Curhatan Cecilie Steenbuch Traberg: Jangan Takut Melahirkan Tiga Anak Selama Masa Studi S3 Maupun Saat Berkarir

M. Gazali - Tekno & Sains
26 November 2024 07:47

U-MetaNews -- Cecilie Steenbuch Traberg yang bertekad untuk mempermudah penggabungan peran sebagai ibu dengan pekerjaan sebagai ilmuwan muda. (Nature)

Cecilie Steenbuch Traberg menceritakan pengalamannya selama menjalani studi doktoral. Dia melahirkan 3 anak berturut-turut dalam kurun waktu tersebut. Cecilie menceritakan ketika duduk di ruang kuliah, mendengar teman-teman mahasiswa di belakangnya berdiskusi tentang bagaimana memiliki bayi selama sekolah pascasarjana sama saja dengan "bunuh diri karier".

 

Ketika dia berdiri, memperlihatkan perutnya yang sudah berusia 30 minggu, ekspresi terkejut mereka menunjukkan banyak hal. Jalur akademis sering kali dibingkai sebagai urutan yang ketat: pertama-tama bangun karier, kemudian pertimbangkan untuk memulai sebuah keluarga.

 

Namun, hidup tidak selalu mengikuti alur waktu yang rapi. Suami Cecilie, yang saat itu adalah kandidat doktor bidang bioteknologi, kehilangan ibunya di usia muda — yang menjadikan mereka berdua ingin segera membangun keluarga.

Tahun 2019, di usia 26 tahun, Cecilie mengetahui bahwa dirinya hamil, sebuah momen yang memang direncanakan, meskipun datang jauh lebih awal dari yang diharapkan. Dia baru menjalani program doktor psikologi selama empat tahun di Universitas Cambridge, Inggris, selama seminggu dan emosinya bergejolak. Dia sangat gembira, tetapi juga diliputi kecemasan; terdorong untuk berpikir tentang menjadi seorang ibu saat bekerja sebagai peneliti di awal karier.

 

Cecilie hamil bukan hanya sekali; dia secara sadar memilih perjalanan ini dua kali lagi selama program PhD-nya. Dia melahirkan putra pertamanya pada bulan Juni 2020, bahkan belum genap setahun dalam programnya. Putra keduanya lahir pada bulan Desember 2022, di tengah tahun ketiganya, dan putra ketiga lahir bulan Maret 2024, di tengah tahun terakhir kuliahnya.

 

Di jurusannya, profesor laki-laki atau perempuan yang dikenalnya rata-rata tidak punya anak, Cecilie takut akan dicap 'tidak serius' dengan kariernya. Meskipun pembimbingnya selalu mendukung, tidak semua orang sependapat dengannya. Tampaknya, setidaknya menurut pengamatannya, semua orang di sekitarnya telah berkorban, entah menunda punya anak, hidup berjauhan dari pasangan, atau tidak menjalin hubungan romantis karena tuntutan dunia akademis.

 

Dirinya khawatir bahwa dengan sengaja memilih jalan yang berbeda dapat dianggap sebagai kurang berdedikasi. Seolah-olah dirinya tidak berkomitmen untuk berkorban seperti orang lain. Terkadang dia membiarkan orang berpikir bahwa kehamilan pertamanya tidak terduga.

 

Reaksi beragam dari rekan kerja dan teman sebaya menggarisbawahi tantangan sistemik yang dihadapi orang tua, terutama dengan cuti orang tua. Memutuskan untuk mengambil cuti disertai dengan tekanan. Cecilie akan kehilangan progress berbulan-bulan atau tetap bekerja di waktu yang seharusnya digunakan untuk merawat bayi.

