tapi ikrar rahasia hamba kepada Rabb-nya.

Kisah dan cerita yang menggambarkan makna
 “وَصِدْقَ النِّيَّةِ” (kejujuran niat) menurut perspektif ahli hakikat Syiah dan arifin, baik dari riwayat para Imam Ahlul Bayt maupun dari perjalanan ruhani para wali:
1. Kisah Imam Ali (as) dan Roti Kering; Suatu hari Imam Ali (as) menjamu tamu dengan roti kering dan garam. Tamu merasa tidak enak, lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau punya sesuatu yang lebih baik?” Imam Ali menjawab:”Jika aku berikan sesuatu yang lebih lezat karena engkau, maka itu bukan lagi karena Allah.”
Maknanya: Sidqu al-niyyah membuat seseorang tetap pada prinsip meski dalam hal kecil, agar amalnya tetap murni karena Allah.
2. Sayyid al-Raḍī Menolak Emas
Sayyid al-Raḍī (pengumpul Nahjul Balaghah) menolak hadiah emas dari penguasa karena ia takut niat ilahinya ternodai oleh kedekatan dunia. Ia berkata, “Aku menulis demi Allah, bukan demi emas. Bila aku terima, maka jiwaku menjadi saksi dusta niatku.”
3. Fudhail bin ’Iyadh dan Niat Haji
Seorang lelaki berniat haji. Ia menabung dan bersiap-siap, tapi saat mendekati musim haji, ia lihat tetangganya kelaparan. Ia pun memberikan semua hartanya.
Ketika ditanya mengapa ia batal haji, ia menjawab: “Hatiku berkata: memberi makan hamba Allah lebih dekat kepada-Nya daripada berjalan ke Ka’bah tanpa jiwa yang bersih.” Pelajaran: Niatnya tetap menuju Allah, meski jalan amalnya berubah. Itulah sidqu al-niyyah.
4. Imam Ja‘far al-Sadiq (as) dan Tukang Roti; Seorang tukang roti bersedekah tiap hari sambil berkata: “Semoga Allah memberiku surga.” Tapi hidupnya tetap sulit. Lalu Imam Sadiq berkata:”Apakah engkau berdagang dengan Allah? Coba katakan: aku memberi karena Allah, bukan demi surga. Maka lihatlah perubahan-Nya.” Setelah itu, tukang roti hidup dalam kedamaian. Niatnya berubah, lalu hidupnya ikut berubah.
5. Ayatullah Bahjat dan Shalat Tahajjud; Ayatullah Bahjat sering bangun malam untuk shalat, bahkan dalam sakit berat. Ketika ditanya apa rahasianya, ia menjawab:”Saya takut jika saya tidur, maka niat cinta saya kepada Allah tidak benar.”
Kisah ini menggambarkan bagaimana niat menjadi pusat penggerak amal, bukan semangat atau keadaan fisik semata.
6. Kisah Arif yang Menolak Mimpi Surga; Seorang arif Syiah bermimpi melihat surga karena amalnya. Ia pun menolak mimpi itu dan berkata: Jika itu karena amalku, aku telah berdusta dalam niatku. Aku ingin Allah, bukan balasan-Nya.”
7. Imam Ali Zainal Abidin (as) dan Peminta Makanan; Ketika memberi makan orang miskin, Imam Ali Zainal Abidin (as) memadamkan lampu rumahnya. Ketika ditanya mengapa, beliau berkata:”Agar aku tak melihat wajahnya dan hatiku tidak tergerak oleh belas kasihan pribadi. Aku ingin memberi hanya karena Allah.”
8. Arif Syiah dan Amal Rahasia
Seorang arif melakukan seluruh amal baiknya tanpa diketahui siapa pun. Setelah ia wafat, baru terungkap bahwa ia telah membiayai ratusan anak yatim.Ia berkata semasa hidup: “Jika orang tahu, maka mungkin aku ingin dipuji. Tapi aku ingin amal ini tetap dalam keheningan niat.”
9. Pemuda dan Mushaf Usang
Seorang pemuda miskin menyalin Al-Qur’an dengan tangannya setiap malam. Ketika ditanya kenapa tidak membeli, ia menjawab: “Aku ingin setiap huruf yang kutulis jadi saksi bahwa niatku karena cinta pada kalam Allah.” Ia meninggal dalam keadaan sujud sambil memegang mushaf salinannya sendiri.
10. Wanita Penenun dan Gumpalan Benang; Seorang wanita miskin menenun kain untuk masjid. Ia menangis saat menyerahkannya.
Ketika ditanya mengapa menangis, ia berkata: “Aku takut, selama aku menenun, ada sebutir lintasan di hatiku yang bukan karena Allah. Maka kain ini tak layak untuk rumah-Nya.” Kisah-kisah ini menggambarkan bahwa sidqu al-niyyah bukan soal ucapan lisan, tapi kejujuran batin yang lahir dari kesadaran terus-menerus kepada Allah dan penolakan terhadap segala yang lain.

Manfaat (faedah) “وَصِدْقَ النِّيَّةِ” menurut para arif, ahli hakikat, dan Ahlul Bayt (as), disertai doa pendek untuk tiap manfaat — agar kita bisa memohon taufiq mencapai kejujuran niat dalam amal dan suluk:
1. Diterimanya Amal oleh Allah
Manfaat: Amal yang lahir dari niat jujur akan diterima, meski kecil.
اللهم ارزقني نية صادقة تُبلغني رضاك، وتقبل بها عملي.
“Ya Allah, anugerahkan aku niat yang jujur yang menghantarkanku pada ridha-Mu dan menjadikan amalku diterima.”
2. Terbukanya Pintu Ikhlas
Manfaat: Sidqu al-niyyah adalah pintu masuk ke ikhlas sejati, yakni amal yang tanpa ingin dilihat makhluk.
اللهم اجعل نيتي خالصة لك، لا رياء فيها ولا سمعة.
“Ya Allah, jadikan niatku murni hanya untuk-Mu, tanpa riya dan tanpa pamrih.”
3. Meningkatkan Kedekatan kepada Allah (Qurb Ilahi)
Manfaat: Kejujuran niat mendekatkan hamba ke hadirat Allah secara ruhani.
اللهم قرّبني إليك بنيّة صادقة تُحبّها وتُرضيها.
“Ya Allah, dekatkan aku kepada-Mu dengan niat yang Engkau cintai dan ridai.”
4. Hati Menjadi Tenang dan Lapang
Manfaat: Niat yang jujur membersihkan batin dari keraguan, syirik kecil, dan kecemasan.
اللهم طهّر قلبي من كل ما سواك، واجعل نيتي لك وحدك.
“Ya Allah, sucikan hatiku dari selain Engkau, dan jadikan niatku hanya untuk-Mu.”
5. Amal Kecil Menjadi Besar di Sisi Allah
Manfaat: Dengan sidqu al-niyyah, amal sederhana pun menjadi agung di sisi Allah.
اللهم اجعل القليل من عملي كثيرًا بصدق نيتي فيه.
“Ya Allah, jadikan amal kecilku bernilai besar karena niat jujurku di dalamnya.”
6. Terbukanya Pintu Ma’rifat
Manfaat: Niat yang jujur mengantarkan pada pengenalan hakiki terhadap Allah.
اللهم افتح لي باب معرفتك بنيّة خالصة، وارفع عني كل حجاب.
“Ya Allah, bukakan untukku pintu makrifat-Mu dengan niat yang murni, dan singkapkan seluruh hijab.”
7. Amal Menjadi Cahaya di Alam Barzakh
Manfaat: Amal yang bersumber dari niat yang benar akan menjadi cahaya pengiring di kubur dan akhirat.
اللهم اجعل صدق نيتي نورًا لي في قبري ومحشري.
“Ya Allah, jadikan kejujuran niatku sebagai cahaya bagiku di kubur dan padang Mahsyar.”
8. Terhindar dari Kecintaan Dunia dan Riya’
Manfaat: Sidqu al-niyyah membakar benih riya’, ujub, dan tamak terhadap dunia.
اللهم نجّني من حبّ الدنيا، 
وزيّن قلبي بصدق النيّة.
“Ya Allah, selamatkan aku dari cinta dunia, dan hiasilah hatiku dengan kejujuran niat.”
9. Dicintai oleh Ahlul Bayt dan Wali-Wali Allah
Manfaat: Para Imam mencintai orang yang jujur niatnya karena ia termasuk golongan muhlisin.
اللهم اجعلني من أحبّ عبادك إليك 
وإلى أوليائك بصدق نيّتي.
“Ya Allah, jadikan aku hamba yang paling dicintai oleh-Mu dan oleh para wali-Mu karena kejujuran niatku.”
10. Menjadi Ahli Syuhud dan Wushul
Manfaat: Sidqu al-niyyah adalah pintu penyaksian batin (syuhud) dan penyampaian kepada Allah (wushul).
اللهم ارزقني مقام الشهود والوصول بنية خالصة فيك.
“Ya Allah, karuniakan padaku maqam penyaksian dan penyampaian dengan niat yang murni karena-Mu.”

Munajat Orang Yang Mengadu (1)
(Kumpulan 15 Munajat Imam Ali Zainal Abidin AsSajjad as.)

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ، إِلَهِي إِلَيْكَ أَشْكُو نَفْسًا بِالسُّوءِ أَمَّارَةً، وَإِلَى الْخَطِيْئَةِ مُبَادِرَةً، وَبِمَعَاصِيْكَ مُوْلَعَةً، وَلِسَخَطِكَ مُتَعَرِّضَةً، تَسْلُكُ بِيْ مَسَالِكَ الْمَهَالِكِ،وَتَجْعَلُنِيْ عِنْدَكَ أَهْوَنَ هَالِكٍ،كَثِيْرَةَ الْعِلَلِ طَوِيْلَةَ اْلأَمَلِ، إِنْ مَسَّهَا الشَّرُّ تَجْزَعُ، وَإِنْ مَسَّهَا الْخَيْرُ تَمْنَعُ، مَيَّالَةً إِلَى اللَّعِبِ وَاللَّهْوِ، مَمْلُوءَةً بِالْغَفْلَةِ وَالسَّهْوِ تُسْرِعُ بِيْ إِلَى الْحَوْبَةِ وَتُسَوِّفُنِيْ بِالتَّوْبَةِ،

Baca juga:
Berkunjung ke Pattani Thailand Selatan, JK: Ajak Tingkatkan Peran Universitas dan Mesjid

Bismillâhirrohmânirrohîm, Allâhumma shol li ‘alâ muhammadin wa âli muhammad, ilâhî ilaika asykû nafsan bissû-i ammârotan, wa-ilal khothî ati mubâdirotan, wabima âshîka mûla’atan, wali-sakhothika muta’ar ridhotan, tasluku bî masâlikal mahâliki, wataj’alunî ‘indaka ahwana hâlikin, katsi rotal ‘ilal thowîlatal amali, immas sahâsy syarru tajza’, wa im-massahal khoiru tamna’, mayyâlatan ilal la’ibi wallahwi, mamlû atan bil ghoflati was-sahwi tus-ri’u bî ilal haubati watusawifunî bit taubati,

Dengan asma Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang 
Ya Allah, limpahkanlah shalawat atas Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad. 
Kuadukan pada-Mu diri, 
yang memerintahkan kejelekan, 
yang bergegas melakukan kesalahan, yang tenggelam dalam maksiat pada-Mu, yang menentang kemurkaan-Mu, yang membawaku pada jalan kebinasaan yang menjadikan aku orang celaka, 
yang terhina yang banyak noda, 
yang berangan hampa. 

Bila diriku ditimpa bencana 
ia berkeluh kesah, kala untung diraih bakhil bertambah, cenderung pada mainan dan hiburan, dipenuhi kealpaan dan kelalaian 
mendorongku pada dosa 
menghalangiku untuk bertaubat. 

إِلَهِي أَشْكُو إِلَيْكَ عَدُوًّا يُضِلُّنِيْ، 
وَشَيْطَانًا يُغْوِيْنِي قَدْ مَلأَ بِالْوَسْوَاسِ صَدْرِي، وَأَحَاطَتْ هَوَاجِسُهُ بِقَلْبِيْ، يُعَاضِدُ لِيَ الْهَوَى وَيُزَيِّنُ لِيْ حُبَّ الدُّنْيَا، وَيَحُولُ بَيْنِي وَبَيْنَ الطَّاعَةِ وَالزُّلْفَى إِلَهِي إِلَيْكَ أَشْكُو قَلْبًا قَاسِيًا مَعَ الْوَسْوَاسِ مُتَقَلِّبًا، وَبِالرَّيْنِ وَالطَّبْعِ مُتَلَبِّسًا، وَعَيْنًا عَنِ الْبُكَاءِ مِنْ خَوْفِكَ جَامِدَةً، وَإِلَى مَايَسُرُّهَا طَامِحَةً، إِلَهِي لاَحَوْلَ لِي وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِقُدْرَتِكَ،وَلاَ نَجَاةَ لِي مِنْ مَكَارِهِ الدُّنْيَا إِلاَّ بِعِصْمَتِكَ، 

ilahî asykû ilaika ‘aduwwan yuzhillunî wasyaithô nan yughwînî qod mala-a bil was wâsi shodrî, wa ahâthoth hawâjisuhu biqolbî yu’âdhi-du liyal hawâ wa yuzayyinu lî hubbad dunyâ wayahûlu bainî wabainath thô’ati wazzulfâ, ilâhî ilaika asy kû qolban qôsiyan ma’al waswâsi mutaqolliban, wabir royni wathob’i mutalabbisa, wa’ainan ‘anil bukâ-i min khoufika jâmidatan, wa ilâ mâ yasur ruhâ thômihatan, ilâhî lâ haula lî walâ quwwata illâ biqudrotika, walâ najâtalî mimmakârihid dunyâ illâ bi’ishmatika,

Ilahi, kuadukan pada-Mu 
musuh yang menyesatkanku, 
setan yang menggelincirkanku 
ia sudah memenuhi dadaku dengan keraguan. Godaannya telah menyesakkan hatiku, sehingga hawa nafsu menopangku ia hiaskan bagiku cinta dunia ia menghalangiku untuk taat dan taqarrub. 

Ilahi, kuadukan pada-Mu 
hati yang keras dengan guncangan was-was yang tertutup noda dan kekufuran, mata yang beku untuk menangis karena takut pada-Mu, tetapi cair untuk kesenangan dirinya. 

Ilahi, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan kuasa-Mu. 
Tiada keselamatan bagiku dari bencana dunia kecuali dengan penjagaan-Mu.

فَأَسْأَلُكَ بِبَلاَغَةِ حِكْمَتِكَ، وَنَفَاذِ مَشِيْئَتِكَ، أَنْ لاَتَجْعَلَنِيْ لِغَيْرِ جُودِكَ مُتَعَرِّضًا، وَلاَ تُصَيِّرَنِي لِلْفِتَنِ غَرَضًا، وَكُنْ لِي عَلَى اْلأَعْدَاءِ نَاصِرًا، وَعَلىَ الْمَخَازِي وَالْعُيُوبِ سَاتِرًا وَمِنَ الْبَلاَياَ وَاقِيًا، وَعَنِ الْمَعَاصِي عَاصِمًا بِرَأْفَتِكَ وَرَحْمَتِكَ، يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.

fa-as aluka bibalâghoti hikmatika, wanafâdzi masyîatika, allâ taj’alanî lighoiri jûdika muta’ar ridho, walâ tushoyyironî lilfitani ghorodho, wa kullî ‘alal a’dâ-i nâshirô, wa’alal makhôzî wal ’uyûbi sâtirô, waminal balâyâ wâqiyâ wa’anil ma’ashî ‘âshimâ, biro’fatika warohmatika yâ arhamar rôhimîn

Daku bermohon pada-Mu 
dengan keindahan hikmah-Mu, dengan pelaksanaan kehendak-Mu. 
Jangan biarkan daku mencari karunia selain-Mu, jangan jadikan daku sasaran cobaan. Jadilah Engkau Pembelaku melawan musuhku, penutup cela dan aibku. 
Pelindung dari bencana, Penjaga dari durhaka dengan kasih dan sayang-Mu. Wahai Yang Terkasih 
dari segala yang mengasihi.


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment