“Alhamdulillah” adalah pengakuan tertinggi atas keberadaan, keesaan, dan kesempurnaan Allah.
Penulis: Muhammad Taufiq Ali Yahya
Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran
Berikut adalah 10 makna dari kata “Alhamdulillah” yang sering diucapkan oleh umat Muslim:
1.Ungkapan Rasa Syukur: Alhamdulillah adalah bentuk ungkapan rasa syukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan.
2.Pujian kepada Allah: Mengandung makna memuji Allah, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
3.Pengakuan terhadap Keagungan Allah: Mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah atas segala ciptaan-Nya.
4.Penerimaan Qadar (Takdir): Mengandung arti penerimaan dan ridha terhadap takdir yang telah ditetapkan oleh Allah.
5.Rasa Sabar dan Tawakal: Diucapkan sebagai tanda kesabaran dan berserah diri kepada Allah dalam menghadapi ujian hidup.
6.Mengingatkan Keterbatasan Diri: Mengingatkan manusia bahwa semua yang diperoleh adalah karena kehendak dan kebaikan Allah.
7.Penyemangat untuk Tetap Positif: Dengan mengucapkan Alhamdulillah, seseorang mengingatkan dirinya untuk tetap berpikir positif dalam segala situasi.
8.Ucapan Kesejahteraan dan Kebahagiaan: Menandakan perasaan sejahtera dan bahagia dengan segala yang dimiliki.
9.Penghormatan kepada Pencipta: Menghormati Allah sebagai Pencipta dan Pemilik segala sesuatu di dunia dan akhirat.
10.Penguat Iman dan Ketaatan: Menjadi bentuk pengakuan iman dan memperkuat ketaatan kepada Allah, mengingat semua yang terjadi dalam hidup adalah karena kehendak-Nya.
Ucapan “Alhamdulillah” sering digunakan dalam berbagai situasi, baik saat mendapat rezeki maupun saat menghadapi kesulitan, karena mengandung pengakuan akan kebesaran Allah dalam segala aspek kehidupan.
Al-Qur’an, dan ucapan “Alhamdulillah”
Berikut beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang mengandung “Alhamdulillah” beserta konteksnya:
1.Al-Fatihah (1:2)
“Alhamdulillahi rabbil ’alamin”
Pujian bagi Allah, Tuhan semesta alam. Ini adalah ayat kedua dalam Surat Al-Fatihah, yang dikenal sebagai pembukaan dalam shalat. Ayat ini mengajarkan umat Muslim untuk selalu memuji Allah.
2.Al-An’am (6:1)
“Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang kafir masih mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.”
Dalam ayat ini, “Alhamdulillah” menunjukkan rasa syukur dan pujian kepada Allah atas penciptaan langit dan bumi, serta pengaturan segala sesuatu di alam semesta.
3.Al-Kahfi (18:1)
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Kitab (Al-Qur’an) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya.”
Alhamdulillah di sini diucapkan sebagai pujian atas turunnya Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup yang lurus tanpa kebengkokan.
4.Saba’ (34:1)
“Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bagi-Nya pula segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana, Maha Mengetahui.”
Ayat ini memuji Allah atas kepemilikan dan kekuasaan-Nya di langit, bumi, dan akhirat.
5.Az-Zumar (39:74)
“Dan mereka berkata: ‘Segala puji bagi Allah yang telah memenuhi janji-Nya kepada kami dan telah memberi kami tempat ini (surga) sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki.’ Maka (itulah) sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal.”
Pada ayat ini, Alhamdulillah adalah ungkapan syukur dari orang-orang yang mendapatkan balasan surga di akhirat atas kebaikan dan keimanan mereka.
6.Al-Mu’minun (23:28)
“Dan apabila kamu telah berada di atas bahtera itu, kamu dan orang-orang yang bersamamu, maka ucapkanlah: ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kami dari orang-orang yang zalim.’”
Ucapan Alhamdulillah ini muncul sebagai bentuk rasa syukur Nabi Nuh dan para pengikutnya ketika mereka diselamatkan dari banjir besar.
7.Yunus (10:10)
“Seruan mereka di dalamnya (surga) ialah: ‘Subhanakallahumma’, dan salam penghormatan mereka ialah: ‘Salam.’ Dan penutup doa mereka ialah: ’Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.’”
Ayat ini menggambarkan pujian orang-orang yang berada di surga, yang menutup doa mereka dengan “Alhamdulillah”.
Secara keseluruhan, “Alhamdulillah” di dalam Al-Qur’an sering digunakan untuk mengingatkan manusia tentang pentingnya bersyukur atas segala nikmat Allah, baik di dunia maupun di akhirat, serta mengakui kekuasaan dan kebaikan-Nya.
Dalam Hadis Qudsi ;
Jawaban Allah SWT saat hamba-Nya mengucapkan ; Alhamdulillah ;
فَإِذَا قَالَ: أَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ اْلعَالَمِيْنَ
قَالَ اللهُ جَلَّ جَلاَ لُهُ حَمِدَنِيْ عَبْدِيْ، وَ عَلِمَ أَنَّ النِّعَمَ الَّتِيْ لَهُ مِنْ عِنْدِيْ، وَأنَّ الْبَلاَيَا اَلَّتِيْ دَفَعْتُ عَنْهُ فَبِتَطَوُّلِيْ أُشْهِدُكُمْ أَنِّيْ أُضِيْفُ لَهُ إِلَى نِعَمِ الدُّنْيَا نِعَمَ اْلآخِرَةِ، وَأَدْفَعُ عَنْهُ بَلاَيَا اْلآخِرَةِ كَمَا دَفَعْتُ عَنْهُ بَلاَيَا الدُّنْيَا،
(“Bila Hamba membaca”) : “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”, (QS. 1:2).
“Allah menjawab”: “Hamba-Ku memuji-Ku dan ia sudah mengetahui bahwa nikmat-nikmat yang berada pada dirinya berasal dari sisi-Ku dan semua petaka yang aku hindarkan daripadanya itu juga berasal dari-Ku.
Maka atas limpahan rahmat-Ku,
Aku bersaksi pada kalian akan melipat gandakan padanya nikmat-nikmat dunia dan nikmat-nikmat akherat serta menghindarkan dirinya dari petaka akhirat sebagaimana aku menghindarkan darinya petaka dunia”.
Sujud Syukur Setelah Sholat
Diriwayatkan dari Imam Jakfar shodiq as :”Sujud Syukur ( Saat dilakukan setelah sholat) akan;
1, Menyempurnakan Sholat Anda
2, Mendatang Keridhoaan Rob Anda
3, Malaikat Kagum dengan Anda
4, Seorang Hamba saat selesai sholat dia sujud syukur, maka Allah SWT akan membukakan hijab antara dia dan para malaikat, kemudian Allah SWT berfirman;
“Duhai para malaikatku lihatlah hambaku, dia telah menunaikan kewajibannya, dia telah menyempurnakannya dengan sujud syukur kepadaku, terhadap apa yang Aku berikan nikmat kepadanya,
Duhai para malaikat Ku;”Apa yang layak diberikan kepadanya?
Malaikat menjawab;”Duhai Tuhan Kami, Karuniakanlah Rahmat-Mu”.
Kemudian Allah SWT berfirman;”Apalagi untuknya?”.
Malaikat menjawab;”Duhai Tuhan Kami, Karuniakanlah Sorgamu”.
Kemudian Allah SWT berfirman;”Apalagi untuknya?”.
Malaikat menjawab;”Duhai Tuhan Kami, Karuniakanlah Kecukupan Keperluannya”.
Kemudian Allah SWT berfirman;”Apalagi untuknya?”.
Malaikat menjawab;”Duhai Tuhan Kami, Karuniakanlah semua kebaikan untuknya”.
Kemudian Allah SWT berfirman;”Apalagi untuknya?”.
Malaikat menjawab;”Duhai Tuhan Kami, Karuniakanlah apa pun yang kami tidak mengetahui ilmunya”.
Maka Allah SWT berfirman;”Berterima kasihlah kepadanya sebagaimana dia telah bersyukur kepada-Ku, Dan terimalah dia dengan rahmat-Ku dan tunjukkan padanya rahmat-Ku”
(Man laa Yahdhurul Faqih; 1:219 / Tahzibul Ahkam 2; 110)
Para mufassir (ahli tafsir Al-Qur’an) tentang makna “Alhamdulillah”
Berikut adalah beberapa pandangan mufassir terkenal mengenai tafsir “Alhamdulillah”:
1.Ibnu Katsir
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Alhamdulillah” adalah bentuk pujian kepada Allah yang mencakup rasa syukur atas nikmat yang diberikan serta pengakuan akan kesempurnaan-Nya. Ia menekankan bahwa pujian ini tidak hanya terkait dengan nikmat duniawi tetapi juga mencakup segala aspek kekuasaan dan kebaikan Allah.
Ketika menafsirkan ayat kedua Surat Al-Fatihah (Alhamdulillahi rabbil ’alamin), Ibnu Katsir menekankan bahwa Allah memulai Al-Qur’an dengan pujian ini untuk mengajarkan manusia agar memulai segala sesuatu dengan memuji-Nya dan mengingatkan bahwa segala yang ada di alam semesta tunduk kepada kehendak Allah.
2.Al-Qurthubi
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menggarisbawahi bahwa “Alhamdulillah” adalah pengakuan bahwa segala pujian dan syukur hanya layak diberikan kepada Allah.
Ia menjelaskan bahwa pujian ini mencakup semua sifat sempurna dan agung Allah, baik dalam bentuk nikmat yang dirasakan oleh makhluk-Nya maupun dalam bentuk kebaikan yang tidak terhitung jumlahnya. Al-Qurthubi juga menekankan bahwa mengucapkan “Alhamdulillah” bukan hanya untuk kejadian baik, tetapi juga untuk keadaan yang mungkin sulit dipahami manusia, karena semua adalah ketentuan-Nya yang penuh hikmah.
3.At-Thabari
Imam At-Thabari, dalam tafsirnya, menafsirkan “Alhamdulillah” sebagai ungkapan penghormatan dan pengakuan atas seluruh kesempurnaan Allah.
Ia menekankan bahwa “Alhamdulillah” mengandung makna memuji Allah atas segala perbuatan-Nya yang sempurna, baik yang nyata maupun yang tersembunyi dari pandangan manusia.
At-Thabari juga menggarisbawahi bahwa “Alhamdulillah” adalah bentuk syukur yang terus menerus, yang tidak hanya diucapkan ketika menerima nikmat, tetapi juga ketika menghadapi musibah, karena segala sesuatu yang datang dari Allah selalu mengandung hikmah dan kebaikan.
4.Fakhruddin Ar-Razi
Dalam tafsirnya, Fakhruddin Ar-Razi menekankan bahwa “Alhamdulillah” tidak hanya terbatas pada nikmat duniawi, tetapi juga mencakup pujian terhadap sifat-sifat kesempurnaan Allah yang tak terbatas.
Ia menjelaskan bahwa “Alhamdulillah” adalah pengakuan bahwa segala hal di alam semesta berada di bawah kekuasaan dan kehendak Allah, dan tidak ada yang layak dipuji selain Dia.
Razi juga mengaitkan “Alhamdulillah” dengan konsep ketenangan hati dan rasa puas (ridha), di mana seorang hamba yang selalu memuji Allah akan merasa damai karena menyadari bahwa segala sesuatu terjadi karena kebijakan dan hikmah Allah.
5.Ibn ’Ashur
Ibn ’Ashur dalam tafsirnya “At-Tahrir wa At-Tanwir” menggarisbawahi bahwa “Alhamdulillah” adalah kombinasi dari pujian (hamd) dan rasa syukur (shukr), yang berbeda namun saling melengkapi.
Hamd lebih mengarah pada memuji Allah atas sifat-sifat-Nya yang mulia, sedangkan shukr adalah rasa syukur atas nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya.
Dengan demikian, “Alhamdulillah” mencakup keduanya, mengekspresikan baik pujian maupun rasa syukur secara bersamaan.
Secara umum, para mufassir sepakat bahwa “Alhamdulillah” adalah ungkapan yang sangat kaya dan luas maknanya, mencakup pujian, syukur, penghormatan, dan pengakuan akan kesempurnaan serta kekuasaan Allah dalam segala hal.
Para mufassir dalam tradisi tafsir Ahlulbait as memiliki pandangan yang kaya dan mendalam tentang “Alhamdulillah”, sebagaimana yang dapat kita lihat dari karya-karya mereka yang terkenal. Berikut adalah pandangan dari beberapa mufassir Ahlulbait as mengenai makna “Alhamdulillah”:
1.Al-Allamah Ath-Thabathaba’i
Dalam tafsirnya yang terkenal, Tafsir Al-Mizan, Al-Allamah Ath-Thabathaba’i menafsirkan “Alhamdulillah” sebagai pujian penuh yang hanya layak diberikan kepada Allah. Menurutnya, pujian ini mencakup segala aspek kesempurnaan Allah yang tidak terbatas dan berada di luar jangkauan manusia.
Ath-Thabathaba’i juga menggarisbawahi bahwa pujian kepada Allah dalam bentuk “Alhamdulillah” tidak hanya berlaku untuk nikmat yang diterima manusia, tetapi juga sebagai pengakuan bahwa Allah, sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta, pantas dipuji atas segala hal yang terjadi di dunia.
Ath-Thabathaba’i menekankan bahwa pengucapan “Alhamdulillah” harus disertai dengan kesadaran bahwa semua keberkahan, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi, berasal dari Allah, dan bahwa manusia harus selalu merasa bersyukur meskipun dalam situasi yang sulit.
Ia juga menekankan bahwa “Alhamdulillah” mengandung makna pengakuan terhadap keteraturan alam dan ketundukan segala sesuatu kepada kehendak-Nya.
2.Syaikh Mufid
Syaikh Mufid, salah satu ulama besar dalam tradisi Ahlulbait as, menekankan bahwa “Alhamdulillah” adalah manifestasi dari pengakuan total atas kesempurnaan Allah dan ketaatan mutlak kepada-Nya.
Dalam tafsirnya, Syaikh Mufid menyoroti bahwa “Alhamdulillah” tidak hanya terkait dengan syukur atas nikmat, tetapi juga mengandung elemen penegasan keimanan bahwa tidak ada yang pantas mendapatkan pujian selain Allah.
Ini sejalan dengan ajaran Tauhid yang sangat ditekankan dalam teologi Ahlulbait as.
Dalam konteks sosial dan moral, Syaikh Mufid juga menekankan bahwa mengucapkan “Alhamdulillah” adalah cara bagi manusia untuk merendahkan diri di hadapan Sang Pencipta, mengingatkan diri mereka bahwa apapun yang mereka peroleh adalah semata-mata karena anugerah Allah, bukan hasil usaha mereka sendiri.
3.Tafsir Al-Qummi
Ali bin Ibrahim Al-Qummi, seorang mufassir terkenal dari kalangan Ahlulbait as, dalam tafsirnya Tafsir Al-Qummi, menafsirkan “Alhamdulillah” dalam konteks yang lebih teologis. Ia menjelaskan bahwa “Alhamdulillah” adalah pernyataan pujian yang melibatkan pengakuan akan keesaan Allah (Tauhid), serta keyakinan bahwa Allah adalah sumber segala nikmat dan kebaikan.
Dalam tafsirnya tentang Surat Al-Fatihah, Al-Qummi menekankan bahwa “Alhamdulillah” adalah bentuk ibadah yang tertinggi, karena mengandung pengakuan bahwa segala pujian hanya layak diberikan kepada Allah, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Al-Qummi juga mengaitkan “Alhamdulillah” dengan kepatuhan kepada Ahlul Bait sebagai penuntun umat Islam dalam memahami agama yang benar. Baginya, memahami dan mengucapkan “Alhamdulillah” secara benar berarti memahami peran dan kedudukan Ahlul Bait dalam syariat Islam, karena mereka adalah sumber petunjuk dan kebenaran.
4.Tafsir Al-Burhan (Al-Bahrani)
Al-Bahrani, dalam tafsirnya Tafsir Al-Burhan, memberikan penekanan pada makna spiritual dan esoteris dari “Alhamdulillah”. Ia melihat “Alhamdulillah” sebagai ungkapan yang menghubungkan manusia dengan alam gaib dan realitas ilahiah.
Menurut Al-Bahrani, ketika seseorang mengucapkan “Alhamdulillah”, ia sebenarnya mengakui kehadiran Allah dalam segala aspek kehidupan, baik yang dapat dilihat maupun yang tidak terlihat.
Al-Bahrani menghubungkan ini dengan konsep wilayah, yaitu keyakinan dalam Ahlulbait as tentang kepemimpinan spiritual yang diberikan kepada Ahlul Bait.
Al-Bahrani juga menafsirkan “Alhamdulillah” sebagai salah satu bentuk zikrullah (mengingat Allah) yang paling utama, karena ini mengingatkan manusia akan kebesaran dan kedaulatan Allah dalam setiap detik kehidupan mereka.
5.Ayatollah Jawadi Amoli
Ayatollah Jawadi Amoli, seorang mufassir kontemporer Ahlulbait as, menekankan aspek keseimbangan antara pujian dan syukur dalam “Alhamdulillah”.
Dalam tafsirnya, ia menjelaskan bahwa pujian kepada Allah tidak hanya dalam bentuk lisan, tetapi juga dalam bentuk tindakan.
Pujian ini harus mencerminkan kehidupan yang penuh dengan amal saleh dan perilaku yang sesuai dengan syariat.
Menurutnya, ucapan “Alhamdulillah” adalah pengingat bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, sehingga segala tindakan kita harus diarahkan untuk mencari ridha-Nya.
Jawadi Amoli juga menekankan pentingnya memahami makna dalam yang terkandung dalam “Alhamdulillah”.
Ia mengatakan bahwa mengucapkannya dengan kesadaran penuh akan menciptakan kedamaian batin, karena seseorang mengakui bahwa apapun yang terjadi, baik itu nikmat atau musibah, semuanya adalah bagian dari rencana Allah yang bijaksana.
Secara keseluruhan, para mufassir Ahlulbait as memberikan penekanan yang kuat pada makna spiritual, teologis, dan moral dari “Alhamdulillah”, di mana pujian kepada Allah adalah pengakuan terhadap kebesaran, keesaan, dan kedaulatan-Nya atas seluruh ciptaan. Mereka juga mengaitkan “Alhamdulillah” dengan keyakinan Tauhid dan peran penting Ahlul Bait dalam agama Islam.
6.Al-Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i
Dalam tafsirnya Tafsir Al-Mizan, Tabataba’i menambahkan bahwa “Alhamdulillah” bukan sekadar pujian atau rasa syukur yang diucapkan secara lisan, tetapi juga cerminan dari kedalaman iman seseorang. Bagi Tabataba’i, ucapan ini menandakan pengakuan mendalam bahwa Allah adalah satu-satunya sumber segala kebaikan, baik dalam bentuk material maupun spiritual.
Tabataba’i juga menjelaskan bahwa dalam perspektif Syiah, pujian kepada Allah meliputi syukur atas karunia-Nya, termasuk petunjuk yang diberikan melalui Ahlul Bait sebagai penerus wahyu.
7.Tafsir Al-Kaafi
Al-Kulayni, pengarang kitab Al-Kaafi, mengaitkan “Alhamdulillah” dengan prinsip-prinsip keyakinan yang mengedepankan wilayah (kepemimpinan spiritual) Ahlul Bait. Al-Kulayni menafsirkan bahwa setiap pujian kepada Allah dalam bentuk “Alhamdulillah” harus disertai pengakuan atas bimbingan yang diberikan oleh para Imam Ahlul Bait sebagai penerus Nabi.
Menurutnya, pujian kepada Allah mencakup pemahaman mendalam tentang agama yang benar, yang tidak hanya melibatkan kepercayaan pada Tauhid, tetapi juga pengetahuan tentang hakikat Islam yang dijelaskan oleh Ahlul Bait.
8.Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn
Abu Al-Hasan Al-Huwaizi, dalam tafsirnya Nur Ats-Tsaqalayn, memfokuskan pada hubungan antara “Alhamdulillah” dengan kesempurnaan Allah yang tak terbatas. Ia menjelaskan bahwa pujian kepada Allah melalui ucapan ini adalah pengakuan bahwa seluruh alam semesta dan segala yang terjadi di dalamnya berada di bawah kendali dan kebijaksanaan Allah yang Maha Kuasa.
Al-Huwaizi menegaskan bahwa “Alhamdulillah” juga merupakan pengingat bahwa manusia harus selalu tunduk kepada kehendak Allah, dan ini harus tercermin dalam perilaku sehari-hari sebagai bentuk syukur yang hakiki.
9.Tafsir Al-Asfa
Syaikh Ja’far Subhani dalam tafsirnya Al-Asfa menyatakan bahwa “Alhamdulillah” merupakan salah satu cara untuk menghubungkan hati manusia dengan Allah secara langsung.
Menurutnya, setiap kali seseorang mengucapkan “Alhamdulillah”, ia menegaskan kembali keyakinannya bahwa Allah adalah sumber segala nikmat dan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan atau daya tanpa izin Allah.
Bagi Subhani, pujian ini memiliki aspek pengajaran, karena Allah sendiri memerintahkan manusia untuk bersyukur dan memuji-Nya, sebagai cara untuk menjaga hubungan spiritual yang kuat dengan-Nya.
10.Mulla Sadra
Mulla Sadra, seorang filsuf dan mufassir Ahlulbait as terkenal, memberikan tafsir filosofis mengenai “Alhamdulillah” dalam konteks hakikat keberadaan.
Dalam pandangannya, ucapan ini adalah pengakuan bahwa segala sesuatu dalam alam semesta, baik yang nyata maupun yang tidak terlihat, adalah manifestasi dari sifat-sifat Allah.
Mulla Sadra mengajarkan bahwa dengan mengucapkan “Alhamdulillah”, seseorang menyadari bahwa semua wujud di alam semesta adalah refleksi dari kehendak dan kekuasaan Allah, dan setiap pujian kepada-Nya adalah pengakuan akan kesatuan dan keesaan-Nya dalam segala hal.
Secara keseluruhan, para mufassir Ahlulbait as menekankan bahwa “Alhamdulillah” adalah ungkapan yang mengandung makna spiritual yang dalam. Bukan hanya pujian lisan, tetapi juga refleksi dari keyakinan yang kuat pada Allah sebagai sumber segala sesuatu.
Tafsir ini juga sering menghubungkan pujian ini dengan bimbingan Ahlul Bait dalam memahami agama yang benar serta sebagai bentuk pengakuan akan kebesaran dan keesaan Allah.
Menurut para ahli makrifat dan hakikat, “Alhamdulillah” memiliki makna yang sangat mendalam, jauh melampaui sekadar ucapan lisan.
Mereka melihat “Alhamdulillah” sebagai ungkapan jiwa yang memahami hakikat keberadaan dan manifestasi Allah dalam segala sesuatu.
Berikut ini beberapa pandangan ahli makrifat dan hakikat tentang makna “Alhamdulillah”:
1. Pujian Atas Keesaan dan Kesempurnaan Allah
Para ahli makrifat menekankan bahwa “Alhamdulillah” adalah pengakuan atas kesempurnaan mutlak Allah.
Segala bentuk pujian hanyalah layak diberikan kepada Allah karena Dia adalah sumber segala sesuatu, baik dalam aspek keberadaan, kebaikan, maupun kasih sayang-Nya.
Mereka menyadari bahwa tidak ada kebaikan atau keindahan yang dapat ditemukan di alam ini kecuali sebagai manifestasi dari keindahan dan kesempurnaan Allah.
Seorang ahli makrifat mengucapkan “Alhamdulillah” dengan kesadaran bahwa segala sesuatu di dunia ini berasal dari Allah dan kembali kepada-Nya.
2. Alhamdulillah sebagai Kesadaran akan Kehadiran Allah dalam Segala Sesuatu
Bagi seorang Arif (ahli makrifat), “Alhamdulillah” adalah ekspresi kesadaran mendalam bahwa kehadiran Allah terlihat dalam setiap ciptaan dan kejadian.
Mereka melihat bahwa setiap peristiwa, baik yang tampak baik atau buruk menurut manusia, adalah bagian dari kehendak ilahi yang sempurna.
Oleh karena itu, ucapan “Alhamdulillah” tidak hanya muncul ketika menerima kenikmatan atau kebaikan duniawi, tetapi juga saat menghadapi kesulitan atau ujian.
Ini karena ahli makrifat memahami bahwa semua yang terjadi adalah manifestasi dari kebijaksanaan Allah yang Maha Bijaksana.
3. Syukur yang Hakiki dan Penerimaan Total (Ridha)
Para ahli hakikat mengajarkan bahwa “Alhamdulillah” bukan sekadar ungkapan syukur, tetapi penerimaan total atas ketentuan Allah.
Seorang yang mencapai hakikat tidak hanya bersyukur atas apa yang ia anggap baik, tetapi juga bersyukur atas segala sesuatu yang ditetapkan Allah, termasuk kesedihan, kesulitan, atau kekurangan.
Ini karena mereka menyadari bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari rencana Allah yang penuh hikmah. Pujian kepada Allah dalam bentuk “Alhamdulillah” berarti berserah diri sepenuhnya kepada kehendak-Nya dan merasakan kedamaian di dalamnya.
4. Alhamdulillah sebagai Zikir Hati
Bagi para sufi dan ahli makrifat, “Alhamdulillah” adalah zikir hati yang terus-menerus. Zikir ini tidak hanya berupa ucapan lisan, tetapi merupakan getaran batin yang menyatu dengan kesadaran bahwa seluruh wujud bergantung kepada Allah.
Dalam keadaan sadar atau tidak sadar, ahli makrifat selalu “mengucapkan” pujian kepada Allah di dalam hati mereka, karena hati mereka telah terhubung dengan Allah secara terus-menerus.
“Alhamdulillah” menjadi ekspresi hidup seorang hamba yang telah mencapai makrifat, yang selalu hidup dalam kesadaran bahwa Allah adalah sumber segala sesuatu.
5. Manifestasi Tawhid (Keesaan Allah)
Para ahli hakikat mengajarkan bahwa “Alhamdulillah” adalah pernyataan tauhid yang paling mendasar.
Ketika seorang Arif mengucapkan “Alhamdulillah”, ia sebenarnya mengakui bahwa tidak ada yang layak dipuji selain Allah, karena tidak ada yang memiliki eksistensi sejati selain Dia.
Segala sesuatu di alam semesta ini hanyalah manifestasi dari wujud-Nya. Dalam perspektif ini, memuji Allah adalah pengakuan bahwa hanya Allah yang berhak menerima segala bentuk pujian, karena Dia adalah satu-satunya Wujud yang mutlak. Pujian ini adalah bentuk ketundukan total dan pengakuan bahwa segala yang ada hanyalah cerminan dari Allah yang Maha Esa.
6. Pujian dalam Cinta Ilahi
Bagi para sufi seperti Rumi atau Ibn Arabi, “Alhamdulillah” juga mengandung unsur cinta yang mendalam kepada Allah. Ucapan ini lahir dari rasa kagum dan cinta yang tak terbatas kepada Allah sebagai Sang Kekasih Ilahi. Mereka melihat bahwa memuji Allah bukan hanya kewajiban, tetapi juga merupakan ekspresi cinta yang penuh keintiman. Dalam pandangan mereka, seorang pencinta Allah memuji-Nya dalam setiap tarikan nafasnya, dan setiap detik kehidupannya adalah persembahan cinta kepada Sang Pencipta. “Alhamdulillah” menjadi manifestasi dari cinta yang terus menerus, tanpa henti, kepada Allah yang dicintai.
7. Pujian dalam Keberadaan dan Ketiadaan
Ahli hakikat seperti Ibn Arabi mengajarkan bahwa “Alhamdulillah” juga merupakan pengakuan bahwa keberadaan makhluk adalah kehendak Allah, dan bahwa tidak ada wujud selain Dia.
Dalam setiap pujian, seorang Arif menyadari bahwa ia sendiri hanyalah alat yang digunakan oleh Allah untuk memuji-Nya. Makhluk tidak memiliki keberadaan yang mandiri; segala sesuatu hanyalah cerminan dari Allah. Oleh karena itu, ketika seorang hamba mengucapkan “Alhamdulillah”, sebenarnya yang memuji adalah Allah sendiri melalui ciptaan-Nya.
8. Alhamdulillah sebagai Refleksi Keindahan Allah
Dalam tradisi sufi, Allah dikenal sebagai Al-Jamil (Yang Maha Indah), dan “Alhamdulillah” adalah pengakuan atas keindahan Allah yang tercermin dalam seluruh ciptaan.
Seorang ahli makrifat melihat keindahan Allah di mana-mana: dalam alam semesta, dalam pengalaman hidup, bahkan dalam penderitaan. Ucapan “Alhamdulillah” adalah respons batin seorang Arif yang melihat bahwa segala sesuatu di dunia ini pada dasarnya adalah manifestasi dari keindahan Allah yang tak terbatas.
9. Kesadaran akan Kekosongan Diri
Para ahli makrifat dan hakikat menyadari bahwa diri mereka tidak memiliki kekuatan atau kehendak tanpa izin Allah.
Dengan mengucapkan “Alhamdulillah”, mereka menegaskan kekosongan diri dan ketergantungan total pada Allah. Ucapan ini bukan hanya pujian, tetapi juga pengakuan bahwa segala pencapaian dan kemampuan yang mereka miliki adalah pemberian dari Allah.
Seorang Arif mengucapkan “Alhamdulillah” dengan kesadaran bahwa dirinya hanyalah hamba yang lemah dan Allah adalah satu-satunya sumber kekuatan dan karunia.
10. Pujian Abadi
Dalam pandangan para ahli hakikat, “Alhamdulillah” adalah pujian yang tidak pernah berakhir. Di alam yang lebih tinggi dan setelah kehidupan di dunia, para ahli hakikat percaya bahwa para kekasih Allah akan terus memuji-Nya tanpa henti di surga. “Alhamdulillah” bukan hanya pujian yang diucapkan di dunia, tetapi juga pujian abadi yang akan dilantunkan oleh para penghuni surga yang telah mencapai kebahagiaan dan kedekatan penuh dengan Allah.
Kesimpulan
Bagi para ahli makrifat dan hakikat, “Alhamdulillah” adalah pengakuan tertinggi atas keberadaan, keesaan, dan kesempurnaan Allah.
Ucapan ini tidak sekadar lisan, melainkan merupakan ekspresi hati, pikiran, dan jiwa yang telah menyatu dengan kesadaran akan Allah. “Alhamdulillah” adalah refleksi dari kesadaran bahwa segala sesuatu yang ada, baik dalam kebaikan maupun ujian, adalah dari Allah dan harus diterima dengan penuh syukur dan pujian kepada-Nya.
Dalam tradisi Sunni dan Syiah, “Alhamdulillah” memiliki makna yang penting dan sangat dihargai dalam praktik ibadah serta kehidupan sehari-hari. Dalam kedua mazhab, terdapat banyak hadis yang mengajarkan keutamaan dan makna mendalam dari ucapan “Alhamdulillah”, meskipun sumber dan perawi hadisnya mungkin berbeda. Berikut adalah beberapa pandangan hadis dari perspektif Sunni dan Syiah tentang “Alhamdulillah”:
1. Hadis Sunni Tentang Alhamdulillah
Dalam tradisi Sunni, banyak hadis yang menganjurkan umat Islam untuk mengucapkan “Alhamdulillah” sebagai ungkapan syukur kepada Allah. Berikut beberapa hadis yang menekankan pentingnya pujian ini:
•Keutamaan Syukur dengan “Alhamdulillah” Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah ridha kepada seorang hamba yang makan suatu makanan lalu mengucapkan ‘Alhamdulillah’ atasnya, atau minum suatu minuman lalu mengucapkan ‘Alhamdulillah’ atasnya.”
(HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa Allah sangat menghargai rasa syukur yang diucapkan seorang hamba, meskipun itu dalam konteks yang sederhana seperti makan dan minum.
Mengucapkan “Alhamdulillah” setelah menikmati nikmat dari Allah merupakan bentuk penghormatan dan syukur yang mendalam.
•Keutamaan Ucapan yang Ringkas Tapi Penuh Makna
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kalimat yang paling baik yang diucapkan oleh para nabi sebelumnya dan olehku adalah: ‘La ilaha illallah’ dan ‘Alhamdulillah’.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan bahwa ucapan “Alhamdulillah” termasuk dalam kalimat yang paling baik, diucapkan oleh para nabi. Kalimat ini mengandung pujian kepada Allah yang tidak hanya sekadar syukur, tetapi juga pengakuan atas kebaikan Allah yang meliputi segala sesuatu.
•Alhamdulillah Sebagai Pujian yang Paling Dicintai
Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar menegaskan keutamaan “Alhamdulillah”:
“Kalimat yang paling dicintai oleh Allah adalah: ‘Subhanallah, walhamdulillah, wala ilaha illallah, wallahu akbar’.” (HR. Muslim)
Dalam hadis ini, “Alhamdulillah” disebut sebagai salah satu kalimat yang paling dicintai oleh Allah karena ia mengandung pengakuan atas kesempurnaan Allah dan nikmat-Nya yang tak terhingga.
2. Hadis Syiah Tentang Alhamdulillah
Dalam tradisi Syiah, hadis-hadis tentang keutamaan “Alhamdulillah” banyak diriwayatkan melalui jalur Ahlul Bait (keluarga Nabi). Para Imam Ahlilbait as sangat menekankan pentingnya rasa syukur kepada Allah, terutama dalam bentuk pujian “Alhamdulillah”.
•Keutamaan Mengucapkan “Alhamdulillah” dalam Segala Keadaan
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq as (Imam keenam dalam Syiah), beliau berkata:
“Barangsiapa yang mengucapkan ‘Alhamdulillah’ ketika diberikan nikmat, maka ia telah memenuhi syukur atas nikmat tersebut. Dan barangsiapa yang mengucapkan ‘Alhamdulillah’ atas musibah yang menimpanya, maka musibah tersebut akan diringankan baginya.”
(Wasail ash-Shia)
Hadis ini menunjukkan bahwa ucapan “Alhamdulillah” tidak hanya berlaku untuk kebaikan, tetapi juga sebagai cara untuk menghadapi kesulitan dengan sabar. Dengan mengucapkan “Alhamdulillah”, seseorang mengakui hikmah di balik musibah dan menunjukkan penerimaan atas kehendak Allah.
•“Alhamdulillah” Sebagai Bentuk Pujian yang Utama
Imam Ali Zainal Abidin (Imam keempat dalam tradisi Syiah), dalam Sahifah Sajjadiyah—kumpulan doa yang dinisbahkan kepadanya, mengajarkan bahwa “Alhamdulillah” merupakan bentuk pujian tertinggi yang bisa diucapkan manusia. Dalam Doa Syukur, beliau menyatakan:
“Segala puji bagi Allah yang tidak ada siapa pun yang bisa menghitung nikmat-Nya, kecuali Allah sendiri. Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan pujian yang layak kepada-Nya selain Allah.”
Imam Zainal Abidin as mengajarkan bahwa manusia tidak pernah bisa sepenuhnya membalas atau mensyukuri nikmat Allah, sehingga ucapan “Alhamdulillah” adalah pengakuan bahwa hanya Allah yang mengetahui sejauh mana nikmat-Nya dan Dia-lah yang berhak menerima segala bentuk pujian.
•Ucapan “Alhamdulillah” dan Pengampunan Dosa; Imam Ja’far ash-Shadiq as juga menyebutkan dalam sebuah riwayat:
“Barangsiapa yang mengucapkan ‘Alhamdulillah’ setelah menyadari dosa yang dilakukannya, maka Allah akan mengampuninya.”
(Bihar al-Anwar)
Hadis ini menunjukkan keutamaan “Alhamdulillah” sebagai bentuk pengakuan akan rahmat dan pengampunan Allah, yang senantiasa memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk bertobat dan bersyukur.
3. Kesamaan dalam Sunni dan Syiah
Meskipun terdapat perbedaan dalam sumber-sumber hadis antara Sunni dan Syiah, makna “Alhamdulillah” dalam kedua mazhab memiliki kesamaan yang kuat. Beberapa kesamaan tersebut antara lain:
•Pujian Tertinggi kepada Allah: Baik dalam tradisi Sunni maupun Syiah, “Alhamdulillah” dianggap sebagai pujian tertinggi yang hanya layak diberikan kepada Allah. Kalimat ini mengandung pengakuan bahwa segala sesuatu yang baik datang dari Allah.
•Ucapan Syukur dalam Segala Kondisi: Dalam kedua mazhab, terdapat hadis yang menekankan pentingnya mengucapkan “Alhamdulillah” dalam segala keadaan, baik dalam kebahagiaan maupun kesulitan. Pujian ini menunjukkan penerimaan penuh terhadap takdir dan kehendak Allah.
•Pujian yang Mencakup Semua Nikmat: Hadis dalam tradisi Sunni dan Syiah sama-sama mengajarkan bahwa “Alhamdulillah” mencakup semua jenis nikmat, baik yang besar maupun yang kecil, serta menjadi bentuk syukur yang memadai untuk semua karunia yang diberikan Allah.
Kesimpulan; Dalam tradisi Sunni dan Syiah, “Alhamdulillah” adalah ungkapan syukur yang memiliki keutamaan yang sangat tinggi.
Kedua mazhab mengajarkan bahwa dengan mengucapkan “Alhamdulillah”, seorang hamba menunjukkan pengakuan atas kebaikan Allah, penerimaan atas segala kehendak-Nya, dan rasa syukur yang tulus atas nikmat yang diberikan. Meski perbedaan sumber hadisnya, esensi dari ucapan “Alhamdulillah” tetap sama: memuji Allah dengan penuh kesadaran dan rasa syukur atas segala yang Dia berikan.
Dalam tradisi Sunni dan Syiah, hadis-hadis yang berkenaan dengan Alhamdulillah menekankan pentingnya ucapan syukur ini sebagai wujud pujian kepada Allah. Meskipun sumber hadis dari kedua mazhab mungkin berbeda, esensi ucapan “Alhamdulillah” sebagai ungkapan rasa syukur yang mendalam kepada Allah diakui secara luas. Berikut ini beberapa pandangan dari hadis-hadis Sunni dan Syiah mengenai “Alhamdulillah”:
1. Hadis Sunni tentang Alhamdulillah
Hadis-hadis dalam tradisi Sunni mengajarkan keutamaan ucapan syukur dan pujian kepada Allah melalui kalimat “Alhamdulillah”. Beberapa hadis yang sering dikutip adalah sebagai berikut:
•Keutamaan Ucapan Alhamdulillah dalam Kehidupan Sehari-hari:
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya Allah ridha kepada seorang hamba yang, ketika makan, dia memuji Allah (mengucapkan ‘Alhamdulillah’), dan ketika minum, dia memuji Allah (mengucapkan ‘Alhamdulillah’).”
(HR. Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa Allah menyukai rasa syukur yang diucapkan oleh hamba-Nya dalam bentuk “Alhamdulillah”, bahkan dalam hal-hal sederhana seperti makan dan minum. Ini menegaskan pentingnya pujian kepada Allah dalam setiap aspek kehidupan sehari-hari.
•Pahala Mengucapkan Alhamdulillah: Dari Anas bin Malik, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Allah sangat menyukai pujian. Tidak ada suatu pemberian yang lebih utama daripada ucapan ‘Alhamdulillah’.”
(HR. Tirmidzi)
Dalam hadis ini, pujian kepada Allah dianggap sebagai perbuatan yang sangat mulia, yang dapat mendatangkan kecintaan Allah dan pahala yang besar.
•Alhamdulillah sebagai Kalimat yang Terbaik:
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kalimat yang paling baik yang diucapkan oleh para nabi sebelumku dan olehku adalah: ‘La ilaha illallah’ dan ‘Alhamdulillah’.”
(HR. Tirmidzi)
Ini menekankan bahwa “Alhamdulillah” termasuk dalam kalimat yang paling baik diucapkan karena mengandung pujian kepada Allah yang meliputi segala bentuk rasa syukur atas nikmat-Nya.
2. Hadis Syiah tentang Alhamdulillah
Dalam tradisi Syiah, ucapan “Alhamdulillah” juga memiliki tempat yang sangat penting dan banyak diriwayatkan melalui Ahlul Bait (keluarga Nabi).
Hadis-hadis yang berasal dari para Imam Syiah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dari ucapan ini:
•Alhamdulillah sebagai Ungkapan Syukur dalam Segala Keadaan:
Imam Ja’far ash-Shadiq (Imam keenam Syiah) berkata:
“Barangsiapa yang mengucapkan ‘Alhamdulillah’ ketika mendapatkan nikmat, maka ia telah menunaikan rasa syukur atas nikmat itu. Dan barangsiapa yang mengucapkan ‘Alhamdulillah’ ketika mendapatkan musibah, maka ia akan diringankan dari musibah tersebut.”
(Wasail ash-Shia)
Hadis ini menunjukkan bahwa mengucapkan “Alhamdulillah” bukan hanya berlaku dalam keadaan bahagia atau saat mendapatkan nikmat, tetapi juga sebagai bentuk kesabaran dan penerimaan atas ujian yang diberikan Allah.
•Alhamdulillah dan Pengampunan Dosa: Dalam hadis lain, Imam Ja’far ash-Shadiq meriwayatkan:
“Barangsiapa yang mengucapkan ‘Alhamdulillah’ setelah menyadari dosa yang dilakukannya, maka Allah akan mengampuninya.”
(Bihar al-Anwar)
Hadis ini menunjukkan bahwa ucapan “Alhamdulillah” juga berfungsi sebagai cara untuk mendapatkan pengampunan dari Allah, terutama ketika seseorang menyadari kesalahan atau dosa yang telah dilakukan.
•Pujian Alhamdulillah sebagai Zikir Tertinggi:
Dalam kitab doa Sahifah Sajjadiyah, yang disusun oleh Imam Ali Zainal Abidin (Imam keempat Syiah), beliau berulang kali menggunakan pujian “Alhamdulillah” dalam doanya untuk menyampaikan rasa syukur kepada Allah. Salah satu ungkapan terkenal dari beliau adalah:
“Segala puji bagi Allah yang tidak ada seorang pun yang bisa menghitung nikmat-Nya kecuali Dia, dan tidak ada yang bisa memuji-Nya dengan pujian yang sepadan selain Dia.”
Dalam pandangan para Imam Ahlulbait as, “Alhamdulillah” mengandung kesadaran bahwa segala nikmat berasal dari Allah, dan manusia tidak mampu sepenuhnya membalas atau mengukur nikmat-Nya.
3. Kesamaan dalam Hadis Sunni dan Syiah tentang Alhamdulillah
Meskipun Sunni dan Syiah memiliki jalur perawi hadis yang berbeda, banyak kesamaan dalam ajaran mereka tentang “Alhamdulillah”:
•Pujian Tertinggi kepada Allah: Baik dalam hadis Sunni maupun Syiah, “Alhamdulillah” dianggap sebagai pujian tertinggi yang hanya layak diberikan kepada Allah. Kalimat ini mencakup pengakuan akan nikmat dan kebaikan Allah yang meliputi segala sesuatu.
•Syukur dalam Segala Keadaan: Hadis dari kedua mazhab mengajarkan bahwa “Alhamdulillah” diucapkan baik dalam keadaan senang maupun susah. Ini mencerminkan kepasrahan dan ketundukan kepada Allah dalam menghadapi setiap ujian hidup.
•Ucapan yang Paling Dicintai oleh Allah: Baik dalam tradisi Sunni maupun Syiah, “Alhamdulillah” termasuk dalam ucapan-ucapan yang paling dicintai oleh Allah, karena itu adalah ungkapan pujian yang tulus dan syukur kepada-Nya.
•Zikir yang Bernilai Tinggi: Dalam kedua mazhab, “Alhamdulillah” dianggap sebagai bentuk zikir yang sangat bernilai, karena ia tidak hanya diucapkan sebagai formalitas, tetapi juga sebagai ekspresi dari rasa syukur yang mendalam terhadap segala bentuk nikmat Allah.
Kesimpulan; Dalam kedua tradisi Sunni dan Syiah, ucapan “Alhamdulillah” dianggap sebagai bentuk syukur dan pujian yang sangat mulia kepada Allah. Hadis dari kedua mazhab menekankan bahwa mengucapkan ; “Alhamdulillah” adalah cara untuk menunjukkan rasa syukur atas nikmat, penerimaan terhadap takdir Allah, dan bentuk zikir yang sangat dicintai oleh Allah. “Alhamdulillah” bukan hanya sekadar ucapan lisan, tetapi mencerminkan kesadaran batin seseorang atas segala kebaikan dan rahmat yang diberikan oleh Allah.
Cerita atau kisah yang berkaitan dengan ucapan “Alhamdulillah” sebagai ungkapan syukur kepada Allah:
1.Kisah Nabi Muhammad setelah Makan; Nabi Muhammad SAW selalu mengucapkan “Alhamdulillah” setelah makan. Dalam salah satu hadis, beliau bersabda bahwa Allah sangat mencintai hamba-Nya yang setelah makan atau minum mengucapkan pujian kepada-Nya dengan mengatakan “Alhamdulillah.” Rasulullah selalu menekankan pentingnya bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan, baik itu besar maupun kecil, dan mengajarkan umatnya untuk selalu mengingat Allah setelah makan.
2.Kisah Sayyidina Ali as di Medan Perang; Dalam banyak riwayat, Imam Ali bin Abi Thalib as (sepupu dan menantu Nabi) seringkali memulai atau mengakhiri perkataannya dengan ucapan “Alhamdulillah” ketika berhasil memenangkan suatu pertempuran atau mengatasi cobaan.
Imam Ali as mengajarkan bahwa kemenangan bukan semata karena kekuatan manusia, melainkan karena pertolongan Allah. Dalam salah satu perang, setelah berhasil memukul mundur musuh, Sayyidina Ali as mengangkat tangannya ke langit dan mengucapkan “Alhamdulillah” sebagai bentuk pengakuan atas bantuan Allah.
3.Kisah Sayyidah Fatimah as dan Roti; Suatu hari, Sayyidah Fatimah as (putri Nabi) tidak memiliki cukup makanan di rumahnya, tetapi ketika dia menerima sedikit roti, dia membaginya dengan orang yang membutuhkan. Saat itu dia mengucapkan “Alhamdulillah” sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah meskipun dalam kekurangan.
Kisah ini menunjukkan betapa besar rasa syukur ahlulbait, walaupun di tengah kekurangan, mereka tetap bersyukur kepada Allah.
4.Kisah Imam Hasan dan Imam Husain as Mengajari Bersyukur; Imam Hasan dan Imam Husain (dua cucu Nabi) sejak kecil diajarkan oleh kakek mereka, Nabi Muhammad, saw untuk selalu bersyukur. Ada kisah di mana Imam Husain kecil mengucapkan “Alhamdulillah” setelah mendapatkan air untuk diminum ketika dia sangat haus.
Hal ini menunjukkan bagaimana mereka telah dibimbing untuk selalu mengingat dan bersyukur kepada Allah dalam segala keadaan, bahkan sejak usia dini.
5.Kisah Nabi saw dan Orang Buta ; Suatu ketika Nabi Muhammad SAW bertemu dengan seorang pria buta yang selalu mengucapkan “Alhamdulillah” meskipun dalam keadaan sulit. Nabi bertanya kepadanya, mengapa dia selalu bersyukur meski kehilangan penglihatan.
Pria tersebut menjawab bahwa dia masih memiliki nikmat lain, seperti pendengaran dan kesehatan, sehingga dia merasa harus tetap bersyukur. Nabi Muhammad sangat menghargai sikap pria tersebut dan memujinya sebagai contoh orang yang selalu bersyukur kepada Allah.
1. Kisah Seorang Petani
Seorang petani mengalami musim panen yang sangat buruk. Dia merasa putus asa dan sedih. Namun, setelah berdoa dan merenungkan segala nikmat yang masih ada, dia mengucapkan “Alhamdulillah” dengan penuh keyakinan. Beberapa minggu kemudian, keadaan membaik, dan hasil panennya meningkat pesat. Dia menyadari bahwa ucapan syukur membawa ketenangan dan harapan.
2. Kisah Seorang Ibu
Seorang ibu yang memiliki anak sakit berat merasa sangat tertekan. Setiap hari dia berdoa untuk kesembuhan anaknya. Ketika anaknya mulai membaik, dia mengucapkan “Alhamdulillah” dengan penuh rasa syukur. Dia menyadari bahwa meskipun ada kesulitan, ada banyak nikmat yang bisa dia syukuri, termasuk dukungan dari keluarga dan teman.
3. Kisah Seorang Pengembara
Seorang pengembara tersesat di padang gurun tanpa air dan makanan. Setelah beberapa hari, dia berdoa dan mengingat nikmat-nikmat yang pernah dia terima dalam hidupnya. Dalam keputusasaannya, dia mengucapkan “Alhamdulillah”. Tak lama kemudian, dia menemukan oasis yang penuh dengan air. Dia merasa bersyukur dan berterima kasih kepada Allah atas pertolongannya.
4. Kisah Seorang Mahasiswa
Seorang mahasiswa menghadapi ujian yang sangat sulit dan merasa cemas. Namun, setelah belajar dengan giat dan berdoa, dia berhasil lulus dengan nilai yang baik. Saat mendengar hasil ujian, dia mengucapkan “Alhamdulillah” dengan penuh kebahagiaan. Dia menyadari bahwa usaha dan doa membawa hasil yang diinginkan.
5. Kisah Seorang Guru
Seorang guru mengajar di sekolah yang kekurangan fasilitas. Dia merasa frustrasi dengan keadaan tersebut. Namun, dia memutuskan untuk mengajarkan anak-anak dengan sepenuh hati dan penuh kasih sayang. Ketika melihat kemajuan murid-muridnya, dia mengucapkan “Alhamdulillah” karena merasa diberi kesempatan untuk berkontribusi dalam kehidupan mereka.
6. Kisah Seorang Pejuang
Seorang pejuang yang berjuang untuk kemerdekaan negaranya terpaksa menghadapi berbagai tantangan dan kehilangan. Setelah kemenangan diraih, dia mengucapkan “Alhamdulillah” atas semua pengorbanan yang dilakukan. Dia menyadari bahwa setiap cobaan membawa hikmah dan kekuatan baru.
Kesimpulan
Cerita-cerita di atas menggambarkan bagaimana ucapan “Alhamdulillah” menjadi ungkapan syukur yang mendalam dalam berbagai situasi. Baik dalam keadaan senang maupun sulit, mengingat nikmat dan berterima kasih kepada Allah membantu seseorang untuk lebih menghargai hidup dan menghadapi tantangan dengan penuh harapan.
Contoh Doa ; Yang banyak kalimat Alhamdulillahnya; bagian dari doa-doa Ahlilbait as;
Sebagian dari Doa Al-iftitah; Doa yang dinisbatkan dari Imam Zaman afs;
Ya Allah, daku mulai pujian dengan memuji-Mu Engkaulah pembenar atas kebenaran dengan karunia-Mu aku yakin bahwa Engkau Maha Penyayang dari yang penyayang pada (yang harus diberikan kepadanya) pengampunan dan rahmat Engkau Mahadahsyat pembalasannya pada (yang harus diberikan kepadanya) pelajaran dan penyiksaan dan Engkau paling sombong pada saat (yang harus ditampakkan) kesombongan dan keagungan.
Segala puji bagi Allah,
Yang tak mengambil teman maupun anak Yang tak mempunyai sekutu dalam kekuasaan, Yang tak mempunyai pembantu (untuk menjaga-Nya) dari kehinaan Maka agungkanlah Dia dengan sepenuhnya.
Segala puji bagi Allah
dengan sepenuh pujian atas segala nikmat-Nya.
Segala puji bagi Allah
yang tak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan-Nya yang tak ada bandingan baginya dalam kemuliaan-Nya.
Segala puji bagi Allah
yang tak ada tandingan bagi-Nya dalam kekuasaan-Nya yang tak ada pembantah dalam urusan- Nya.
Segala puji bagi Allah
tersiar urusan-Nya pada ciptaan-Nya, terlahir pujian-Nya dengan kemuliaan berlimpah sanjungan-Nya dengan kedermawanan-Nya, yang tak berkurang dan tak bertambah perbendaharaan- Nya karena sering memberi. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa dan Pemberi.
Segala puji bagi Allah
Pemilik Kerajaan, Yang menjalankan bahtera, Yang memerintahkan angin, Yang menerangkan pagi, Yang memberikan balasan, Tuhan semesta alam.
Segala puji bagi Allah
atas kesabaran-Nya.
Segala puji bagi Allah
atas maafnya setelah kekuasaan-Nya.
Segala puji bagi Allah
atas sepanjang keluhan-Nya di saat kemarahan-Nya, Dia Maha Kuasa atas apa yang diinginkan-Nya.
Segala puji bagi Allah
Yang menciptakan Makhluk-Nya, Yang melimpahkan rizki, Yang menjadikan pagi terang, Yang penuh kesabaran kemurahan, karunia dan nikmat, Yang jauh maka tak terlihat, Yang dekat maka rahasia apapun disaksikan-Nya, Mahaberkah dan Mahatinggi.
Segala puji bagi Allah,
Yang tidak memiliki pembantah yang mengadili-Nya. Yang tidak ada bandingan yang menyerupai-Nya pembantu yang menolong-Nya. Dengan kemulian-Nya takluk segala yang perkasa. Dengan keagungan-Nya tunduk segala yang agung. Dengan kekuasaan-Nya Ia menggapai apa saja yang dikehendaki- Nya.
Segala puji bagi Allah
yang mengabulkan seruanku di saat aku menyeru-Nya, yang menutupi segala aibku padahal aku mendurhakai-Nya, namun ia menambahkan nikmat-Nya padaku. Walaupun aku tidak memberi jasa kepada-Nya. Betapa banyak pemberian yang indah yang diberikan padaku, bencana yang menakutkan yang dihindarkan dariku, kesenangan yang memuaskan yang diperlihatkan padaku. Aku menyanjung-Nya sambil memuji Aku mengingat-Nya sambil menyucikan-Nya.
Segala puji bagi Allah,
Yang tidak membuka tabir-Nya dan tidak mengunci gerbang-Nya, Yang tak menolak orang yang memohon kepada-Nya Yang tidak menyia-nyiakan orang yang menaruh angan-angan kepada-Nya.
Segala puji bagi Allah
Yang mengamankan orang-orang yang takut. Yang menyelamatkan orang-orang yang sholeh (benar). Yang mengangkat derajat kaum mustad’afin. Yang menun- dukkan kedudukan kaum mustakbirin. Yang menghan- curkan kerajaan-kerajaan. Yang memberikan warisan kekuasaan kepada kaum yang lain.
Segala puji bagi Allah
Yang membinasakan para penguasa. Yang menghancurkan para penganiaya Yang mengetahui para pengecut. Yang menyiksa kaum Zalim, Yang menolong mereka yang memohon pertolongan, tempat hajat para pemohon, tempat sandaran kaum mukminin.
Segala puji bagi Allah,
Karena takut pada-Nya bergemuruh langit beserta penduduknya, bergoncang bumi beserta penghuninya bergelombang laut beserta orang- orang yang berenang dalam ganasnya ombaknya.
Segala puji bagi Allah,
Yang telah memimpin kami sampai ke sini, Dan tidaklah kami mendapatkan pemimpin, Sekiranya Allah tidak memimpin kami.
Segala puji bagi Allah,
Yang menciptakan dan tidak diciptakan. Yang memberikan rizki dan tidak diberi rizki. Yang memberi makan dan tidak diberi makan Yang mematikan yang hidup, Yang menghidupkan yang mati, Dan dia hidup takkan mati, pada "tangan" Nyalah setiap kebaikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.
Munajat Syakirin (Munajat Imam Sajjad as)
Tuhanku, runtunan karunia-Mu telah melengahkan daku untuk benar-benar bersyukur pada-Mu.
Limpahan anugerah-Mu, telah melemahkan daku untuk menghitung pujian atas-Mu.
Iringan ganjaran-Mu, telah menyibukkan daku untuk menyebut kemulia an-Mu.
Rangkaian bantuan-Mu, telah melalaikan daku untuk memperbanyak pujaan pada-Mu.
Ilahi, besarnya nikmat-Mu mengecilkan, rasa syukurku
memudar di samping limpahan anugrah-Mu puji dan sanjungku.
Karunia-Mu yang berupa cahaya iman menutupku dengan pakaian kebesaran.
Curahan anugrah-Mu, membungkusku dengan busana kemuliaan.
Pemberian-Mu merangkaikan padaku kalung nan tak terpecahkan,
dan melingkari leherku dengan untaian yang tak teruraikan.
Anugrah-Mu tak terhingga sehingga kelu lidahku menyebutkannya.
Karunia-Mu tak berbilang sehingga lumpuh akalku memahaminya,
apalah lagi menentukan luasnya
Bagaimana mungkin daku berhasil mensyukuri-Mu karena rasa syukurku pada-Mu memerlukan syukur lagi.
Setiap kali daku dapat mengucapkan bagi-Mu pujian, saat itu juga daku terdorong mengucapkan bagi-Mu pujian.
Ilahi, sebagaimana Engkau makmurkan kami dengan karunia-Mu dan memelihara kami dengan pemberian-Mu, sempurnakan bagi kami limpahan nikmat-Mu.
Tolakkan dari kami kejelekan azab-Mu, berikan bagi kami di dunia dan akhirat, yang paling tinggi dan paling mulia lambat atau segera.
Bagi-Mu pujian atas keindahan ujian-Mu dan limpahan kenikmatan-Mu,
(Bagi-Mu) pujian yang selaras dengan ridho-Mu yang sepadan dengan kebesaran kebajikan-Mu.
Wahai Yang Maha Agung.
Wahai Yang Maha Pemurah.
Dengan rahmat-Mu,
Wahai Yang Paling Pengasih dari segala yang mengasihi,
Ya, Arhamar Rôhimîn.
Comments (0)
There are no comments yet