Syukur adalah konsep yang komprehensif, melibatkan hati, lisan, dan perbuatan.
Penulis: Muhammad Taufiq Ali Yahya
Pelayan Pesantren Pertanian dan Penamalan Al-Quran
Berikut makna syukur:
1.Pengakuan atas nikmat:
Syukur berarti menyadari dan mengakui segala karunia yang diberikan oleh Tuhan.
2.Keikhlasan hati:
Syukur melibatkan ketulusan hati dalam menerima apa yang diberikan, baik itu kebaikan atau ujian.
3.Kesadaran akan anugerah: Menyadari bahwa segala yang dimiliki adalah pemberian dan bukan hanya hasil usaha sendiri.
4.Penghargaan terhadap kehidupan:
Syukur membuat seseorang lebih menghargai hidup dan segala aspek di dalamnya.
5.Ketenangan jiwa:
Rasa syukur dapat menenangkan hati dan mengurangi kegelisahan terhadap hal-hal yang tidak dimiliki.
6.Pemanfaatan nikmat:
Syukur bukan hanya diucapkan, tapi diwujudkan dengan memanfaatkan nikmat yang diberikan dengan baik.
7.Kebahagiaan batin:
Orang yang bersyukur cenderung lebih bahagia karena fokus pada apa yang dimiliki, bukan apa yang kurang.
8.Rasa rendah hati:
Syukur mengajarkan untuk tidak sombong karena menyadari semua adalah pemberian dari Tuhan.
9.Menghindari keluhan:
Dengan bersyukur, seseorang cenderung tidak mudah mengeluh, karena lebih fokus pada kebaikan.
10.Meningkatkan kualitas ibadah:
Bersyukur seringkali membawa seseorang untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dalam bentuk ibadah.
Syukur dalam Al-Qur’an memiliki makna yang sangat mendalam dan penting.
Syukur bukan hanya ucapan lisan, tetapi juga mencakup pengakuan dalam hati dan perbuatan nyata yang menunjukkan rasa terima kasih kepada Allah.
Berikut adalah pemahaman syukur berdasarkan Al-Qur’an dan beberapa pandangan mufassir:
1. Syukur dalam Al-Qur’an:
Al-Qur’an menyebutkan syukur dalam banyak ayat, beberapa di antaranya:
•QS Ibrahim (14): 7:
“Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.”
Dalam ayat ini, Allah menjanjikan bahwa syukur akan membawa tambahan nikmat, sedangkan kufur atau ingkar akan membawa hukuman.
•QS Al-Baqarah (2): 152:
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat-Ku).”
Allah memerintahkan umat-Nya untuk selalu bersyukur dan tidak mengingkari nikmat.
•QS Luqman (31): 12:
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: ‘Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji’.”
Ayat ini menunjukkan bahwa syukur adalah untuk kebaikan diri sendiri, bukan karena Allah membutuhkan syukur manusia.
2. Pandangan Para Mufassir Tentang Syukur:
a. Ibn Katsir:
Menurut Ibn Katsir, syukur mencakup pengakuan atas nikmat Allah dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan ditunjukkan dengan perbuatan yang baik.
Ibn Katsir menegaskan bahwa janji Allah dalam QS Ibrahim:7 adalah benar adanya; mereka yang bersyukur akan mendapatkan tambahan nikmat baik di dunia maupun di akhirat.
b. Al-Qurthubi:
Al-Qurthubi menjelaskan bahwa syukur adalah kombinasi antara pengetahuan tentang nikmat Allah, penghargaan atas nikmat tersebut, dan penggunaan nikmat sesuai dengan tujuan yang benar. Menurutnya, bersyukur adalah salah satu tanda penghambaan yang hakiki kepada Allah.
c. Al-Razi:
Fakhruddin Al-Razi dalam tafsirnya menyatakan bahwa syukur adalah bentuk ketundukan dan pengakuan penuh kepada Allah atas segala yang diberikan. Al-Razi menekankan bahwa orang yang bersyukur adalah orang yang menyadari hakikat keagungan Allah dan kecilnya manusia di hadapan-Nya.
d. Sayyid Qutb:
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Qutb menggambarkan syukur sebagai keadaan jiwa yang selalu berserah diri kepada Allah, yang kemudian diwujudkan dalam amal perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah. Ia juga menekankan pentingnya syukur dalam menghadapi ujian dan nikmat.
Tiga Aspek Syukur Menurut Para Mufassir:
1.Syukur dengan Hati: Menyadari dan mengakui sepenuhnya bahwa segala nikmat berasal dari Allah.
2.Syukur dengan Lisan: Mengucapkan pujian dan terima kasih kepada Allah atas segala karunia yang diberikan.
3.Syukur dengan Perbuatan: Memanfaatkan nikmat yang diberikan sesuai dengan tujuan yang diridhai Allah dan tidak menyia-nyiakannya.
Kesimpulannya, menurut Al-Qur’an dan para mufassir, syukur adalah konsep yang komprehensif, melibatkan hati, lisan, dan perbuatan. Ini adalah salah satu kunci untuk mendapatkan tambahan nikmat dari Allah serta menjaga diri dari sikap kufur yang bisa membawa azab.
3. Syukur sebagai Tanda Ketaatan:
•QS Al-Nahl (16): 114:
“Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”
Ayat ini menegaskan bahwa bersyukur merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah.
Ketika seseorang mengakui dan memanfaatkan nikmat Allah dengan cara yang halal dan baik, ia sedang menjalankan perintah-Nya sebagai bentuk ibadah.
Mufassir seperti Ibn ‘Ashur menambahkan bahwa syukur yang tulus mengarahkan seseorang untuk senantiasa taat dan tidak menyimpang dari ajaran Allah.
4. Syukur sebagai Pelindung dari Sikap Kufur:
•QS An-Nisa’ (4): 147:
“Mengapa Allah akan menyiksamu jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.”
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang yang bersyukur dan beriman tidak akan disiksa.
Ibn Katsir mengomentari bahwa syukur melindungi seseorang dari sikap kufur dan dari sanksi yang diberikan kepada orang yang mengingkari nikmat.
Syukur adalah tameng dari sikap ingkar yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah.
5. Syukur sebagai Bentuk Penghambaan:
•QS Az-Zumar (39): 66:
“Tetapi hanya kepada Allah-lah hendaknya kamu menyembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.”
Al-Qurthubi dalam tafsirnya menekankan bahwa syukur bukan hanya ucapan atau ritual, tetapi merupakan bagian dari penghambaan yang sejati.
Menjadi hamba yang bersyukur berarti menyadari segala nikmat Allah dan mempersembahkan pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya, tanpa menyekutukan-Nya.
6. Syukur dalam Menyikapi Ujian:
•QS Al-Baqarah (2): 172:
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah.”
Al-Razi menjelaskan bahwa ujian dalam bentuk kebaikan atau kesulitan adalah kesempatan untuk bersyukur.
Dalam tafsirnya, ia menjelaskan bahwa syukur tidak hanya terkait dengan nikmat, tetapi juga dengan ujian. Orang yang bersyukur mampu melihat ujian sebagai sarana untuk meningkatkan kedekatan kepada Allah.
7. Syukur sebagai Landasan Keberkahan:
•QS Saba’ (34): 13:
“Mereka membuat untuk Sulaiman apa yang dia kehendaki, seperti gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung, dan piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku).
Bekerjalah wahai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan keluarga Nabi Daud untuk berbuat sebagai bentuk syukur.
Tafsir Jalalayn menyebutkan bahwa tindakan bekerja untuk kebaikan dan memanfaatkan nikmat yang telah diberikan adalah salah satu cara bersyukur.
Ketaatan dan perbuatan yang sesuai dengan perintah Allah akan membawa keberkahan dalam kehidupan.
Kesimpulan ;
1.Syukur sebagai ketaatan: Syukur tidak hanya berarti berterima kasih, tetapi juga menunjukkan ketaatan kepada Allah dalam menggunakan nikmat-Nya.
2.Syukur melindungi dari kufur: Bersyukur dapat menjaga manusia dari sikap kufur atau ingkar kepada nikmat Allah.
3.Syukur sebagai ibadah: Bersyukur merupakan bentuk pengabdian kepada Allah yang dilakukan dengan kesadaran penuh atas anugerah-Nya.
4.Syukur dalam menghadapi ujian: Bersyukur tidak hanya di saat menerima nikmat, tetapi juga saat menghadapi ujian dan kesulitan.
5.Syukur mendatangkan keberkahan: Dengan bersyukur, seseorang akan mendapatkan keberkahan dalam kehidupannya, karena syukur melibatkan amal perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah.
Dengan penjelasan ini, syukur dalam pandangan Al-Qur’an dan tafsir mufassir bukan hanya sekadar ucapan, tetapi menjadi cara hidup yang mencakup ketaatan, ibadah, dan pengakuan atas kebesaran Allah.
Dalam pandangan para mufassir Syiah, syukur memiliki kedudukan yang sangat tinggi dan mencakup pengertian yang dalam, melibatkan aspek teologis, moral, dan spiritual.
Beberapa mufassir Syiah memandang syukur tidak hanya sekadar ucapan terima kasih, tetapi juga mencakup seluruh bentuk penghambaan kepada Allah.
Berikut adalah pandangan beberapa mufassir Syiah tentang syukur:
1. Allamah Thabathaba’i (Tafsir Al-Mizan):
Allamah Thabathaba’i, seorang mufassir besar dalam dunia Syiah, dalam Tafsir Al-Mizan menekankan bahwa syukur adalah salah satu manifestasi penting dari keimanan.
Syukur tidak hanya diungkapkan dengan lisan, tetapi lebih dalam dari itu, melibatkan pengakuan di hati dan diwujudkan dalam perbuatan. Thabathaba’i menjelaskan bahwa syukur terbagi menjadi tiga bagian:
•Syukur dengan Hati:
Menyadari dan mengakui bahwa segala nikmat yang diterima berasal dari Allah, dan ini menjadi dasar keimanan seseorang.
•Syukur dengan Lisan: Mengucapkan rasa terima kasih kepada Allah melalui dzikir, doa, dan ungkapan lisan yang menunjukkan penghargaan atas nikmat.
•Syukur dengan Perbuatan: Memanfaatkan segala nikmat yang diberikan Allah dalam kebaikan dan sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Syukur yang hakiki adalah menggunakan nikmat Allah untuk menaati-Nya.
Thabathaba’i juga mengaitkan konsep syukur dengan keadilan. Menurutnya, seseorang yang bersyukur adalah orang yang meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang benar, sehingga syukur adalah tanda keadilan seorang hamba dalam menggunakan nikmat Allah.
2. Mulla Sadra (Tafsir Al-Asfar):
Mulla Sadra, filsuf dan mufassir Syiah yang terkenal, dalam tafsirnya Al-Asfar menafsirkan syukur sebagai bagian dari perjalanan spiritual manusia menuju Allah.
Bagi Mulla Sadra, syukur bukan hanya tentang kesadaran akan nikmat duniawi, tetapi juga melibatkan pengakuan terhadap nikmat terbesar, yaitu hidayah dan pengetahuan tentang Allah.
Menurut Mulla Sadra, syukur adalah tanda seseorang telah mencapai tingkat ma’rifat (pengetahuan yang mendalam tentang Allah).
Orang yang bersyukur adalah mereka yang memahami bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Syukur sejati bukan hanya berfokus pada nikmat duniawi, tetapi juga pada nikmat-nikmat spiritual dan eksistensial yang lebih tinggi.
3. Al-Sayyid Muhammad Husayn Fadlallah:
Al-Sayyid Muhammad Husayn Fadlallah, seorang ulama dan mufassir kontemporer Syiah, dalam karya-karyanya juga membahas pentingnya syukur dalam kehidupan seorang mukmin.
Menurutnya, syukur adalah bentuk penghambaan yang paling mendasar. Fadlallah menekankan bahwa orang yang bersyukur adalah mereka yang menyadari bahwa segala nikmat yang ada di dunia ini bukanlah milik mereka, tetapi berasal dari Allah, dan kewajiban mereka adalah menggunakannya dengan baik.
Fadlallah juga membahas bahwa syukur tidak hanya dilakukan ketika seseorang menerima sesuatu yang menyenangkan, tetapi juga harus dilakukan saat menerima ujian atau cobaan.
Ujian hidup adalah bentuk nikmat tersembunyi yang Allah berikan untuk menguji kesabaran dan keimanan hamba-Nya.
4. Al-Tusi (Tafsir Al-Tibyan):
Dalam tafsir Al-Tibyan, Syaikh Al-Tusi membahas syukur sebagai kewajiban moral yang harus dilakukan oleh setiap mukmin.
Al-Tusi menekankan bahwa syukur memiliki efek sosial yang penting, yaitu menciptakan hubungan harmoni antara manusia dengan Allah, serta antara manusia satu dengan yang lainnya.
Syukur membuat seseorang lebih sadar akan tanggung jawab sosialnya dan memotivasi mereka untuk berbagi nikmat dengan orang lain.
Al-Tusi juga menegaskan bahwa syukur adalah salah satu ciri utama para nabi dan orang-orang saleh.
Allah menyebut mereka dalam Al-Qur’an sebagai orang-orang yang selalu bersyukur, seperti dalam QS Saba:13 tentang Nabi Daud dan keluarganya yang diperintahkan untuk bersyukur.
5. Ayatollah Jawadi Amuli:
Ayatollah Jawadi Amuli, seorang teolog dan filsuf Syiah, dalam tafsirnya menjelaskan bahwa syukur adalah cara untuk mengenali kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.
Syukur, dalam pandangannya, adalah tanda seseorang telah mencapai kesadaran yang mendalam tentang realitas ilahi.
Amuli menekankan bahwa syukur adalah salah satu bentuk tertinggi dari dzikir, karena dengan bersyukur, manusia selalu mengingat Allah dalam segala hal yang mereka lakukan.
Menurut Amuli, syukur juga memiliki dimensi transformatif. Ketika seseorang bersyukur, itu tidak hanya memperbaiki hubungan mereka dengan Allah, tetapi juga membantu mereka tumbuh secara spiritual.
Syukur melibatkan perbaikan diri, sehingga nikmat yang diterima tidak menjadi beban, melainkan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Kesimpulan:
Dalam pandangan mufassir Syiah, syukur bukan hanya sekadar pengucapan rasa terima kasih kepada Allah, tetapi juga melibatkan pengakuan mendalam di hati dan perilaku nyata yang sesuai dengan kehendak Allah.
Syukur adalah bagian dari perjalanan spiritual seseorang menuju Allah, dan bentuk syukur tertinggi adalah penghambaan yang ikhlas, serta pemanfaatan nikmat dalam kebaikan.
Tafsir dari para ulama Syiah menekankan pentingnya integrasi syukur dalam seluruh aspek kehidupan: hati, lisan, dan perbuatan.
6. Syaikh Al-Mufid (Tafsir Risalah al-’Itiqadat):
Syaikh Al-Mufid, seorang teolog dan mufassir besar Syiah, dalam risalah teologisnya menekankan pentingnya syukur sebagai pengakuan atas kekuasaan dan kebaikan Allah.
Menurutnya, syukur bukan sekadar perasaan atau ucapan semata, melainkan kewajiban moral seorang hamba yang memahami bahwa segala kebaikan datang dari Allah.
Al-Mufid juga menekankan bahwa syukur adalah salah satu tanda iman yang benar, dan orang yang tidak bersyukur sebenarnya telah mengabaikan posisi Allah sebagai sumber segala nikmat.
7. Al-Sayyid Ali Khamenei:
Dalam berbagai pengajarannya, Ayatollah Ali Khamenei, seorang ulama besar Syiah dan pemimpin spiritual, sering membahas syukur dalam konteks sosial.
Menurut Khamenei, syukur tidak hanya bersifat individual, tetapi juga harus diwujudkan dalam tindakan sosial.
Bagi seorang mukmin, syukur kepada Allah mencakup memperbaiki kondisi masyarakat, membantu mereka yang kurang beruntung, dan menggunakan segala sumber daya untuk menciptakan keadilan sosial.
Dengan kata lain, syukur tidak hanya menambah nikmat secara pribadi, tetapi juga memperbaiki tatanan sosial secara keseluruhan.
8. Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i:
Dalam tafsirnya Al-Mizan, Allamah Tabataba’i juga menyinggung dimensi taqwa dalam syukur.
Menurutnya, syukur yang benar adalah ketika seseorang mampu menghubungkan segala nikmat yang diterimanya dengan kesadaran akan kehadiran Allah dan kemudian bertindak dalam ketaatan kepada-Nya.
Syukur sejati, menurut Tabataba’i, mengantar seorang mukmin kepada derajat taqwa yang lebih tinggi.
Ia juga menekankan bahwa syukur menuntut seseorang untuk selalu bersabar dalam ujian, karena ujian juga adalah bentuk nikmat tersembunyi yang Allah berikan untuk meningkatkan derajat keimanan hamba-Nya.
9. Syaikh Al-Kulayni (Kitab Al-Kafi):
Dalam karyanya Kitab Al-Kafi, Syaikh Al-Kulayni menguraikan bahwa syukur adalah salah satu pilar penting dalam kehidupan seorang mukmin.
Dia menjelaskan bahwa orang-orang yang bersyukur kepada Allah adalah mereka yang mengenali bahwa semua kebaikan dan keburukan di dunia terjadi dengan izin Allah.
Syukur mengajarkan manusia untuk tidak menyalahkan keadaan atau mengeluh, melainkan mencari hikmah di balik setiap kejadian.
Kulayni juga menekankan bahwa syukur harus dilakukan dengan hati yang ikhlas dan tindakan yang nyata, termasuk berbuat baik kepada sesama.
10. Sayyid Ali al-Sistani:
Sayyid Ali al-Sistani, salah satu marja’ besar Syiah, dalam fatwa-fatwanya sering menekankan pentingnya syukur sebagai bentuk penghambaan kepada Allah.
Menurutnya, orang yang bersyukur adalah mereka yang selalu mengingat Allah dalam keadaan senang maupun susah. Al-Sistani juga menekankan bahwa syukur yang benar harus diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata yang bermanfaat bagi orang lain.
Dengan cara ini, syukur tidak hanya menjadi ekspresi spiritual, tetapi juga menjadi pilar kehidupan sosial yang adil dan seimbang.
1.Syaikh Al-Mufid: Menekankan syukur sebagai pengakuan kekuasaan Allah dan kewajiban moral.
2.Ayatollah Ali Khamenei: Menekankan dimensi sosial syukur, di mana syukur harus diwujudkan dalam keadilan sosial.
3.Allamah Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i: Mengaitkan syukur dengan peningkatan derajat taqwa dan kesabaran dalam ujian.
4.Syaikh Al-Kulayni: Menguraikan syukur sebagai pilar kehidupan yang mencakup kesabaran dalam menghadapi takdir Allah.
5.Sayyid Ali al-Sistani: Menekankan syukur sebagai bentuk penghambaan yang melibatkan tindakan nyata yang bermanfaat bagi sesama.
Dengan penambahan ini, pandangan para mufassir Syiah tentang syukur semakin jelas bahwa syukur tidak hanya sebatas hubungan pribadi dengan Allah, tetapi juga melibatkan aspek sosial, spiritual, dan moral dalam kehidupan sehari-hari.
Syukur mengarahkan manusia untuk lebih sadar, rendah hati, dan adil dalam menggunakan segala nikmat yang diberikan Allah.
Konsep syukur dalam hadis Sunni dan Syiah sangat penting dan dipandang sebagai salah satu bentuk penghambaan yang harus dilakukan oleh seorang mukmin.
Kedua mazhab memiliki banyak hadis yang mengajarkan pentingnya bersyukur kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan, baik dalam keadaan senang maupun susah.
Berikut adalah beberapa hadis terkait syukur dari perspektif Sunni dan Syiah.
1. Hadis Tentang Syukur dalam Tradisi Sunni
Dalam tradisi Sunni, syukur memiliki posisi yang sangat sentral dan sering kali disebutkan dalam berbagai hadis.
Berikut adalah beberapa hadis terkenal mengenai syukur:
•Hadis dari Sahih Muslim:
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Lihatlah kepada orang yang berada di bawah kalian (dalam urusan dunia), dan janganlah kalian melihat kepada orang yang berada di atas kalian, karena itu akan lebih membuat kalian tidak meremehkan nikmat Allah.”
(Sahih Muslim, no. 2963)
Hadis ini mengajarkan bahwa bersyukur bisa dilakukan dengan cara melihat keadaan orang lain yang lebih membutuhkan, sehingga tidak ada sikap meremehkan nikmat yang Allah berikan.
•Hadis dari Sahih Bukhari:
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Barang siapa yang tidak bersyukur kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah.”
(Sahih Bukhari, no. 6011)
Hadis ini menunjukkan bahwa bersyukur tidak hanya kepada Allah, tetapi juga harus diwujudkan dalam hubungan sosial, yaitu berterima kasih kepada sesama manusia.
•Hadis dari Musnad Ahmad:
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sungguh mengagumkan urusan orang yang beriman. Segala urusannya baik baginya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, dan itu baik baginya. Jika ia ditimpa kesulitan, ia bersabar, dan itu baik baginya.”
(Musnad Ahmad, no. 1238)
Hadis ini menekankan bahwa seorang mukmin selalu dalam keadaan yang baik karena ia mampu bersyukur dalam kesenangan dan bersabar dalam kesulitan.
•Hadis dari Abu Dawud:
“Barang siapa yang makan makanan dan mengatakan: ‘Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah memberi aku makan ini dan memberiku rezeki tanpa daya dan kekuatanku’, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni.”
(Sunan Abu Dawud, no. 4023)
Hadis ini menunjukkan bahwa bersyukur kepada Allah setelah menikmati nikmat, seperti makanan, adalah perbuatan yang memiliki nilai besar di sisi Allah.
2. Hadis Tentang Syukur dalam Tradisi Syiah
Dalam tradisi Syiah, syukur juga ditekankan dalam banyak hadis yang diriwayatkan dari para Imam Ahlulbait.
Berikut adalah beberapa hadis tentang syukur dalam ajaran Syiah:
•Hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq:
“Bersyukurlah kepada Allah dalam setiap keadaan. Karena syukur adalah salah satu bentuk ibadah yang paling agung.”
(Bihar al-Anwar, jilid 68, hal. 44)
Imam Ja’far Ash-Shadiq menekankan bahwa syukur adalah bentuk ibadah yang sangat tinggi dan harus dilakukan dalam segala keadaan, baik ketika menerima nikmat maupun saat diuji.
•Hadis dari Imam Ali bin Abi Thalib:
“Barang siapa yang bersyukur kepada Allah atas nikmat yang kecil, maka dia layak mendapatkan tambahan nikmat yang besar.”
(Nahjul Balaghah, Hikmah 21)
Imam Ali mengajarkan bahwa bersyukur bahkan atas nikmat yang kecil akan mendatangkan tambahan nikmat yang lebih besar dari Allah.
Ini sejalan dengan janji Allah dalam Al-Qur’an (QS Ibrahim: 7).
•Hadis dari Imam Ali Zainal Abidin (Sahifah Sajjadiyah):
Dalam doa-doa yang terkumpul di Sahifah Sajjadiyah, Imam Ali Zainal Abidin sering kali memanjatkan doa syukur, salah satunya:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberiku nikmat-nikmat yang tidak dapat dihitung, yang tidak ada sesuatu yang dapat membayarnya selain syukur yang tak terhingga.”
Doa ini menegaskan betapa pentingnya bersyukur, bahkan ketika manusia tidak mampu menghitung nikmat-nikmat yang telah Allah berikan.
•Hadis dari Imam Hasan Al-Askari:
“Di antara tanda orang yang benar-benar bersyukur kepada Allah adalah dia selalu melihat kekurangannya dalam bersyukur.”
(Bihar al-Anwar, jilid 78, hal. 373)
Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang benar-benar bersyukur adalah mereka yang merasa belum cukup dalam bersyukur kepada Allah dan terus berusaha meningkatkan kesadaran dan amal syukurnya.
•Hadis dari Imam Muhammad Al-Baqir:
“Bersyukur adalah ketika engkau menggunakan nikmat Allah untuk menaati-Nya dan tidak menggunakannya dalam kemaksiatan.”
(Wasail Al-Shia, jilid 11, hal. 423)
Imam Al-Baqir menjelaskan bahwa bentuk syukur yang sejati adalah memanfaatkan nikmat Allah untuk kebaikan dan ketaatan, bukan untuk melakukan kemaksiatan atau hal yang dilarang.
Kesimpulan:
Dari kedua tradisi Sunni dan Syiah, dapat disimpulkan bahwa syukur adalah salah satu nilai fundamental dalam Islam yang ditekankan oleh Nabi Muhammad SAW dan Ahlulbait.
Dalam hadis-hadis tersebut, syukur tidak hanya dipahami sebagai pengucapan lisan, tetapi juga harus diwujudkan dalam perbuatan, baik dalam ketaatan kepada Allah maupun dalam hubungan sosial.
Baik Sunni maupun Syiah mengajarkan bahwa syukur membawa berkah tambahan dan melindungi seseorang dari keburukan, serta merupakan cara mendekatkan diri kepada Allah.
Syukur menurut para ahli makrifat dan hakikat memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan pengertian syukur yang seringkali hanya dihubungkan dengan ucapan lisan atau pengakuan secara sadar terhadap nikmat yang diberikan Allah.
Dalam pandangan tasawuf, syukur melibatkan dimensi spiritual yang lebih tinggi, termasuk pengenalan mendalam terhadap hakikat Allah, ketundukan total kepada-Nya, dan penyerahan diri sepenuhnya.
Berikut adalah beberapa konsep syukur menurut para ahli makrifat dan hakikat:
1. Syukur sebagai Pengakuan Hakikat Allah (Marifatullah)
Para ahli makrifat, seperti Ibnu Arabi dan Al-Ghazali, memandang syukur sebagai salah satu wujud ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah). Menurut mereka, syukur yang hakiki tidak hanya sekadar mengakui nikmat yang diberikan oleh Allah, tetapi lebih kepada mengenal hakikat Allah sebagai sumber segala nikmat.
•Ibnu Arabi dalam karya-karyanya, seperti Futuhat al-Makkiyah, menyatakan bahwa syukur yang sejati adalah ketika seorang hamba menyadari bahwa tidak ada yang berhak disyukuri selain Allah, dan semua wujud selain Allah hanyalah manifestasi dari-Nya.
Syukur hakiki adalah pengakuan terhadap Tuhan sebagai satu-satunya sumber keberadaan, dan karenanya, setiap nikmat yang diterima harus diarahkan kepada-Nya semata.
•Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan bahwa syukur yang sempurna hanya bisa dicapai ketika seseorang mampu menyadari bahwa segala sesuatu, baik yang disukai maupun yang tidak disukai, adalah bagian dari rencana Allah yang lebih besar.
Dengan pengenalan ini, seseorang tidak hanya bersyukur atas nikmat duniawi, tetapi juga atas setiap ujian dan cobaan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
2. Syukur dalam Tiga Dimensi: Hati, Lisan, dan Perbuatan
Para ahli hakikat membagi syukur menjadi tiga dimensi yang harus dilakukan secara simultan, yaitu:
•Syukur dengan hati:
Ini adalah bentuk kesadaran mendalam yang terjadi di dalam hati, di mana seseorang benar-benar mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah. Kesadaran ini melibatkan pemahaman bahwa nikmat itu bukanlah hak milik, melainkan amanah dari Allah yang harus dijaga.
•Syukur dengan lisan:
Ahli tasawuf seperti Al-Junaid menekankan bahwa syukur dengan lisan adalah ungkapan verbal dari rasa syukur yang ada di hati.
Ucapan seperti “Alhamdulillah” merupakan cara mengingatkan diri sendiri tentang asal usul nikmat, dan merupakan bentuk dzikir yang harus terus menerus dilakukan.
•Syukur dengan perbuatan: Syukur dengan perbuatan adalah menggunakan nikmat yang diberikan Allah sesuai dengan tujuan penciptaannya.
Rabi’ah al-Adawiyah, seorang wali sufi terkenal, menekankan bahwa syukur harus terwujud dalam tindakan nyata yang mendekatkan seseorang kepada Allah.
Syukur dengan perbuatan berarti menggunakan kekayaan, kesehatan, dan kemampuan yang diberikan untuk menolong orang lain dan beribadah kepada Allah.
3. Syukur sebagai Wujud Penghambaan Total
Dalam makrifat, syukur sering dianggap sebagai wujud penghambaan yang tertinggi.
Para ahli hakikat, seperti Al-Hallaj dan Bishr al-Hafi, menyebutkan bahwa orang yang benar-benar bersyukur adalah mereka yang hidupnya sepenuhnya diorientasikan untuk Allah.
•Al-Hallaj, yang terkenal dengan konsep fana’ (peleburan diri dalam Allah), menyatakan bahwa syukur yang hakiki terjadi ketika seseorang telah melebur sepenuhnya dalam kehendak Allah, sehingga apa pun yang terjadi padanya dianggap sebagai nikmat.
Ketika seseorang sudah mencapai tingkat ini, ia tidak lagi membedakan antara nikmat dan cobaan, karena baginya, keduanya adalah ekspresi kasih sayang Allah.
4. Syukur sebagai Jalan Menuju Maqam Tertinggi
Para sufi percaya bahwa syukur adalah tangga menuju maqam spiritual yang lebih tinggi.
Dalam tasawuf, maqam-maqam ini adalah tingkat-tingkat spiritual yang harus dilewati oleh seorang salik (pejalan spiritual) dalam perjalanan menuju Allah.
•Syekh Abdul Qadir al-Jilani, seorang wali besar, menyatakan bahwa orang yang bersyukur secara hakiki akan diangkat oleh Allah ke maqam yang lebih tinggi, karena syukur menunjukkan kesadaran dan kedekatan seseorang kepada Allah.
Syukur adalah salah satu pintu menuju maqam rida (kepuasan) di mana seseorang merasa puas dengan segala ketentuan Allah.
5. Syukur sebagai Cinta (Mahabbah)
Para ahli makrifat seperti Rumi dan Rabi’ah al-Adawiyah mengaitkan syukur dengan mahabbah (cinta) kepada Allah. Menurut mereka, syukur yang sempurna adalah bentuk cinta yang mendalam kepada Allah, di mana seseorang tidak lagi bersyukur karena nikmat yang ia terima, tetapi bersyukur karena cinta kepada Allah itu sendiri.
•Rumi dalam karyanya, Masnawi, menyatakan bahwa syukur adalah tanda cinta yang mendalam. Ketika seorang hamba mencintai Allah, ia akan bersyukur dalam setiap keadaan. Bagi Rumi, syukur tidak hanya dinyatakan dalam kondisi yang menguntungkan, tetapi juga dalam penderitaan, karena penderitaan pun dianggap sebagai anugerah dari Allah.
•Rabi’ah al-Adawiyah, yang dikenal dengan konsep cinta ilahinya, juga menekankan bahwa syukur yang paling tinggi adalah ketika seseorang bersyukur bukan karena mengharapkan pahala atau menghindari siksa, melainkan semata-mata karena cinta kepada Allah. Menurut Rabi’ah, cinta kepada Allah menuntut rasa syukur yang terus menerus dan tanpa syarat.
Kesimpulan:
Menurut para ahli makrifat dan hakikat, syukur memiliki makna yang jauh lebih mendalam dari sekadar pengucapan terima kasih.
Syukur dalam pandangan mereka adalah pengakuan akan hakikat Allah sebagai sumber segala sesuatu, penghambaan total kepada-Nya, serta perwujudan cinta dan kepuasan kepada segala ketentuan-Nya.
Para ahli tasawuf membagi syukur menjadi tiga dimensi: hati, lisan, dan perbuatan, dan semuanya harus dilakukan secara konsisten untuk mencapai maqam spiritual yang lebih tinggi.
Syukur, dalam esensinya, adalah jalan untuk mencapai kesadaran ilahi yang mendalam dan menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dalam cinta dan ketundukan penuh.
Dalam perspektif Syiah, konsep syukur yang dibahas oleh para ahli makrifat dan hakikat memiliki dimensi yang dalam dan berhubungan erat dengan pemahaman spiritual yang lebih tinggi, seperti ma’rifatullah (pengenalan terhadap Allah) dan wilayah Ahlulbait.
Ahli makrifat Syiah, seperti para teolog dan sufi Syiah, memahami syukur sebagai penghambaan total kepada Allah, yang melibatkan hati, lisan, dan perbuatan dalam konteks hubungan dengan Tuhan dan manusia.
Berikut adalah pandangan syukur menurut para ahli makrifat dan hakikat dalam Syiah:
1. Syukur sebagai Pengakuan terhadap Wilayah Ahlulbait
Para ahli makrifat Syiah, terutama dalam konteks irfan (gnosis) dan tasawuf, sering kali mengaitkan syukur dengan pengakuan atas wilayah (kepemimpinan spiritual) Ahlulbait.
Allamah Tabataba’i dan Mulla Sadra menekankan bahwa pengenalan terhadap hakikat kepemimpinan para Imam, terutama Imam Ali dan keturunannya, adalah bagian dari syukur yang lebih tinggi.
•Allamah Tabataba’i dalam tafsir Al-Mizan menyatakan bahwa syukur hakiki adalah ketika seseorang tidak hanya bersyukur atas nikmat material yang diberikan Allah, tetapi juga atas petunjuk rohani yang diberikan melalui Ahlulbait.
Pengenalan terhadap para Imam sebagai jalan menuju Allah merupakan salah satu bentuk syukur tertinggi dalam tradisi Syiah.
•Mulla Sadra, seorang filsuf dan sufi Syiah terkemuka, dalam filsafat eksistensinya menyatakan bahwa syukur yang sejati adalah pengakuan dan penerimaan akan eksistensi Tuhan dan para wali-Nya sebagai perwujudan kehendak Ilahi.
Mengenal hakikat para Imam dan mengakui wilayah mereka adalah bagian dari syukur yang memperdalam hubungan dengan Allah dan meningkatkan kesadaran spiritual seseorang.
2. Syukur dengan Tiga Dimensi: Hati, Lisan, dan Perbuatan
Ahli makrifat dalam Syiah, seperti Al-Kulayni dan Syekh Al-Saduq, juga menjelaskan bahwa syukur harus melibatkan tiga aspek: hati, lisan, dan perbuatan.
Dalam kitab-kitab Syiah, seperti Al-Kafi dan Man La Yahduruhu al-Faqih, syukur bukan hanya perasaan atau kata-kata, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata.
•Al-Kulayni dalam Al-Kafi menekankan bahwa syukur dalam hati adalah kesadaran bahwa segala sesuatu yang dimiliki datang dari Allah dan harus digunakan sesuai dengan kehendak-Nya.
Syukur dengan lisan, seperti mengucapkan “Alhamdulillah”, hanyalah awal dari syukur yang lebih mendalam, dan syukur dengan perbuatan adalah memanfaatkan nikmat Allah untuk kebaikan dan kepatuhan kepada hukum-hukum Allah.
•Syekh Al-Saduq menambahkan bahwa syukur perbuatan melibatkan amal saleh dan menggunakan nikmat untuk menolong sesama, membantu mereka yang membutuhkan, serta menjaga keadilan.
Misalnya, jika seseorang diberi kekayaan, syukur sejati adalah menggunakan kekayaan itu untuk berbuat kebaikan dan menegakkan keadilan di masyarakat.
3. Syukur dalam Menghadapi Ujian
Dalam pandangan tasawuf dan makrifat Syiah, syukur bukan hanya dilakukan ketika seseorang menerima nikmat yang menyenangkan, tetapi juga ketika menghadapi ujian dan cobaan.
Para Imam Ahlulbait, seperti Imam Ali Zainal Abidin dan Imam Ja’far Ash-Shadiq, mengajarkan bahwa salah satu bentuk syukur tertinggi adalah bersyukur atas ujian yang datang dari Allah, karena melalui ujian seseorang dapat mendekatkan diri kepada-Nya.
•Imam Ali Zainal Abidin dalam doa-doanya di Sahifah Sajjadiyah sering memanjatkan syukur atas kesulitan yang diberikan Allah sebagai bentuk perhatian khusus dari-Nya.
Menurut beliau, cobaan adalah salah satu cara Allah mengangkat derajat seorang hamba.
Bersyukur dalam kesulitan menunjukkan tingkat rida (kepuasan) yang tinggi terhadap takdir Allah, yang merupakan maqam spiritual yang tinggi dalam tradisi Syiah.
4. Syukur sebagai Penghambaan Total dan Fana’ Fillah
Ahli makrifat Syiah, seperti Mulla Sadra dan Allamah Thabathabai, juga melihat syukur sebagai bagian dari perjalanan spiritual menuju fana’ fillah (peleburan diri dalam Allah).
Syukur yang hakiki terjadi ketika seseorang tidak lagi melihat dirinya sebagai pusat dari nikmat yang diterima, tetapi melihat segala sesuatu sebagai bagian dari kehendak Ilahi.
•Mulla Sadra dalam konsepnya tentang al-hikmah al-muta’aliyah (filsafat transendental) menjelaskan bahwa syukur pada tingkat yang paling tinggi terjadi ketika seorang mukmin mencapai penghapusan ego (fana’) dan melihat semua nikmat sebagai manifestasi dari wujud Allah.
Pada tahap ini, seseorang tidak lagi mengklaim nikmat itu untuk dirinya sendiri, melainkan mengembalikan semuanya kepada Allah sebagai pemilik segala sesuatu.
5. Syukur Sebagai Cinta kepada Allah dan Ahlulbait
Dalam tasawuf Syiah, terutama dalam ajaran-ajaran yang diwariskan dari para Imam dan ahli makrifat seperti Ayatollah Behjat dan Imam Khomeini, syukur memiliki keterkaitan yang kuat dengan mahabbah (cinta) kepada Allah dan para Imam.
•Ayatollah Behjat, seorang mistikus besar Syiah, sering kali mengajarkan bahwa syukur yang paling tulus adalah ketika seseorang bersyukur kepada Allah bukan hanya karena nikmat duniawi, tetapi karena cinta yang mendalam kepada-Nya.
Syukur pada tingkat ini melibatkan perasaan rindu kepada Allah dan menggunakan segala nikmat yang diberikan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
•Imam Khomeini dalam karya-karya spiritualnya, seperti Adabus Salat, menekankan bahwa syukur adalah jalan menuju cinta ilahi yang lebih besar.
Cinta kepada Allah dan Ahlulbait mendorong seseorang untuk selalu bersyukur atas kesempatan beribadah dan mengikuti jalan para Imam yang merupakan perantara antara manusia dan Tuhan.
Kesimpulan:
Dalam tradisi makrifat dan hakikat Syiah, syukur melibatkan pengenalan mendalam terhadap Allah dan Ahlulbait, serta pemahaman tentang hubungan antara nikmat dan kewajiban seorang hamba.
Syukur tidak hanya bersifat lisan, tetapi harus diwujudkan dalam perbuatan yang sesuai dengan kehendak Allah, baik dalam menerima nikmat maupun dalam menghadapi ujian.
Para ahli makrifat dan hakikat Syiah menekankan pentingnya wilayah Ahlulbait sebagai bagian dari syukur yang hakiki, serta mengajarkan bahwa syukur adalah jalan menuju cinta dan penghambaan total kepada Allah, di mana segala sesuatu dilihat sebagai bagian dari kehendak Ilahi.
6. Syukur sebagai Penerimaan Takdir Allah (Rida)
Dalam ajaran tasawuf Syiah, salah satu bentuk syukur tertinggi adalah rida, yakni menerima segala ketentuan dan takdir Allah dengan lapang dada.
Para sufi Syiah seperti Syekh Bahai dan Ayatollah Javadi Amoli menekankan bahwa seorang yang bersyukur akan menerima apapun yang Allah berikan, baik dalam bentuk kesenangan atau kesulitan.
•Syekh Bahai, seorang mistikus Syiah, menyatakan bahwa syukur dan rida berjalan beriringan.
Ketika seseorang mampu menerima takdir Allah tanpa keluhan, ia telah mencapai maqam syukur yang lebih tinggi, di mana dia tidak hanya bersyukur atas nikmat yang tampak menyenangkan, tetapi juga atas ujian yang tampaknya sulit.
Rida terhadap takdir Allah adalah bukti dari kesyukuran yang mendalam dan penghambaan yang sejati.
7. Syukur atas Bimbingan Spiritual (Hidayah)
Syukur juga mencakup rasa terima kasih yang mendalam atas hidayah (petunjuk spiritual) yang Allah berikan melalui para Nabi dan Imam.
Dalam Irfan Syiah, para ahli makrifat seperti Mulla Sadra dan Allamah Tabataba’i menekankan bahwa syukur tertinggi adalah rasa terima kasih atas hidayah yang membimbing seseorang menuju jalan Allah.
•Mulla Sadra dalam pemikirannya menegaskan bahwa salah satu bentuk syukur tertinggi adalah mengenali hidayah sebagai nikmat terbesar dari Allah.
Ketika seseorang menyadari bahwa petunjuk dari para Imam Ahlulbait dan Nabi adalah jalan yang paling benar, ia bersyukur dengan memperdalam amal ibadahnya dan menghindari jalan yang menyimpang.
8. Syukur sebagai Pengendalian Nafsu
Para ahli makrifat dalam Syiah juga mengaitkan syukur dengan pengendalian nafsu (jiwa rendah).
Imam Khomeini dalam karya-karya spiritualnya, seperti Tahrir al-Wasilah, mengajarkan bahwa syukur yang sejati melibatkan pengekangan nafsu dan menggunakan nikmat yang Allah berikan dengan cara yang halal dan sesuai dengan tuntunan agama.
•Imam Khomeini menyatakan bahwa syukur bukan hanya mengucapkan “Alhamdulillah”, tetapi menggunakan nikmat Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan menahan diri dari hal-hal yang dapat merusak hubungan dengan Allah.
Pengendalian diri ini adalah manifestasi nyata dari syukur, karena seorang yang bersyukur tidak akan menyalahgunakan nikmat yang diberikan kepadanya.
9. Syukur sebagai Sarana Tazkiyah (Penyucian Jiwa)
Dalam pandangan irfan Syiah, syukur juga dianggap sebagai salah satu cara untuk mencapai tazkiyah atau penyucian jiwa.
Sayyid Haydar Amuli, seorang ahli makrifat Syiah terkenal, mengajarkan bahwa syukur yang dilakukan secara konsisten akan membersihkan hati dan jiwa seseorang dari sifat-sifat buruk seperti keangkuhan, kelalaian, dan kecintaan pada dunia.
•Sayyid Haydar Amuli menghubungkan syukur dengan tazkiyah an-nafs (penyucian jiwa), di mana setiap tindakan syukur adalah bagian dari upaya membersihkan diri dari noda-noda spiritual yang menghalangi hubungan dengan Allah.
Syukur membantu seseorang untuk lebih sadar akan kelemahannya dan ketergantungannya kepada Allah, sehingga hatinya menjadi lebih bersih dan siap menerima cahaya Ilahi.
10. Syukur sebagai Kunci Kebahagiaan Hakiki
Para ahli makrifat Syiah, seperti Imam Ali Zainal Abidin dalam doa-doanya di Sahifah Sajjadiyah, menekankan bahwa syukur adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
Menurut mereka, seorang mukmin yang bersyukur akan merasa bahagia bukan karena memiliki banyak harta atau kenikmatan duniawi, tetapi karena ia selalu merasa puas dengan apa yang Allah berikan.
•Imam Ali Zainal Abidin dalam salah satu doanya menyatakan: “Ya Allah, jadikanlah aku di antara hamba-hamba-Mu yang sedikit, yaitu mereka yang bersyukur.”
Doa ini menunjukkan bahwa syukur adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan yang abadi, di mana seseorang merasa cukup dengan apa yang Allah berikan, tanpa mengejar hal-hal duniawi yang bersifat sementara.
Konsep syukur dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat Syiah sangat terkait dengan perjalanan spiritual seseorang.
Syukur tidak hanya melibatkan pengakuan terhadap nikmat yang tampak, tetapi juga mencakup penerimaan penuh terhadap takdir, pengendalian diri, serta pengenalan akan hidayah dan bimbingan spiritual dari Ahlulbait.
Melalui syukur, seorang mukmin dapat mencapai maqam spiritual yang lebih tinggi, membersihkan jiwanya, dan merasakan kebahagiaan yang sejati di dunia dan akhirat.
Berikut adalah sepuluh kisah dan cerita tentang syukur yang diambil dari berbagai tokoh, Imam Ahlulbait, dan tradisi Syiah yang menggambarkan nilai-nilai syukur dalam kehidupan sehari-hari:
1. Syukur Imam Ali Zainal Abidin dalam Sahifah Sajjadiyah
Imam Ali Zainal Abidin (as), yang juga dikenal sebagai Imam Sajjad, memiliki sebuah kitab doa yang dikenal sebagai Sahifah Sajjadiyah. Di dalamnya terdapat banyak doa yang mengajarkan konsep syukur, bahkan dalam kondisi yang sulit sekalipun.
Dalam salah satu doanya, beliau berterima kasih kepada Allah atas nikmat keimanan dan kehidupan, meskipun beliau sendiri menderita kesulitan pasca tragedi Karbala.
•Dalam kondisi yang penuh dengan cobaan, Imam Sajjad tetap bersyukur dan mengajarkan bahwa seorang mukmin harus selalu bersyukur kepada Allah, bukan hanya atas nikmat materi, tetapi juga atas nikmat spiritual seperti iman dan petunjuk.
Syukur beliau menjadi teladan bagi umat Islam dalam mengatasi kesulitan dengan hati yang penuh ketundukan kepada Allah.
2. Syukur Imam Husain di Karbala
Pada peristiwa Karbala, Imam Husain (as) menunjukkan syukur yang luar biasa kepada Allah, bahkan dalam kondisi yang paling berat.
Ketika beliau kehilangan keluarga dan sahabat-sahabatnya satu per satu di medan perang, beliau tetap memuji Allah dan bersyukur atas kesempatan untuk mempertahankan kebenaran.
•Saat menyongsong kematian, Imam Husain tetap memanjatkan doa dan memuji Allah. Di tengah penderitaan, beliau mengucapkan:
“Ya Allah, aku bersyukur kepada-Mu atas segala nikmat yang telah Engkau berikan, dan atas kesabaran yang telah Engkau anugerahkan.”
Kisah ini mengajarkan bahwa syukur harus tetap ada, bahkan dalam situasi yang paling berat, sebagai bentuk penyerahan diri total kepada kehendak Ilahi.
3. Syukur Sayyidah Zainab dalam Tragedi Karbala
Sayyidah Zainab (as), saudara perempuan Imam Husain, menunjukkan sikap syukur luar biasa meskipun harus menyaksikan keluarganya dibunuh di Karbala.
Setelah peristiwa itu, ketika ditanya bagaimana perasaannya tentang kejadian tersebut, beliau menjawab: “Aku tidak melihat apa pun kecuali keindahan.”
•Ucapan ini menunjukkan bahwa di balik penderitaan dan tragedi, Sayyidah Zainab melihat hikmah Ilahi dan merasa bersyukur karena keluarganya telah berjuang di jalan kebenaran.
Ini menjadi teladan bagi umat Muslim untuk bersyukur dalam segala keadaan dan melihat segala sesuatu sebagai bagian dari rencana Allah.
4. Imam Ali bin Abi Thalib dan Syukur atas Kesederhanaan
Imam Ali (as) dikenal hidup dalam kesederhanaan, meskipun beliau memiliki posisi tinggi sebagai khalifah dan pemimpin umat.
Beliau selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan, meskipun dalam hal materi beliau hidup dengan sangat sederhana.
•Suatu ketika, Imam Ali terlihat mengenakan pakaian yang sangat kasar dan sederhana.
Ketika ditanya mengapa beliau memakai pakaian semacam itu, beliau menjawab: “Ini adalah pakaian yang sesuai untuk seorang hamba Allah yang bersyukur.
Kesenangan duniawi hanya akan menjauhkan kita dari rasa syukur yang sejati kepada Allah.”
Sikap ini menunjukkan bahwa syukur bukan tentang memiliki banyak hal, tetapi tentang menerima dan menghargai apa yang telah diberikan Allah.
5. Syukur Imam Ja’far Ash-Shadiq dalam Doa
Imam Ja’far Ash-Shadiq (as), Imam keenam dalam tradisi Syiah, adalah tokoh yang sangat menekankan pentingnya syukur kepada Allah.
Dalam banyak hadis yang diriwayatkan darinya, Imam Ash-Shadiq mengajarkan bahwa syukur harus dilakukan dalam setiap aspek kehidupan, baik dalam keadaan susah maupun senang.
•Salah satu ajaran beliau berbunyi: “Setiap kali kamu meminum air, ucapkanlah ‘Alhamdulillah’ karena air itu adalah salah satu nikmat terbesar Allah.
Jangan anggap remeh nikmat-nikmat kecil, karena semua itu berasal dari Allah.”
Imam Ash-Shadiq mengajarkan bahwa syukur harus terus-menerus ada dalam kehidupan sehari-hari, bahkan untuk nikmat yang sering dianggap biasa, seperti air.
6. Syukur Sayyidah Fatimah Zahra atas Nikmat Kehidupan
Sayyidah Fatimah Zahra (as), putri Rasulullah, adalah teladan sempurna dalam hal syukur. Meskipun beliau menjalani kehidupan yang penuh dengan kesederhanaan dan cobaan, Sayyidah Fatimah selalu bersyukur kepada Allah.
•Dalam sebuah riwayat, disebutkan bahwa Sayyidah Fatimah selalu bangun di malam hari untuk melaksanakan shalat dan berdoa bagi orang lain.
Ketika ditanya mengapa beliau lebih banyak mendoakan orang lain daripada dirinya sendiri, beliau menjawab: “Aku bersyukur kepada Allah atas semua yang telah Dia berikan padaku.
Aku lebih memilih untuk mendoakan orang lain sebagai wujud syukurku.”
Ini menunjukkan betapa dalam rasa syukur beliau yang bahkan membuat beliau lebih memikirkan orang lain daripada dirinya sendiri.
7. Syukur Imam Musa al-Kazim dalam Penjara
Imam Musa al-Kazim (as), Imam ketujuh Syiah, ditahan dalam penjara oleh penguasa Abbasiyah selama bertahun-tahun.
Meskipun berada dalam kondisi yang sangat sulit, Imam Musa tetap memuji Allah dan bersyukur dalam setiap kesempatan.
•Salah satu kisah terkenal menceritakan bahwa Imam Musa sering ditemukan sedang shalat dan berdoa dalam penjara.
Dalam salah satu doanya, beliau mengucapkan: “Ya Allah, aku bersyukur kepada-Mu atas cobaan ini, karena di dalamnya aku semakin dekat kepada-Mu.”
Imam Musa menunjukkan bahwa syukur bukan hanya untuk nikmat, tetapi juga untuk cobaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah.
8. Imam Muhammad Al-Baqir dan Syukur atas Ilmu
Imam Muhammad Al-Baqir (as), Imam kelima Syiah, dikenal sebagai pembuka ilmu (‘Baqirul Ilm’).
Beliau mengajarkan bahwa salah satu bentuk syukur tertinggi adalah bersyukur atas ilmu yang diberikan oleh Allah dan menggunakannya untuk kebaikan umat.
•Imam Al-Baqir berkata: “Syukur atas ilmu adalah mengajarkannya kepada orang lain dan menggunakannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.”
Ini menunjukkan bahwa ilmu adalah salah satu nikmat terbesar, dan syukur atasnya tidak hanya diucapkan dengan lisan, tetapi diwujudkan dalam tindakan yang bermanfaat bagi orang lain.
9. Syukur Imam Hasan al-Askari atas Kesehatan
Imam Hasan al-Askari (as), Imam kesebelas Syiah, mengajarkan pentingnya bersyukur atas kesehatan.
Beliau selalu mengingatkan para pengikutnya untuk tidak mengabaikan nikmat kesehatan dan kebugaran fisik yang Allah berikan.
•Imam Hasan al-Askari berkata: “Bersyukurlah kepada Allah atas kesehatanmu, karena itu adalah modal utama untuk berbuat kebaikan.
Gunakanlah nikmat kesehatan untuk beribadah dan beramal saleh sebelum ia hilang darimu.”
Ini mengajarkan bahwa kesehatan adalah nikmat yang sangat berharga, dan syukur atasnya harus diwujudkan dengan amal baik dan ibadah.
10. Syukur Abu Dzar al-Ghifari dan Kesederhanaan
Abu Dzar al-Ghifari, seorang sahabat Nabi dan pengikut setia Ahlulbait, hidup dalam kesederhanaan ekstrem dan dikenal karena sikap syukurnya. Meskipun hidup dalam kemiskinan, Abu Dzar selalu memuji Allah atas apa yang ia miliki.
•Suatu ketika, Abu Dzar ditanya mengapa dia tidak mengeluh tentang kemiskinannya.
Dia menjawab: “Aku bersyukur kepada Allah atas rezeki yang Dia berikan, karena aku tahu bahwa apapun yang Dia berikan adalah yang terbaik untukku.”
Abu Dzar mengajarkan bahwa syukur bukan diukur dari jumlah harta yang dimiliki, tetapi dari sikap menerima dan merasa cukup dengan apa yang Allah berikan.
Kesimpulan:
Kisah-kisah syukur dari Imam-imam Ahlulbait dan tokoh-tokoh penting dalam tradisi Syiah ini menunjukkan bahwa syukur melampaui sekadar ucapan terima kasih.
Syukur dalam ajaran Syiah mencakup ketundukan penuh kepada kehendak Allah, baik dalam keadaan senang maupun susah, dan merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
Syukur bukan hanya tentang menerima nikmat yang baik, tetapi juga tentang melihat keindahan dalam cobaan dan kesulitan.
Comments (0)
There are no comments yet