Makna Utang dari Berbagai Perspektif: Bahasa, Syariat, Akhlak, dan Hakikat

Supa Athana - Entertainment
02 May 2025 13:40
Utang mengajarkan bahwa harta bukan milik mutlak manusia, melainkan titipan Allah. Maka tidak boleh menahan hak orang lain (utang) karena merasa itu milik pribadi.

Oleh: Muhammad Taufik Ali Yahya*

  1. Kewajiban Finansial

Makna dasar: Utang adalah kewajiban seseorang untuk membayar kembali sejumlah harta yang dipinjam dari orang lain dalam jangka waktu tertentu.

 

  1. Amanah dan Tanggung Jawab

Dalam Islam, utang adalah amanah besar yang wajib ditunaikan. Nabi saw bersabda:”Setiap utang akan ditagih di hari kiamat, meskipun hanya sebutir kurma.”(HR. Muslim)

  1. Penghalang Ketenangan Hati

Utang bisa menyebabkan kegelisahan jiwa, kesempitan dada, dan hilangnya ketenangan, sebagaimana dalam doa Rasulullah saw:”Aku berlindung kepada-Mu dari galau karena utang.”

  1. Pengurang Keberkahan

Utang yang berlebihan, atau tanpa niat membayar, bisa menjadi sebab hilangnya keberkahan rezeki dan hidup.

  1. Penunda Pengampunan

Disebutkan dalam hadis bahwa ruh seorang mukmin tertahan karena utangnya, sampai utangnya dilunasi.

  1. Ujian Akhlak dan Niat

Utang menjadi ujian niat dan integritas, apakah seseorang benar-benar berniat melunasi atau menipu dengan pura-pura miskin.

  1. Jembatan Kebaikan

Jika dilakukan dengan adab yang benar, utang bisa menjadi jembatan tolong-menolong, memperkuat ukhuwah, dan mendapatkan pahala bagi pemberi pinjaman.

  1. Potensi Kehinaan Dunia

Utang yang tidak tertunaikan bisa membawa kepada kehinaan, celaan, dan hilangnya wibawa di tengah masyarakat.

 

  1. Beban Akhirat

Utang bukan hanya urusan dunia; ia adalah beban di akhirat, bahkan jika yang diutang adalah seorang syahid, utangnya tetap ditagih.

 

  1. Cermin Ketergantungan

Secara hakikat, utang menggambarkan ketergantungan kepada makhluk, bukan kepada Allah. Dalam maqam hakikat, para wali berdoa agar dibebaskan dari ketergantungan selain kepada Allah.

Makna utang menurut Al-Qur’an;

  1. Utang adalah Akad yang Sah dan Diakui

Surah Al-Baqarah (2:282);”Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bermu‘amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”

 

Makna: Utang diakui secara syar‘i, tapi harus dicatat, jelas, dan memiliki batas waktu. Ini adalah ayat terpanjang dalam Al-Qur’an dan menunjukkan betapa pentingnya akad utang piutang.

 

  1. Utang Harus Ditunaikan dengan Amanah

Surah Al-Ma’idah (5:1);”Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad…”

 

Makna: Utang termasuk dalam janji (akad), dan Allah memerintahkan untuk menepatinya secara penuh.

 

  1. Pelunasan Utang sebagai Bentuk Keadilan

Surah Al-Baqarah (2:280);”Jika (orang yang berutang) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia lapang. Dan jika kamu menyedekahkannya, itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

 

Makna: Al-Qur’an mengajarkan empati kepada yang berutang. Jika kesulitan, diberi kelonggaran. Bahkan mengikhlaskan utang lebih utama jika mampu.

 

  1. Pencatatan dan Persaksian dalam Utang

Surah Al-Baqarah (2:282–283); “Dan hendaklah ada dua orang saksi dari orang-orang laki-laki di antaramu…”

 

Makna: Utang sebaiknya dicatat dan disaksikan untuk menghindari sengketa, menunjukkan pentingnya keadilan dan kehati-hatian.

 

  1. Utang Bisa Menjadi Beban

Ayat (makna isyarat): Surah Al-Muddatsir (74:38); “Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”

 

Makna: “Ini mencakup tanggung jawab utang. Di akhirat, setiap hak orang lain harus dikembalikan atau dibayar dengan pahala.

 

  1. Larangan Memakan Harta Orang Lain dengan Batil

Surah Al-Baqarah (2:188);”Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil…”

 

Makna: Utang yang tidak dibayar tanpa alasan termasuk dalam memakan harta dengan cara batil, yang dilarang keras oleh Al-Qur’an.

 

  1. Ujian terhadap Ketakwaan dan Niat

Surah At-Taghabun (64:15) ; “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan, dan di sisi Allah pahala yang besar.”

 

Makna: Utang bisa menjadi ujian kejujuran dan takwa: apakah seseorang meminjam dengan niat melunasi atau dengan niat menipu. Maka, Allah menilai niat dan sikap hati.