 

Dia sering menghadapi pilihan yang hampir mustahil. Misalnya, seorang editor buku memperhatikan kuliah umum yang dia sampaikan pada tahun 2019, lalu dirinya diundang untuk menulis satu bab untuk buku akademis yang diusulkan ke penerbit. Dirinya menerima undangan itu, berharap proyek itu akan berjalan cepat, tetapi proposal itu tidak diterima sampai empat tahun kemudian, tepat sebelum bayi keduanya lahir. Hal ini menyebabkannya menghadapi pilihan yang sulit: menyelesaikan pekerjaan yang rumit dan krusial bagi kariernya sambil merawat bayi yang baru lahir dan putra sulungnya, atau menolak kesempatan yang telah lama dinantikannya tersebut.

 

Demikian pula tentang tanggal jatuh tempo publikasi, dia menerima revisi yang telah lama ditunggu-tunggu untuk beberapa makalah yang telah dikirimkan ke jurnal, memaksanya untuk menangani suntingan ekstensif saat sedang cuti melahirkan. Proyeknya banyak melibatkan pemrograman, dan mendebug kode hanya dengan empat jam tidur yang terputus-putus, dengan bayi yang rewel di dadanya, bukan tugas yang mudah. 

Meskipun editor memberikan perpanjangan, namun tidak dapat membuatnya tenang di masa cuti tersebut.

 

Dirinya bahkan diwawancarai untuk posisi postdoc dan tenure-track (jalur menjadi professor) hingga dua hari sebelum melahirkan untuk ketiga kalinya, dalam kondisi tubuh membengkak dan saat sedang berjuang melawan kontraksi pra-persalinan.

 

Hanya dalam waktu dua minggu pasca-persalinan, dia mempersiapkan demonstrasi kuliah dan ceramah penelitian. Mendapatkan posisi sebelum cutinya berakhir terasa seperti suatu keharusan, karena tanggal kelahiran bayi ketiganya sangat dekat dengan tanggal jatuh tempo PhDnya.

Baca juga:
Update Terbaru Windows 11 Menambahkan Sedikit AI ke Semua System

 

Cuti orang tua bukan sekadar tantangan jangka pendek; beban profesional yang ditimbulkan akibat mengambil cuti bisa jadi sulit untuk diatasi. Dalam kasusnya, dia merasa beruntung dapat mengambil tiga kali cuti selama enam bulan.

 

Setiap sesi, dia merasa makalahnya kehilangan relevansi, studi baru diterbitkan saat dirinya tidak ada, dan para pengulas mempertanyakan mengapa dirinya tidak mengutip makalah tersebut. Cecilie tidak dapat mengambil peran kepemimpinan dalam proyek berbasis hibah atau kolaborasi industri, karena peran tersebut memerlukan keterlibatan berkelanjutan yang tidak memungkinkan selama waktu istirahat panjangnya, waktu istirahat yang sebenarnya juga didukung oleh atasannya. Namun, hal ini menimbulkan pertanyaan yang lebih luas. Tidak seperti dunia korporat, di mana seseorang mungkin untuk sementara waktu dapat berhenti memimpin proyek dan kembali ke perannya nanti. Di dunia akademis, mengambil waktu istirahat dapat berarti kehilangan kesempatan kepemimpinan sepenuhnya.

 

Memperoleh posisi kepenulisan (authorship) yang lebih tinggi dalam proyek kolaboratif juga menjadi tantangan. Misalnya, selama periode menangani satu proyek, anaknya yang berusia 11 bulan dirawat di rumah sakit karena bronkitis, hal ini membatasinya berkontribusi pada momen-momen penting. Akibatnya, rekan-rekannya, yang dapat bekerja tanpa gangguan sepertinya, memperoleh posisi kepenulisan yang lebih tinggi karena jumlah pekerjaan yang mereka lakukan lebih banyak. Ini sepenuhnya adil, mereka melakukan lebih banyak pekerjaan, tetapi situasi ini mencerminkan betapa lebih sulitnya bagi mereka yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak untuk bersaing dalam lingkungan yang serba cepat yang sering kali orang-orang yang berkontribusi terlebih dahulu tidak lebih dihargai dibanding mereka yang berkontribusi lebih banyak dan mereka yang dapat secara konsisten berkomitmen pada penyelesaian yang cepat dan tenggat waktu yang ketat.

 

Dalam dunia akademis, publikasi dan kepenulisan adalah mata uang pasar kerja, dan kesempatan yang hilang ini akan terakumulasi seiring waktu.

Namun di tengah kekacauan, malam-malam tanpa tidur, dan tanggung jawab yang tampaknya mustahil untuk dijalani, ada keindahan yang tak terbantahkan dalam memiliki anak selama masa kuliah. Tuntutan menjadi orang tua memaksanya untuk lebih fokus, membuat setiap momen di meja kerjanya menjadi berharga.

 

Tidak sekadar meningkatkan produktivitasnya, anak-anaknya telah membawa perspektif yang mendalam pada perjalanan akademisnya. Rasa sakit karena penolakan, baik dari jurnal, panitia hibah, atau konferensi, cepat mereda saat disambut dengan tawa anak yang bersahutan. Lebih jauh lagi, menjadi mahasiswi pascasarjana, dengan segala tekanannya, disertai dengan tingkat fleksibilitas waktu yang jarang ditemukan dalam tahap kehidupan lainnya.

 

Ya, tenggat waktu semakin dekat dan penelitian butuh konsentrasi, tetapi dirinya dapat mengatur waktunya antara pekerjaan dan anak. Fleksibilitas ini memungkinkan dirinya untuk hadir pada momen-momen kecil namun penting dalam kehidupan anak-anaknya yang mungkin terlewatkan dalam jam kerja standar, 9 pagi ke 5 sore.

 

Menghadapi tantangan membesarkan tiga anak sebagai mahasiswa pascasarjana telah menunjukkan bahwa perubahan budaya dan struktural sangat penting untuk mendukung orang tua yang berprofesi sebagai ilmuwan. Secara struktural, dunia akademis harus berhenti memperlakukan kandidat PhD sebagai mahasiswa dalam tanda kutip. Hanya sedikit industri lain yang melabeli staf tingkat pemula mereka yang sedang menjalani pelatihan dengan cara membayar mereka terlalu rendah atau memberikan begitu banyak ketentuan kepada mereka.

 

Pada tahun terakhirnya, sponsornya mulai menawarkan tunjangan untuk membantu menutupi biaya pengasuhan anak. Menurutnya ini adalah langkah ke arah yang benar, meski masih minim. Sponsor perlu mempertimbangkan bahwa dukungan finansial mencakup cuti melahirkan, hibah atau tunjangan yang diberikan tanpa itu perlu mencantumkannya.

 

Universitas juga perlu menemukan cara untuk mensubsidi biaya pengasuhan anak secara signifikan bagi mahasiswa pascasarjana. Orang-orang dalam program PhD dan postdocs perlu diberi opsi yang bebas antara menjalani pasar kerja yang melelahkan dan mendapatkan posisi profesor atau mempertimbangkan memulai sebuah keluarga.

 

Saat ini, hanya mereka yang memiliki dukungan finansial atau pengasuhan ekstra yang dapat memilih apakah akan memiliki anak sebelum mencapai stabilitas dalam karier mereka.

 

Menyeimbangkan peran sebagai ibu dengan studi pascasarjana seharusnya tidak sesulit ini. Kita perlu memastikan bahwa generasi sarjana berikutnya dapat memiliki keluarga dan karier akademis yang memuaskan, tanpa merasa harus mengorbankan salah satunya demi yang lain. Kita membutuhkan sistem yang sepenuhnya mendukung orang tua yang berpendidikan. Terinspirasi oleh pembimbingnya, dan sebagai calon peneliti utama, Cecilie berkomitmen untuk mewujudkan perubahan itu. (Nature)


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment