Dhiya’ adalah simbol kebenaran, perjuangan, dan pancaran kekuatan ilahi yang membawa manusia menuju kesempurnaan spiritual.
Penulis: Muhammad Taufiq Ali Yahya
Pelayan Pesantren Pertanian dan Peengamalan Al-Quran
Pelayan Pesantren Pertanian dan Peengamalan Al-Quran
Kata dhiya’ (ضياء) dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna tergantung pada konteks penggunaannya. Berikut makna yang dapat dikaitkan dengan kata dhiya’:
1.Cahaya – Sumber terang yang dapat dilihat, sering digunakan untuk merujuk pada cahaya matahari atau cahaya dalam arti umum.
2.Sinar – Berkas cahaya yang terpancar dari suatu sumber.
3.Kemuliaan – Digunakan secara metaforis untuk menggambarkan keagungan atau keindahan spiritual.
4.Pencerahan – Dalam makna simbolis, dhiya’ dapat merujuk pada ilmu, hikmah, atau bimbingan.
5.Panduan – Cahaya yang menunjukkan jalan, baik secara harfiah maupun metaforis.
6.Keindahan – Cahaya yang mencerminkan keindahan atau estetika.
7.Energi – Sinar yang memberikan kekuatan, seperti matahari yang menjadi sumber energi.
8.Hidayah – Dalam konteks religius, dhiya’ dapat berarti petunjuk dari Allah.
9.Kehidupan – Cahaya sering diasosiasikan dengan kehidupan, karena keberadaan cahaya penting bagi keberlangsungan hidup.
10.Kebenaran – Cahaya sering digunakan sebagai simbol kebenaran yang menyingkap kegelapan kebatilan.
Dalam Al-Qur’an, kata ini sering digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang memiliki cahaya fisik atau spiritual, seperti dalam ayat:
“Huwa alladzi ja’ala ash-shamsa dhiyaa’an wa al-qamara nooran” (QS Yunus: 5); Artinya: Dialah yang menjadikan matahari bersinar (dhiya’) dan bulan bercahaya).
Makna dhiya’ dalam ayat ini mengacu pada sinar terang matahari.
Dalam Al-Qur’an, kata dhiya’ (ضياء) disebut beberapa kali, biasanya dalam konteks cahaya fisik atau simbolis. Berikut adalah makna dhiya’ yang dapat dipahami menurut Al-Qur’an:
1. Cahaya yang terang
Dalam Surah Yunus (10:5):
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ ٱلشَّمْسَ ضِيَآءً وَٱلْقَمَرَ نُورًۭا
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar (dhiya’) dan bulan bercahaya (nur)…”
Di sini, dhiya’ mengacu pada sinar matahari yang terang dan memberi kehidupan. Kata ini menunjukkan cahaya yang bersumber dari energi sendiri (matahari), berbeda dengan nur, yang lebih lembut dan biasanya cahaya pantulan.
2. Cahaya petunjuk dan kebenaran
Dalam Surah Al-Anbiya’ (21:48):
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا مُوسَىٰ وَهَـٰرُونَ ٱلْفُرْقَانَ وَضِيَآءً وَذِكْرًۭا لِّلْمُتَّقِينَ
“Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada Musa dan Harun kitab petunjuk (furqan), cahaya (dhiya’), dan pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.”
Di sini, dhiya’ digunakan secara simbolis untuk menggambarkan kitab suci sebagai cahaya yang menerangi hati manusia dengan kebenaran dan petunjuk dari Allah.
3. Simbol kehidupan dan energi
Dalam Surah An-Naba’ (78:13):
وَجَعَلْنَا سِرَاجًۭا وَهَّاجًۭا
“Dan Kami jadikan (matahari) pelita yang terang benderang.”
Meskipun kata dhiya’ tidak langsung disebut di ayat ini, konsepnya tetap muncul, karena matahari sebagai sumber sinar terang menjadi simbol kehidupan dan kekuasaan Allah.
Ringkasan Makna Menurut Al-Qur’an:
1.Cahaya yang bersumber dari diri sendiri, seperti sinar matahari.
2.Pencerahan spiritual, yakni petunjuk dan wahyu yang menuntun kepada kebenaran.
3.Energi kehidupan, seperti cahaya matahari yang menopang keberlangsungan makhluk hidup.
Dhiya’ selalu dikaitkan dengan sesuatu yang terang, nyata, dan bermanfaat, baik secara fisik maupun spiritual.
Dalam hadis, kata dhiya’ (cahaya terang) memiliki beberapa makna yang berkaitan dengan kehidupan spiritual dan sifat-sifat mulia. Berikut adalah beberapa makna dhiya’ menurut hadis:
1. Kesabaran adalah cahaya terang
Rasulullah SAW bersabda:
“Ash-shabru dhiya’ (Kesabaran itu adalah cahaya terang).”
(HR. Muslim, no. 223)
Dalam hadis ini, dhiya’ menggambarkan kesabaran sebagai sifat yang menyinari kehidupan seseorang, membantu mereka menghadapi cobaan dengan ketenangan dan keimanan. Cahaya kesabaran ini juga menjadi petunjuk menuju ridha Allah.
2. Cahaya amal shalih
Rasulullah SAW bersabda:
“Shalat adalah cahaya, sedekah adalah bukti (keimanan), dan sabar adalah cahaya terang.”
(HR. Muslim, no. 223)
Hadis ini menekankan bahwa amal ibadah seperti shalat dan sedekah menjadi dhiya’ (cahaya terang) yang membantu seorang mukmin berjalan dalam kehidupan dengan penuh keyakinan dan petunjuk.
3. Cahaya keimanan di akhirat
Rasulullah SAW menyebutkan dalam hadis: “Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan dalam gelap menuju masjid dengan cahaya sempurna pada hari kiamat.”
(HR. Abu Dawud, no. 561; Tirmidzi, no. 223)
Di sini, cahaya yang dijanjikan adalah dhiya’, simbol balasan bagi mereka yang konsisten menjaga ibadah, khususnya shalat berjamaah di masjid. Cahaya itu akan memandu mereka di padang mahsyar.
4. Al-Qur’an sebagai cahaya petunjuk
Rasulullah SAW bersabda:
“Al-Qur’an adalah hujjah bagimu atau hujjah atasmu.”
(HR. Muslim, no. 223)
Meskipun kata dhiya’ tidak disebut langsung, Al-Qur’an sering dilambangkan sebagai cahaya terang yang membimbing umat manusia keluar dari kegelapan (jahiliyah) menuju petunjuk Allah.
5. Cahaya wajah orang yang bertakwa
Rasulullah SAW bersabda:
“Senantiasa umatku datang pada hari kiamat dengan wajah bersinar seperti bulan purnama karena wudhu yang mereka lakukan.”
(HR. Bukhari, no. 136; Muslim, no. 246)
Cahaya ini adalah bentuk dhiya’ yang menjadi tanda bagi orang-orang yang menjaga wudhunya sebagai bagian dari ibadah dan ketaatan.
6. Amal baik sebagai cahaya dalam kubur
Rasulullah SAW bersabda:
“Shalat, puasa, dan amal shalih akan menjadi cahaya bagi seorang mukmin di dalam kuburnya.”
(HR. Ahmad, no. 3/28; Al-Bayhaqi, no. 1875)
Amalan ini menjadi dhiya’ yang melindungi seseorang dari kegelapan kubur dan memberikan ketenangan dalam alam barzakh.
7. Cahaya bagi hati yang bersih
Dalam hadis qudsi, Allah SWT berfirman:
“Tidaklah Aku menggabungkan dua ketakutan pada hamba-Ku, dan tidak pula dua keamanan. Jika ia merasa aman dari-Ku di dunia, Aku akan menakutinya di akhirat. Jika ia takut kepada-Ku di dunia, Aku akan memberinya keamanan di akhirat.”
(HR. Ibn Hibban, no. 746)
Ketakutan kepada Allah di dunia melahirkan dhiya’ di hati, berupa keimanan yang kokoh dan ketenangan di akhirat.
8. Cahaya shalat malam (tahajud)
Rasulullah SAW bersabda:
“Kerjakanlah qiyamul lail (shalat malam), karena ia adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian, mendekatkan diri kepada Allah, mencegah dosa, menghapus kesalahan, dan mengusir penyakit dari tubuh.”(HR. Tirmidzi, no. 3549)
Qiyamul lail menciptakan dhiya’ dalam kehidupan seseorang, baik secara fisik maupun spiritual.
9. Cahaya wajah Rasulullah SAW
Sahabat Anas bin Malik RA berkata:
“Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih terang (dhiya’) dari wajah Rasulullah SAW.”
(HR. Tirmidzi, no. 3648)
Dhiya’ di sini menggambarkan keagungan dan pancaran cahaya spiritual dari Nabi Muhammad SAW.
10. Cahaya bagi orang yang ikhlas
Rasulullah SAW bersabda:
“Amal itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.”
(HR. Bukhari, no. 1; Muslim, no. 1907)
Keikhlasan dalam amal menjadi dhiya’ yang akan terlihat jelas pada hari kiamat, memisahkan amal yang diterima dari yang tertolak.
Kesimpulan: Dalam hadis, dhiya’ memiliki makna yang mendalam, mencakup:
1.Kesabaran sebagai cahaya terang.
2.Shalat, sedekah, dan amal baik sebagai penerang di dunia dan akhirat.
3.Al-Qur’an dan keimanan sebagai petunjuk.
4.Wajah bersinar karena amal dan wudhu.
5.Cahaya spiritual Nabi Muhammad SAW.
Dhiya’ dalam hadis menjadi simbol cahaya yang memandu dan memberkahi kehidupan seorang mukmin, baik di dunia, kubur, maupun akhirat.
Dalam hadis-hadis Ahlul Bayt (keturunan Rasulullah SAW), kata dhiya’ (cahaya terang) sering digunakan dengan makna yang mendalam, baik secara spiritual maupun simbolis. Berikut adalah beberapa makna dan penggunaan dhiya’ dalam tradisi Ahlul Bayt berdasarkan riwayat-riwayat yang diriwayatkan dalam sumber-sumber utama Syiah:
1. Ahlul Bayt sebagai Cahaya Terang
Imam Ali AS berkata: “Kami (Ahlul Bayt) adalah cahaya terang (dhiya’) di tengah-tengah kegelapan, dan petunjuk bagi yang tersesat.”
(Nahjul Balaghah, Khutbah 152)
Dalam riwayat ini, dhiya’ menggambarkan Ahlul Bayt sebagai pembimbing umat manusia, yang membawa umat keluar dari kebodohan dan kesesatan menuju petunjuk dan kebenaran.
2. Imam sebagai Cahaya di Tengah Umat
Imam Ja’far Ash-Shadiq AS berkata:
“Imam adalah cahaya terang (dhiya’) yang menyinari hati-hati yang beriman. Mereka adalah hujjah Allah di muka bumi.” (Ushul al-Kafi, jilid 1, bab Al-Hujjah, hadis 2)
Hadis ini menegaskan bahwa imam-imam Ahlul Bayt adalah cahaya ilahi yang membimbing umat manusia kepada kebenaran, seperti cahaya matahari yang menerangi kegelapan.
3. Imam Mahdi sebagai Matahari dan Cahaya
Imam Muhammad Al-Baqir AS berkata: “Ketika Imam Mahdi muncul, bumi akan diterangi oleh cahaya Rabb-nya (dhiya’), dan keadilan akan memenuhi bumi sebagaimana sebelumnya dipenuhi oleh kezaliman.”
(Bihar al-Anwar, jilid 51, hadis 10)
Dalam hadis ini, dhiya’ melambangkan cahaya keadilan, kebenaran, dan petunjuk yang akan menyelimuti dunia dengan kemunculan Imam Mahdi AS.
4. Dhiya’ sebagai Simbol Keilmuan
Imam Ali AS berkata:
“Ilmu adalah cahaya terang (dhiya’) yang diberikan Allah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan kebodohan adalah kegelapan yang dihilangkan dengan cahaya tersebut.”
(Gharar al-Hikam, hadis 3339)
Dhiya’ di sini digunakan sebagai simbol ilmu pengetahuan yang mengusir kebodohan dan kebatilan, memberikan panduan kepada manusia untuk menjalani kehidupan yang benar.
5. Amal Shalih sebagai Cahaya di Akhirat
Imam Musa Al-Kazim AS berkata:
“Orang yang banyak mengingat Allah di dunia, hatinya akan bercahaya (dhiya’) di akhirat, dan wajahnya akan bersinar seperti bintang.”
(Misbah al-Shari’ah, Bab Zikr)
Dhiya’ di sini merujuk pada cahaya spiritual yang muncul akibat amal dan zikir kepada Allah SWT.
6. Kesabaran sebagai Sumber Cahaya
Imam Ali Zainul Abidin AS berkata:
“Kesabaran adalah cahaya terang (dhiya’) yang membimbing manusia dalam kegelapan ujian dunia.”
(Tuhaf al-Uqul, hadis 268)
Hadis ini serupa dengan riwayat Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa kesabaran adalah sumber kekuatan dan pencerahan dalam menghadapi kesulitan.
7. Al-Qur’an sebagai Dhiya’ bagi Kehidupan
Imam Ja’far Ash-Shadiq AS berkata:
“Al-Qur’an adalah cahaya terang (dhiya’) yang menghidupkan hati orang-orang yang membacanya dengan keimanan dan amal.”
(Wasail al-Shi’ah, jilid 6, hadis 173)
Dalam riwayat ini, dhiya’ mengacu pada Al-Qur’an sebagai sumber pencerahan spiritual dan panduan kehidupan.
8. Ahlul Bayt dan Cahaya Ilahi di Hari Kiamat
Imam Ali AS berkata:
“Pada hari kiamat, kami (Ahlul Bayt) akan menjadi cahaya terang (dhiya’) bagi mereka yang mencintai kami, dan bagi mereka akan diberikan naungan dari azab.”
(Nahjul Balaghah, Hikmah 84)
Riwayat ini menegaskan bahwa kecintaan dan keteladanan kepada Ahlul Bayt akan menjadi penyelamat di akhirat, yang dilambangkan dengan cahaya terang.
9. Amal Shalih Sebagai Cahaya dalam Kubur
Imam Ja’far Ash-Shadiq AS berkata:
“Amal baik seorang mukmin adalah cahaya terang (dhiya’) yang menyertainya di kuburnya, menjaganya dari kegelapan dan kesendirian.”
(Mizan al-Hikmah, jilid 2, hadis 9103)
Cahaya ini merupakan hasil dari amal shalih yang dilakukan di dunia, menjadi teman bagi seseorang di alam barzakh.
10. Cahaya Keimanan dalam Hati
Imam Muhammad Al-Baqir AS berkata: “Keimanan seorang mukmin adalah cahaya terang (dhiya’) yang memancar dari dalam hatinya, memandunya menuju amal yang baik.”
(Tafsir Al-Ayyashi, jilid 2, hadis 64)
Dhiya’ di sini menggambarkan keimanan sebagai cahaya yang menyinari hati dan tindakan seseorang, memberikan arahan dalam menjalani hidup yang benar.
Kesimpulan; Dalam hadis-hadis Ahlul Bayt, dhiya’ memiliki makna simbolis yang mendalam, seperti:
1.Cahaya petunjuk yang berasal dari para imam.
2.Cahaya amal shalih yang menerangi kubur dan akhirat.
3.Ilmu dan keimanan sebagai sumber cahaya spiritual.
4.Ahlul Bayt sebagai pembawa cahaya kebenaran.
Semua ini menunjukkan pentingnya hubungan dengan Allah, kecintaan kepada Ahlul Bayt, dan amal ibadah sebagai cara untuk mendapatkan dhiya’ di dunia dan akhirat.
Para mufassir (ahli tafsir) menjelaskan kata dhiya’ (ضياء) dengan berbagai makna dan konteks yang mendalam. Berikut adalah pandangan para mufassir terkenal tentang makna dhiya’ sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
1. Ibnu Katsir (Tafsir al-Qur’an al-Azhim)
Ibnu Katsir menjelaskan dhiya’ dalam konteks Surah Yunus (10:5):
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar (dhiya’) dan bulan bercahaya (nur)…”
Dhiya’ di sini berarti cahaya yang bersumber dari dirinya sendiri, yaitu matahari yang memancarkan sinarnya dengan terang dan panas. Berbeda dengan nur, yang merujuk pada bulan yang hanya memantulkan cahaya. Ibnu Katsir menegaskan bahwa ini menunjukkan kekuasaan Allah yang menciptakan sumber-sumber cahaya sesuai fungsinya masing-masing.
2. Al-Qurtubi (Tafsir Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an)
Al-Qurtubi mengaitkan dhiya’ dengan aspek fungsional cahaya bagi kehidupan manusia. Dalam tafsirnya terhadap Surah Al-Isra’ (17:12):
“Kami jadikan tanda siang sebagai terang (dhiya’)…”
Dhiya’ di sini menunjukkan cahaya siang yang memberikan kemampuan manusia untuk bekerja, mencari rezeki, dan menjalankan aktivitas duniawi. Ini adalah bagian dari nikmat Allah yang memberi manusia waktu terang dan gelap secara seimbang.
3. Ar-Razi (Tafsir Al-Kabir)
Fakhruddin Ar-Razi menafsirkan dhiya’ dalam Surah Yunus (10:5) dengan pendekatan filsafat. Menurutnya, dhiya’ mencerminkan cahaya yang intens dan memberikan pengaruh besar, seperti matahari yang tidak hanya menerangi tetapi juga menjadi sumber energi bagi kehidupan di bumi.
Ia juga menambahkan bahwa secara spiritual, dhiya’ melambangkan ilmu dan petunjuk yang mengusir kegelapan kebodohan dan kesesatan.
4. Sayyid Qutb (Tafsir Fi Zilal al-Qur’an)
Sayyid Qutb dalam tafsirnya memandang dhiya’ sebagai simbol kekuatan yang tidak hanya fisik tetapi juga spiritual. Dalam konteks Surah An-Naba’ (78:13):
“Dan Kami jadikan matahari sebagai pelita yang terang benderang.”
Ia menjelaskan bahwa dhiya’ mencerminkan peran matahari sebagai sumber kehidupan fisik dan tanda kekuasaan Allah. Secara metaforis, dhiya’ juga melambangkan wahyu Allah yang memberikan kehidupan spiritual bagi hati manusia.
5. Al-Thabari (Tafsir Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an)
Imam Al-Thabari menjelaskan dhiya’ dengan pendekatan kebahasaan. Dalam Surah Yunus (10:5), ia menyebut bahwa kata dhiya’ berasal dari akar kata yang berarti “pancaran cahaya terang yang berasal dari dalam dirinya.” Dalam pandangannya, matahari yang disebut memiliki dhiya’ menunjukkan bahwa cahaya ini intens, penuh energi, dan bersifat mendalam, berbeda dari nur, yang sifatnya lebih lembut dan tenang.
6. Tafsir Al-Mizan (Allamah Thabathabai)
Allamah Thabathabai dalam Tafsir Al-Mizan menjelaskan dhiya’ sebagai simbol dari kekuatan kreatif Allah yang membawa kebermanfaatan. Dalam Surah Yunus (10:5), ia mengaitkan dhiya’ dengan kebutuhan manusia akan matahari sebagai sumber utama kehidupan fisik. Secara spiritual, dhiya’ juga melambangkan wahyu yang memberikan pencerahan dan membimbing manusia menuju Allah.
7. Imam Al-Baghawi (Tafsir Ma’alim at-Tanzil)
Imam Al-Baghawi menekankan bahwa dhiya’ dalam Surah Al-Isra’ (17:12) merujuk pada fungsi matahari yang mendukung kehidupan duniawi. Namun, ia juga menekankan bahwa secara simbolis, dhiya’ adalah manifestasi dari hidayah Allah yang menyinari jalan kehidupan manusia.
8. Tafsir As-Sa’di
Dalam Tafsir As-Sa’di, dhiya’ dijelaskan sebagai salah satu tanda kekuasaan Allah. Surah Yunus (10:5) menegaskan perbedaan antara cahaya matahari dan bulan, menunjukkan bahwa dhiya’ adalah ciptaan yang memiliki manfaat besar bagi manusia dalam berbagai aspek, termasuk kehidupan ekonomi, fisik, dan spiritual.
9. Raghib Al-Asfahani (Mufradat Al-Qur’an)
Dalam Mufradat Al-Qur’an, Raghib Al-Asfahani memberikan analisis etimologis tentang dhiya’, menyebutnya sebagai cahaya yang memancar dengan kuat. Ia mengaitkan kata ini dengan pancaran wahyu ilahi, yang seperti matahari, mampu mengusir kegelapan kejahilan dan membawa manfaat besar bagi umat manusia.
10. Imam Al-Alusi (Tafsir Ruh al-Ma’ani)
Imam Al-Alusi menyebutkan bahwa dhiya’ tidak hanya merujuk pada cahaya fisik, tetapi juga pada cahaya spiritual yang mendalam. Dalam tafsirnya terhadap Surah Yunus (10:5), ia mengatakan bahwa matahari dengan dhiya’ adalah tanda kekuasaan Allah yang juga melambangkan kebenaran dan petunjuk.
Kesimpulan dari Para Mufassir
Makna dhiya’ menurut para mufassir mencakup:
1.Cahaya fisik seperti matahari, yang bersinar terang dan memiliki energi besar.
2.Cahaya spiritual, yaitu ilmu, wahyu, atau petunjuk Allah yang menyinari hati manusia.
3.Simbol kebenaran yang mengusir kegelapan kebatilan dan kejahilan.
4.Tanda kekuasaan Allah, baik dalam menciptakan alam semesta maupun memberikan manfaat bagi manusia.
Dhiya’ adalah simbol terang benderang, baik secara lahiriah maupun batiniah, yang mencerminkan kebesaran Allah dan rahmat-Nya bagi makhluk-Nya.
Dalam tafsir Al-Qur’an oleh para mufassir Syiah, kata dhiya’ (ضياء) memiliki makna yang mendalam, tidak hanya sebagai cahaya fisik tetapi juga sebagai simbol spiritual dan kekuatan ilahi. Berikut adalah beberapa penafsiran dari mufassir Syiah terkemuka:
1. Allamah Thabathabai (Tafsir Al-Mizan)
Allamah Thabathabai, seorang mufassir Syiah terkenal, menafsirkan dhiya’ dalam konteks berikut:
•Surah Yunus (10:5):
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar (dhiya’) dan bulan bercahaya (nur)…”
Thabathabai menjelaskan bahwa dhiya’ adalah cahaya yang memancar dari dalam dirinya sendiri (seperti matahari), sedangkan nur adalah cahaya pantulan (seperti bulan).
Beliau menambahkan bahwa matahari sebagai sumber dhiya’ melambangkan kekuatan kreatif Allah yang menjadi sumber keberlangsungan kehidupan di bumi. Secara spiritual, dhiya’ mewakili wahyu ilahi yang memberikan pencerahan langsung kepada manusia.
•Makna simbolis:
Dalam tafsirnya, Allamah juga mengaitkan dhiya’ dengan para nabi dan imam sebagai sumber cahaya yang menerangi kegelapan kebodohan dan kesesatan. Mereka adalah “matahari spiritual” bagi umat manusia.
2. Syaikh Muhammad Husain Thabarsi (Tafsir Majma’ al-Bayan)
Dalam tafsirnya, Thabarsi memberikan analisis berikut:
•Surah Yunus (10:5):
Beliau menafsirkan dhiya’ sebagai cahaya terang yang memiliki panas dan intensitas, berbeda dengan nur yang lembut dan tidak memiliki panas.
Thabarsi menegaskan bahwa dhiya’ matahari bukan hanya fenomena fisik tetapi juga merupakan tanda kebesaran Allah yang menciptakan sistem yang sempurna untuk kehidupan manusia.
•Surah Al-Isra’ (17:12):
“Kami jadikan tanda siang sebagai terang (dhiya’)…”
Thabarsi menyebutkan bahwa dhiya’ di siang hari memberikan manusia kemampuan untuk melihat dan menjalankan kehidupan sehari-hari. Ini adalah simbol bahwa Allah memberi manusia kesempatan untuk beramal dalam “terang” sebelum memasuki “malam” (kematian dan akhirat).
3. Al-Hurr Al-Amili (Tafsir Nur al-Tsaqalain)
Dalam tafsir Nur al-Tsaqalain, Al-Hurr Al-Amili sering menghubungkan dhiya’ dengan imam-imam Ahlul Bayt. Berikut adalah poin penting dari tafsirnya:
•Imam Sebagai Dhiya’:
Beliau mengutip riwayat dari Imam Ja’far Ash-Shadiq AS yang mengatakan bahwa para imam adalah dhiya’ bagi hati manusia. Mereka seperti matahari yang menyinari dunia dengan pengetahuan, kebijaksanaan, dan hidayah.
“Kami adalah cahaya terang (dhiya’) bagi mereka yang beriman kepada kami, dan petunjuk bagi yang tersesat.”
•Konteks Akhirat:
Dalam tafsirnya terhadap Surah Al-Hadid (57:12), Al-Amili menjelaskan bahwa dhiya’ juga merujuk kepada cahaya yang diberikan kepada orang-orang beriman di hari kiamat. Cahaya ini adalah hasil dari amal mereka di dunia yang diterima oleh Allah SWT.
4. Al-Faidh Al-Kasyani (Tafsir Al-Shafi)
Dalam tafsir Al-Shafi, Al-Faidh Al-Kasyani memberikan penjelasan berikut:
•Surah Yunus (10:5):
Dhiya’ adalah lambang cahaya yang kuat, baik secara fisik maupun spiritual. Beliau menafsirkan bahwa matahari dengan dhiya’-nya adalah simbol dari wahyu ilahi yang menghidupkan hati manusia. Dalam konteks spiritual, imam-imam dari Ahlul Bayt adalah perwujudan dhiya’, karena mereka menjadi sumber ilmu dan petunjuk.
•Simbol Kesempurnaan:
Beliau menyebutkan bahwa dhiya’ adalah gambaran kesempurnaan ilahi yang berfungsi sebagai panduan bagi manusia untuk menemukan Allah SWT melalui alam semesta dan ajaran-ajaran wahyu.
5. Mufassir Modern: Ayatullah Makarim Shirazi (Tafsir Nemuneh)
Ayatullah Makarim Shirazi menafsirkan dhiya’ dengan pendekatan yang mendalam:
•Surah Yunus (10:5):
Beliau menjelaskan bahwa dhiya’ matahari tidak hanya memberikan kehidupan fisik, tetapi juga mencerminkan kebutuhan manusia akan sumber spiritual seperti wahyu. Matahari adalah simbol dari kebenaran yang tidak dapat diingkari.
•Makna dalam Kehidupan Manusia:
Dalam Surah An-Naba’ (78:13), beliau menyebut matahari sebagai sirajan wahhajan (pelita yang sangat terang), dan menghubungkan ini dengan kehadiran para nabi dan imam. Beliau menyebut bahwa cahaya para imam adalah cahaya petunjuk yang memandu umat dalam kegelapan dunia.
6. Imam Khomeini (Tafsir Spiritual dalam Al-Qur’an)
Imam Khomeini sering menafsirkan dhiya’ secara metaforis sebagai cahaya ruhani. Dalam tulisannya tentang Al-Qur’an, beliau menjelaskan bahwa:
•Dhiya’ dan Nur:
Beliau memandang dhiya’ sebagai simbol energi spiritual yang aktif, melambangkan tindakan dan perjuangan dalam menegakkan kebenaran. Sedangkan nur adalah simbol ketenangan dan kebahagiaan yang datang dari hubungan dengan Allah SWT.
•Ahlul Bayt sebagai Dhiya’:
Imam Khomeini menekankan bahwa para imam adalah sumber dhiya’, yang tidak hanya menerangi jalan kehidupan manusia tetapi juga memberi kekuatan untuk menghadapi tantangan spiritual.
Kesimpulan dari Tafsir Syiah
Dalam tafsir Syiah, dhiya’ memiliki dua aspek utama:
1.Aspek Fisik: Sebagai cahaya terang seperti matahari yang melambangkan kekuasaan Allah dan memberikan kehidupan fisik.
2.Aspek Spiritual: Sebagai simbol wahyu, ilmu, dan petunjuk dari Allah SWT yang diterjemahkan melalui nabi dan imam Ahlul Bayt. Mereka adalah perwujudan dhiya’, menjadi sumber cahaya yang membimbing umat manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Dhiya’ adalah simbol kebenaran, perjuangan, dan pancaran kekuatan ilahi yang membawa manusia menuju kesempurnaan spiritual.
Berikut tambahan 4 penafsiran dhiya’ dari perspektif mufassir Syiah, melengkapi sebelumnya:
7. Syekh Thusi (Tafsir at-Tibyan)
Syekh Thusi, mufassir Syiah terkemuka, menjelaskan dhiya’ sebagai berikut:
•Surah Yunus (10:5):
Beliau menafsirkan dhiya’ sebagai simbol “cahaya yang membawa perubahan” dan mencerminkan kekuatan Allah dalam menciptakan sesuatu yang tidak hanya bercahaya tetapi juga berdampak langsung pada kehidupan manusia. Matahari sebagai sumber dhiya’ adalah tanda bahwa kekuasaan Allah tidak hanya memberi penerangan, tetapi juga menciptakan kehidupan.
•Makna Spiritual:
Syekh Thusi mengaitkan dhiya’ dengan wahyu dan para nabi sebagai agen transformasi spiritual yang menerangi hati manusia.
8. Allamah Bahrani (Tafsir Al-Burhan)
Dalam Tafsir Al-Burhan, yang banyak mengutip hadis Ahlul Bayt, dhiya’ sering dikaitkan dengan para imam:
•Cahaya Imam Ali AS:
Beliau menafsirkan bahwa dhiya’ juga merujuk kepada Imam Ali AS sebagai “lampu terang” (misykat al-dhiya’) yang membimbing umat. Hal ini didasarkan pada riwayat yang menyebutkan Imam Ali sebagai pelita dalam kegelapan spiritual umat manusia.
•Konteks Hari Kiamat:
Beliau menafsirkan dhiya’ di hari kiamat sebagai cahaya yang bersumber dari amal shaleh dan cinta kepada Ahlul Bayt, berdasarkan riwayat dari Imam Ja’far Ash-Shadiq AS.
9. Syaikh Abdullah Syubbar (Tafsir Al-Jawahir)
Dalam Tafsir Al-Jawahir, Syaikh Syubbar menafsirkan dhiya’ dengan fokus pada dimensi metaforisnya:
•Dhiya’ Sebagai Hidayah Ilahi:
Beliau menekankan bahwa dhiya’ melambangkan cahaya yang membawa petunjuk langsung dari Allah SWT, baik melalui wahyu maupun melalui imam-imam suci. Matahari, dalam konteks ini, menjadi simbol manifestasi langsung dari rahmat Allah yang memberi kehidupan dan petunjuk.
•Dunia dan Akhirat:
Beliau juga menjelaskan bahwa dhiya’ adalah simbol keberhasilan dunia dan akhirat. Cahaya terang di dunia membantu manusia bekerja dan beramal, sementara di akhirat, dhiya’ menjadi refleksi dari amal mereka.
10. Ayatullah Muhammad Baqir As-Sadr
Ayatullah As-Sadr, seorang mufassir dan pemikir Syiah modern, memberikan analisis filosofis tentang dhiya’:
•Dhiya’ Sebagai Simbol Dinamika Kehidupan:
Beliau menafsirkan dhiya’ dalam Surah Yunus (10:5) sebagai simbol pergerakan dan aktivitas manusia. Cahaya matahari melambangkan kebutuhan manusia untuk terus bekerja, berjuang, dan bergerak maju. Dalam konteks spiritual, ini mencerminkan perjuangan manusia untuk mencari kebenaran.
•Makna Kekuatan Spiritual:
As-Sadr menyebut bahwa dhiya’ adalah pancaran kekuatan spiritual yang membawa energi bagi jiwa manusia, seperti matahari yang menjadi energi bagi kehidupan fisik.
Kesimpulan Tambahan
Dalam tafsir Syiah, dhiya’ tidak hanya dipahami sebagai cahaya fisik, tetapi juga melambangkan:
1.Kekuasaan Allah yang kreatif, yang tampak dalam penciptaan matahari dan kehidupan.
2.Petunjuk langsung Allah, baik melalui wahyu maupun imam-imam suci.
3.Manifestasi amal shaleh, yang bercahaya di hari kiamat.
4.Sumber energi spiritual, yang menggerakkan manusia untuk berjuang dan mencari kebenaran.
Penafsiran ini memperkuat pandangan bahwa dhiya’ adalah simbol yang melampaui fisik, menjadi pancaran kekuatan dan kebenaran ilahi dalam kehidupan dunia dan akhirat.
Para ahli makrifat dan hakikat melihat kata dhiya’ (ضياء) dalam Al-Qur’an sebagai simbol yang mendalam dan penuh makna spiritual, jauh melampaui pengertian fisik. Mereka menafsirkan dhiya’ bukan hanya sebagai cahaya fisik, tetapi juga sebagai pancaran cahaya ilahi, hakikat kebenaran, dan pencerahan batin. Berikut adalah penjelasan mereka:
1. Simbol Cahaya Ilahi (Nur Allah)
Dalam pandangan ahli makrifat, dhiya’ adalah manifestasi langsung dari Nur Allah (Cahaya Ilahi). Cahaya ini memancar dari Allah kepada ciptaan-Nya, menerangi hati dan jiwa mereka yang mencari-Nya.
•Surah Yunus (10:5):
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar (dhiya’) dan bulan bercahaya (nur).”
Ahli hakikat memandang bahwa matahari melambangkan haqq al-yaqin (kebenaran yang mutlak), yaitu wahyu yang memberikan pencerahan total. Matahari sebagai dhiya’ adalah simbol dari kehadiran Allah yang nyata dan memberikan energi kehidupan, sementara bulan sebagai nur adalah pantulan cahaya-Nya dalam jiwa manusia melalui hidayah.
2. Sumber Pencerahan Ruhani (Irfan)
Para ahli makrifat, seperti Ibnu Arabi, menjelaskan bahwa dhiya’ adalah simbol pencerahan yang hanya dapat diraih melalui ma’rifah (pengetahuan tentang Allah) dan mujahadah (perjuangan batin).
•Dalam konteks spiritual, dhiya’ adalah “api cinta ilahi” yang menyinari jalan hamba menuju Allah. Api ini membakar kegelapan ego, keserakahan, dan kejahilan, hingga seseorang mencapai pencerahan penuh.
•Matahari dengan dhiya’-nya juga dianggap sebagai metafora jiwa suci yang mendapatkan cahaya langsung dari Allah, sehingga ia mampu memancarkan kebenaran dan hikmah kepada orang lain.
3. Dhiya’ sebagai Hakikat Wahyu
Ahli hakikat memandang bahwa wahyu adalah dhiya’ terbesar yang diterima manusia, karena ia memberikan cahaya kepada hati untuk memahami hakikat keberadaan.
•Syekh Ahmad al-Alawi, seorang sufi besar, mengatakan bahwa dhiya’ bukan sekadar cahaya fisik, tetapi adalah pancaran hakikat yang menerangi alam lahir dan batin. Cahaya ini membawa manusia kepada kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.
•Dalam Surah An-Naba’ (78:13):
“Dan Kami jadikan matahari sebagai pelita yang terang benderang.”
Dhiya’ matahari dianggap sebagai simbol kekuatan wahyu yang mampu menghidupkan hati manusia dan mengusir kegelapan batin.
4. Tingkatan Cahaya dalam Makrifat
Ahli irfan membedakan antara nur dan dhiya’ dalam konteks perjalanan spiritual:
•Nur (Cahaya Reflektif):
Melambangkan cahaya awal yang diterima oleh seorang salik (penempuh jalan spiritual). Ini adalah cahaya yang memantulkan petunjuk dari guru atau ajaran agama, seperti bulan memantulkan cahaya matahari.
•Dhiya’ (Cahaya Mandiri):
Melambangkan tingkatan spiritual yang lebih tinggi, ketika seorang salik telah menyatu dengan hakikat kebenaran. Ia tidak lagi memantulkan cahaya, melainkan menjadi sumber pancaran cahaya itu sendiri, seperti matahari.
5. Dhiya’ Sebagai Sifat Nabi dan Imam
Dalam tradisi ahli makrifat, nabi-nabi dan imam-imam dipandang sebagai dhiya’, sumber cahaya langsung yang menerangi dunia dan hati manusia.
•Rasulullah SAW:
Ahli makrifat sering mengutip bahwa Nabi Muhammad SAW adalah siraj munir (pelita yang menerangi) sebagaimana disebut dalam Surah Al-Ahzab (33:46). Dhiya’ beliau adalah simbol dari cahaya ilahi yang sempurna, memancar ke seluruh alam semesta.
•Ahlul Bayt:
Para imam dianggap sebagai perpanjangan dari cahaya Rasulullah. Mereka adalah dhiya’ batin, yang memberikan pencerahan spiritual kepada para pengikutnya.
6. Makna Hakikat Dhiya’ dalam Kehidupan
Menurut ahli hakikat, dhiya’ juga dapat dipahami sebagai kesadaran spiritual yang membawa manusia keluar dari “malam kehidupan” (kegelapan dosa, kejahilan, dan keterikatan duniawi) menuju “siang kehidupan” (kesadaran akan Allah dan kehidupan yang benar).
•Surah Al-Isra’ (17:12):
“Kami jadikan tanda siang sebagai terang (dhiya’)…”
Dhiya’ di siang hari melambangkan masa ketika seorang manusia sadar akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah. Dalam konteks spiritual, ini adalah saat seseorang mencapai kebangkitan jiwa yang terang oleh cahaya Allah.
7. Dhiya’ Sebagai Rahasia Keberadaan (Sir Allah)
Para ahli makrifat memandang dhiya’ sebagai rahasia penciptaan (sir Allah). Cahaya ini adalah energi ilahi yang membuat segala sesuatu di alam semesta hidup dan berfungsi.
•Dalam tradisi tasawuf, dhiya’ dianggap sebagai sirr (rahasia) yang tersembunyi di balik penciptaan. Cahaya ini adalah manifestasi dari nama-nama Allah yang memancar ke seluruh alam semesta.
•Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan bahwa seorang hamba yang mencapai kesadaran penuh akan melihat dhiya’ ini dalam setiap ciptaan Allah, karena seluruh alam adalah refleksi dari cahaya ilahi.
8. Cahaya dalam Diri Manusia (Nur al-Qalb)
Ahli makrifat menjelaskan bahwa dhiya’ juga ada di dalam diri manusia, sebagai nur al-qalb (cahaya hati). Cahaya ini berasal dari Allah dan akan bersinar terang jika hati dibersihkan melalui zikir, ibadah, dan mujahadah.
•Hati yang Bersinar:
Manusia yang hatinya dipenuhi dhiya’ akan menjadi sumber petunjuk bagi orang lain. Mereka mampu membimbing dan menjadi cermin dari cahaya ilahi di bumi.
Kesimpulan Menurut Ahli Makrifat dan Hakikat
Makna dhiya’ dalam perspektif ahli makrifat dan hakikat mencakup:
1.Cahaya Ilahi yang Absolut, yang bersumber langsung dari Allah dan menerangi hati manusia.
2.Simbol Wahyu dan Hidayah, yang mengusir kegelapan dan membawa manusia kepada hakikat kebenaran.
3.Pencerahan Ruhani, sebagai tingkatan tertinggi dari perjalanan spiritual, ketika seorang hamba menjadi sumber cahaya bagi orang lain.
4.Kehadiran Allah dalam Alam Semesta, yang memancar melalui ciptaan-Nya dan menjadi rahasia keberadaan (sir Allah).
Dhiya’ adalah pancaran kebenaran yang sempurna, simbol pencerahan total yang mengangkat manusia dari kegelapan menuju kehadiran Allah.
Para ahli hakikat Syiah memahami kata dhiya’ (ضياء) dari sudut pandang batiniah dan irfan (makrifat), dengan penekanan pada peran Allah, Rasulullah SAW, dan Ahlul Bayt sebagai sumber utama cahaya spiritual. Berikut adalah penjelasan mendalam menurut ahli hakikat dari tradisi Syiah:
1. Dhiya’ Sebagai Manifestasi Cahaya Allah (Tajalli Ilahi)
Ahli hakikat Syiah menafsirkan dhiya’ sebagai salah satu bentuk tajalli (manifestasi) Allah di alam semesta. Cahaya ini adalah pancaran langsung dari Nur Allah yang tidak hanya menerangi alam lahiriah, tetapi juga menjadi panduan bagi hati manusia.
•Allamah Thabathabai (Pendekatan Hakikat):
Dalam tafsir irfaninya, beliau menjelaskan bahwa dhiya’ adalah cahaya yang memancar dari esensi Allah kepada seluruh makhluk.
“Dhiya’ adalah tanda kehadiran Allah yang terus-menerus dalam ciptaan-Nya, menerangi tidak hanya mata fisik, tetapi juga mata hati mereka yang mencarinya.”
Menurut beliau, cahaya matahari (dhiya’) adalah representasi fisik dari kekuatan Allah yang mengatur keberlangsungan kehidupan, sementara cahaya spiritual (nur) adalah rahmat-Nya yang tak berujung.
2. Ahlul Bayt sebagai Dhiya’ Spiritual
Dalam tradisi Syiah, Ahlul Bayt adalah perwujudan dari dhiya’, yakni sumber pencerahan dan hidayah yang tak tergantikan. Ahli hakikat Syiah menegaskan bahwa cahaya para imam berasal langsung dari Nur Muhammad (cahaya kenabian).
•Riwayat Imam Ali AS:
“Kami (Ahlul Bayt) adalah pelita terang (misykat al-dhiya’) bagi mereka yang mengikuti kami.”
Ahli hakikat Syiah menjelaskan bahwa para imam memiliki cahaya batin yang memancar ke dalam jiwa manusia, membawa mereka dari kegelapan kebodohan menuju terang pengetahuan.
•Cahaya Imam Mahdi AS:
Imam Mahdi AS dianggap sebagai dhiya’ batin terakhir yang memancarkan petunjuk Allah kepada manusia, bahkan dalam ghaibahnya. Kehadirannya sebagai sumber cahaya spiritual terus memberikan kehidupan kepada umat yang setia.
3. Dhiya’ Sebagai Simbol Wahyu dan Pengetahuan Ilahi
Dalam pandangan ahli hakikat Syiah, dhiya’ adalah lambang dari ilmu yang langsung berasal dari Allah, disampaikan melalui wahyu kepada para nabi dan diteruskan oleh para imam.
•Tafsir Al-Burhan (Allamah Bahrani):
Dhiya’ adalah simbol ilmu laduni (pengetahuan ilahi) yang dianugerahkan kepada Nabi Muhammad SAW dan diteruskan kepada para imam. Ilmu ini bersifat terang, seperti matahari, yang tidak membutuhkan perantara untuk menerangi.
“Sebagaimana matahari adalah sumber kehidupan fisik, para imam adalah matahari ruhani yang menghidupkan jiwa manusia.”
4. Dhiya’ sebagai Cahaya Ruhani Manusia (Nur al-Qalb)
Dalam Syiah, hati manusia (qalb) dianggap sebagai wadah yang dapat memantulkan dhiya’ jika ia dibersihkan dari dosa dan kegelapan.
•Hati yang Bersinar:
Ahli hakikat Syiah seperti Ayatullah Hassan Zadeh Amoli menjelaskan bahwa dhiya’ adalah cahaya yang muncul dalam hati orang beriman ketika mereka mendekat kepada Allah melalui ibadah dan zikir.
“Hati yang bersih adalah cermin yang memantulkan dhiya’ Allah, sementara hati yang gelap kehilangan cahaya ini.”
•Jiwa dan Perjalanan Spiritual:
Mereka yang mencapai tingkatan ma’rifah (pengetahuan hakiki) akan merasakan dhiya’ ini secara langsung, yaitu cahaya yang memberikan kebahagiaan sejati dan kesadaran akan kehadiran Allah.
5. Cahaya Kehidupan dan Kematian
Menurut ahli hakikat Syiah, dhiya’ tidak hanya menerangi kehidupan dunia, tetapi juga akan menjadi cahaya yang memandu manusia di alam kubur dan akhirat.
•Surah Al-Hadid (57:12):
“Pada hari ketika kamu melihat orang-orang mukmin, cahaya mereka memancar di hadapan mereka…”
Ahli hakikat Syiah menafsirkan bahwa dhiya’ amal shaleh adalah hasil dari kecintaan kepada Allah dan Ahlul Bayt. Cahaya ini tidak hanya menuntun seseorang di dunia, tetapi juga menjadi sumber keselamatan di akhirat.
•Cahaya Imam di Akhirat:
Para imam Syiah diyakini akan menjadi cahaya penuntun (dhiya’) bagi para pengikutnya di hari kiamat. Mereka akan memberi syafaat dan membawa umat mereka menuju keselamatan.
6. Perbedaan Dhiya’ dan Nur dalam Makrifat Syiah
Ahli hakikat Syiah sering membedakan antara dhiya’ (cahaya langsung) dan nur (cahaya pantulan):
•Dhiya’:
Melambangkan cahaya aktif, yang memancar langsung dari sumbernya. Dalam konteks ini, para nabi dan imam adalah dhiya’, karena mereka adalah sumber cahaya spiritual yang mengarahkan manusia kepada Allah tanpa perantara.
•Nur:
Merupakan cahaya reflektif, yang diterima dari sumber dan diteruskan kepada makhluk lain. Dalam makna batiniah, nur adalah cerminan dari dhiya’, seperti ilmu yang disampaikan dari imam kepada pengikutnya.
7. Makna Dhiya’ dalam Hakikat Kehidupan
Ahli hakikat Syiah juga memandang dhiya’ sebagai simbol transformasi:
•Transformasi Spiritual:
Sebagaimana matahari (dhiya’) mengubah malam menjadi siang, dhiya’ spiritual mengubah kegelapan jiwa menjadi terang kesadaran.
“Cahaya ini hanya dapat diperoleh melalui kecintaan kepada Allah dan para imam.” (Imam Ja’far Ash-Shadiq AS).
•Dhiya’ dalam Alam:
Alam semesta dianggap penuh dengan tanda-tanda dhiya’, yang semuanya menunjuk kepada Allah. Cahaya matahari, bulan, dan bintang adalah simbol kecil dari cahaya besar kehadiran-Nya.
Kesimpulan Menurut Ahli Hakikat Syiah
Bagi ahli hakikat Syiah, dhiya’ memiliki makna yang sangat mendalam:
1.Manifestasi Allah: Dhiya’ adalah pancaran langsung dari Allah, tanda kasih-Nya kepada makhluk-Nya.
2.Ahlul Bayt sebagai Cahaya: Para imam adalah perwujudan dhiya’, sumber petunjuk dan keselamatan di dunia dan akhirat.
3.Simbol Pengetahuan dan Pencerahan: Dhiya’ melambangkan ilmu laduni dan kesadaran batin yang memandu manusia menuju Allah.
4.Cahaya Spiritual: Hati yang bersih dapat memantulkan dhiya’ Allah, menjadi terang di dunia dan akhirat.
Dhiya’ bukan sekadar cahaya fisik, tetapi adalah simbol kehadiran Allah, pencerahan batin, dan transformasi spiritual yang membawa manusia menuju hakikat kebenaran.
Cerita dan kisah tentang Dhiya yang berhubungan dengan Ahlul Bayt (keluarga Nabi Muhammad SAW), yang mengandung pelajaran spiritual dan makna dalam konteks dhiya’ sebagai cahaya ilahi dan petunjuk hidup:
1. Kelahiran Imam Ali AS - Cahaya yang Terang
Saat kelahiran Imam Ali AS, ada cerita yang mengatakan bahwa saat ibunya, Fatimah binti Asad, melahirkan Imam Ali di dalam Ka’bah, langit dan bumi terangnya diselimuti oleh cahaya yang luar biasa. Ini adalah simbol dari dhiya’ spiritual Imam Ali AS yang akan menerangi umat manusia dengan keadilan dan kebijaksanaannya. Imam Ali AS dikenal dengan julukan “pelita yang terang” (misykat al-dhiya’) karena ia adalah sumber pencerahan bagi umatnya.
2. Imam Ali dan Pengorbanan di Perang Badar
Ketika Rasulullah SAW dan para sahabat bertempur di Perang Badar, Imam Ali AS menunjukkan keberanian luar biasa. Dalam pertempuran tersebut, Imam Ali AS menjadi dhiya’ yang menerangi jalan umat Islam dengan keberaniannya. Imam Ali AS berjuang demi menegakkan kebenaran, dan darahnya yang tumpah di medan perang menjadi simbol dari dhiya’ yang mengarah pada kemenangan Islam.
3. Peristiwa Ghadir Khumm dan Cahaya Imam Ali AS
Pada Peristiwa Ghadir Khumm, Nabi Muhammad SAW mengangkat Imam Ali AS sebagai pemimpin setelahnya. Dalam khutbahnya, Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa Imam Ali adalah “cahaya yang menerangi umat”. Ini adalah deklarasi bahwa Imam Ali AS bukan hanya sebagai pemimpin duniawi, tetapi juga sebagai sumber dhiya’ spiritual yang membimbing umat menuju kebenaran dan pencerahan.
4. Imam Hasan AS dan Keadilan dalam Pemerintahan
Imam Hasan AS, setelah menerima kepemimpinan setelah ayahnya, Imam Ali AS, menunjukkan bagaimana seorang pemimpin yang bercahaya dapat membawa kedamaian dan keadilan. Meskipun menghadapi tekanan dari pasukan Muawiyah, Imam Hasan AS memilih untuk berdamai untuk menghindari pertumpahan darah. Keputusannya adalah cahaya bagi umat Islam yang mengajarkan tentang pentingnya menghindari konflik dan menjaga kedamaian sebagai dhiya’ dari Allah.
5. Imam Husayn AS di Karbala - Cahaya yang Tak Pernah Padam
Di Perang Karbala, Imam Husayn AS memberikan pengorbanan terbesar untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Meskipun beliau dan para pengikutnya terjebak dalam kondisi yang sangat sulit, Imam Husayn AS tetap menjadi dhiya’ yang terang bagi umat manusia, memberikan pelajaran tentang keberanian, keteguhan, dan pengorbanan demi Allah. Kecemerlangan cahaya beliau masih hidup dan memberi inspirasi hingga hari ini.
6. Imam Ali Zayn al-Abidin AS dan Doa-doanya
Imam Ali Zayn al-Abidin AS, yang dikenal dengan sebutan “al-Sajjad”, adalah seorang imam yang memancarkan cahaya spiritual melalui ibadah dan doanya. Doa-doanya yang tercatat dalam Sahifa Sajjadiya adalah petunjuk spiritual yang memberikan penerangan kepada umat yang mencari kedekatan dengan Allah. Doa-doa tersebut membawa pencerahan dalam kegelapan hati dan membantu umat untuk menempuh jalan yang benar.
7. Imam Muhammad al-Baqir AS dan Ilmu yang Menjadi Cahaya
Imam Muhammad al-Baqir AS dikenal dengan ilmu yang sangat luas, yang menjadi dhiya’ bagi umat Islam dalam memahami ajaran agama. Beliau mengajarkan bahwa ilmu adalah cahaya yang menuntun umat manusia untuk lebih memahami Allah dan kehidupan. Banyak sahabat dan pengikut beliau yang mendapatkan pencerahan melalui ajarannya tentang hukum-hukum agama dan makna hakiki wahyu.
8. Imam Ja’far al-Sadiq AS dan Kewajaran Akal
Imam Ja’far al-Sadiq AS adalah seorang yang memancarkan dhiya’ dalam dunia intelektual, memperkenalkan sains dan filsafat sebagai bagian dari ajaran Islam. Beliau tidak hanya seorang pemimpin spiritual, tetapi juga seorang ilmuwan yang mengajarkan pentingnya akal dalam memahami rahasia Allah dan alam semesta. Ilmu yang beliau sampaikan menjadi dhiya’ yang menghidupkan hati umat yang haus akan pengetahuan.
9. Imam Ali al-Ridha AS dan Keadilan di Pemerintahan
Imam Ali al-Ridha AS, sebagai pemimpin dalam masa pemerintahan Abbasiyah, memancarkan dhiya’ dalam pemerintahan yang adil dan bijaksana. Beliau mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus menjadi contoh dalam hal moralitas dan kebijaksanaan. Melalui pertemuan-pertemuan beliau dengan para ilmuwan dan penulis, Imam Ridha AS menyebarkan cahaya ilmu yang membimbing umat menuju kebenaran.
10. Imam Mahdi AS dan Cahaya yang Terus Menyala
Imam Mahdi AS, yang diyakini oleh umat Syiah sebagai Imam yang masih ghaib, diyakini sebagai dhiya’ yang akan muncul di akhir zaman untuk menegakkan keadilan dan menghapuskan tirani dan kedzaliman. Sebagaimana matahari yang tetap bersinar meski tidak tampak di langit, Imam Mahdi AS adalah sumber cahaya yang akan kembali membawa pencerahan bagi umat manusia di hari yang penuh kegelapan, membawa harapan akan keadilan dan kebenaran.
Kesimpulan: Cerita-cerita di atas mencerminkan bagaimana dhiya’ yang diterangi oleh cahaya Allah memancar melalui kehidupan Ahlul Bayt. Mereka bukan hanya pemimpin duniawi, tetapi juga sumber pencerahan spiritual yang memberikan petunjuk dan harapan kepada umat manusia sepanjang sejarah. Keberanian, keadilan, ilmu, dan pengorbanan mereka adalah contoh nyata dari cahaya yang tidak pernah padam, yang membawa umat Islam menuju jalan yang benar.
Manfaat dari dhiya’ (cahaya) yang terkait dengan ajaran Ahlul Bayt beserta doa-doa yang dapat membantu dalam memperoleh cahaya spiritual dalam kehidupan sehari-hari:
1. Mendapatkan Cahaya Petunjuk
Manfaat pertama dari dhiya’ adalah sebagai petunjuk bagi hati yang mencari kebenaran dan jalan hidup yang lurus. Dhiya’ dalam konteks spiritual sering kali merujuk pada cahaya yang memandu seseorang keluar dari kebingungan dan kebodohan.
•Doa untuk Petunjuk (Doa Istikhara):
“اللهم إني استخيرك بعلمك واستقدرك بقدرتك فخذني من حيث تحب وترضي”
“Ya Allah, aku memohon petunjuk dengan ilmu-Mu dan aku meminta pertolongan dengan kekuatan-Mu, maka bimbinglah aku ke jalan yang Engkau cintai dan ridhoi.”
2. Menjaga Hati Agar Tetap Bersih
Dhiya’ membantu menjaga kebersihan hati, menjauhkan diri dari kesombongan, hasad, dan kebencian. Cahaya yang diberikan oleh Allah melalui para imam adalah cara untuk membersihkan jiwa dari kegelapan.
•Doa untuk Kebersihan Hati (Doa dari Sahifa Sajjadiya):
“اللهم طهر قلوبنا من كل دنس، واجعلها نوراً بنورك”
“Ya Allah, bersihkan hati kami dari segala kotoran, dan jadikanlah ia bercahaya dengan cahaya-Mu.”
3. Mendapatkan Perlindungan dari Kegelapan
Dhiya’ atau cahaya ini dapat memberi perlindungan dari kegelapan duniawi dan batin. Dengan cahaya tersebut, seseorang terhindar dari fitnah dan kesesatan.
•Doa Perlindungan (Doa Al-Kamil):
“اللهم إنا نعوذ بك من شرور أنفسنا ومن شر الشيطان الرجيم”
“Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan diri kami dan dari kejahatan setan yang terkutuk.”
4. Mendekatkan Diri pada Allah
Cahaya yang datang dari Ahlul Bayt membantu mendekatkan diri kepada Allah. Para imam, melalui ilmu dan keteladanan mereka, menjadi sumber cahaya spiritual yang membawa seorang hamba lebih dekat dengan Rabb-Nya.
•Doa untuk Mendekatkan Diri pada Allah (Doa Tawassul):
“اللهم إني أسالك بحق محمد وآل محمد، أن تقربني إليك”
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan hak Muhammad dan keluarga Muhammad, untuk mendekatkan diriku kepada-Mu.”
5. Mendapatkan Hidayah dan Ilmu
Dhiya’ sebagai cahaya juga berfungsi untuk memberikan hidayah dan pengetahuan yang benar. Imam-imam Ahlul Bayt dikenal sebagai sumber ilmu yang mengarahkan umat kepada kebenaran.
•Doa untuk Ilmu dan Hikmah (Doa untuk Memohon Ilmu yang Bermanfaat):
“اللهم علمني ما ينفعني وانفعني بما علمتني”
“Ya Allah, ajarkan aku apa yang bermanfaat bagiku, dan manfaatkan aku dengan apa yang telah Engkau ajarkan padaku.”
6. Menghilangkan Keraguan dalam Iman
Cahaya dari Ahlul Bayt dapat menghilangkan keraguan dan kebimbangan dalam agama. Dengan petunjuk dari mereka, hati yang ragu akan menemukan ketenangan.
•Doa untuk Keberkahan dalam Iman (Doa Taufik Iman):
“اللهم ثبت قلبي على دينك”
“Ya Allah, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.”
7. Menerangi Jalan Kehidupan
Dhiya’ membantu seorang hamba dalam menentukan pilihan yang benar dalam kehidupannya, menuntunnya untuk berjalan di jalan yang benar menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
•Doa untuk Petunjuk dalam Kehidupan (Doa untuk Kehidupan yang Baik):
“اللهم اجعلنا من أهل الحق وأهل الصدق ووفقنا لكل ما تحب وترضى”
“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang benar dan jujur, dan mudahkanlah kami untuk melakukan segala yang Engkau cintai dan ridhoi.”
8. Menguatkan Diri dalam Ujian
Cahaya yang diberikan oleh Allah kepada Ahlul Bayt juga bisa menjadi kekuatan dalam menghadapi ujian hidup. Dhiya’ adalah cahaya yang menguatkan jiwa untuk tetap teguh dalam menghadapi cobaan.
•Doa untuk Kesabaran (Doa Sabur):
“اللهم اجعلني من الصابرين على مصائب الدنيا”
“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang yang sabar dalam menghadapi ujian dunia.”
9. Menghindari Dosa dan Perbuatan Buruk
Dengan cahaya yang diberikan kepada seorang hamba, ia bisa terhindar dari godaan setan dan dosa-dosa besar, serta berusaha untuk selalu menjaga diri dari perbuatan buruk.
•Doa untuk Perlindungan dari Dosa:
“اللهم اجعلني من الذين لا يؤذون المسلمين ولا يضرونهم”
“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang yang tidak menyakiti kaum Muslimin dan tidak merugikan mereka.”
10. Mendapatkan Syafaat Ahlul Bayt di Hari Kiamat
Salah satu manfaat utama dari mengikuti cahaya yang diterangi oleh Ahlul Bayt adalah memperoleh syafaat mereka di hari kiamat. Imam-imam Ahlul Bayt dipercaya akan memberikan syafaat kepada umat yang mengikuti ajaran mereka dengan tulus.
•Doa untuk Syafaat Ahlul Bayt:
“اللهم بحق محمد وآل محمد اجعلني من أهل الشفاعة”
“Ya Allah, dengan hak Muhammad dan keluarga Muhammad, jadikanlah aku termasuk orang yang mendapatkan syafaat mereka.”
Kesimpulan: Dhiya’ yang dimaksudkan dalam ajaran Ahlul Bayt bukan hanya cahaya fisik, tetapi juga cahaya spiritual yang membimbing umat ke jalan yang benar. Dengan doa-doa yang terkait dengan dhiya’, umat Islam dapat memperoleh petunjuk, kekuatan, dan perlindungan dalam kehidupan sehari-hari. Doa-doa ini menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, mendapatkan ilmu, dan menjalani kehidupan yang lebih baik
Comments (0)
There are no comments yet