Makna 'Aqimu' di Berbagai Ayat dalam Alquran (Bagian Pertama)

Oleh: Muhammad Taufiq Ali Yahya*
Ayat ini berasal dari Surah Taha ayat 14. Firman Allah kepada Nabi Musa a.s:
“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.”
Berikut makna dari ayat ini, dari perspektif makna zahir, tafsir, dan isyarat hakikat:
1, Tauhid Uluhiyyah:
Allah menegaskan bahwa hanya Dia satu-satunya Tuhan yang layak disembah.
- Tauhid Rububiyyah:
Allah memperkenalkan diri sebagai Tuhan yang memelihara dan mengatur segala sesuatu, menegaskan keesaan-Nya.
- Tauhid Asma’ wa Sifat:
Penggunaan kata “اللَّهُ” mencakup seluruh nama dan sifat kesempurnaan-Nya.
- Penolakan terhadap segala sesembahan selain Allah:
“لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا” menafikan semua ilah batil.
- Perintah langsung dari Allah:
“فَاعْبُدْنِي” adalah perintah ibadah khusus kepada Allah, menandakan kewajiban mutlak.
- Makna ibadah sebagai penghambaan mutlak:
Ibadah bukan hanya ritual, tetapi penyerahan diri total kepada kehendak Allah.
- Shalat sebagai pengingat Allah:
“وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي” menegaskan bahwa tujuan utama shalat adalah dzikrullah (mengingat Allah), bukan sekadar gerakan lahiriah.
- Dzikir sebagai esensi ibadah:
Shalat adalah sarana utama untuk terus terhubung dengan Allah dalam kesadaran ruhani.
- Penegasan identitas ilahi:
“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ” bukan sekadar pengenalan, tapi penyingkapan (tajalli) kehadiran Tuhan kepada Musa dalam keadaan langsung.
- Makna batin tauhid:
Tiada yang wujud dengan hakiki kecuali Allah (wahdatul wujud), “لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا” menafikan semua eksistensi yang berdiri sendiri selain-Nya.
- Tauhid dalam ibadah dan wujud:
Perintah “فَاعْبُدْنِي” mengisyaratkan agar seluruh kehidupan diarahkan kepada Allah semata, secara lahir dan batin.
- Shalat sebagai mi’raj ruhani:
“وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي” berarti shalat sebagai perjalanan ruhani untuk bertemu Allah melalui ingatan dan kehadiran hati.
- Makna maqam dzikir:
Dzikir bukan hanya lisan, tapi hati yang selalu sadar akan kehadiran-Nya dalam segala keadaan.
- Tajalli Ilahi kepada para wali dan nabi:
Ayat ini mengisyaratkan bahwa Allah menampakkan diri-Nya secara khusus kepada hamba pilihan-Nya (seperti Nabi Musa) dalam bentuk cahaya maknawi yang tak dapat ditolak.
Makna-makna ayat ini berdasarkan Al-Qur’an itu sendiri (dengan pendekatan tafsir bil-Qur’an, yakni menjelaskan ayat dengan ayat lain), maka berikut makna dari ayat:
“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”
(Surah Taha: 14)
- Allah adalah satu-satunya Tuhan (Tauhid)
- Penegasan ini sering diulang:
“وَإِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ” (Al-Baqarah: 163)
- Tiada tuhan selain Dia (Nafyu dan Itsbat)
Ayat ini mengandung dua unsur tauhid: Penafian (لَا إِلَٰهَ) dan peneguhan (إِلَّا أَنَا)
Seperti dalam: “اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ” (Ali ’Imran: 2)
- Kewajiban beribadah hanya kepada Allah
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ” (Adz-Dzariyat: 56)
- Ibadah sebagai bentuk pengesaan Allah
• “فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ” (Az-Zumar: 2)
- Shalat sebagai perintah utama setelah tauhid
• “وَأَقِمِ الصَّلَاةَ وَآتِ الزَّكَاةَ” (Al-Baqarah: 43)
- Shalat sebagai bentuk dzikir (mengingat Allah)
- Ayat ini menegaskan:
“وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ” (Al-‘Ankabut: 45)
- Makna dzikir sebagai peneguh jiwa
• “أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ” (Ar-Ra’d: 28)
- Dzikir dalam konteks waktu dan keadaan
• “فَاذْكُرُوا اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ” (An-Nisa: 103)
- Shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar
• “إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ” (Al-‘Ankabut: 45)
- Tujuan shalat adalah untuk mengingat Allah, bukan sekadar ritual
- Bandingkan dengan:
“فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ” (Al-Ma’un: 4–5)
- Allah menyampaikan wahyu-Nya langsung kepada Nabi Musa
Peristiwa ini juga disebut dalam:
“وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا” (An-Nisa: 164)
- Tauhid sebagai dasar seluruh syariat para nabi
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ”
(An-Nahl: 36)
- Tauhid sebagai jalan keselamatan
وَمَن يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ… فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِندَ رَبِّهِ”
(Al-Mu’minun: 117)
- Penyebutan “Aku adalah Allah” adalah bentuk tajalli
Allah menampakkan diri kepada Musa dalam konteks wahyu dan pengenalan diri:
“فَلَمَّا جَاءَهَا نُودِيَ مِن شَاطِئِ الْوَادِي الْأَيْمَنِ…” (Al-Qasas: 30)
Makna Surah Ṭāhā ayat 14 menurut hadis-hadis Nabi saw dan Ahlul Bait a.s., yang menjelaskan isi dan ruh dari ayat tersebut:
“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”
(Taha: 14)
- Allah memperkenalkan diri langsung kepada Musa a.s.
Dalam banyak riwayat, Allah menyapa Nabi Musa secara langsung tanpa perantara.
Dalam hadis:
“كلَّمَ اللهُ موسى تكليمًا، لا بينه وبينه ترجمانٌ، فسمع كلامَه بأُذنه…”
(Al-Kāfi, 1/95)
Maknanya: Wahyu ini bersifat langsung (tanpa malaikat), menunjukkan kedekatan dan kedudukan tinggi Musa a.s.
- Tauhid sebagai dasar seluruh agama
Dari Imam Ali a.s:
“أوّل الدين معرفته، وكمال معرفته التصديق به، وكمال التصديق به توحيده…”
(Nahjul Balaghah, Khutbah 1)
Makna ayat: “لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنَا” adalah puncak pengakuan tauhid, dasar segala ibadah.
- Shalat adalah puncak dzikir
Dari Imam Ja‘far al-Sadiq a.s:
“لكلّ شيء وجه، ووجه دينكم الصلاة، فلا يشيننّ أحدكم وجه دينه…”
(Man La Yahdhuruhu al-Faqih, 1/208)
Dan beliau bersabda:
“إذا قام العبد في الصلاة نزلت عليه الرحمة، وحفّت به الملائكة…”
Maknanya: “وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي” mengisyaratkan bahwa dzikir yang paling utama adalah shalat.
- Shalat mencegah kelalaian
Dari Rasulullah saw:
“من لم تنهه صلاته عن الفحشاء والمنكر لم يزدد من الله إلا بُعداً”
(Bihar al-Anwar, 82/198)
Menunjukkan bahwa shalat yang penuh dzikir sejati akan menjaga hati tetap sadar.
- Dzikir dalam shalat adalah kehadiran hati
Imam al-Baqir a.s:
“لا يُقبل من الصلاة إلا ما أقبل العبد فيه بقلبه…”
(Al-Kāfi, 3/265)
Maknanya: Ayat ini mengajarkan bahwa shalat yang benar-benar li dzikrī adalah yang dilakukan dengan penuh kehadiran hati, bukan sekadar gerakan.
- Allah menginginkan ibadah karena dzikir-Nya
Rasulullah saw bersabda:
“أقرب ما يكون العبد من ربه وهو ساجد، فأكثروا الدعاء…”
Maknanya: Tujuan utama ibadah adalah kedekatan dan ingatan terus-menerus kepada Allah.
- Tauhid harus diikuti dengan pengabdian
Dari Imam al-Sadiq a.s:
“لا يكون العبد موحداً حتى يكون عمله لله خالصاً…”
Makna: Setelah tauhid, harus ada “فَاعْبُدْنِي” — penghambaan eksklusif hanya kepada Allah.
- Allah tidak butuh ibadah, tapi ingin manusia sadar
Dalam hadits Qudsi:
“يا عبادي، ما خلقتكم لأربح عليكم، ولكن لتربحوا عليّ…”
(Bihar al-Anwar)
Maknanya: Perintah ibadah adalah untuk kebaikan manusia sendiri, agar mereka selalu mengingat Allah.
Makna Surah Ṭāhā ayat 14 menurut hadis Ahlul Bayt a.s., karena para Imam adalah ma’din al-‘ilm (tambang ilmu) dan mereka mewarisi hakikat Al-Qur’an, bukan hanya lafaz zahirnya.
“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”
(Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku. Maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku.)
Berikut makna-makna ayat ini menurut hadis Ahlul Bayt a.s.:
- Tauhid sebagai fondasi segala ibadah
Imam Ali a.s. bersabda:
“أوّل الدين معرفته، وكمال معرفته التصديق به، وكمال التصديق به توحيده، وكمال توحيده الإخلاص له…”
(Nahjul Balaghah, Khutbah 1)
Makna ayat:
“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku” menegaskan bahwa seluruh agama dan ibadah harus berpijak pada ma’rifatullah yang murni.
- Ibadah sejati adalah penyerahan total kepada Allah
Imam Ja‘far al-Shadiq a.s. berkata:
Baca juga:
Geng Kriminal Mengamuk, Haiti Mencekam
“العبودية جوهرة كنهها الربوبية”
“Kehambaan adalah permata yang inti batinnya adalah ketuhanan.”
(Al-Mishbāḥ, al-Tustarī)
Makna:
“Fa‘budnī” bukan hanya perintah syariat, tetapi perintah untuk larut dalam penghambaan batin yang menyingkap tajalli Rububiyyah dalam jiwa.
- Shalat adalah mi‘raj ruhani
Imam Ali Zain al-‘Ābidīn a.s. berkata:
“الصلاة قربان كل تقيّ”
“Shalat adalah sarana untuk mendekat bagi setiap orang bertakwa.”
(Bihar al-Anwar, 82/236)
Makna ayat:”Wa aqimiṣ-ṣalāta li dhikrī” artinya shalat adalah mi‘raj maknawi menuju kehadiran Ilahi — bukan sekadar ritual lahiriah.
- Dzikir bukan hanya lisan, tetapi kehadiran hati
Imam al-Bāqir a.s.:
“لا صلاة إلا بحضور قلب”
“Tidak ada shalat (yang diterima) kecuali dengan kehadiran hati.”
(Al-Kāfī, 3/270)
Makna:”li dzikrī” artinya: bangunlah shalat agar kamu sadar Aku hadir — dan itu butuh hati yang terjaga.
- Dzikir yang paling utama adalah shalat
Dari Imam al-Sadiq a.s.:
“ما أعطي أحد شيئا أفضل من الصلاة على محمد وآله”
(Bihar al-Anwar, 91/47)
“أفضل الأعمال بعد المعرفة: الصلاة”(Al-Kāfī, 3/264)
Shalat adalah puncak dzikir, dan dzikir yang paling mulia adalah menyambung cahaya nubuwah dan wilayah dalam shalat.
- Imam sebagai poros dzikir
Imam al-Sadiq a.s. dalam tafsir ayat ini:نحن والله الذكر في كتاب الله، ونحن أهل الذكر…”(Tafsir al-‘Ayyāshī, 2/239)
Makna dalam:”li dzikrī” juga bisa berarti: agar kamu ingat Aku melalui perantara dzikir-Ku, yaitu para Imam Ahlul Bayt a.s.
- Kedudukan shalat dalam mencairkan hijab
Imam Ali a.s. bersabda:
إذا قمت إلى الصلاة فقم إليها كأنك تودع، ولا تحدث نفسك أنك تعود إليها…”
(Nahjul Balaghah, Hikmah 252)
Makna ayat: Shalat sebagai dzikir adalah cara untuk menembus hijab-hijab nafsaniyah agar ruh terhubung langsung dengan hadirat Allah.
- Perintah ini bersifat universal
Imam al-Bāqir a.s.:
ما بعث الله نبيًا إلا بفرض الصلاة، والتوجه إلى قبلتنا…”(Wasā’il al-Shī‘ah, 3/5)
Makna: Perintah ini bukan hanya untuk Musa, tapi berlaku untuk seluruh umat sebagai dasar penghambaan.
Makna ayat Surah Ṭāhā ayat 14 menurut para mufasir, baik klasik maupun kontemporer, dari kalangan Ahlul Bayt dan lainnya — dengan fokus pada penafsiran ma’nawi, konteks dan struktur:
“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”
- Allāmah Thabāṭabā’ī (Tafsir al-Mīzān)
Makna Tauhid: Kalimat ini adalah puncak tajalli dzātīyah — Allah memperkenalkan Diri-Nya kepada Musa dengan kalimat tauhid yang bersifat eksistensial mutlak, bukan sekadar informasi.
Perintah Ibadah: Ibadah di sini bukan hanya ritual, tapi berarti pengakuan eksistensial atas Rububiyyah Allah yang diwujudkan dalam amal.
Lidzikrī”: menurut Allāmah, maknanya adalah agar kamu selalu sadar dan hadir bersama-Ku. Shalat adalah alat untuk menjaga kesadaran ruhani.
- Al-Fakhr al-Rāzī (Tafsir al-Kabīr)
Ia membahas dari sudut ta’līl (hikmah): Mengapa shalat? Karena dzikir adalah obat lalai. Dan karena manusia cepat lupa, maka shalat harus didirikan berulang-ulang agar dzikir tetap hidup.
Ia juga menafsirkan “لِذِكْرِي” dengan dua makna:
- a) Agar engkau mengingat-Ku.
- b) Atau: dirikan shalat pada saat-saat yang Aku telah tetapkan untuk diingat.
- Al-Ṭabarī (Tafsir Jāmi‘ al-Bayān)
Ia menukil banyak riwayat dari para tabi‘in yang mengatakan:
“لِذِكْرِي” maksudnya: ketika engkau mengingat Aku, maka dirikanlah shalat. Tapi juga menukil riwayat lain bahwa: shalat adalah bentuk dzikir yang paling afdhal.
- Al-Qummi (Tafsir Qummi – Syiah)
Dalam riwayat dari Imam al-Sadiq a.s., dijelaskan bahwa:
“لِذِكْرِي” bermakna: “untuk mengingat wilayah Kami.”
Karena dzikir yang paling tinggi adalah dzikr al-Wilāyah — yaitu mengingat para Wali Allah.
- Thabarsi (Tafsir Majma‘ al-Bayān)
Ia menggabungkan berbagai makna:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ
Allah menegaskan keberadaan-Nya sebagai satu-satunya yang berhak disembah.
فَاعْبُدْنِي”: artinya taat total, bukan hanya ibadah ritual.
أَقِمِ الصَّلَاةَ”: artinya menjaga shalat secara lahir dan batin.
لِذِكْرِي”: maksudnya, agar Aku tidak dilupakan, dan engkau tetap dalam wilayah-Ku.
- Al-Kashānī (Tafsir al-Ṣāfī)
Ia menafsirkan secara ‘irfānī:
“فَاعْبُدْنِي” adalah jalan fana’ dalam ibadah.
“لِذِكْرِي” adalah maqam hudūr, yakni kehadiran hati dalam lautan dzikir — hingga hanya Allah yang tinggal dalam kesadaranmu.
- Sayyid Quthub (Fi Ẓilāl al-Qur’ān)
Ia menekankan sisi tarbiyah:
Ayat ini mengajarkan bahwa awal perjalanan spiritual (seperti Musa) dimulai dari mengenal Allah dan membangun hubungan melalui shalat.
- Ayatullah Nāsir Makārim Shirāzī (Tafsir Nemūneh)
Ia menjelaskan bahwa:
Tauhid → Ibadah → Shalat → Dzikir adalah urutan perjalanan hamba menuju Allah.
Dzikir bukan hanya untuk mengenang Allah, tapi juga agar ruh manusia tidak mati.
Kesimpulan dari Para Mufasir:
- Tauhid eksistensial adalah fondasi: “Aku adalah Allah.”
- Ibadah adalah jalan pengakuan terhadap tauhid.
- Shalat adalah dzikir terbesar dan bentuk nyata ibadah.
- Dzikir adalah kesadaran akan kehadiran Allah, bukan sekadar lafaz.
- Para mufasir menekankan bahwa dzikir tertinggi adalah wilayah, karena Ahlul Bayt adalah manifestasi dzikrullah di bumi.
Makna Surah Ṭāhā ayat 14 menurut mufasir Syiah, khususnya para ulama besar seperti Allāmah Thabāṭabā’ī, Thabarsī, Fayd al-Kāshānī, dan lainnya. Kita akan fokus pada dimensi tafsir ma‘nawi, irfani, dan wilayah dalam kerangka Ahlul Bayt a.s.
“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”
- Allāmah Thabāṭabā’ī (Tafsir al-Mīzān)
Ayat ini adalah tajallī dzātī (penampakan langsung dari Dzat Allah) — Allah memperkenalkan Diri-Nya kepada Musa a.s., bukan hanya sebagai Tuhan, tapi sebagai satu-satunya realitas mutlak.
- Kata “لِذِكْرِي” menurut Allāmah berarti:
“Shalat adalah sarana untuk menjaga kesadaran akan kehadiran Allah, agar hati tidak lalai dari-Nya.”
- Penekanan beliau: shalat adalah sarana menjaga kesadaran tauhid dan hubungan langsung ruhani dengan Allah.
- Shaykh Thabarsī (Tafsir Majma‘ al-Bayān)
Ia menyampaikan tiga kemungkinan tafsir “لِذِكْرِي”:
1, Agar engkau mengingat-Ku.
2, Shalat adalah bentuk dzikir-Ku padamu, karena Aku menyebutmu saat engkau menyebut-Ku.
3, Dirikan shalat pada waktu yang Aku tentukan untuk mengingat-Ku.
- Ia juga mengutip riwayat dari Imam Sadiq a.s. bahwa:
“Dzikir tertinggi dalam shalat adalah menyebut wali-wali Allah setelah mengenal Allah dan Rasul-Nya.”
- Fayd al-Kāshānī (Tafsir al-Ṣāfī)
- Tafsir ini sangat kuat dalam dimensi irfani dan batin.
- Kata “فَاعْبُدْنِي” menurutnya adalah perintah untuk mencair dalam ubūdiyyah, yakni:
Menafikan segala bentuk ego dan menjadikan diri cermin tajalli Ilahi.
• “لِذِكْرِي” artinya bukan hanya “agar kamu mengingat-Ku”, tapi:
“Agar kamu tidak melihat apa pun selain Aku.”
- Ia menyebut bahwa dzikir batin (dhikr khafī) adalah maqam para wali dan arifin — shalat hanyalah lahir dari dzikir batin yang terus-menerus.
- Al-Qummī (Tafsir Qummī) – Tafsir Riwayat dari Imam Ahlul Bayt
- Dalam penafsiran ayat ini, dinukil riwayat bahwa:
“لِذِكْرِي” = li wilāyatinā.
(“Untuk mengingat Kami, yaitu para Imam dari Ahlul Bayt.”)
- Dzikir sejati menurut riwayat ini adalah mengingat Wali Allah yang menjadi cermin dzat Allah — karena mengenal mereka adalah bagian dari mengenal Allah.
- ‘Allāmah al-Ṭabātabā’ī (dimensi lebih dalam)
- Dalam bagian filsafat tafsirnya, ia mengatakan bahwa:
“Shalat adalah ekspresi dari keterikatan makhluk kepada Realitas Absolut.”
- Maka:
• “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ”: adalah tajalli keberadaan mutlak.
• “فَاعْبُدْنِي”: adalah syarat syuhud dan makrifat.
• “وَأَقِمِ الصَّلَاةَ”: adalah jalan mengekspresikan keterhubungan itu.
• “لِذِكْرِي”: adalah mawjudiyyah (eksistensi sadar), bukan sekadar ingat lisan.
Penafsiran Mufasir Syiah:
Bagian Ayat Tafsir Mufasir Syiah
“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ” Tajalli dzat Ilahi secara langsung, bukan perantara.
“لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنَا” Tauhid eksistensial – menafikan semua kecenderungan selain Allah.
“فَاعْبُدْنِي” Penghambaan batin, larut dalam kehendak-Nya, menuju fana’.
“وَأَقِمِ الصَّلَاةَ” Shalat sebagai mi‘raj dan dzikir ruhani.
“لِذِكْرِي” Agar engkau senantiasa hadir bersama-Ku; atau agar engkau ingat wali-wali-Ku.
“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”
menurut para mufasir Syiah, khususnya dari sudut hikmah, batin, wilayah, dan ‘irfan — sebagai lanjutan dari yang sebelumnya:
- Tauhid Tasyri‘i dan Tauhid Takwīnī
- Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai satu-satunya dzat yang patut disembah secara tasyri‘i (dalam syariat) dan takwīnī (dalam penciptaan).
- Ayat ini bukan hanya penegasan tauhid secara akidah, tapi juga perintah untuk merealisasikan tauhid dalam struktur jiwa dan perilaku.
- Dzikir sebagai Penyambung Wilayah
- Dalam banyak riwayat Ahlul Bayt, “dzikir” bukan hanya lafaz, tapi identik dengan wilayah.
- Imam al-Baqir a.s. berkata:
“Kami adalah dzikrullah yang disebut dalam Kitab-Nya.”
Maka, shalat sebagai dzikir berarti juga shalat yang terhubung dengan wilayah Imam Makshum.
- Shalat Sebagai Pintu Ma‘rifat
- Menurut al-Kāshānī, shalat bukan sekadar ibadah, tapi maqam penyingkapan (kashf) dan kehadiran batin.
- Shalat mendidik ruhani hamba agar layak masuk ke dalam hadirat Allah dan melihat dengan cahaya Allah.
- Makna “La Ilaha Illa Ana” secara Wujūdī
- Para arif Syiah memahami kalimat ini sebagai penegasan bahwa selain Allah tidak memiliki eksistensi hakiki.
- Maka, “fa‘budnī” adalah perintah untuk meleburkan wujud diri dalam wujud-Nya.
- Shalat untuk Mengusir Ghaflah
- Imam Ali a.s. berkata dalam Nahjul Balaghah:
“Allah menjadikan shalat sebagai pensuci dari kesombongan dan penghapus kelalaian.”
- Maka, makna “li dzikrī” adalah: agar engkau tidak tenggelam dalam ghaflah (lupa) dan selalu dalam hudur (hadir).
- Shalat Adalah Simbol Mi‘raj Ruhani
- Dalam pandangan irfani Syiah, shalat adalah bentuk simbolik dari mi‘raj Nabi SAW.
- Gerakan shalat menggambarkan perjalanan ruhani dari dunia jasmani menuju maqam liqā’ Allah.
- Shalat sebagai Kesaksian Tauhid
- Shalat, menurut para imam, adalah syahādah tauhid secara ruhani.
- Dengan berdiri, rukuk, dan sujud — hamba bersaksi dalam tindakan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan bahwa seluruh wujud tunduk di hadapan-Nya.
* Penulis adalah Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran
Comments (0)
There are no comments yet