 

  1. Allah Mencintai Orang yang Menunaikan Hak

Surah Al-Ma’arij (70:32–33);”Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya.”

 

Makna: Membayar utang adalah bentuk menunaikan amanah, dan Allah mencintai hamba yang menjaga amanah dan janjinya, termasuk hak-hak orang lain.

 

  1. Harta adalah Titipan dan Ujian

Surah Al-Hadid (57:7); Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, dan infakkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya…”

 

Makna: Utang mengajarkan bahwa harta bukan milik mutlak manusia, melainkan titipan Allah. Maka tidak boleh menahan hak orang lain (utang) karena merasa itu milik pribadi.

 

  1. Rezeki dan Pembebasan Utang datang dari Allah

Surah Ath-Thalaq (65:2–3)..Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka…”

 

Makna: Bagi orang yang bertakwa, Allah menjamin jalan keluar dari beban, termasuk dari lilitan utang. Maka bertakwa dan jujur dalam niat berutang adalah kunci bantuan ilahi.

 

 

Makna utang menurut hadis Nabi Muhammad (saw);

 

  1. Utang Menyusahkan Jiwa dan Mengganggu Pikiran

“Utang di malam hari membuat seseorang tidak bisa tidur, dan di siang hari membuatnya hina.”

(HR. Al-Khara’ithi dan lainnya)

 

Makna: Utang menimbulkan tekanan batin dan beban psikologis, bahkan bisa mengganggu ketenangan siang dan malam.

 

  1. Nabi Berlindung dari Utang Seperti dari Dosa Besar

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

 

Makna: Utang dianggap berat, sampai Nabi saw menyamakannya dengan bahaya dosa, dan selalu minta perlindungan darinya.

 

  1. Utang Bisa Menghalangi Masuk Surga

“Jiwa seorang mukmin tergantung pada utangnya sampai ia melunasinya.”(HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah)

 

Makna: Meskipun seseorang mati syahid, ruhnya tidak akan tenang jika masih memiliki utang yang belum dibayar.

 

  1. Siapa yang Niatnya Baik, Allah akan Membantunya

“Barang siapa berutang dengan niat ingin membayar, Allah akan membantunya.” )HR. Bukhari)

 

Makna: Kejujuran dan niat tulus dalam berutang adalah kunci datangnya pertolongan Allah.

 

  1. Utang yang Tidak Dilunasi adalah Kecurangan

“Menunda pembayaran utang oleh orang mampu adalah kezaliman.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

 

Makna: Jika mampu membayar namun menunda-nunda, itu adalah kedzaliman terhadap hak orang lain.

 

  1. Rasul Tidak Menyolatkan Jenazah yang Masih Punya Utang

Suatu ketika, Rasulullah saw menolak menyolatkan seseorang karena ia masih memiliki utang.

(HR. Muslim)

 

Makna: Ini menunjukkan betapa seriusnya masalah utang di mata Rasulullah saw.

 

  1. Banyak Berdusta dan Ingkar karena Utang

“Sesungguhnya seseorang jika berutang, maka ia sering berbicara lalu berdusta, dan berjanji lalu mengingkari.” (HR. Bukhari)

 

Makna: Utang bisa menjerumuskan seseorang ke dalam akhlak tercela, seperti kebohongan dan pengkhianatan.

 

  1. Utang Bisa Menghilangkan Keberkahan

“Utang itu membawa kekhawatiran di malam hari dan kehinaan di siang hari.” HR. Baihaqi)

 

Makna: Utang yang tidak terkendali bisa menghancurkan keberkahan hidup, baik secara sosial maupun spiritual.

 

  1. Memberi Pinjaman Lebih Besar Pahalanya dari Sedekah

“Satu dirham yang kamu pinjamkan dua kali lebih utama daripada satu dirham sedekah.”(HR. Ibnu Majah)

 

Makna: Jika dilakukan dengan adab dan niat baik, utang bisa menjadi jalan pahala besar, baik bagi pemberi maupun penerima.

 

  1. Ahlul Bait pun Menjaga Diri dari Utang

Riwayat dari Imam Ali (as):

“Aku berlindung kepada Allah dari utang. Bila ia masuk pada seseorang, maka ia akan bicara dan berdusta, berjanji lalu mengingkari.”

(Nahjul Balaghah, hikmah ke-252)

 

Makna: Para Imam Ahlul Bait pun sangat berhati-hati terhadap utang, karena dampaknya bukan hanya duniawi, tapi juga moral dan spiritual.

 

Makna utang menurut hadis-hadis Ahlul Bayt (as);

  1. Utang Menghilangkan Kehormatan Diri

Imam Ali (as):”Utang adalah kehinaan di siang hari dan kesedihan di malam hari.”

(Nahjul Balaghah, hikmah 252)

 

Makna: Utang meruntuhkan wibawa dan merusak ketenangan batin, serta memenjarakan kehormatan seseorang di hadapan sesama.

 

  1. Utang Mengikis Agama dan Akal

Imam Ali (as):”Banyak utang menghilangkan akal dan mengurangi agama.”

(Ghurar al-Hikam)

 

Makna: Utang yang terus-menerus menggelapkan hati, membuat orang nekat melanggar syariat dan mengabaikan akhlak.

 

  1. Utang Membawa Kehinaan di Dunia dan Siksa di Akhirat

Imam Ja‘far al-Shadiq (as):

“Orang yang mati dan masih punya utang, akan ditahan dari surga sampai utangnya dibayar.”

(Sumber: al-Kāfī, jilid 5)

 

Makna: Utang bukan hanya tanggung jawab duniawi, tapi berimplikasi langsung pada keselamatan akhirat.

 

  1. Jangan Berutang Kecuali Terpaksa

Imam Ja‘far al-Shadiq (as):

“Berutang itu kehinaan. Jangan engkau memasukinya kecuali darurat atau tidak ada jalan lain.”

(al-Kāfī)

 

Makna: Utang hanya dibolehkan jika benar-benar mendesak, bukan karena gaya hidup atau kemewahan.

 

  1. Tidak Membayar Utang adalah Pengkhianatan

Imam Ali (as):”Menunda utang padahal mampu membayarnya adalah termasuk pengkhianatan.”

(Nahjul Balaghah)

 

Makna: Seseorang yang tidak menunaikan utangnya padahal mampu, telah mengkhianati amanah dan kepercayaan.

 

  1. Siapa yang Niatnya Baik, Allah akan Membantunya

Imam al-Baqir (as):”Barang siapa yang berutang dan berniat membayarnya, Allah akan membantunya.”(al-Kāfī)

 

Makna: Allah menolong hamba yang jujur dan bertanggung jawab dalam utangnya, walau belum bisa langsung membayar.

 

  1. Utang Membuka Pintu Dusta dan Pelanggaran

Imam Ali (as):”Utang menyeret kepada kebohongan, pelanggaran janji, dan kehinaan.”

(Nahjul Balaghah)

 

Makna: Utang bisa menjadi awal tergelincirnya moral, dan menjerumuskan dlm dosa-dosa lain.

 

  1. Orang Mukmin Harus Menjaga Nama Baik dalam Berutang

Imam Ali Zain al-‘Abidin (as):

“Jangan engkau berutang kepada orang yang bisa mempermalukanmu, dan jangan  kepada yang berakhlak buruk.”

(Tuhaf al-‘Uqul)

 

Makna: Utang tidak hanya soal uang, tapi juga menjaga kehormatan dan memilih dengan siapa berinteraksi.

 

  1. Waspada Terhadap Gaya Hidup Berbasis Utang

Imam al-Sadiq (as):”Cukuplah kemiskinan itu jika seseorang hidup dari utang.”(al-Kāfī)

 

Makna: Mengandalkan utang untuk hidup sehari-hari adalah cermin dari kelemahan diri dan kelalaian perencanaan.

 

  1. Utang Bisa Menghambat Doa dan Ibadah

Imam al-Ridha (as):”Salah satu hal yang menghalangi terkabulnya doa adalah menumpuk utang tanpa niat melunasinya.”Uyun Akhbār al-Ridha)

 

Makna: Utang yang tidak diselesaikan dan disepelekan menghalangi rahmat dan pertolongan Allah.

 

 

Makna utang menurut para ahli makrifat dan hakikat

  1. Utang adalah Simbol Ketergantungan Hati kepada Selain Allah

Ahli makrifat memandang bahwa hakikat utang bukan hanya meminjam harta, tetapi bergantung hati kepada makhluk, padahal seharusnya hati hanya bergantung kepada Allah.

Imam Ali (as): “Orang yang berutang telah menggadaikan kebebasannya kepada makhluk.”

 

  1. Utang Menghalangi Tajalli (Pancaran) Nur Ilahi

Dalam maqam irfan, kebersihan hati dari kegelisahan duniawi adalah syarat untuk menerima tajalli (penampakan cahaya hakikat).

Utang membawa keresahan, keluh kesah, dan ketergantungan, sehingga menghalangi penyaksian hakikat (musyahadah).

 

  1. Utang Adalah Hijab (Tabir) antara Hamba dan Kehadiran Ilahi

Sebagian arif berkata:”Segala sesuatu yang membuat hatimu lebih sibuk kepada dunia daripada Allah adalah hijab, dan utang adalah hijab yang paling kuat. “Karena utang membawa beban pikiran, rasa malu, rasa cemas, dan memalingkan perhatian dari dzikrullah.

 

  1. Utang Batin: Tanggung Jawab Ruhani yang Belum Ditunaikan

Ahli hakikat juga memandang bahwa bukan hanya harta yang bisa jadi utang, tapi ilmu, kasih sayang, amanah, dan waktu yang dipinjam dari makhluk maupun dari Allah juga bisa menjadi “utang batin”.

 

Siapa yang menerima ilmu tapi tidak menyampaikan, itu utang

 

Siapa yang berbuat dosa, itu utang terhadap dirinya sendiri.

 

  1. Utang Adalah Cermin Nafsu yang Belum Tunduk

Sebagian arif menyatakan bahwa kecenderungan untuk hidup di atas kemampuan (berutang) lahir dari nafsu yang belum dikendalikan. Maka, orang arif yang hakiki justru menjauhi utang karena itu tanda belum tunduknya ego kepada kehendak Ilahi.

 

  1. Hakikat Utang adalah Amanah yang Akan Dimintai Pertanggungjawaban di Hadapan Allah

Dalam pandangan batin, setiap utang adalah ikatan ruhani, bukan sekadar transaksi. Maka, pengingkaran atau penundaan tanpa hak atas utang adalah bentuk kezaliman ruhani, yang akan menjadi kegelapan di alam barzakh.

 

  1. Utang adalah Pengingat Faqr (Kefakiran Hamba kepada Allah)

Sebagian arif memaknai bahwa utang secara spiritual bisa menjadi rahmat, jika menyadarkan hamba bahwa dirinya fakir mutlak di hadapan Allah.

Namun, jika ketergantungan itu berpindah kepada makhluk, maka makna ubudiyyah pun rusak.

 

  1. Utang Bisa Menjadi Mi’raj (Tangga Kenaikan Ruhani)

Jika seorang arif terpaksa berutang, dan ia hadapi dengan ridha, sabar, jujur, dan tawakal, maka kesulitan akibat utang itu bisa menjadi sarana penyucian jiwa dan kenaikan maqam ruhani, seperti sabar Ahlul Bait atas musibah.

 

Makna utang menurut ahli hakikat Syiah;

  1. Utang adalah Hijab (Tabir) antara Ruh dan Tajalli Ilahi

Menurut ahli hakikat Syiah, utang bukan hanya beban duniawi, tetapi menjadi hijab batin yang menghalangi ruh untuk tenggelam dalam kehadiran Allah.”Setiap keterikatan kepada selain Allah adalah penghalang musyahadah.”Utang membawa kekhawatiran, keterikatan, dan keterhambatan ruhani.

 

  1. Utang adalah Manifestasi dari Faqr Dzati yang Tercemari

Dalam irfan Syiah, manusia adalah faqir mutlak kepada Allah. Namun jika kefakiran itu diarahkan ke makhluk (dengan mengharap dan bergantung kepada manusia), maka itu adalah bentuk penyimpangan dari tauhid eksistensial (tawḥīd wujūdī). Utang adalah tanda ketergantungan kepada makhluk, bukan kepada al-Ghaniyy (Yang Maha Kaya).

 

  1. Utang adalah Amanah Ruhani yang Menyebabkan Tertundanya Kembali kepada Allah

Ahli makrifat Syiah memandang bahwa utang adalah bentuk amanah ruhani yang akan menghalangi seseorang dari kematian dengan tenang (husn al-khatimah) karena jiwa masih membawa beban dunia.

Imam Ali (as) bersabda:”Hutang adalah duka malam dan hina siang.”

(Hikmah 319, Nahjul Balaghah)

 

  1. Utang Adalah Simbol dari Keterpisahan Hati dari Ma’rifah

Dalam suluk, kebersihan hati adalah syarat untuk sampai kepada ma‘rifah. Utang menguras perhatian, melahirkan rasa takut, dan menyibukkan ruh — menjauhkan murid dari muraqabah dan dzikir.

Sayyid Haydar Amuli menyebut dunia sebagai “rintangan terbesar dalam perjalanan ruhani”, dan utang adalah bagian dari perangkap dunia.

 

  1. Utang Mengganggu Tashfiyah (Penyucian) Jiwa

Ahli hakikat Syiah berusaha untuk mencapai tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa) agar layak menerima limpahan nur.

Utang—karena melibatkan keresahan dan kehinaan di depan makhluk—merusak kekhusyukan dan keikhlasan ibadah, dan menjadi sebab tidak hadirnya hati dalam munajat.

 

  1. Utang adalah Wujud dari Ketidakseimbangan antara Zuhud dan Tadbīr

Dalam hikmah praktis Syiah, zuhud bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi mengendalikannya dengan bijak.

Orang yang berutang karena mengikuti hawa nafsu, bukan darurat, telah gagal menyeimbangkan zuhud dan pengaturan (tadbīr) hidup.

 

Imam Shadiq (as): “Zuhud bukan berarti tidak memiliki harta, tapi tidak dikuasai oleh harta.”

 

  1. Utang adalah Ujian dalam Maqam Sabr dan Tawakkul

Jika terpaksa berutang, maka itu adalah ujian sabr (kesabaran), rida, dan tawakkul dalam maqam ruhani.

Jika ia mampu menjalaninya tanpa keluh kesah, maka musibah utang bisa menjadi tangga naik kepada Allah (mi‘rāj al-‘ārifīn).

 

  1. Hakikat Utang adalah Keterikatan, dan Wali Allah Adalah Orang yang Lepas dari Semua Keterikatan

 

Dalam maqam tertinggi irfan, seorang wali Allah adalah yang tidak memiliki keterikatan apa pun selain kepada Allah. Maka, beban utang, apalagi kepada manusia, adalah bentuk ‘isyq yang tercemar (‘isyq ghayr Ilahī) — cinta kepada selain Allah.

Baca juga:
Soal Isu Jokowi Ikut Cawe-cawe Menentukan Pembentukan Kabinet Prabowo, Ini Respon Gibran

 

Makna utang menurut para arif Syiah, khususnya dari tradisi irfan (tasawuf falsafi) dan hikmah batin yang diajarkan oleh para arif besar seperti Sayyid Haydar Amuli, Allamah Thabathaba’i, dan Imam Khomeini:

 

  1. Utang sebagai Hijab Ruhani

Para arif Syiah memandang utang bukan sekadar beban materi, tetapi sebagai hijab (tabir) yang menghalangi ruh untuk mencapai tajalli Ilahi (manifestasi Ilahi). Utang dapat menyibukkan hati dengan urusan duniawi, menjauhkan dari dzikir dan kontemplasi kepada Allah.

 

  1. Utang sebagai Manifestasi Ketergantungan kepada Makhluk

Dalam pandangan irfan Syiah, manusia adalah faqir (miskin) secara mutlak kepada Allah. Namun, ketika seseorang berutang, itu mencerminkan ketergantungan kepada makhluk, yang bertentangan dengan prinsip tauhid eksistensial (tawḥīd wujūdī). Utang menunjukkan bahwa seseorang belum sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah.

 

  1. Utang Mengganggu Tazkiyat al-Nafs (Penyucian Jiwa)

Utang dapat menimbulkan keresahan dan kekhawatiran, yang mengganggu proses tazkiyat al-nafs (penyucian jiwa). Para arif menekankan pentingnya ketenangan batin untuk mencapai ma’rifah (pengenalan kepada Allah), dan utang bisa menjadi penghalang dalam perjalanan spiritual ini.

 

  1. Utang sebagai Ujian dalam Maqam Sabr dan Tawakkul

Jika seseorang terpaksa berutang, itu dianggap sebagai ujian dalam maqam sabr (tingkatan kesabaran) dan tawakkul (ketergantungan kepada Allah). Para arif mengajarkan bahwa dalam kondisi ini, seseorang harus memperkuat keimanannya dan tetap bersabar, menjadikan utang sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

 

  1. Utang Menghambat Zuhud dan Tadbīr (Pengaturan Hidup)

Zuhud dalam irfan Syiah bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi mengendalikan dunia dengan bijak. Utang yang timbul karena mengikuti hawa nafsu menunjukkan kegagalan dalam menyeimbangkan zuhud dan tadbīr, yang dapat menghambat kemajuan spiritual seseorang.

 

  1. Utang sebagai Amanah Ruhani yang Menyebabkan Tertundanya Kembali kepada Allah

Utang dianggap sebagai amanah ruhani yang harus diselesaikan sebelum seseorang kembali kepada Allah. Para arif menekankan pentingnya menyelesaikan utang agar tidak menghambat perjalanan ruhani dan agar seseorang dapat meninggal dalam keadaan husn al-khatimah (akhir yang baik).

 

  1. Utang Mengganggu Muraqabah dan Dzikir

Utang dapat menyibukkan pikiran dan hati, mengganggu muraqabah (pengawasan diri) dan dzikir (mengingat Allah). Para arif menekankan pentingnya kehadiran hati dalam ibadah, dan utang bisa menjadi penghalang dalam mencapai kekhusyukan dan keikhlasan.

 

  1. Utang sebagai Simbol Keterikatan Hati dari Ma’rifah

Dalam perjalanan spiritual, keterikatan hati kepada selain Allah dianggap sebagai penghalang utama. Utang mencerminkan keterikatan kepada dunia, yang dapat menghalangi seseorang dari mencapai ma’rifah dan kedekatan dengan Allah.

 

Kisah dan pelajaran spiritual tentang utang

  1. Kisah Lelaki Bani Israil yang Menitipkan Uang kepada Allah

Dikisahkan seorang lelaki dari Bani Israil meminjam seribu dinar kepada temannya dengan Allah sebagai saksi dan penjamin. Ketika hendak mengembalikan utangnya, ia tidak menemukan perahu untuk menyeberang. Maka, ia memasukkan uang tersebut ke dalam sebatang kayu, melobanginya, dan menuliskan surat, lalu melemparkannya ke laut dengan niat menitipkannya kepada Allah. Allah pun menyampaikan kayu itu kepada si pemberi utang, dan utangnya pun dianggap lunas. 

 

  1. Ruh Seorang Mukmin Tertahan karena Utangnya

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:”Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung dengan sebab utangnya sampai utang dilunasi.” 

Hadis ini menunjukkan bahwa utang bukan hanya urusan duniawi, tetapi juga berdampak pada kondisi ruhani seseorang setelah meninggal dunia.

 

  1. Pandangan Ahlul Bait tentang Utang

Imam Ali (as) pernah bersabda: “Hutang adalah duka malam dan hina siang.”

Ajaran Ahlul Bait menekankan pentingnya menjaga diri dari utang yang tidak perlu dan selalu berusaha untuk melunasi utang tepat waktu.

 

  1. Pandangan Para Arif Syiah tentang Utang

Dalam tradisi irfan Syiah, para arif seperti Imam Khomeini dan Sayyid Haydar Amuli memandang utang sebagai hijab (penghalang) antara hamba dan Allah. Utang dapat menyibukkan hati dengan urusan duniawi, mengganggu dzikir, dan menghalangi perjalanan spiritual menuju makrifatullah. Oleh karena itu, mereka menekankan pentingnya hidup sederhana, qana’ah (merasa cukup), dan menghindari utang kecuali dalam keadaan darurat.

 

1, Kisah Nabi Muhammad ﷺ Berutang kepada Seorang Yahudi

Suatu ketika, Nabi Muhammad ﷺ meminjam uang dari seorang Yahudi bernama Zaid bin Sa’nah. Sebelum jatuh tempo, Zaid menagih utangnya dengan kasar. Umar bin Khattab marah dan hendak membalasnya, tetapi Nabi menenangkan Umar dan membayar utangnya dengan tambahan, menunjukkan akhlak mulia dalam menghadapi utang dan penagihannya. 

 

  1. Doa Rasulullah ﷺ untuk Abu Umamah yang Terlilit Utang

Abu Umamah mengalami kesulitan karena utang. Rasulullah ﷺ mengajarkan doa kepadanya:

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari ketakutan dan kekikiran, dan dari lilitan utang serta tekanan orang-orang.”  Setelah mengamalkan doa ini, Abu Umamah merasakan kelegaan dan mampu melunasi utangnya. 

 

  1. Hadis: Utang Membawa Kerisauan dan Kehinaan

Rasulullah ﷺ bersabda:”Berhati-hatilah kamu dalam berhutang, sesungguhnya hutang itu mendatangkan kerisauan di malam hari dan menyebabkan kehinaan di siang hari.” 

Hadis ini menggambarkan dampak psikologis dan sosial dari utang yang tidak dikelola dengan baik.

 

  1. Hadis: Utang yang Tidak Dilunasi Menjadikan Seseorang Seperti Pencuri

Rasulullah ﷺ bersabda:”Siapa saja yang berhutang dan ia tidak bersungguh-sungguh untuk melunasinya, maka ia akan bertemu Allah sebagai seorang pencuri.” Hadis ini menekankan pentingnya niat dan usaha dalam melunasi utang.

 

  1. Ruh Tertahan karena Utang yang Belum Dilunasi

 

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:”Ruh seorang mukmin terkatung-katung karena utangnya sampai utangnya dilunasi.”

Ini menunjukkan bahwa utang tidak hanya berdampak di dunia, tetapi juga mempengaruhi keadaan ruhani seseorang setelah meninggal dunia. 

 

  1. Pandangan Arif Syiah: Utang sebagai Hijab Ruhani

Dalam tradisi irfan Syiah, para arif seperti Imam Khomeini memandang utang sebagai hijab (penghalang) antara hamba dan Allah. Utang dapat menyibukkan hati dengan urusan duniawi, mengganggu dzikir, dan menghalangi perjalanan spiritual menuju makrifatullah. Oleh karena itu, mereka menekankan pentingnya hidup sederhana, qana’ah (merasa cukup), dan menghindari utang kecuali dalam keadaan darurat.

 

Semoga kisah-kisah ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang pentingnya mengelola utang dengan bijak dalam perspektif Islam dan ajaran para arif Syiah.

 

Manfaat menghindari atau melunasi utang serta doa-doa yang diajarkan dalam Islam dan oleh Ahlul Bayt (as) untuk memohon perlindungan dari utang:

 

Manfaat Menghindari atau Melunasi Utang

Menurut ajaran Islam dan para arif Syiah:

 

  1. Menjaga kehormatan diri (al-‘izzah) – Orang yang bebas dari utang tidak tergantung pada orang lain.

 

  1. Ketenangan batin dan pikiran – Utang menyebabkan kecemasan; melunasinya menenangkan hati.

 

  1. Menghindari hisab dan siksa di akhirat – Utang yang belum dilunasi bisa menghalangi ruh dari ketenangan kubur.

 

  1. Meningkatkan keberkahan rezeki – Allah memberi jalan keluar dan berkah kepada hamba yang bersungguh-sungguh melunasi utangnya.

 

  1. Membuka jalan spiritual (suluk) – Bagi arifin, utang adalah hijab yang menyibukkan dari Allah.

 

  1. Menguatkan tawakal dan qana’ah – Dengan menghindari utang, seseorang belajar bersandar hanya kepada Allah.

 

  1. Memperoleh keridhaan Allah dan manusia – Hutang lunas menyenangkan orang yang memberi pinjaman.

 

  1. Menjaga hubungan sosial dan silaturahmi – Utang yang tidak dibayar sering merusak hubungan antar manusia.

 

  1. Melatih disiplin dalam mengelola harta – Menghindari utang menumbuhkan kesadaran finansial.

 

  1. Menjadi teladan kebaikan dan amanah – Orang yang jujur dalam berutang dihormati, bahkan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.

 

Doa-Doa Menghindari & Melunasi Utang

  1. Doa Nabi Muhammad ﷺ (untuk Abu Umamah)

Afdhal dibaca pagi dan sore:

‎اللَّهُمَّ إني أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ والحَزَن، وأَعُوذُ بِكَ مِنَ العَجزِ والكَسل، وأَعُوذُ بِكَ مِنَ الجُبنِ والبُخل، وأَعُوذُ بِكَ مِن غَلَبَةِ الدَّينِ وقَهرِ الرِّجالِ

Allāhumma innī a‘ūdzu bika minal-hammi wal-ḥazan, wa a‘ūdzu bika minal-‘ajzi wal-kasal, wa a‘ūdzu bika minal-jubni wal-bukhl, wa a‘ūdzu bika min ghalabatid-dayni wa qahri r-rijāl.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari ketakutan dan kekikiran, dan dari lilitan utang serta tekanan orang-orang.”

 

2, Doa  Lunas Hutang dari Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad as

(Sahifah Sajjadiyah Doa No:30)

 

‎بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bismillāhir-raḥmānir-raḥīm

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

 

‎اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَ اٰلِهٖ

Allāhumma ṣalli ‘alā Muḥammadin wa ālihī

Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.

 

‎وَ هَبْ لِىَ الْعَافِيَةِ مِنْ دَيْنٍ

Wa hab līyal-‘āfiyata min daynin

Dan anugerahkanlah kepadaku keselamatan dari utang,

 

‎تُخْلِقُ بِهٖ وَجْهِىْ

Tukhliqu bihī wajhī

Yang membuat wajahku rusak karenanya,

 

‎وَ يَحَارُ فِيْهِ ذِهْنِىْ

Wa yaḥāru fīhi dhihnī

Yang membuat pikiranku bingung,

 

‎وَ يَتَشَعَّبُ لَهُ فِكْرِىْ

Wa yatasha‘‘abu lahu fikrī

Yang membuat pikiranku terpecah-pecah,

 

‎وَ يَطُوْلُ بِمُمَارَسَتِهٖ شُغْلِىْ

Wa yaṭūlu bimumārasatihī shughlī

Dan membuat kesibukanku berkepanjangan karena mengurusnya.

 

‎وَ اَعُوْذُبِكَ يَا رَبِّ مِنْ

Wa a‘ūdhu bika yā Rabb min

Aku berlindung kepada-Mu, wahai Tuhanku, dari

 

‎هَمِّ الدَّيْنِ وَ فِكْرِهٖ

Hammi ad-dayni wa fikrihī

Kecemasan karena utang dan pikirannya,

 

‎وَ شُغْلِ الدَّيْنِ وَ سَهَرِهٖ

Wa shughlid-dayni wa saharihi

Kesibukan karena utang dan gelisahnya malam karena itu.

 

‎فَصَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَ اٰلِهٖ

Faṣalli ‘alā Muḥammadin wa ālihī

Maka limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya,

 

‎وَ اَعِذْنِىْ مِنْهُ

Wa a‘idhnī minhu

Dan lindungilah aku darinya.

 

‎وَ اَسْتَجِيْرُ بِكَ يَا رَبِّ

Wa astajīru bika yā Rabb

Aku memohon perlindungan kepada-Mu, wahai Tuhanku,

 

‎مِنْ ذِلَّتِهٖ فِىْ الْحَيٰوةِ

Min dhillatihī fī al-ḥayāh

Dari kehinaannya di kehidupan dunia,

 

‎وَ مِنْ تَبِعَتِهٖ بَعْدَ الْوَفَاةِ

Wa min tabi‘atihī ba‘da al-wafāh

Dan akibatnya setelah wafat.

 

‎فَصَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَّ اٰلِهٖ

Faṣalli ‘alā Muḥammadin wa ālihī

Maka limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya,

 

‎وَ اَجِرْنِىْ مِنْهُ بِوُسْعٍ فَاضِلٍ اَوْ كَفَافٍ وَاصِلٍ

Wa ajirnī minhu bi wus‘in fāḍilin aw kafāfin wāṣilin

Dan lindungilah aku darinya dengan rezeki yang luas dan berlimpah, atau kecukupan yang terus mengalir.

 

‎اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَ اٰلِهٖ

Allāhumma ṣalli ‘alā Muḥammadin wa ālihī

Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya.

 

‎وَاحْجُبْنِىْ عَنِ السَّرْفِ وَ الْاِزْدِيَادِ

Waḥjubnī ‘ani as-sarafi wa al-izdiyād

Jauhkanlah aku dari pemborosan dan berlebih-lebihan.

 

‎وَ قَوِّمْنِىْ بِالْبَذْلِ وَ الْاِقْتِصَادِ

Wa qawwimnī bil-badhli wa al-iqtiṣād

Dan tegakkan aku dengan sikap dermawan dan hemat.

 

‎وَ عَلِّمْنِىْ حُسْنَ التَّقْدِيْرِ

Wa ‘allimnī ḥusna at-taqdīr

Ajarkanlah aku cara memperkirakan dengan baik.

 

‎وَاقْبِضْنِىْ بِلُطْفِكَ عَنِ التَّبْذِيْرِ

Waqbiḍnī bi luṭfika ‘ani at-tabdhīr

Dan tahanlah aku dengan kelembutan-Mu dari pemborosan.

 

‎وَ اَجْرِ مِنْ اَسْبَابِ الْحَلَالِ اَرْزَاقِىْ

Wa ajri min asbābi al-ḥalāl arzāqī

Limpahkanlah rezekiku melalui sebab-sebab yang halal.

 

‎وَ وَجِّهْ فِىْٓ اَبْوَابِ الْبِرِّ اِنْفَاقِىْ

Wa wajjih fī abwābi al-birri infaqī

Arahkanlah pengeluaranku pada pintu-pintu kebaikan.

 

‎وَ ازْوِ عَنِّىْ مِنَ الْمَالِ مَا يُحْدِثُ لِىْ مَخْيَلَةً اَوْتَاَدِّيًا اِلٰى بَغْىٍ اَوْ مَا اَتَعَقَّبُ مِنْهُ طُغْيَانًا

Wazwi ‘annī mina al-māli mā yuḥdithu lī makhīlatah aw ta’addiyan ilā baghyin aw mā ata‘aqqabu minhu ṭughyānan

Jauhkanlah dariku harta yang menimbulkan kesombongan, atau yang menyeretku pada kezaliman, atau yang akhirnya menyebabkan aku menjadi durhaka.

 

‎اَللّٰهُمَّ حَبِّبْ اِلَىَّ صُحْبَةَ الْفُقَرَاۤءِ وَ اَعِنِّىْ عَلٰى صُحْبَتِهِمْ بِحُسْنِ الصَّبْرِ

Allāhumma ḥabbib ilayya ṣuḥbata al-fuqarā’ wa a‘innī ‘alā ṣuḥbatihim biḥusni aṣ-ṣabr

Ya Allah, jadikan aku mencintai pergaulan bersama orang-orang fakir, dan tolonglah aku untuk bersabar dalam menyertai mereka.

 

‎وَمَا زَوَيْتَ عَنِّىْ مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْفَانِيَةِ فَاذْخَرْهُ لِىْ فِىْ خَزَاۤئِنِكَ الْبَاقِيَةِ

Wa mā zawayta ‘annī min matā‘i ad-dunyā al-fāniyah fa’dkhirhu lī fī khazā’inika al-bāqiyah

Apa pun dari kenikmatan dunia yang fana yang Engkau jauhkan dariku, maka simpanlah itu untukku dalam gudang-Mu yang kekal.

 

‎وَاجْعَلْ مَا خَوَّلْتَنِىْ مِنْ حُطَامِهَا وَ عَجَّلْتَ لِىْ مِنْ مَتَاعِهَا

Waj‘al mā khawwaltanī min ḥuṭāmihā wa ‘ajjaltā lī min matā‘ihā

Dan jadikanlah apa yang Engkau berikan kepadaku dari serpihan dunia, dan apa yang Engkau segerakan dari kenikmatannya,

 

‎بُلْغَةً اِلٰى جِوَارِكَ

Bulghatan ilā jiwārik

Sebagai bekal untuk menuju ke hadirat-Mu,

 

‎وَ وُصْلَةً اِلٰى قُرْبِكَ

Wa wuṣlatan ilā qurbik

Sebagai jalan untuk mendekat kepada-Mu,

 

‎وَ ذَرِيْعَةً اِلٰى جَنَّتِكَ

Wa dharī‘atan ilā jannatik

Dan sebagai sarana menuju surga-Mu.

 

‎اِنَّكَ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيْمِ

Innaka dhū al-faḍli al-‘aẓīm

Sesungguhnya Engkau adalah Pemilik karunia yang agung,

 

‎وَ اَنْتَ الْجَوَادُ الْكَرِيْمُ.

Wa anta al-jawādu al-karīm

Dan Engkaulah Yang Maha Dermawan lagi Maha Mulia.

*Penulis adalah Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment