Prosa Takfirisme dan Khilafahisme "Ustaz Mantan Kafir"

Supa Athana - Tekno & Sains
23 June 2025 09:17
Yang tersisa hanyalah debu panggung dan khalayak yang terpecah-belah—tersihir oleh performa seorang mantan yang menjual surga imajiner dengan bayaran nyata: perpecahan bangsa.

Oleh: Muhsin Labib*

Di tengah gemerlap panggung dakwah kontemporer, muncul sosok paradoksal: lelaki bersorban rapi bergaya selebritas yang lantang mengutuk demokrasi dan kebhinekaan.
Popularitasnya bertumpu pada dua pilar—statusnya sebagai mantan penganut keyakinan lain dan agitasi ekstrem tentang khilafah.
Di hadapan khalayak yang haus kepastian mutlak, label "mantan" menjadi paspor otomatis menuju otoritas keagamaan, sementara jargon-jargon kekhalifahan berubah menjadi mata uang politiknya.
Tak tanggung-tanggung, ustadz muallaf ini langsung menyemburkan api permusuhan dengan gigi satu, menjadi endorser fanatik khilafah dalam setiap orasinya.  

Transformasi sang mantan mencapai puncak ironi ketika kerentanan eksistensial mualaf—yang semestinya dilindungi—justru dimanipulasi menjadi senjata.
Setiap kisah konversi tidak lagi cukup dijual dengan air mata pertobatan; ia harus dilengkapi dengan geram terhadap Pancasila dan euforia restorasi khilafah. Narasi sakral tentang "hati yang dilunakkan" tergantikan oleh performa kebencian sistematis: mantan Kristen menjadi lebih anti-Kristen, mantan liberal menjadi mesin propaganda teokrasi, semua dikemas dalam retorika ekstrem yang menyala-nyala.  

Baca juga:
Presiden Jokowi Sapa Siswa dan Cek Kegiatan Pembelajaran di SMKN 1 Kedungwuni

Logika pasar bekerja sempurna di sini.
Khalayak membayar ketakutan mereka dengan standing ovation saat sang ustadz menyulap mimpi kekhalifahan menjadi komoditas.
Setiap ocehan tentang khilafah ditukar dengan peningkatan subscriber, setiap nostalgia Daulah Abbasiyah menjadi konten viral.
Ia berevolusi dari pencari kebenaran menjadi sales khilafah—terampil mengemas intoleransi dalam bungkus dakwah, menjual khilafah bak kwetiau panas di pinggir jalan.  
Dampak destruktifnya bersifat kaskade: narasi khilafah yang dipasarkan melalui luka lama keyakinan sebelumnya memicu polarisasi masif.
رابطه سنگدلی و نفاق
Instrumentalisme agama untuk proyek politik menyuburkan kemunafikan struktural.
Puncak paradoks terjadi ketika figur yang mengaku "mualaf" justru menjadi promotor ideologi yang menolak konsep negara bangsa—tempat mereka sendiri mencari suaka.  
Sejarah membuktikan pola berulang: setiap kali nostalgia khilafah dikapitalisasi melalui mantan penganut agama lain, yang lahir bukan kebangkitan spiritual melainkan benih konflik.
Ruang sakral agama tersandra di balik mimpi kekhalifahan yang dijual bak tiket konser, megah di panggung tapi rapuh di realitas.
Yang tersisa hanyalah debu panggung dan khalayak yang terpecah-belah—tersihir oleh performa seorang mantan yang menjual surga imajiner dengan bayaran nyata: perpecahan bangsa.

*Penulis adalah Direktur Moderate Institute


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment