Kontroversi Kenaikan Gaji DPR di Tengah Derita Rakyat, PILHI: Bukti Wakil Rakyat Tak Peka!

JAKARTA – Sorotan publik kembali tertuju ke Senayan. Gaji dan tunjangan anggota DPR RI kini tembus lebih dari Rp100 juta per bulan, usai diberlakukannya tunjangan rumah Rp50 juta per bulan sejak periode 2024–2029.
Kebijakan ini langsung menuai kecaman. Pasalnya, di saat rakyat harus berjibaku dengan biaya hidup yang terus naik, wakil rakyat justru menikmati fasilitas baru yang membebani anggaran negara hingga Rp1,74 triliun hanya untuk satu periode jabatan.
Gaji Pokok Kecil, Tunjangan Membengkak
Secara aturan, gaji pokok DPR terbilang kecil. Ketua DPR hanya Rp5,04 juta, wakil Rp4,62 juta, dan anggota biasa Rp4,2 juta. Namun, nominal ini hanyalah permukaan.
Deretan tunjangan membuat penghasilan bulanan sesungguhnya melesat: tunjangan jabatan, kehormatan, komunikasi intensif, listrik, telepon, bahkan tunjangan beras. Kombinasi ini membuat anggota DPR sudah menerima Rp55–66 juta per bulan sebelum tambahan tunjangan rumah.
Tunjangan Rumah Rp50 Juta: Alasan vs Realitas
Polemik meledak ketika fasilitas rumah dinas di Kalibata, Jakarta, dihentikan dan dialihfungsikan menjadi proyek rumah bersubsidi. Sebagai gantinya, setiap anggota DPR mendapat tunjangan rumah Rp50 juta per bulan.
Dengan jumlah anggota 580 orang, negara harus mengeluarkan Rp29 miliar per bulan atau setara Rp1,74 triliun selama lima tahun.
Dalih “standar pejabat negara” dianggap publik tidak relevan. Pasalnya, harga sewa rumah layak di sekitar Jakarta masih bisa didapat jauh di bawah angka Rp50 juta.
Saling Lempar DPR dan Pemerintah
Ketika publik bertanya siapa yang menetapkan nominal fantastis itu, DPR dan Kementerian Keuangan justru saling lempar.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Luky Alfirman, hanya berkata singkat: “Ya dari mana lagi kalau bukan dari APBN. Tanya DPR.”
Sebaliknya, Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyebut keputusan nominal berasal dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. “DPR hanya menerima kebijakan yang sudah diputuskan pemerintah,” ujarnya tegas.
Namun, hingga kini, dasar angka Rp50 juta tetap misterius.
Baca juga:
31 Brand Ternama Pilihan Milenial Sabet Penghargaan Top Halal Awards 2023
Guru Dituding Beban, DPR Hidup dalam Kemewahan
Kritik makin keras ketika perbandingan dengan nasib guru mencuat. Di banyak kesempatan, guru honorer dianggap membebani anggaran negara. Bahkan, perdebatan soal status ASN bagi tenaga pendidik masih jalan di tempat karena alasan keterbatasan fiskal.
Padahal, gaji guru honorer di banyak daerah masih berkisar Rp500 ribu – Rp2 juta per bulan, jauh dari kata layak. Ironi ini kontras dengan tunjangan DPR yang hanya untuk sewa rumah bisa mencapai Rp50 juta.
Pertanyaan publik semakin menggelitik: apakah benar negara kekurangan uang untuk membayar guru, atau justru salah mengalokasikan anggaran?
Suara PILHI: Jangan Menari di Atas Derita Rakyat
Kritik keras juga datang dari Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (PILHI).
Direktur Eksekutif PILHI, Syamsir Anchi, menegaskan bahwa keputusan menaikkan tunjangan DPR di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit adalah bentuk ketidakpekaan wakil rakyat.
“Wakil rakyat seharusnya peka, bukan menari di atas penderitaan rakyatnya. Di tengah krisis sosial, ekonomi, dan lingkungan, kebijakan tunjangan Rp50 juta ini menunjukkan betapa jauh jarak antara elit politik dan masyarakat,” tegas Syamsir.
Ia mendesak pemerintah dan DPR membuka dasar perhitungan tunjangan rumah tersebut secara transparan, sekaligus meninjau ulang kebijakan yang dinilai berlebihan.
“Kalau guru saja sering dituding beban negara, sementara DPR hidup mewah dengan APBN, jelas ada ketidakadilan yang mencolok,” tambahnya.
Benang Kusut Tanpa Jawaban
Hingga kini, publik masih menunggu kejelasan: mengapa tunjangan rumah DPR harus Rp50 juta, bukan Rp10 juta atau Rp20 juta sesuai harga pasar?
Tanpa jawaban jernih, kontroversi ini akan terus membesar. Bagi rakyat, isu ini bukan sekadar soal gaji DPR, melainkan tentang jurang lebar antara kesejahteraan elite politik dan kesulitan hidup masyarakat—termasuk guru, yang justru menjadi tulang punggung pendidikan bangsa.(*)
Comments (0)
There are no comments yet