Kalimat “ma sya Allah” (ما شاء الله)
mengandung berbagai makna yang berhubungan dengan kekuasaan, kehendak, dan kebesaran Allah.
Penulis: Muhammad Taufiq Ali Yahya
Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran
Berikut makna dari kalimat “ma sya Allah” (ما شاء الله) dalam bahasa Arab dan penggunaannya:
1.Pengakuan Atas Kekuasaan Allah
“Ma sya Allah” bermakna pengakuan bahwa semua yang terjadi adalah kehendak Allah. Ungkapan ini menegaskan bahwa segala sesuatu terjadi sesuai dengan izin dan ketentuan-Nya.
2.Ekspresi Kekaguman
“Ma sya Allah” sering digunakan untuk mengungkapkan kekaguman atau pujian terhadap sesuatu yang luar biasa atau indah, mengaitkannya dengan berkah dari Allah.
3.Doa Agar Terlindung dari Hasad
Ungkapan ini dipercaya dapat mencegah rasa iri atau mata jahat (hasad), terutama jika diucapkan saat melihat sesuatu yang membuat kagum. Dengan menyebutnya, orang berharap agar keberkahan tetap terjaga.
4.Penerimaan Atas Ketetapan Allah
Mengucapkan “ma sya Allah” adalah bentuk penerimaan atau ketundukan terhadap ketetapan Allah, menandakan rasa ridha terhadap segala keputusan yang telah Allah takdirkan.
5.Pengingat Akan Keterbatasan Manusia
Ucapan ini mengingatkan bahwa manusia tidak berdaya tanpa izin dari Allah, sehingga segala yang kita lihat atau alami adalah karena kehendak-Nya.
6.Memuji Penciptaan Allah
Ketika mengucapkan “ma sya Allah” atas keindahan alam atau ciptaan lainnya, itu adalah bentuk pujian kepada Allah sebagai Sang Pencipta yang Maha Sempurna.
7.Syukur dan Puji Syukur
“Ma sya Allah” bisa juga diucapkan sebagai rasa syukur atas nikmat dan anugerah yang diterima, dengan menyadari bahwa semuanya berasal dari Allah.
8.Ungkapan Takjub Tanpa Keterlibatan Manusia
Kata ini diucapkan ketika melihat sesuatu yang menakjubkan tanpa campur tangan manusia, mengakui bahwa keajaiban tersebut semata-mata adalah ciptaan Allah.
9.Penghargaan atas Kesederhanaan
Dalam beberapa budaya, “ma sya Allah” juga digunakan untuk menghargai sesuatu yang sederhana namun bermakna, mengaitkannya dengan keberkahan dari Allah.
10.Mengingatkan Diri untuk Selalu Bertawakal
Ucapan ini menjadi pengingat bagi diri untuk selalu berserah diri kepada Allah dan bergantung hanya kepada-Nya, serta meyakini bahwa segala yang terjadi adalah yang terbaik menurut kehendak-Nya.
“Ma sya Allah” memiliki makna yang dalam, mengandung penghormatan, ketundukan, serta rasa syukur atas kuasa dan kebesaran Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Kalimat “ma sya Allah” (ما شاء الله) terdapat dalam Al-Qur’an dan menunjukkan konsep penting terkait kehendak dan kekuasaan Allah. Salah satu ayat yang menggunakan kalimat ini adalah:
1. Surah Al-Kahfi (18:39)
وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ إِن تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنكَ مَالًا وَوَلَدًا
Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu "maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan,
Makna Ayat: Ayat ini merupakan teguran kepada seseorang yang sombong atas hartanya tanpa mengingat Allah. Di sini, Allah mengajarkan agar ketika seseorang melihat sesuatu yang mengagumkan atau kekayaannya sendiri, dia mengingat bahwa semua itu terjadi atas kehendak Allah dan mengucapkan “ma sya Allah” sebagai bentuk penghargaan dan kerendahan hati terhadap kebesaran Allah.
Dalam konteks ayat ini, “ma sya Allah” menekankan bahwa segala sesuatu yang terjadi hanya dengan izin Allah. Allah mengajarkan kepada hamba-Nya untuk menyandarkan segala sesuatu pada kehendak-Nya, menghindari sikap sombong, dan mengingatkan bahwa tidak ada kekuatan selain dari Allah.
1. Surah Al-Baqarah (2:255) - Ayat Kursi ; Allah, tidak ada Tuhan selain Dia Yang Hidup Kekal lagi Terus-menerus Mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya?”
Makna: Ayat ini menekankan bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah, dan tidak ada yang dapat terjadi tanpa izin-Nya.
2. Surah Al-Insan (76:30)
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah.”
Makna: Menyadarkan kita bahwa hanya dengan kehendak Allah, kita bisa melakukan apa pun, termasuk dalam hal petunjuk dan pilihan hidup.
3. Surah Yunus (10:49)
“Katakanlah, ‘Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudaratan atau kemanfaatan bagi diriku sendiri kecuali apa yang Allah kehendaki.’”
Makna: Ayat ini mengingatkan bahwa segala sesuatu, termasuk manfaat dan mudarat, hanya terjadi dengan izin Allah.
4. Surah Al-An’am (6:59)
“Dan di sisi-Nya kunci-kunci semua yang gaib; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang di darat dan di laut…”
Makna: Allah berkuasa atas semua yang gaib, dan tak ada yang terjadi tanpa pengetahuan dan kehendak-Nya.
5. Surah At-Takwir (81:29)
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”
Makna: Manusia tidak bisa menghendaki sesuatu tanpa kehendak Allah. Hanya dengan izin-Nya kita bisa menjalani hidup sesuai dengan petunjuk-Nya.
6. Surah Al-Imran (3:26)
“Katakanlah, ‘Wahai Allah, Pemilik kekuasaan, Engkau memberikan kekuasaan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan mencabut kekuasaan dari siapa yang Engkau kehendaki…’”
Makna: Segala kekuasaan adalah milik Allah; Dialah yang memberi dan mencabut, menegaskan bahwa segalanya berada di bawah kendali-Nya.
7. Surah Al-Furqan (25:2)
“Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(-Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.”
Makna: Allah adalah pencipta dan pengatur seluruh alam, yang menegaskan bahwa segala sesuatu diatur dengan takdir dan kehendak-Nya.
8. Surah Al-Kahfi (18:23-24)
“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu, ‘Aku pasti melakukan itu besok pagi,’ kecuali (dengan menyebut), ‘Insya Allah (Jika Allah menghendaki).’”
Makna: Ini mengajarkan untuk selalu mengingat bahwa segala sesuatu hanya bisa terjadi jika Allah mengizinkannya.
9. Surah An-Naml (27:93)
“Dan katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah. Dia akan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, maka kamu akan mengetahuinya.’”
Makna: Segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan kehendak dan kebesaran-Nya.
Setiap ayat ini memperlihatkan keagungan Allah serta mengingatkan kita untuk selalu bertawakal dan bersandar pada kehendak-Nya.
Menurut para mufassir atau ahli tafsir, kalimat “ma sya Allah” (ما شاء الله)
mengandung berbagai makna yang berhubungan dengan kekuasaan, kehendak, dan kebesaran Allah.
Para mufassir memaknai frasa ini secara mendalam dengan menyampaikan hikmah serta pesan spiritual yang terkandung di dalamnya. Berikut adalah beberapa penjelasan dari para mufassir terkemuka mengenai makna “ma sya Allah”:
1. Al-Qurtubi
Dalam tafsirnya, Al-Qurtubi menjelaskan bahwa “ma sya Allah” berarti segala yang terjadi adalah atas kehendak Allah, dan manusia harus selalu mengaitkan kejadian-kejadian di alam ini dengan kehendak-Nya. Ketika seseorang mengucapkan “ma sya Allah” saat melihat sesuatu yang indah atau menakjubkan, dia mengakui bahwa semua itu adalah pemberian dan kehendak Allah. Ini menunjukkan sikap rendah hati serta menjauhkan diri dari kesombongan.
2. Ibn Katsir
Ibn Katsir dalam tafsirnya tentang Surah Al-Kahfi (18:39) menjelaskan bahwa kalimat “ma sya Allah, laa quwwata illa billah” adalah pengakuan bahwa semua keberkahan datang dari Allah. Ketika seseorang melihat hartanya atau sesuatu yang membuatnya kagum, hendaknya ia mengingat bahwa itu adalah kehendak Allah dan berdoa agar keberkahan tersebut terjaga. Pengucapan kalimat ini menjadi cara untuk melindungi diri dari hasad (iri) dan menjaga keberkahan.
3. Al-Razi
Menurut Fakhruddin Al-Razi, “ma sya Allah” adalah bentuk pujian yang menggambarkan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu di alam semesta. Setiap kejadian yang terjadi atau nikmat yang diberikan tidak mungkin tercipta tanpa kehendak-Nya. Dengan kata lain, ini adalah ungkapan bahwa manusia tidak memiliki kendali atau kemampuan untuk menciptakan sesuatu, melainkan hanya Allah yang Maha Kuasa.
4. As-Sa’di
Tafsir As-Sa’di menekankan bahwa “ma sya Allah” adalah bentuk ketawakkalan dan penerimaan terhadap ketentuan Allah. As-Sa’di mengajarkan bahwa dengan menyebut “ma sya Allah,” seseorang menyadari bahwa semua yang baik atau buruk terjadi atas izin Allah. Oleh karena itu, frasa ini merupakan tanda ketundukan dan penyerahan diri pada kehendak-Nya.
5. Ath-Thabari
Ath-Thabari dalam tafsirnya menafsirkan kalimat “ma sya Allah” sebagai pengingat bahwa kekayaan, keindahan, dan nikmat yang dimiliki seseorang bukanlah semata-mata karena usaha pribadi, tetapi karena kehendak Allah. Hal ini untuk menjaga seseorang dari perasaan sombong dan agar selalu menyandarkan setiap pencapaian pada Allah.
6. Al-Baghawi
Al-Baghawi berpendapat bahwa “ma sya Allah” adalah bentuk syukur yang mendalam. Ketika seseorang mengucapkan kalimat ini, dia tidak hanya mengagumi sesuatu, tetapi juga mengucapkan syukur kepada Allah atas nikmat tersebut. Ini juga sebagai bentuk pengingat bagi diri sendiri agar tidak tergoda oleh dunia dan selalu mengingat asal usul dari semua nikmat.
7. Ibnu ‘Ajibah
Ibnu ‘Ajibah, seorang sufi dan mufassir, menafsirkan “ma sya Allah” sebagai ungkapan yang menunjukkan keterbatasan manusia di hadapan kekuasaan Allah. Baginya, ini adalah bentuk kehambaan yang mengingatkan seseorang bahwa segala sesuatu terjadi sesuai kehendak Allah, bukan karena keinginan atau kekuatan manusia.
8. Syekh Asy-Syinqithi
Syekh Asy-Syinqithi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa “ma sya Allah” adalah kalimat yang mengingatkan manusia untuk selalu bertawakkal dan yakin bahwa semua nikmat dan kesuksesan bersumber dari Allah. Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang hamba menunjukkan pengakuan bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, dan Dialah yang berkuasa penuh atas segala sesuatu.
9. Ar-Razi
Ar-Razi menambahkan bahwa “ma sya Allah” juga mengandung makna keridhaan terhadap ketetapan Allah. Ia menekankan bahwa frasa ini mengajarkan kita untuk menerima apa pun yang terjadi dengan penuh keikhlasan, karena semuanya terjadi sesuai dengan kebijakan dan kebijaksanaan Allah yang Maha Mengetahui.
Para mufassir sepakat bahwa “ma sya Allah” adalah ungkapan penuh makna yang menggambarkan sikap tawakal, syukur, dan kerendahan hati. Melalui frasa ini, seseorang menyadari kekuasaan Allah, mengakui bahwa segala yang ada merupakan bagian dari takdir-Nya, dan menjaga hati dari sikap sombong serta iri.
Dalam tafsir Syiah, kalimat “ma sya Allah” (ما شاء الله)
juga memiliki makna yang mendalam terkait dengan pengakuan akan kehendak Allah, kekuasaan-Nya, serta ketundukan dan kesadaran manusia akan ketergantungan pada-Nya. Berikut ini beberapa pandangan mufassir dari tradisi Syiah tentang makna “ma sya Allah”:
1. Allamah Thabathaba’i (Tafsir Al-Mizan)
Allamah Thabathaba’i dalam tafsir Al-Mizan menafsirkan “ma sya Allah” sebagai ungkapan tentang kekuasaan mutlak Allah atas semua ciptaan-Nya. Menurutnya, frasa ini adalah pengingat bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam semesta tanpa kehendak-Nya. Allamah menekankan bahwa “ma sya Allah” juga merupakan wujud syukur kepada Allah, yang memungkinkan kita melihat keindahan dan keberkahan dalam hidup.
2. Al-Qummi
Dalam tafsirnya, Al-Qummi menjelaskan bahwa “ma sya Allah” digunakan untuk mengingatkan manusia agar tidak menyombongkan diri atas nikmat yang mereka miliki. Frasa ini menjadi sarana untuk menjaga kerendahan hati dengan menyandarkan segala sesuatu kepada Allah. Al-Qummi menafsirkan ucapan “ma sya Allah” dalam Surah Al-Kahfi sebagai doa untuk memelihara nikmat dari pengaruh buruk, seperti iri atau hasad.
3. Ayatullah Makarim Shirazi (Tafsir Al-Amthal)
Ayatullah Makarim Shirazi, dalam tafsirnya Al-Amthal, menjelaskan bahwa “ma sya Allah” adalah bentuk pengakuan bahwa segala pencapaian dan keindahan berasal dari Allah. Shirazi menafsirkan kalimat ini sebagai cara untuk mengingatkan diri akan keterbatasan manusia dan menegaskan bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari takdir Allah yang sempurna. Dengan mengucapkan “ma sya Allah”, seseorang mengakui bahwa segala sesuatu hanya mungkin terjadi dengan izin dan kehendak-Nya.
4. Ayatullah Muhammad Hadi Ma’rifat
Menurut Ayatullah Ma’rifat, “ma sya Allah” adalah bentuk pemurnian akidah yang mengajarkan bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa penuh atas segala sesuatu. Ayatullah Ma’rifat menggarisbawahi bahwa pengucapan frasa ini adalah pengingat bagi hamba untuk menempatkan Allah sebagai satu-satunya sumber kekuatan, menghindari keterikatan berlebihan pada dunia, dan bersandar hanya pada Allah dalam segala urusan.
5. Syekh Tusi (Tafsir At-Tibyan)
Syekh Tusi dalam tafsirnya At-Tibyan menafsirkan “ma sya Allah” sebagai pengakuan bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan seseorang hanyalah karena kehendak Allah. Dalam konteks Surah Al-Kahfi, ia mengingatkan bahwa ucapan ini melindungi seseorang dari ujub (kesombongan) dan mengingatkan bahwa nikmat atau kesuksesan yang dimiliki bukanlah hasil usaha manusia semata, tetapi karena izin Allah.
6. Allamah Majlisi (Bihar al-Anwar)
Allamah Majlisi menjelaskan dalam Bihar al-Anwar bahwa “ma sya Allah” adalah bentuk tawakkal kepada Allah yang menandakan penyerahan penuh terhadap keputusan dan takdir Allah. Ia menjelaskan bahwa ucapan ini menyiratkan keyakinan bahwa hanya Allah yang tahu yang terbaik untuk hamba-Nya, dan segala sesuatu yang terjadi dalam hidup harus diterima sebagai bagian dari rencana-Nya.
7. Ayatullah Jawadi Amuli
Ayatullah Jawadi Amuli menafsirkan “ma sya Allah” sebagai bentuk kepasrahan yang mendalam kepada Allah, di mana seseorang menyadari bahwa setiap detail di alam semesta berada dalam kendali-Nya. Jawadi Amuli menekankan bahwa frasa ini adalah ekspresi tauhid, yang mengingatkan manusia untuk tidak merasa memiliki kekuatan penuh atas sesuatu tanpa izin Allah.
8. Imam Ja’far Ash-Shadiq (Dalam Riwayat Hadis)
Imam Ja’far Ash-Shadiq (salah satu imam penting dalam tradisi Syiah) menjelaskan bahwa “ma sya Allah” merupakan ucapan yang sangat dianjurkan untuk diucapkan ketika seseorang melihat nikmat atau sesuatu yang baik. Imam Ja’far mengatakan bahwa dengan mengucapkannya, seseorang berharap agar nikmat tersebut tetap terjaga dan terhindar dari keburukan atau mata jahat.
9. Sayyid Kamal al-Haydari
Dalam ceramah dan penjelasan tafsirnya, Sayyid Kamal al-Haydari menekankan bahwa “ma sya Allah” adalah bentuk introspeksi bagi seorang hamba untuk mengakui bahwa apa pun yang dimiliki manusia bukanlah miliknya, melainkan anugerah dari Allah. Al-Haydari menekankan bahwa dengan mengucapkan kalimat ini, seseorang membebaskan dirinya dari rasa memiliki dan menyandarkan seluruh hidupnya pada kehendak Allah.
Dalam pandangan para mufassir Syiah, “ma sya Allah” mengajarkan manusia untuk bersyukur, menjaga kerendahan hati, menghindari kesombongan, dan menyandarkan segala urusan kepada kehendak Allah. Ini adalah pengingat akan keterbatasan manusia di hadapan kekuasaan-Nya dan cara untuk memurnikan akidah serta keyakinan bahwa hanya Allah yang berkuasa penuh atas segala sesuatu.
Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat, kalimat “ma sya Allah” (ما شاء الله)
memiliki makna yang mendalam dan transenden. Mereka memahami frasa ini bukan hanya sebagai ungkapan lisan, tetapi juga sebagai ekspresi kesadaran akan hubungan makhluk dengan Sang Pencipta serta realitas ketuhanan yang melampaui pemahaman umum. Berikut adalah beberapa penjelasan dari perspektif ahli makrifat dan hakikat tentang “ma sya Allah”:
1. Pengakuan Akan Kehendak Mutlak Allah
Ahli makrifat memahami “ma sya Allah” sebagai penyerahan penuh pada kehendak Allah yang mutlak. Kalimat ini mengandung kesadaran bahwa segala sesuatu di alam semesta ada dan bergerak hanya karena kehendak Allah. Bagi mereka, frasa ini menjadi pengakuan bahwa segala tindakan, kejadian, dan keberadaan apa pun hanyalah manifestasi dari kehendak-Nya, dan tidak ada yang terjadi di luar kekuasaan-Nya.
2. Keterbatasan Diri dan Ketiadaan Ego
Ahli hakikat menafsirkan “ma sya Allah” sebagai ungkapan yang membantu manusia menyadari keterbatasan dirinya dan ketiadaan ego di hadapan Allah. Dengan mengucapkan “ma sya Allah”, seorang hamba melenyapkan rasa “aku” atau keakuan. Mereka menyadari bahwa manusia pada dasarnya tidak memiliki kuasa tanpa kehendak Allah, sehingga keberadaan ego dianggap sebagai penghalang untuk mencapai kedekatan dengan-Nya.
3. Kesadaran Akan Sumber Keindahan dan Kebaikan
Ahli makrifat melihat “ma sya Allah” sebagai refleksi bahwa semua keindahan, kebaikan, dan nikmat yang ada hanyalah dari Allah. Bagi mereka, keindahan yang kita lihat di dunia ini adalah “cermin” dari sifat-sifat Allah yang indah (asmaul husna). Maka, “ma sya Allah” menjadi cara bagi mereka untuk melihat bahwa segala sesuatu yang menakjubkan di alam ini adalah pancaran dari sifat-sifat Allah, bukan karena kelebihan makhluk.
4. Penyerahan Total dan Tawakkal
Dalam tasawuf, “ma sya Allah” merupakan bentuk tawakkal atau penyerahan total kepada Allah. Ahli hakikat mengajarkan bahwa ketika seseorang mengucapkan frasa ini, dia mengekspresikan keyakinan bahwa hanya Allah yang mengetahui yang terbaik, dan bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari rencana ilahi. Mereka menyadari bahwa kehidupan duniawi adalah fana, dan penyerahan diri pada kehendak Allah adalah jalan menuju kedamaian spiritual.
5. Penyucian Diri dari Duniawi
Ahli makrifat memahami “ma sya Allah” sebagai pengingat untuk tidak terikat dengan dunia dan segala kenikmatannya. Kalimat ini membimbing mereka untuk hidup dengan kesadaran bahwa harta, kedudukan, atau kekuasaan adalah sementara dan hanyalah titipan dari Allah. Maka, “ma sya Allah” menjadi cara untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada dunia dan fokus pada pencapaian kedekatan dengan Allah.
6. Pengakuan Akan Sifat Jalal dan Jamal Allah
Dalam pandangan makrifat, “ma sya Allah” mencakup sifat “jalal” (keagungan) dan “jamal” (keindahan) Allah. Ketika seseorang mengagumi sesuatu dan mengucapkan “ma sya Allah”, mereka mengakui bahwa keindahan tersebut adalah refleksi dari sifat “jamal” Allah. Di saat yang sama, mereka mengingat bahwa segala sesuatu berada di bawah kekuasaan (jalal) Allah dan tunduk kepada ketentuan-Nya.
7. Kesadaran Akan Hubungan Hamba dan Tuhan
Ahli hakikat melihat “ma sya Allah” sebagai pengingat akan hubungan antara hamba dengan Tuhan. Mereka memahami bahwa manusia hanyalah “saluran” untuk kehendak Allah, dan kehidupan manusia pada hakikatnya adalah manifestasi dari kehendak Allah. Dengan menyadari hal ini, seorang hamba akan selalu melihat bahwa keberadaannya adalah bagian dari kehendak ilahi.
8. Menghadirkan Allah dalam Setiap Kejadian
Kalimat “ma sya Allah” membantu ahli makrifat untuk selalu “hadir” bersama Allah dalam setiap kejadian. Artinya, mereka senantiasa menyadari bahwa segala sesuatu, baik atau buruk, hanya terjadi atas izin dan kehendak Allah. Mereka tidak akan merasa terlalu sedih atas kehilangan atau terlalu berbangga atas pencapaian, karena semua itu adalah perwujudan kehendak Allah.
9. Ungkapan Cinta kepada Allah
Ahli makrifat juga memandang “ma sya Allah” sebagai ungkapan cinta dan kekaguman yang dalam kepada Allah. Mereka melihat bahwa di balik segala kejadian, ada rahmat dan kasih sayang Allah yang tersembunyi. Dengan mengucapkan “ma sya Allah”, mereka mengakui kasih sayang Allah yang terpancar dalam semua ciptaan, bahkan dalam kejadian yang tampak sebagai cobaan.
10. Pencapaian Kedamaian Batin
Ahli hakikat melihat bahwa “ma sya Allah” membawa seseorang pada kedamaian batin yang dalam. Kesadaran bahwa segala sesuatu diatur oleh kehendak Allah membebaskan mereka dari ketakutan dan kekhawatiran duniawi. Mereka menerima segala sesuatu yang datang dari Allah dengan ketenangan, karena yakin bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari rencana-Nya yang sempurna.
Secara keseluruhan, bagi ahli makrifat dan hakikat, “ma sya Allah” adalah lebih dari sekadar ungkapan kekaguman; ia adalah pernyataan penyerahan, penyadaran, dan pemurnian diri dari duniawi, serta cara untuk selalu melihat dan merasakan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Hadis tentang “ma sya Allah”
yang berasal dari sumber-sumber Sunni dan Syiah:
Hadis dari Sumber Sunni
1.Hadis Riwayat Al-Bukhari dan Muslim
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:
“Jika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang mengagumkan, hendaknya dia mengucapkan: ma sya Allah; karena sesungguhnya ada kekuatan pada pandangan.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengingatkan kita untuk mengucapkan “ma sya Allah” saat melihat sesuatu yang menakjubkan agar terhindar dari pandangan buruk (ain) yang dapat membawa bahaya.
2.Hadis Riwayat Ahmad
Dalam riwayat ini, Anas bin Malik menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
“Janganlah kalian mencela makanan, karena apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi. Jika kalian melihat sesuatu yang menyenangkan, ucapkanlah ma sya Allah.” “HR. Ahmad)
Dalam konteks ini, hadis ini menunjukkan pentingnya bersyukur dan mengakui kehendak Allah dalam setiap nikmat.
Hadis dari Sumber Syiah
1.Hadis Riwayat Al-Kafi
Dalam kitab Al-Kafi yang ditulis oleh Sheikh Al-Kulayni, terdapat hadis dari Imam Ja’far al-Sadiq yang mengatakan:
“Ketika seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan, hendaknya dia mengucapkan: ma sya Allah untuk menjaga dari pandangan jahat.”
(Al-Kafi, Jilid 2, Halaman 243)
Hadis ini menunjukkan bahwa ucapan “ma sya Allah” adalah cara untuk melindungi diri dari pengaruh negatif yang mungkin timbul dari pandangan orang lain.
2.Hadis Riwayat Al-Bihar
Dalam Bihar al-Anwar yang disusun oleh Allamah Majlisi, terdapat hadis yang menjelaskan pentingnya mengucapkan “ma sya Allah”:
“Seseorang yang melihat sesuatu yang indah dan tidak mengucapkan ma sya Allah, maka ia akan terjerumus ke dalam kesengsaraan.”
(Bihar al-Anwar, Jilid 75, Halaman 375)
Hadis ini menekankan bahwa mengucapkan “ma sya Allah” adalah bentuk pengakuan akan kehendak Allah dan merupakan perlindungan dari keburukan.
Hadis dari Sumber Sunni
3.Hadis Riwayat Ibn Majah
Dalam kitab Sunan Ibn Majah, terdapat hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas:
“Ketika seorang muslim melihat sesuatu yang baik, maka hendaknya dia mengucapkan: ma sya Allah, la quwwata illa billah (Apa yang dikehendaki Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah).”
(HR. Ibn Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa ungkapan tersebut tidak hanya mengandung pujian, tetapi juga pengakuan bahwa segala sesuatu berada dalam kekuasaan Allah.
4.Hadis Riwayat Al-Muwatta
Dalam kitab Al-Muwatta oleh Imam Malik, terdapat sebuah riwayat:
“Seseorang tidak boleh merasa bangga atas apa yang dia miliki, tetapi dia harus mengatakan: ma sya Allah agar tidak terkena pandangan buruk.” “HR. Al-Muwatta)
Hadis ini menekankan perlunya kehati-hatian dalam mengungkapkan rasa kagum dan pentingnya menjaga sikap rendah hati.
5.Hadis Riwayat Al-Tabarani
Dalam kitab Mu’jam al-Kabir, terdapat hadis dari Abu Hurairah:
“Ketika salah seorang di antara kalian melihat sesuatu yang menakjubkan, maka hendaknya dia mengucapkan: ma sya Allah.”
(HR. Al-Tabarani)
Ini adalah pengingat untuk selalu bersyukur dan mengingat Allah saat menyaksikan keindahan ciptaan-Nya.
Hadis dari Sumber Syiah
3.Hadis Riwayat Al-Kafi
Dalam kitab Al-Kafi, Imam Ali berkata:
“Setiap kali kamu melihat keindahan pada seseorang atau sesuatu, ucapkanlah ma sya Allah, agar tidak terjadi keburukan pada mereka.”
(Al-Kafi, Jilid 2, Halaman 245)
Ini menunjukkan bahwa mengucapkan “ma sya Allah” bukan hanya untuk melindungi diri, tetapi juga sebagai perlindungan bagi orang lain.
4.Hadis Riwayat Ghurar al-Hikam
Dalam Ghurar al-Hikam oleh Ali bin Abi Talib, ada yang dinyatakan:
“Orang yang melihat sesuatu yang indah dan tidak mengucapkan ma sya Allah akan kehilangan berkah.” “Ghurar al-Hikam)
Hadis ini memperingatkan bahwa ucapan ini dapat membawa berkah dan kebaikan.
5.Hadis Riwayat Al-Bihar
Dalam Bihar al-Anwar, Imam Muhammad al-Baqir bersabda:
“Mengucapkan ma sya Allah adalah bentuk penyerahan kepada Allah, dan siapa yang melakukannya akan diberikan keselamatan.”
(Bihar al-Anwar, Jilid 75, Halaman 370)
Ini menggarisbawahi pentingnya sikap tawakkal dan penyerahan diri kepada Allah.
6.Hadis Riwayat Mustadrak al-Wasa’il
Dalam Mustadrak al-Wasa’il, Imam Ali as mengajarkan:
“Ucapkanlah ma sya Allah saat melihat kebaikan dan keindahan agar Allah melindungi kalian dari keburukan.”
(Mustadrak al-Wasa’il, Jilid 3)
Hadis ini menunjukkan bahwa ucapan ini membawa perlindungan dan kesejahteraan.
Kesimpulan ; Hadis-hadis yang telah disebutkan di atas, baik dari sumber Sunni maupun Syiah, menggarisbawahi pentingnya mengucapkan “ma sya Allah” sebagai ungkapan syukur, perlindungan dari pandangan buruk, dan pengakuan akan kekuasaan Allah. Kalimat ini tidak hanya menjadi ungkapan rasa kagum, tetapi juga mencerminkan kesadaran spiritual dan keikhlasan dalam setiap aspek kehidupan.
Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat dalam tradisi Syiah, kalimat “ma sya Allah” memiliki makna yang sangat mendalam, bukan hanya sebagai ungkapan kekaguman, tetapi sebagai cara untuk mengakui sepenuhnya kehendak dan kekuasaan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Para arifin atau ahli makrifat Syiah mengartikan frasa ini sebagai bentuk kesadaran spiritual yang membawa seorang hamba semakin dekat kepada Allah dan menyadari keterbatasan serta ketergantungan penuh pada kehendak-Nya. Berikut adalah beberapa makna “ma sya Allah” menurut para arifin Syiah:
1. Pengakuan Kehendak Mutlak Allah
Ahli makrifat Syiah melihat “ma sya Allah” sebagai pengakuan bahwa kehendak Allah adalah mutlak dan tidak ada satu pun peristiwa yang terjadi tanpa izin-Nya. Bagi mereka, frasa ini menegaskan bahwa seluruh alam semesta, termasuk kehidupan manusia, berjalan sepenuhnya di bawah aturan dan kehendak-Nya. Kalimat ini juga membawa seseorang pada keyakinan bahwa hanya Allah yang berkuasa dan menentukan segalanya, sehingga mendorong manusia untuk berserah diri sepenuhnya.
2. Penafian Diri dan Pengosongan Ego
Dalam pandangan makrifat Syiah, “ma sya Allah” juga mengandung ajaran untuk menafikan ego (keakuan) dan menyerahkan diri pada Allah. Para arifin mengajarkan bahwa manusia tidak boleh menganggap dirinya sebagai sumber dari segala pencapaian atau nikmat yang dimiliki, tetapi harus melihatnya sebagai manifestasi kehendak Allah. Dengan mengucapkan “ma sya Allah”, seorang hamba melemahkan ego dan mengakui bahwa hanya Allah yang memiliki kontrol penuh atas segala sesuatu.
3. Kesadaran Terhadap Manifestasi Ilahi
Ahli hakikat Syiah mengajarkan bahwa alam semesta dan segala isinya adalah cerminan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah. Maka, “ma sya Allah” adalah ekspresi untuk melihat bahwa keindahan, kekuasaan, atau kebaikan yang terlihat pada sesuatu merupakan manifestasi dari sifat-sifat Allah. Kalimat ini mengingatkan seorang arif untuk menyaksikan kehadiran Allah dalam semua ciptaan-Nya dan menyadari bahwa semua keindahan adalah cerminan dari sifat keindahan-Nya (asmaul husna).
4. Penyerahan dan Tawakkal yang Mendalam
Dalam tradisi makrifat Syiah, “ma sya Allah” mengandung konsep tawakkal atau penyerahan total. Para arif Syiah menekankan bahwa ketika seseorang mengucapkan “ma sya Allah”, mereka harus benar-benar merasakan bahwa semua urusan berada dalam kendali Allah, termasuk setiap cobaan atau nikmat. Penyerahan ini membantu seorang hamba menemukan ketenangan batin dan keteguhan iman dalam menghadapi ketidakpastian dunia.
5. Mengingat Hakikat Dunia yang Fana
Para arifin dalam tradisi Syiah menekankan bahwa “ma sya Allah” mengingatkan manusia pada sifat dunia yang sementara dan fana. Mereka memandang kalimat ini sebagai cara untuk menghindarkan diri dari keterikatan berlebihan pada dunia. Dengan menyadari bahwa semua yang ada di dunia ini hanyalah titipan yang terjadi atas kehendak Allah, seorang hamba tidak akan terbuai oleh harta, status, atau kenikmatan duniawi.
6. Menjalin Hubungan Hamba dan Tuhan
Ahli makrifat Syiah melihat “ma sya Allah” sebagai pengakuan akan kedudukan manusia sebagai hamba dan Allah sebagai Tuhan yang berkuasa penuh. Bagi mereka, kalimat ini adalah cara untuk menjaga hubungan spiritual yang mendalam dengan Allah, di mana seseorang tidak hanya menyandarkan seluruh hidupnya kepada-Nya, tetapi juga menjalani kehidupan dengan penuh kesadaran akan kehadiran dan pengawasan-Nya.
7. Pengingat untuk Mencari Ridha Allah dalam Setiap Tindakan
Dalam perspektif makrifat Syiah, “ma sya Allah” menjadi pengingat bahwa setiap perbuatan dan usaha hendaknya dilakukan untuk mencari ridha Allah. Dengan mengucapkan kalimat ini, seorang arif menyadari bahwa segala sesuatu yang dilakukan atau dicapai akan bernilai hanya jika selaras dengan kehendak Allah. Ini membawa seorang hamba pada kehidupan yang selalu diarahkan untuk mendapatkan ridha-Nya.
8. Kesadaran akan Sifat Jalal dan Jamal Allah
Ahli hakikat Syiah memahami “ma sya Allah” sebagai pengingat akan sifat “jalal” (keagungan) dan “jamal” (keindahan) Allah. Ketika seorang arif mengucapkan “ma sya Allah”, mereka menyadari bahwa segala yang terjadi, baik berupa kemuliaan maupun keindahan, adalah cerminan dari sifat-sifat Allah. Dengan demikian, mereka melihat kehidupan ini sebagai manifestasi dari keindahan dan keagungan Allah yang bersifat mutlak.
9. Ungkapan Cinta dan Kekaguman terhadap Kehendak Ilahi
Bagi para arif Syiah, “ma sya Allah” adalah bentuk cinta dan kekaguman yang mendalam kepada Allah. Frasa ini membantu mereka menyadari bahwa setiap peristiwa, baik yang disukai maupun yang tidak, adalah bagian dari kehendak-Nya yang sempurna. Mengucapkannya berarti mereka merasakan kehadiran cinta Allah di balik setiap kejadian, yang pada akhirnya membawa mereka pada kedekatan lebih dalam dengan-Nya.
10. Kedamaian Batin dan Kepasrahan
Ahli makrifat Syiah melihat bahwa “ma sya Allah” membawa seseorang pada kedamaian batin. Kesadaran bahwa segala sesuatu diatur oleh kehendak Allah membuat mereka terbebas dari rasa takut, khawatir, atau kecewa. Frasa ini menjadi pengingat bahwa apa pun yang terjadi adalah bagian dari rencana terbaik Allah, sehingga seseorang dapat menjalani hidup dengan ketenangan dan kepasrahan.
Secara keseluruhan, bagi ahli makrifat dan hakikat dalam tradisi Syiah, “ma sya Allah” adalah lebih dari sekadar ucapan; ia adalah ungkapan ketundukan, penerimaan, serta cinta terhadap Allah. Melalui frasa ini, seorang arif menyadari keberadaan Allah dalam segala aspek kehidupan, menafikan ego, dan mengingat bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari kehendak-Nya yang sempurna.
Makna “ma sya Allah” dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat Syiah terutama berasal dari interpretasi teks dan penjelasan ulama serta arifin Syiah yang telah mendalami aspek tasawuf dan irfan (makrifat). Beberapa referensi yang sering digunakan dalam memahami perspektif ini antara lain:
1.Tafsir Al-Mizan oleh Allamah Thabathaba’i: Tafsir ini menjelaskan pandangan esoteris atau batiniah Al-Qur’an dan mencakup banyak konsep irfani yang berkaitan dengan kehendak Allah dan bagaimana seorang hamba harus memaknai hubungan antara dirinya dan Tuhan.
2.Kitab Bihar al-Anwar oleh Allamah Majlisi: Sebuah ensiklopedia hadis besar yang mencakup riwayat dari para Imam Ahlul Bait tentang akhlak, makrifat, dan hubungan manusia dengan Allah. Banyak ulama dan arifin Syiah merujuk ke dalamnya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang konsep-konsep seperti kehendak dan kekuasaan Allah.
3.Asrar al-Salat oleh Ayatullah Khomeini: Karya ini menyoroti aspek-aspek makrifat dan hakikat dari ibadah dan hubungan hamba dengan Allah. Ayatullah Khomeini membahas pentingnya penyerahan diri kepada Allah dan melihat segala sesuatu sebagai bagian dari kehendak-Nya.
4.Irfan-e-Islami (Makrifat Islam) oleh Murtadha Mutahhari: Buku ini menyelami aspek filsafat dan irfan dalam tradisi Syiah, mengupas tema kehendak Allah, ketiadaan ego, dan kedekatan seorang hamba dengan Allah, sesuai ajaran para Imam.
5.Tafsir Surah Al-Fatihah dan Ayat-ayat Al-Qur’an yang Bersifat Irfani oleh Ayatullah Jawadi Amuli: Dalam karya-karyanya, Ayatullah Amuli sering mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendekatan irfan dan memberikan tafsir yang mendalam tentang konsep penyerahan diri dan kesadaran akan kehendak Allah.
6.Misbah al-Hidayah oleh Imam Ja’far ash-Shadiq (sebagai riwayat): Dalam ajaran-ajaran yang dikaitkan dengan Imam Ja’far ash-Shadiq, seperti yang ditemukan dalam berbagai buku irfan, ada banyak pelajaran tentang bagaimana memahami kehendak dan kekuasaan Allah dalam hidup sehari-hari.
7.Kalimat al-Tauhid oleh Syekh Tusi dan Sayyid Haidar Amuli: Para ulama ini membahas aspek-aspek irfan dan hakikat keesaan Allah (tauhid) yang sering dikaitkan dengan frasa “ma sya Allah” sebagai pengakuan atas kehendak Allah yang absolut.
Buku dan karya-karya ini umumnya ditulis dengan pendekatan yang dalam terhadap esoterisme Islam dalam tradisi Syiah, berfokus pada penyerahan, pengakuan kekuasaan Allah, dan cara-cara untuk mencapai kedekatan spiritual dengan Allah. Para arifin dan ahli tasawuf Syiah merujuk pada teks-teks ini sebagai referensi utama dalam memahami makna hakikat dari “ma sya Allah.”
Cerita Ma Sya Allah
Ada beberapa cerita menarik yang berhubungan dengan kalimat “ma sya Allah” dan bagaimana kalimat ini dapat membawa berkah, perlindungan, serta mengajarkan makna ketulusan dan penyerahan diri kepada Allah. Berikut adalah beberapa kisah yang mengilustrasikan kekuatan dan manfaat mengucapkan “ma sya Allah”:
1. Cerita Seorang Petani yang Kaya Berkat “Ma Sya Allah”
Dahulu, ada seorang petani sederhana yang hidup di sebuah desa. Setiap kali melihat ladangnya yang subur dan hasil panennya yang melimpah, dia selalu mengucapkan “ma sya Allah” sebagai bentuk syukur. Ia percaya bahwa semua yang dia miliki adalah anugerah dari Allah. Suatu hari, datanglah seorang saudagar kaya yang menanyakan rahasia keberhasilannya. Sang petani hanya menjawab, “Saya selalu mengucapkan ‘ma sya Allah’ atas apa pun yang Allah berikan.”
Saudagar itu pun terinspirasi untuk mengucapkan “ma sya Allah” dan menyadari bahwa segala kekayaan yang dimiliki sebenarnya hanyalah titipan. Seiring waktu, ladang petani tersebut semakin subur, sedangkan hati sang saudagar pun menjadi lebih damai dan bersyukur atas segala yang ia miliki.
2. Kisah Pemuda yang Terhindar dari Bahaya karena “Ma Sya Allah”
Seorang pemuda sedang bepergian melalui hutan ketika ia dikejutkan oleh seekor singa. Dalam ketakutan, dia mengucapkan, “ma sya Allah”, menyerahkan nasibnya sepenuhnya kepada Allah. Anehnya, singa itu tiba-tiba berhenti dan berbalik, meninggalkan pemuda itu dalam keadaan selamat.
Ketika ditanya oleh penduduk desa tentang apa yang terjadi, pemuda itu menjawab, “Saat itu, saya hanya mengingat Allah dan mengucapkan ‘ma sya Allah’, karena saya tahu hanya Allah yang berkuasa atas segala sesuatu.” Kisah ini mengingatkan orang-orang di desa tentang kekuatan penyerahan diri dan kesadaran bahwa hanya Allah yang bisa melindungi mereka dari segala bahaya.
3. Seorang Guru yang Mengajarkan “Ma Sya Allah” pada Muridnya
Ada seorang guru bijak yang selalu menasihati murid-muridnya untuk mengucapkan “ma sya Allah” setiap kali mereka melihat sesuatu yang baik atau luar biasa. Suatu hari, salah satu muridnya berhasil mencapai prestasi yang luar biasa dalam studinya, dan sang guru mengucapkan, “ma sya Allah”.
Ketika murid bertanya mengapa, sang guru menjelaskan, “Mengucapkan ‘ma sya Allah’ adalah bentuk rasa syukur dan perlindungan agar nikmat yang kau terima tetap ada dan tidak mengundang kesombongan. Dengan ‘ma sya Allah’, kita mengakui bahwa semua pencapaian adalah atas kehendak Allah, bukan semata usaha kita.”
4. Kisah Pengembara yang Menemukan Ketenangan dengan “Ma Sya Allah”
Suatu ketika, ada seorang pengembara yang tidak pernah merasa puas dengan hidupnya. Dia selalu merasa kurang dan ingin lebih dari apa yang dimilikinya. Suatu hari, dia bertemu dengan seorang lelaki tua yang bijak dan bertanya kepadanya bagaimana caranya agar hidup lebih bahagia.
Lelaki tua itu tersenyum dan berkata, “Setiap kali kamu melihat sesuatu yang indah atau menginginkan sesuatu, ucapkan ‘ma sya Allah’ dan lihatlah bagaimana hatimu akan berubah.” Pengembara itu pun mencoba mengikuti nasihat tersebut. Seiring waktu, dia mulai merasa damai, karena setiap kali ia melihat keindahan atau merasakan nikmat, ia mengingat bahwa semua ini adalah kehendak Allah. Dengan “ma sya Allah”, ia belajar untuk lebih bersyukur dan hidup dengan ketenangan batin.
5. Cerita Tetangga yang Mengagumi Rumah Tetangganya
Di sebuah kampung, ada seorang pria yang memiliki rumah yang sangat indah. Setiap kali orang lain melihat rumahnya, mereka selalu mengatakan betapa cantiknya rumah itu. Namun, pemilik rumah selalu menjawab dengan, “ma sya Allah”, untuk mengingatkan dirinya dan orang lain bahwa keindahan dan nikmat tersebut adalah kehendak Allah.
Suatu hari, salah satu tetangganya bertanya mengapa dia selalu mengatakan “ma sya Allah”. Pemilik rumah menjelaskan bahwa kalimat itu membantu dirinya bersyukur dan melindungi rumahnya dari hal-hal buruk, termasuk pandangan iri dari orang lain. Tetangganya mulai melakukan hal yang sama, dan merasa hidupnya jauh lebih damai karena selalu mengingatkan diri untuk bersyukur kepada Allah.
6. Pangeran yang Belajar Arti “Ma Sya Allah” dari Orang Bijak
Suatu ketika, ada seorang pangeran yang merasa sangat bangga dengan semua yang dimilikinya – kekayaan, kekuasaan, dan penghormatan. Dia merasa tidak membutuhkan apa pun selain apa yang telah dicapainya sendiri. Suatu hari, dia bertemu dengan seorang bijak yang mengajarinya makna “ma sya Allah”.
Sang bijak berkata, “Segala yang kau lihat dan miliki adalah kehendak Allah. Jangan lupa untuk mengucapkan ‘ma sya Allah’ atas semua itu, agar kamu senantiasa sadar bahwa semuanya bisa hilang kapan saja jika Allah berkehendak.” Sejak itu, pangeran tersebut mulai mengucapkan “ma sya Allah” dan merasakan perubahan dalam hatinya, menjadi lebih rendah hati dan sadar bahwa semua miliknya hanyalah titipan.
Kesimpulan ; Kisah-kisah ini mengajarkan bahwa “ma sya Allah” bukan hanya kalimat pujian, tetapi juga cara untuk mengingatkan diri kita pada kehendak Allah dalam segala hal. Dengan mengucapkan “ma sya Allah”, kita belajar untuk lebih bersyukur, menjaga diri dari sifat iri dan hasad, serta mengingat bahwa semua yang kita miliki atau alami hanyalah karena kehendak Allah.
Doa Munjia
Diriwayatkan oleh Ibrahim Alkafami, dari kitab Albaladul Amin; Doa dari Nabi Muhammad saw yang membacanya 10 kali setiap hari maka Allah Swt ;
1, Mengampuni 4000 Dosa Besarnya
2, Dimudahkan Sakaratul mautnya
3, Kuburnya tidak menghimpitnya
4, Diselamatkan dari 100 ribu kesusahan hari kiamat
5, Dijaga dari kejahatan syeithon dan tentaranya
6, Akan dilunasi hutangnya
7, Dihilangkan kesedihan dan kesusahannya
8, Dikabulkan doa-doanya
Doa dan Teks latinnya adalah :
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ،
اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ ،
١، أَعْدَدْتُ لِكُلِّ هَوْلٍ لاَإِلَهَ إِلاَّاللَّهُ،
٢، وَلِكُلِّ هَمٍّ وَغَمٍّ مَاشَاءَ اللَّهُ،
٣، وَلِكُلِّ نِعْمَةٍ اَلْحَمْدُلِلَّهِ،
٤، وَلِكُلِّ رَخَاءٍ الشُّكْرُ لِلَّهِ،
٥، وَلِكُلِّ أُعْجُوبَةِ سُبْحَانَ اللَّهِ،
٦، وَلِكُلِّ ذَنْبٍ أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ،
٧، وَلِكُلِّ مُصِيبَةٍ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ،
٨، وَلِكُلِّ ضِيقٍ حَسْبِيَ اللَّهُ،
٩، وَلِكُلِّ قَضَاءٍ وَقَدَرٍ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ،
١٠، وَلِكُلِّ عَدُوٍّ اعْتَصَمْتُ بِاللَّهِ،
١١، وَلِكُلِّ طَاعَةٍ وَ مَعْصِيَةٍ لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إلاَّ بِاللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ
Bismillâhirrohmânirrohîm,
Allâhumma sholli ‘alâ Muhammadin wa âli muhammadin,
1, A'dadtu likulli haulin lâ ilâha illallâh
2, wa likulli hammin wa ghommin mâ syâ-allâh,
3, wa likulli ni’matin alhamdulillâh,
4, walikulli roghô-in Asy-syukru lillâh,
5, walikulli u’jûbati subhânallâh,
6, wa likuuli dzambin astaghfirullâh,
7, wa likulli mushîbatin innâ lillâhi wa innâ ilaihi rôji’ûn,
8, wa likulli dîqin hasbiyallâh
9, walikulli qodhô-in wa qodarin tawakkaltu ‘alallâh,
10, walikulli ‘aduwwin I’tashomtu billâh,
11, wa likuli thô-atin wa ma’shiyatin lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil ‘azhîm.
Dengan asma Allah Yang Maha Kasih dan Maha Sayang,
1, Daku persiapkan untuk setiap kegelisahan ; lâ ilâha illallâh, (tidak ada tuhan kecuali Allah)
2, untuk setiap kesumpekan dan kesusahan; mâ syâ- allâh, (apapun kehendak-Mu Ya Allah)
3, untuk setiap nikmat ; alhamdulillâh, (segala puji bagi Allah)
4, untuk setiap kelapangan : syukru lillâh, (syukur pada-Mu Ya Allah)
5, untuk setiap yang mengagumkan ; subhânallâh, (Maha Suci Engkau Ya Allah),
6, untuk setiap dosa ; astaghfirullâh, (daku mohon ampun pada-Mu Ya Allah)
7, untuk setiap musibah ; innâ lillâhi wa innâ ilaihi rôji’ûn, (segala sesuatu dari- Mu Ya Allah dan akan kembali kepada-Mu)
8, untuk setiap kesempitan ; hasbiyallâh, (cukuplah bagi-Mu Ya Allah)
9, untuk semua taqdir dan ketetapan ; tawakkaltu ‘alallâh, (daku percayakan pada-Mu Ya Allah)
10, untuk setiap musuh ; i’tashomtu billâh, (daku berlindung pada- Mu Ya Allah)
11, untuk setiap ketaatan dan kemaksiatan ; lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâhil ‘aliyyil ‘azhîm. (daku tidak memiliki kekuatan kecuali dari- Mu Ya Allah).
Comments (0)
There are no comments yet