Hakikat amal adalah perjalanan spiritual untuk menyadari kehadiran Allah dalam setiap perbuatan
Penulis: Muhammad Taufiq Ali Yahya
Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran
Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran
Kata “amal” dalam bahasa Arab memiliki berbagai makna tergantung pada konteksnya. Berikut makna atau pengertian yang berkaitan dengan amal:
1.Perbuatan atau Tindakan
Amal merujuk pada setiap bentuk perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang, baik yang bernilai positif maupun negatif.
2.Usaha atau Ikhtiar
Amal juga bermakna usaha yang dilakukan dengan niat mencapai tujuan tertentu, baik duniawi maupun ukhrawi.
3.Ibadah
Dalam konteks agama, amal sering dihubungkan dengan tindakan ibadah, seperti shalat, zakat, dan puasa, yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
4.Kebajikan
Amal sering dikaitkan dengan perbuatan baik yang memberikan manfaat bagi diri sendiri atau orang lain, seperti sedekah atau membantu orang yang membutuhkan.
5.Pahala
Dalam Islam, amal yang baik akan diganjar dengan pahala oleh Allah di dunia dan akhirat.
6.Harapan
Amal bisa bermakna harapan, yaitu keyakinan bahwa suatu perbuatan akan menghasilkan sesuatu yang baik di kemudian hari.
7.Karya atau Hasil Usaha
Amal juga bisa berarti karya atau hasil yang diperoleh dari kerja keras seseorang.
8.Amalan Sunnah
Dalam hukum Islam, amal bisa merujuk pada perbuatan-perbuatan yang disunnahkan (dianjurkan), seperti amal jariyah atau ibadah tambahan.
9.Tanggung Jawab
Amal mengandung makna tanggung jawab manusia terhadap dirinya sendiri, masyarakat, dan Tuhan atas apa yang dia lakukan.
10.Pengabdian
Amal bisa diartikan sebagai bentuk pengabdian seseorang kepada Allah, kepada sesama manusia, atau kepada suatu nilai luhur.
Dalam Al-Qur’an dan Hadis, kata amal sering digunakan untuk menekankan pentingnya melakukan perbuatan baik, seperti dalam ayat:
“Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah: 7).
Makna amal sangat luas dan beragam, mencakup aspek spiritual, sosial, dan pribadi.
Dalam Al-Qur’an, kata amal banyak disebut dengan makna yang beragam, tergantung pada konteks ayatnya. Berikut beberapa makna amal yang tercermin dalam Al-Qur’an:
1. Amal Shalih (Perbuatan Baik)
Amal shalih mengacu pada perbuatan yang sesuai dengan syariat dan bernilai kebaikan di sisi Allah.
•QS. Al-Baqarah: 25
”…Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih bahwa bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…”
Ayat ini menekankan pentingnya amal shalih untuk mendapatkan pahala berupa surga.
2. Amal Buruk (Perbuatan Dosa)
Amal juga bisa berarti perbuatan buruk atau dosa yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
•QS. Al-Zalzalah: 8
“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).”
Ayat ini menunjukkan bahwa semua amal, baik atau buruk, akan dihitung dan diberi balasan.
3. Amal sebagai Ujian
Amal sering disebut sebagai bagian dari ujian kehidupan untuk mengukur keimanan manusia.
•QS. Al-Kahfi: 7
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik amalnya.”
4. Amal sebagai Tanggung Jawab Pribadi
Setiap manusia bertanggung jawab atas amal perbuatannya sendiri.
•QS. Al-Isra: 13-14
“Dan tiap-tiap manusia telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagai tanggung jawab) di lehernya…”
Amal seseorang tidak bisa digantikan oleh orang lain, dan semua akan diperlihatkan di akhirat.
5. Pahala Amal
Amal baik akan diberikan ganjaran oleh Allah, baik di dunia maupun akhirat.
•QS. An-Nahl: 97
“Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik…”
6. Amal dan Keikhlasan
Amal harus dilakukan dengan niat yang ikhlas semata-mata untuk Allah agar diterima.
•QS. Al-Bayyinah: 5
”…Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…”
7. Amal yang Tidak Diterima
Amal bisa menjadi sia-sia jika dilakukan tanpa iman atau tidak sesuai dengan syariat.
•QS. Al-Kahfi: 103-104
“Katakanlah, ‘Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling rugi perbuatannya?’ (Yaitu) orang-orang yang sia-sia amal perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”
8. Amal Jariyah (Amal yang Berkelanjutan)
Walaupun tidak disebut secara langsung dengan istilah “amal jariyah,” konsepnya tersirat dalam ayat:
•QS. Yasin: 12
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.”
Amal yang terus memberikan manfaat kepada orang lain setelah pelakunya meninggal akan tetap dicatat pahalanya.
9. Amal sebagai Penentu Derajat
Amal juga menjadi ukuran derajat seseorang di sisi Allah.
•QS. Al-An’am: 132
“Dan bagi masing-masing mereka (disediakan) derajat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
10. Amal dan Timbangan di Akhirat
Amal manusia akan ditimbang di Hari Kiamat untuk menentukan nasib mereka.
•QS. Al-Qari’ah: 6-9
“Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah.”
Dalam Al-Qur’an, amal selalu ditekankan sebagai bagian penting dari kehidupan manusia, baik dalam aspek spiritual, moral, maupun sosial. Amal bukan hanya tindakan lahiriah, tetapi juga mencakup niat dan tujuan di balik perbuatan tersebut.
Dalam hadis, konsep amal juga memiliki banyak dimensi dan penekanan, terutama terkait niat, keikhlasan, dan pentingnya amal sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah. Berikut adalah beberapa makna amal berdasarkan hadis:
1. Amal Tergantung pada Niat
Amal manusia dinilai berdasarkan niat yang mendasarinya.
•Hadis dari Umar bin Khattab (RA): “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Amal yang dilakukan tanpa niat ikhlas tidak akan diterima oleh Allah.
2. Amal yang Dicintai Allah
Amal yang kecil tetapi dilakukan secara konsisten lebih dicintai Allah.
•Hadis dari Aisyah (RA):
“Amal yang paling dicintai oleh Allah adalah yang dilakukan secara terus-menerus walaupun sedikit.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
3. Amal yang Diterima Harus Ikhlas dan Sesuai Sunnah
Amal yang diterima Allah harus dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi.
•Hadis dari Aisyah (RA):
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama) kami ini yang tidak berasal darinya, maka amal itu tertolak.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
4. Keutamaan Amal Jariyah
Amal yang terus memberikan manfaat setelah seseorang meninggal akan tetap dicatat pahalanya.
•Hadis dari Abu Hurairah (RA):
“Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.”
(HR. Muslim)
5. Amal Shalih Sebagai Penolong di Akhirat
Amal shalih yang dilakukan dengan ikhlas akan menjadi penyelamat di Hari Kiamat.
•Hadis dari Abu Hurairah (RA):
“Bersegeralah melakukan amal shalih sebelum datang fitnah seperti potongan malam yang gelap, di mana seseorang di pagi hari beriman dan di sore hari kafir, atau di sore hari beriman dan di pagi hari kafir.”
(HR. Muslim)
6. Amal Kecil Bernilai Besar
Amal sekecil apapun tetap dihargai oleh Allah jika dilakukan dengan niat yang baik.
•Hadis dari Abu Hurairah (RA):
“Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apapun, meskipun hanya sekadar bertemu saudaramu dengan wajah yang berseri-seri.”
(HR. Muslim)
7. Amal sebagai Bekal Akhirat
Dunia adalah tempat untuk beramal, sedangkan akhirat adalah tempat untuk menerima hasilnya.
•Hadis dari Abdullah bin Umar (RA): “Jadilah di dunia ini seperti orang asing atau pengembara. Ketika waktu sore tiba, jangan tunggu waktu pagi; dan ketika waktu pagi tiba, jangan tunggu waktu sore. Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan hidupmu sebelum matimu.”
(HR. Bukhari)
8. Amal Ditimbang di Hari Kiamat
Amal manusia akan ditimbang untuk menentukan nasibnya di akhirat.
•Hadis dari Abu Hurairah (RA):
“Ada dua kalimat yang ringan di lisan, tetapi berat di timbangan (amal), dan dicintai oleh Allah Yang Maha Penyayang: Subhanallahi wa bihamdih, Subhanallahil ‘azhim.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
9. Amal Dilihat dari Kualitas, Bukan Kuantitas
Allah melihat kualitas amal seseorang, bukan sekadar jumlahnya.
•Hadis dari Abu Hurairah (RA):
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa dan harta kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian.” (HR. Muslim)
10. Amal Baik Melenyapkan Dosa
Amal kebaikan dapat menghapus dosa-dosa kecil yang dilakukan.
•Hadis dari Abu Hurairah (RA):
“Ikutilah keburukan dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapusnya.” (HR. Tirmidzi)
Kesimpulan ; Hadis-hadis menunjukkan bahwa amal sangat bergantung pada:
1.Niat yang ikhlas.
2.Keselarasan dengan syariat dan sunnah.
3.Konsistensi dalam berbuat baik.
4.Manfaat amal bagi diri sendiri dan orang lain.
Amal dalam Islam tidak hanya mencakup perbuatan besar, tetapi juga perbuatan kecil yang dilakukan dengan ikhlas, bahkan jika hanya berupa senyuman atau niat baik.
Dalam hadis-hadis yang berasal dari Ahlul Bayt (keluarga Nabi Muhammad SAW), konsep amal juga sangat ditekankan, terutama kaitannya dengan niat, keikhlasan, amal shalih, dan hubungan dengan akhlak serta iman. Berikut adalah beberapa pandangan mengenai amal berdasarkan hadis Ahlul Bayt:
1. Amal Tergantung pada Niat
Niat adalah inti dari amal, dan amal tanpa niat ikhlas tidak memiliki nilai.
•Imam Ali bin Abi Thalib (AS):
“Nilai setiap manusia adalah sesuai dengan apa yang ia lakukan dengan niat baik.”
(Nahjul Balaghah, Hikmah 81)
•Imam Ja’far Ash-Shadiq (AS):
“Amal tanpa niat seperti seorang musafir tanpa tujuan.”
(Al-Kafi, jilid 2, halaman 16)
2. Keutamaan Amal Shalih
Amal shalih tidak hanya terbatas pada ibadah formal, tetapi juga pada setiap perbuatan baik yang dilakukan untuk Allah dan makhluk-Nya.
•Imam Ali (AS):
“Amal shalih adalah sebaik-baiknya pendamping manusia.”
(Ghurar al-Hikam)
•Imam Ja’far Ash-Shadiq (AS):
“Orang yang sedikit amal shalihnya tetapi disertai takwa lebih baik daripada orang yang banyak amalnya tetapi tanpa takwa.”
(Bihar al-Anwar, jilid 70, halaman 375)
3. Amal Sebagai Penentu Keberuntungan
Amal adalah faktor utama yang menentukan nasib seseorang di akhirat.
•Imam Ali (AS):
“Beramallah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari, dan berusahalah di dunia ini seolah-olah kamu akan hidup selamanya.”
(Nahjul Balaghah, Hikmah 391)
4. Amal yang Bernilai di Sisi Allah
Amal diterima oleh Allah jika dilakukan dengan keikhlasan dan sesuai dengan perintah-Nya.
•Imam Ja’far Ash-Shadiq (AS):
“Allah tidak menerima amal kecuali dari orang yang bertakwa, beriman, dan berikhlas.”
(Al-Kafi, jilid 1, halaman 183)
5. Amal dan Akhlak
Amal tanpa akhlak mulia tidak akan membawa manfaat bagi pelakunya.
•Imam Ali (AS):
“Amal adalah cermin hati. Jika hatimu baik, amalmu akan bersinar. Jika hatimu rusak, amalmu menjadi gelap.” (Ghurar al-Hikam)
6. Amal dan Amal Jariyah
Amal baik yang memberikan manfaat kepada orang lain secara berkelanjutan sangat dianjurkan.
•Imam Ja’far Ash-Shadiq (AS):
“Tiga hal yang pahalanya akan terus mengalir setelah kematian: ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, dan anak shalih yang berdoa untukmu.”
(Tuhaf al-Uqul, halaman 377)
7. Amal Harus Disertai Ilmu
Amal yang dilakukan tanpa ilmu bisa membawa kesesatan.
•Imam Ali (AS):
“Amal tanpa ilmu adalah seperti seorang musafir yang menempuh jalan yang salah. Semakin ia berjalan, semakin jauh ia dari tujuannya.”
“Nahjul Balaghah, Hikmah 150)
8. Amal Kecil Bernilai Besar
Ahlul Bayt menekankan pentingnya amal kecil yang dilakukan dengan niat tulus.
•Imam Ja’far Ash-Shadiq (AS):
“Jangan meremehkan amal kecil, karena kamu tidak tahu amal mana yang akan menyelamatkanmu.”
(Al-Kafi, jilid 2, halaman 64)
9. Amal sebagai Bukti Iman
Amal shalih adalah tanda keimanan seseorang.
•Imam Muhammad Al-Baqir (AS): “Iman itu adalah ucapan dan amal. Tidak ada iman bagi seseorang yang tidak disertai amal.”
(Al-Kafi, jilid 2, halaman 33)
10. Amal sebagai Penolong di Akhirat
Amal shalih akan menjadi penolong di akhirat dan meringankan hisab.
•Imam Ali Zainal Abidin (AS):
“Hari Kiamat adalah hari di mana amalmu akan menjadi pembela terbaikmu, atau musuh terbesarmu.”
(Sahifah Sajjadiyah)
Kesimpulan ; Hadis-hadis dari Ahlul Bayt memberikan panduan bahwa amal harus dilakukan:
1.Dengan niat ikhlas dan keimanan.
2.Disertai ilmu dan akhlak mulia.
3.Konsisten, meskipun kecil.
4.Berorientasi pada akhirat.
Ahlul Bayt mengajarkan bahwa amal bukan hanya sekadar tindakan lahiriah, tetapi juga cerminan kondisi hati, iman, dan hubungan manusia dengan Allah serta sesama makhluk-Nya.
Para mufassir (ahli tafsir) memiliki banyak pandangan mengenai konsep amal dalam Al-Qur’an. Mereka mendasarkan penafsiran pada konteks ayat-ayat, hadis, serta prinsip-prinsip keimanan dan amal shalih. Berikut adalah beberapa pandangan mufassir terkemuka mengenai amal:
1. Tafsir tentang “Amal Shalih”
•Imam Al-Thabari (Tafsir Al-Thabari): Al-Thabari menjelaskan bahwa amal shalih adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan niat ikhlas untuk Allah dan sesuai dengan syariat Islam. Ia menafsirkan ayat seperti QS. Al-Baqarah: 25, yang menyebutkan pahala surga bagi orang-orang yang beramal shalih, dengan menekankan bahwa amal harus diiringi iman agar diterima oleh Allah.
“Amal shalih mencakup ibadah ritual seperti shalat dan puasa, serta perbuatan sosial seperti membantu sesama.”
•Imam Fakhruddin Al-Razi (Tafsir Al-Kabir):
Al-Razi menambahkan bahwa amal shalih adalah tindakan yang mendatangkan manfaat bagi pelakunya dan orang lain. Menurutnya, amal shalih mencakup dimensi spiritual, moral, dan sosial.
2. Tafsir tentang Niat dalam Amal
•Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurthubi): Dalam menafsirkan QS. Al-Bayyinah: 5 (”…Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas…”), Al-Qurthubi menjelaskan bahwa niat adalah inti dari amal. Tanpa niat yang ikhlas, amal tidak akan memiliki nilai di sisi Allah.
“Amal tanpa ikhlas seperti debu yang tertiup angin, tidak meninggalkan bekas.”
•Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir):
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa amal yang ikhlas akan diterima oleh Allah, sedangkan amal yang dilakukan karena riya (pamer) akan sia-sia, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-Kahfi: 110 (”…Barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan dalam beribadah kepada-Nya.”).
3. Tafsir tentang Timbangan Amal
•Imam Al-Ghazali (Ihya Ulumuddin):
Dalam pembahasannya tentang QS. Al-Qari’ah: 6-9 (”…Maka barang siapa yang berat timbangan amalnya, dia berada dalam kehidupan yang memuaskan…), Al-Ghazali menekankan bahwa amal yang berat adalah amal yang dilakukan dengan kesungguhan hati, keikhlasan, dan penuh pengorbanan.
“Yang ditimbang di Hari Kiamat bukan sekadar jumlah amal, tetapi kualitas dan dampaknya pada pelaku dan orang lain.”
•Raghib Al-Isfahani (Mufradat Al-Qur’an):
Al-Isfahani menjelaskan bahwa timbangan amal mencakup dua aspek: amal hati (niat) dan amal perbuatan (eksternal). Amal kecil yang dilakukan dengan hati yang tulus bisa lebih berat timbangannya daripada amal besar tanpa keikhlasan.
4. Amal Sebagai Bukti Iman
•Sayyid Qutb (Fi Zhilalil Qur’an):
Dalam menafsirkan QS. Al-Asr (”…kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, dan saling menasihati dalam kebenaran serta kesabaran.”), Sayyid Qutb menekankan hubungan erat antara iman dan amal.
“Iman adalah keyakinan dalam hati, dan amal adalah manifestasi lahiriah dari keyakinan itu. Tanpa amal, iman menjadi hampa.”
•Al-Mawardi (Tafsir An-Nukat wa Al-Uyun):
Al-Mawardi menambahkan bahwa amal shalih adalah bukti nyata dari keimanan seseorang, karena iman sejati selalu mendorong manusia untuk berbuat baik.
5. Tafsir tentang Amal Jariyah
•Syekh Muhammad Abduh (Tafsir Al-Manar): Dalam menafsirkan QS. Yasin: 12 (”…Kami mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.”), Muhammad Abduh menjelaskan bahwa amal jariyah mencakup segala bentuk perbuatan yang meninggalkan manfaat berkelanjutan, seperti sedekah, ilmu yang bermanfaat, dan kontribusi kepada masyarakat.
“Amal jariyah adalah investasi abadi yang akan terus memberikan hasil bagi pelakunya di akhirat.”
•Imam Suyuthi (Tafsir Al-Jalalain):
Al-Suyuthi menegaskan bahwa “bekas-bekas” yang disebut dalam ayat tersebut mencakup segala pengaruh positif dari amal seseorang yang tetap dirasakan oleh orang lain setelah ia wafat.
6. Tafsir tentang Amal Buruk
•Imam Al-Baidhawi (Tafsir Al-Baidhawi): Dalam menafsirkan QS. Az-Zalzalah: 8 (”…Barang siapa mengerjakan keburukan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihatnya.”), Al-Baidhawi menjelaskan bahwa semua amal buruk, sekecil apapun, akan diperlihatkan pada Hari Kiamat.
“Ini adalah peringatan agar manusia berhati-hati terhadap dosa kecil, karena dosa kecil yang dibiarkan bisa menumpuk menjadi dosa besar.”
•Al-Alusi (Ruh Al-Ma’ani):
Al-Alusi menekankan bahwa Allah Maha Adil dalam menilai setiap amal, sehingga amal buruk yang dilakukan manusia tidak akan luput dari perhatian-Nya.
7. Amal dan Keselamatan Akhirat
•Allama Thabathabai (Tafsir Al-Mizan): Dalam tafsirnya, Thabathabai menekankan pentingnya amal shalih sebagai bekal utama menuju keselamatan di akhirat. Ia menafsirkan QS. Al-Baqarah: 2-3 (”…orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki…) sebagai panduan praktis untuk meraih ridha Allah.
“Keselamatan akhirat hanya dapat dicapai dengan amal shalih yang dilakukan dengan iman dan ketakwaan.”
Kesimpulan ;Para mufassir menyoroti amal sebagai konsep yang:
1.Mencerminkan keimanan seseorang.
2.Harus disertai niat yang ikhlas.
3.Melibatkan dimensi lahiriah (perbuatan) dan batiniah (niat).
4.Menjadi penentu nasib seseorang di akhirat.
Amal yang baik, walau kecil, jika dilakukan dengan ikhlas dan sesuai syariat, memiliki dampak besar baik di dunia maupun akhirat. Sebaliknya, amal tanpa keimanan atau keikhlasan tidak akan bernilai di sisi Allah.
Para mufassir Syiah memberikan penjelasan yang mendalam tentang konsep amal dalam Al-Qur’an dengan pendekatan yang menekankan hubungan amal dengan iman, keikhlasan, dan peran Ahlul Bayt sebagai teladan utama dalam beramal. Berikut adalah pandangan mufassir Syiah tentang amal, berdasarkan karya-karya tafsir mereka:
1. Amal Harus Disertai Iman
•Allama Thabathabai (Tafsir Al-Mizan): Dalam menafsirkan QS. Al-Asr (”…kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih…”), Thabathabai menegaskan bahwa amal shalih tidak memiliki nilai tanpa iman. Ia menjelaskan bahwa iman adalah inti yang mengarahkan amal kepada kebaikan, sementara amal adalah manifestasi dari iman.
“Amal shalih adalah perbuatan yang tidak hanya sesuai dengan syariat, tetapi juga dilakukan dengan iman kepada Allah dan keikhlasan.”
•Dalam tafsir QS. Al-Kahfi: 30 (“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, bagi mereka adalah surga Firdaus sebagai tempat tinggal.”), Thabathabai menekankan bahwa amal harus terikat pada keyakinan kepada Allah, Rasul-Nya, dan kepemimpinan Ahlul Bayt.
2. Keikhlasan dalam Amal
•Syekh Al-Thaifah Al-Thusi (Tafsir Al-Tibyan): Dalam tafsir QS. Al-Bayyinah: 5 (”…dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan ikhlas.”), Al-Thusi menjelaskan bahwa amal yang diterima Allah harus dilakukan dengan niat murni untuk-Nya, tanpa disertai riya atau kepentingan duniawi.
“Ikhlas adalah syarat mutlak diterimanya amal di sisi Allah.”
•Ia menekankan bahwa keikhlasan dalam amal juga melibatkan pengakuan terhadap wilayah (kepemimpinan) Ahlul Bayt, sebagaimana dijelaskan dalam konteks QS. An-Nisa: 59.
3. Amal sebagai Bukti Iman
•Allama Thabathabai (Tafsir Al-Mizan): Dalam QS. At-Taubah: 105 (”…Beramallah kalian, maka Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman akan melihat amal kalian.”), Thabathabai menjelaskan bahwa amal adalah cerminan keimanan seseorang dan akan menjadi saksi atas keadaan hati manusia di hadapan Allah.
“Keimanan seseorang tidak terlepas dari amalnya, karena amal adalah bukti lahiriah dari iman.”
•Ayatullah Makarim Shirazi (Tafsir Al-Amthal):
Dalam QS. Al-Baqarah: 2-3 (”…orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki mereka…”), Shirazi menekankan bahwa amal shalih merupakan tanda nyata dari keimanan kepada yang ghaib, termasuk keyakinan kepada Hari Kiamat dan kepemimpinan para Imam Ahlul Bayt.
4. Amal Shalih yang Terbaik
•Syekh Ja’far Subhani (Tafsir Al-Minhaj): Dalam QS. Al-Kahfi: 110 (”…Barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia beramal shalih.”), Subhani menjelaskan bahwa amal shalih yang terbaik adalah amal yang menghubungkan pelakunya kepada Allah, seperti ibadah, kebaikan kepada sesama, dan loyalitas kepada Ahlul Bayt.
“Amal terbaik adalah amal yang mendekatkan pelakunya kepada Allah dan meninggikan derajat spiritualnya.”
•Ia juga menyoroti pentingnya amal jariyah, seperti penyebaran ilmu yang bermanfaat dan sedekah yang berdampak jangka panjang.
5. Amal dan Peran Ahlul Bayt
•Allama Thabathabai (Tafsir Al-Mizan): Dalam QS. Al-Baqarah: 277 (“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, beramal shalih, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka.”), Thabathabai menafsirkan bahwa amal shalih mencakup pengakuan atas hak-hak Ahlul Bayt, seperti kepemimpinan mereka (wilayah). Amal tanpa mengikuti jalan Ahlul Bayt kehilangan dimensi spiritualnya.
“Amal shalih yang sempurna adalah yang dilakukan sesuai dengan petunjuk Rasulullah dan keluarganya.”
•Ayatullah Makarim Shirazi (Tafsir Al-Amthal): Dalam QS. Ad-Dahr: 8-9 (”…Dan mereka memberikan makanan, meskipun mereka menyukainya, kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan, seraya berkata: Kami memberi makan kepada kalian hanya untuk mengharap ridha Allah…”), Shirazi menyoroti peristiwa di mana Ahlul Bayt memberikan makanan kepada fakir miskin dengan niat murni kepada Allah. Amal ini menjadi teladan tertinggi tentang keikhlasan dan kepedulian kepada sesama.
6. Timbangan Amal di Akhirat
•Al-Allamah Hilli (Tafsir Bayan):
Dalam QS. Al-Qari’ah: 6-9 (”…Barang siapa yang berat timbangan amalnya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan…), Hilli menjelaskan bahwa amal akan ditimbang tidak hanya berdasarkan jumlahnya, tetapi juga kualitasnya, niatnya, dan dampaknya. Amal yang didasarkan pada cinta kepada Allah dan Ahlul Bayt memiliki bobot yang lebih besar.
7. Amal Buruk dan Peringatan
•Allama Thabathabai (Tafsir Al-Mizan): Dalam QS. Az-Zalzalah: 7-8 (”…Barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, dia akan melihatnya. Dan barang siapa mengerjakan keburukan sebesar zarrah, dia juga akan melihatnya.”), Thabathabai menjelaskan bahwa semua amal, baik besar maupun kecil, akan ditampilkan pada Hari Kiamat. Amal buruk dapat dihapuskan dengan taubat, sedangkan amal baik harus dilakukan dengan niat ikhlas agar bernilai.
8. Amal Jariyah
•Ayatullah Muhammad Hadi Ma’rifat (Tafsir Al-Mafahim):
Dalam QS. Yasin: 12 (”…Kami mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.”), Ma’rifat menjelaskan bahwa amal jariyah mencakup kontribusi positif seseorang yang terus dirasakan manfaatnya, seperti pendidikan, pembangunan, dan warisan ilmu yang sesuai dengan ajaran Ahlul Bayt.
Kesimpulan ; Para mufassir Syiah menekankan beberapa poin penting tentang amal:
1.Amal harus disertai iman dan keikhlasan.
2.Amal shalih mencakup hubungan dengan Allah (ibadah) dan hubungan sosial (kebaikan kepada sesama).
3.Pengakuan dan loyalitas kepada Ahlul Bayt adalah bagian penting dari amal yang diterima Allah.
4.Amal harus dilakukan dengan kualitas yang tinggi, bukan sekadar kuantitas.
5.Amal kecil yang dilakukan dengan cinta kepada Allah memiliki bobot besar di akhirat.
Konsep amal dalam tafsir Syiah sangat terkait dengan dimensi spiritual, pengakuan atas wilayah Ahlul Bayt, dan keselarasan antara iman, akhlak, serta perbuatan.
Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat, konsep amal dipahami lebih dalam, melampaui aspek lahiriah menuju dimensi batiniah dan spiritual. Amal tidak hanya dinilai dari bentuk fisiknya, tetapi juga dari niat, keikhlasan, dan hubungan seseorang dengan Allah SWT. Berikut adalah beberapa pemahaman ahli makrifat dan hakikat tentang amal:
1. Amal Sebagai Manifestasi Cinta kepada Allah
Ahli makrifat memandang bahwa amal adalah ekspresi cinta dan penghambaan seseorang kepada Allah.
•Jalaluddin Rumi:
“Amal adalah bentuk nyata dari cinta. Jika amalmu tidak dilandasi cinta kepada Allah, ia hanyalah kerja tanpa ruh.”
Rumi menekankan bahwa amal yang benar-benar bernilai adalah yang dilakukan sebagai wujud cinta kepada Allah, bukan karena keinginan duniawi.
•Ibnu Arabi: Dalam Futuhat al-Makkiyah, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa amal adalah sarana untuk mendekat kepada Allah. Namun, amal lahiriah harus digerakkan oleh kesadaran hati dan cinta kepada Yang Maha Esa.
2. Amal Tergantung pada Niat dan Keikhlasan
Ahli hakikat menempatkan niat sebagai ruh dari amal. Amal tanpa keikhlasan dianggap tidak memiliki nilai.
•Al-Ghazali: Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menulis:
“Amal yang tidak disertai ikhlas ibarat tubuh tanpa jiwa. Hanya amal yang dilakukan untuk Allah yang akan diterima.”
Menurutnya, makna amal hakiki adalah perbuatan yang didasari niat untuk mencari ridha Allah, bukan untuk mendapatkan pujian manusia.
•Sayyid Haidar Amuli (ahli makrifat Syiah): Amuli menyatakan bahwa niat adalah inti dari amal. Ia menafsirkan QS. Al-Bayyinah: 5 sebagai dasar bahwa amal harus diarahkan sepenuhnya kepada Allah tanpa ada unsur duniawi atau riya.
3. Amal Sebagai Jalan Menuju Kesempurnaan
Amal dipandang sebagai cara untuk membersihkan jiwa dan mencapai kesempurnaan spiritual (kamal).
•Imam Khomeini (dalam Adab As-Salat): “Amal adalah sarana untuk menyucikan diri dan membuka hijab antara hamba dan Tuhannya. Namun, amal tanpa makrifat hanya akan menjadi ritual kosong.”
Beliau menekankan bahwa amal harus didasari makrifat (pengetahuan mendalam tentang Allah) agar menghasilkan pengaruh spiritual yang signifikan.
•Mulla Sadra (dalam Al-Asfar):
Mulla Sadra menjelaskan bahwa amal adalah bagian dari perjalanan eksistensial manusia menuju Allah. Setiap amal yang dilakukan dengan niat tulus akan memperkuat hubungan ruhani dengan Allah.
4. Amal dan Hakikat Tauhid
Ahli hakikat menekankan bahwa amal harus berakar pada pemahaman tauhid yang mendalam.
•Ibnu Arabi: “Tidak ada amal yang benar tanpa tauhid. Segala sesuatu yang dilakukan dengan kesadaran bahwa hanya Allah yang layak disembah akan diterima.”
Ia mengajarkan bahwa amal harus dilakukan dalam keadaan fana’ (melebur dalam Allah), di mana pelaku amal tidak lagi melihat dirinya sebagai pelaku, tetapi menyadari bahwa semua adalah kehendak Allah.
5. Amal Lahiriah dan Amal Batiniah
Ahli makrifat membedakan antara amal lahiriah (fisik) dan amal batiniah (hati).
•Al-Hallaj:
“Amal lahiriah adalah gerak tubuh, tetapi amal batiniah adalah gerak hati menuju Allah.”
Menurut Al-Hallaj, amal batiniah seperti dzikir, syukur, dan rasa takut kepada Allah lebih utama dibandingkan amal fisik, karena ia langsung menyentuh hakikat hubungan manusia dengan Allah.
•Imam Ja’far Ash-Shadiq (AS):
“Hakikat amal adalah kemurnian hati, bukan banyaknya perbuatan.”
Beliau menekankan pentingnya kualitas amal yang didasarkan pada kejujuran hati dan kesadaran penuh akan kehadiran Allah.
6. Amal dan Makrifatullah (Pengetahuan tentang Allah)
Ahli makrifat memandang bahwa amal tanpa makrifatullah tidak memiliki ruh.
•Imam Ali bin Abi Thalib (AS):
“Amal yang dilakukan tanpa pengetahuan (makrifat) adalah seperti musafir yang menempuh jalan yang salah.”
(Nahjul Balaghah, Hikmah 150)
Beliau menegaskan bahwa amal hanya bernilai jika didasari oleh pemahaman tentang siapa Allah dan apa tujuan hidup manusia.
•Syekh Abdul Qadir Al-Jilani:
Dalam Al-Fath ar-Rabbani, beliau menulis bahwa amal yang dilakukan dengan kesadaran makrifatullah membawa pelakunya kepada tingkat ma’rifah (pengetahuan mendalam) yang lebih tinggi.
7. Amal Sebagai Cermin Hati
Ahli makrifat melihat amal sebagai cerminan kondisi hati seseorang.
•Imam Ali (AS): “Amal adalah cermin hati. Jika hatimu baik, amalmu akan bersinar. Jika hatimu rusak, amalmu menjadi gelap.”
(Ghurar al-Hikam)
Pandangan ini menegaskan bahwa amal lahiriah hanya bernilai jika berasal dari hati yang bersih dan penuh keimanan.
•Rumi: “Jika hatimu penuh cinta kepada Allah, maka amalmu akan seperti bunga yang harum. Tetapi jika hatimu penuh dunia, amalmu tidak akan bernilai.”
8. Amal dan Kelembutan Ruh
Ahli hakikat menekankan bahwa amal yang dilakukan dengan cinta dan kelembutan ruh lebih bermakna daripada amal yang dilakukan secara mekanis.
•Syekh Al-Harawi (Manazil as-Sa’irin): Al-Harawi menjelaskan bahwa amal yang diterima Allah adalah amal yang dilakukan dengan rasa tunduk dan kelembutan ruh, bukan dengan kebanggaan atau merasa berjasa kepada Allah.
9. Amal yang Hakiki
Ahli makrifat percaya bahwa amal hakiki adalah yang membawa pelakunya kepada kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan.
•Imam Khomeini: “Amal hakiki adalah amal yang menjadikan manusia melihat Allah di balik setiap perbuatannya.”
Kesimpulan ; Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat, amal adalah:
1.Sarana mendekatkan diri kepada Allah.
2.Bersifat batiniah sebelum lahiriah.
3.Harus didasari keikhlasan dan makrifat.
4.Cerminan hati dan kondisi spiritual seseorang.
Amal yang diterima Allah bukan sekadar jumlah atau bentuknya, tetapi kualitasnya, niatnya, dan sejauh mana ia menghubungkan pelakunya kepada Allah. Hakikat amal adalah perjalanan spiritual menuju Allah, di mana setiap perbuatan menjadi wujud penghambaan sejati.
Menurut ahli hakikat dalam tradisi Syiah, konsep amal memiliki dimensi mendalam yang melibatkan hubungan antara iman, keikhlasan, dan kesadaran terhadap hakikat ketuhanan. Mereka menekankan bahwa amal tidak hanya sekadar perbuatan lahiriah, tetapi juga harus didasari oleh niat murni, makrifatullah (pengetahuan tentang Allah), dan keselarasan dengan wilayah (kepemimpinan spiritual) Ahlul Bayt. Berikut adalah pandangan ahli hakikat Syiah terkait amal:
1. Amal sebagai Manifestasi Iman dan Wilayah
Ahli hakikat Syiah menekankan bahwa amal harus disertai iman dan pengakuan terhadap wilayah Ahlul Bayt, karena wilayah adalah kunci penerimaan amal.
•Imam Ja’far Ash-Shadiq (AS):
“Amal shalih tidak akan diterima kecuali jika disertai pengenalan (ma’rifah) kepada kami.”
(Bihar al-Anwar, jil. 27, hlm. 199)
Beliau menegaskan bahwa amal seseorang tidak akan bernilai tanpa keyakinan kepada wilayah para imam, karena Ahlul Bayt adalah penghubung antara manusia dan Allah.
•Dalam Tafsir Nur al-Tsaqalayn, ahli tafsir Syiah mengaitkan QS. Al-Kahfi: 30 (“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih…”) dengan pentingnya amal yang dilandasi pengakuan terhadap wilayah.
2. Keikhlasan sebagai Inti Amal
Dalam pandangan ahli hakikat Syiah, ikhlas adalah syarat utama diterimanya amal. Amal yang dilakukan tanpa keikhlasan tidak memiliki makna di sisi Allah.
•Imam Ali (AS): “Ikhlas adalah inti dari setiap amal. Barang siapa yang beramal dengan riya, amalnya akan sirna.”
(Nahjul Balaghah, Hikmah 11)
Beliau menekankan bahwa amal yang dilakukan dengan tujuan duniawi (seperti mencari pujian) akan sia-sia, meskipun secara lahiriah tampak baik.
•Sayyid Haidar Amuli (ahli hakikat Syiah): Dalam karyanya, ia menjelaskan bahwa amal tanpa keikhlasan adalah seperti benih yang ditanam di tanah tandus: ia tidak akan menghasilkan buah spiritual.
3. Amal sebagai Jalan Menuju Allah (Suluk Ilahi)
Ahli hakikat Syiah memandang amal sebagai bagian dari perjalanan spiritual (suluk) menuju Allah.
•Mulla Sadra (Asfar Arba’ah):
Amal yang sejati adalah amal yang membawa manusia mendekat kepada Allah. Ia membedakan antara amal lahiriah dan batiniah:
•Amal lahiriah: Shalat, puasa, dan ibadah fisik.
•Amal batiniah: Penyucian hati, keikhlasan, dan cinta kepada Allah.
Menurutnya, amal batiniah memiliki pengaruh yang lebih kuat dalam mendekatkan manusia kepada Allah.
•Allama Thabathabai (Tafsir Al-Mizan): Ia menjelaskan bahwa QS. Al-Baqarah: 2-3 (”…orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menginfakkan sebagian rezeki mereka…”) menunjukkan bahwa amal harus diarahkan kepada tujuan yang lebih tinggi, yaitu Allah, bukan dunia.
4. Hakikat Amal sebagai Cermin Hati
Amal dilihat sebagai cerminan dari kondisi hati. Jika hati seseorang bersih dan dipenuhi cinta kepada Allah, amalnya akan bercahaya dan diterima.
•Imam Ali (AS): “Amal lahiriah tidak akan bermanfaat jika hati tidak ikhlas. Hati adalah sumber amal.”
(Ghurar al-Hikam)
•Syekh Fadhlullah Nuri (ahli hakikat Syiah): Ia menjelaskan bahwa amal seseorang akan menunjukkan kondisi spiritualnya. Amal yang dilakukan dengan keikhlasan akan memancarkan cahaya di dunia dan akhirat.
5. Amal Lahiriah dan Batiniah
Ahli hakikat Syiah membedakan antara amal yang terlihat (lahiriah) dan amal yang tersembunyi (batiniah):
•Amal Lahiriah: Ibadah fisik seperti shalat, puasa, dan zakat.
•Amal Batiniah: Ibadah hati seperti cinta kepada Allah, tawakal, dan sabar.
•Imam Khomeini (dalam Adab as-Salat):
“Shalat adalah amal lahiriah yang menjadi kosong jika hati tidak hadir. Amal lahiriah harus disertai kesadaran batiniah agar diterima.”
•Sayyid Ali Qadhi Tabatabai (guru spiritual Allama Thabathabai):
Amal batiniah seperti tafakkur (merenungkan kebesaran Allah) lebih tinggi nilainya daripada amal lahiriah. Namun, keduanya saling melengkapi.
6. Amal dan Makrifatullah
Ahli hakikat Syiah percaya bahwa amal tanpa makrifatullah (pengetahuan tentang Allah) adalah kosong. Makrifatullah adalah inti dari amal.
•Imam Ali Zainal Abidin (AS):
“Ibadah orang yang berilmu (bermakrifat) adalah ibadah yang penuh kesadaran. Adapun ibadah tanpa ilmu adalah ibadah orang yang lalai.” (Risalah Al-Huquq)
•Allama Thabathabai:
Dalam Tafsir Al-Mizan, ia menjelaskan bahwa amal yang dilakukan dengan makrifatullah membawa pelakunya kepada kesadaran lebih tinggi tentang kehadiran Allah. QS. Az-Zumar: 9 (”…Katakanlah, apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”) dijadikan dasar bahwa amal yang bernilai adalah yang dilandasi pengetahuan mendalam.
7. Amal dan Tawhid
Ahli hakikat Syiah memandang amal sebagai bagian dari realisasi tauhid dalam kehidupan.
•Ibnu Babawayh (Syaikh Shaduq): Dalam Kitab al-Tauhid, ia menjelaskan bahwa amal seseorang harus mencerminkan pengakuan terhadap keesaan Allah. Amal yang dilakukan dengan kehadiran hati kepada Allah adalah bentuk nyata dari tauhid praktis.
•Imam Khomeini: Dalam Misbahul Hidayah, beliau menulis:
“Amal adalah sarana untuk mencapai tauhid hakiki. Seseorang yang memahami tauhid tidak akan pernah melihat amalnya sebagai sesuatu yang besar, karena semua amal berasal dari Allah.”
8. Amal dan Timbangan Akhirat
Ahli hakikat Syiah percaya bahwa di akhirat, amal tidak hanya ditimbang dari jumlahnya, tetapi dari kualitasnya.
•Sayyid Haidar Amuli:Amal yang diterima Allah adalah amal yang dilakukan dengan cinta dan pengakuan terhadap wilayah. Amal tanpa ini, meskipun besar jumlahnya, tidak akan memiliki bobot di akhirat.
•Imam Ja’far Ash-Shadiq (AS):
“Pada Hari Kiamat, amal ditimbang dengan keimanan dan cinta kepada kami. Amal tanpa cinta kepada Ahlul Bayt tidak akan memiliki nilai.”
(Al-Kafi, jil. 2, hlm. 18)
Kesimpulan ; Dalam pandangan ahli hakikat Syiah, amal memiliki nilai jika:
1.Didasari oleh iman, keikhlasan, dan pengakuan terhadap wilayah Ahlul Bayt.
2.Mengarah kepada penyucian jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah.
3.Dilakukan dengan makrifat dan kesadaran penuh akan tauhid.
4.Menyelaraskan amal lahiriah dan batiniah.
Hakikat amal adalah perjalanan spiritual untuk menyadari kehadiran Allah dalam setiap perbuatan. Amal bukan hanya tentang bentuk, tetapi tentang tujuan, niat, dan sejauh mana ia membawa pelakunya lebih dekat kepada Allah.
Kisah-kisah sering digunakan untuk menjelaskan hakikat amal. Cerita ini menggambarkan bagaimana amal yang tulus dan didasari cinta kepada Allah serta pengakuan terhadap wilayah Ahlul Bayt menjadi sangat bernilai. Berikut adalah beberapa kisah penting:
1. Kisah Amirul Mukminin Imam Ali dan Pemberian Cincin dalam Rukuk
Kisah ini tercatat dalam Tafsir Al-Mizan dan hadis-hadis Syiah, berhubungan dengan QS. Al-Maidah: 55 (“Sesungguhnya wali kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat saat mereka rukuk.”)
•Cerita: Suatu hari, seorang miskin masuk ke masjid dan meminta bantuan. Imam Ali (AS), yang sedang rukuk dalam shalat, memberikan cincin dari jarinya kepada pengemis itu tanpa mengganggu kekhusyukannya dalam shalat. Peristiwa ini menunjukkan keutamaan amal yang dilakukan dengan keikhlasan dan kesadaran kepada Allah.
•Pelajaran:
•Amal kecil (seperti memberi cincin) menjadi besar nilainya jika dilakukan dalam keikhlasan dan dalam keadaan penuh kesadaran akan Allah.
•Imam Ali, sebagai simbol wilayah, menunjukkan bahwa amal yang benar harus terkait dengan keimanan kepada wilayah.
2. Kisah Imam Ja’far Ash-Shadiq dan Pemuda yang Beramal dengan Riya
Dikisahkan dalam Al-Kafi, Imam Ja’far Ash-Shadiq (AS) menceritakan kisah seorang pemuda yang rajin beribadah, namun ia melakukannya karena ingin dipuji orang lain.
•Cerita: Pemuda ini selalu menonjolkan ibadahnya di depan orang lain. Ia senang ketika orang memujinya sebagai orang yang saleh. Ketika ia wafat, amalnya tidak diterima oleh Allah. Imam menjelaskan bahwa amal yang dilakukan dengan riya atau untuk manusia tidak akan memiliki bobot di sisi Allah.
•Pelajaran:
•Niat adalah ruh amal. Amal yang didasari riya atau kebanggaan diri tidak diterima di sisi Allah.
•Keikhlasan adalah kunci agar amal diangkat ke hadirat-Nya.
3. Kisah Imam Ali Zainal Abidin dan Pengemis Malam Hari
Imam Ali Zainal Abidin (AS) dikenal suka memberi sedekah secara sembunyi-sembunyi pada malam hari. Setelah wafatnya, masyarakat Madinah baru menyadari bahwa beliaulah yang selalu membantu fakir miskin.
•Cerita: Setiap malam, Imam membawa karung berisi makanan di punggungnya dan membagikannya kepada fakir miskin tanpa mereka tahu siapa yang memberi. Ketika beliau wafat, ditemukan bekas-bekas luka di punggungnya karena membawa karung itu. Amal beliau dilakukan sepenuhnya untuk Allah, tanpa mengharapkan pujian manusia.
•Pelajaran:
•Amal yang dilakukan tanpa diketahui orang lain memiliki keutamaan besar karena mencerminkan keikhlasan murni.
•Beramal tanpa pamrih menunjukkan cinta sejati kepada Allah.
4. Kisah Nabi Ibrahim dan Pengorbanan Ismail
Ahli hakikat Syiah sering mengaitkan kisah Nabi Ibrahim (AS) dengan amal hakiki, yakni pengorbanan besar yang didasari cinta kepada Allah.
•Cerita: Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putranya, Ismail. Nabi Ibrahim dengan tulus mengikuti perintah ini meskipun sangat berat. Ketika ia hendak menyembelih Ismail, Allah menggantinya dengan seekor domba sebagai bukti penerimaan amalnya.
•Pelajaran:
•Amal besar sering kali membutuhkan pengorbanan, dan nilainya terletak pada keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah.
•Kesediaan Nabi Ibrahim menunjukkan bahwa amal hakiki adalah ketaatan penuh kepada Allah tanpa mempertanyakan perintah-Nya.
5. Kisah Pemuda Bani Israel dan Hakikat Niat Amal
Imam Musa Al-Kadhim (AS) menceritakan kisah seorang pemuda dari Bani Israel yang hanya memiliki sepotong roti. Ia berniat untuk bersedekah, tetapi ragu-ragu antara memberikannya karena Allah atau untuk mendapatkan pujian.
•Cerita: Pemuda itu akhirnya memberi roti kepada seorang miskin, tetapi dalam hatinya ia mengharapkan pujian. Allah tidak menerima amalnya, karena niatnya tidak murni. Imam Musa menjelaskan bahwa niat menentukan apakah amal diterima atau tidak.
•Pelajaran:
•Amal tanpa niat yang tulus kehilangan nilainya.
•Amal yang kecil namun dilakukan dengan ikhlas lebih berharga daripada amal besar dengan niat duniawi.
6. Kisah Al-Hurr bin Yazid Ar-Riyahi di Karbala
Kisah Al-Hurr bin Yazid Ar-Riyahi, seorang komandan pasukan Yazid, menjadi contoh transformasi amal yang didasari makrifat dan keimanan.
•Cerita: Al-Hurr awalnya berada di pihak Yazid dan menghadang jalan Imam Husain (AS). Namun, ketika ia menyadari kebenaran Imam Husain, ia bertobat dan bergabung dengan pasukan Imam. Dalam pertempuran Karbala, ia menjadi syahid sebagai pejuang di jalan Allah. Imam Husain memuji keikhlasannya, meskipun sebelumnya ia berada di pihak musuh.
•Pelajaran:
•Amal di sisi Allah tidak dinilai dari masa lalu seseorang, tetapi dari keikhlasan dan perubahan hati menuju kebenaran.
•Pengakuan terhadap wilayah Imam Husain menjadi jalan penerimaan amal.
7. Kisah Sayyid Ali Qadhi dan Muridnya yang Meremehkan Niat
Sayyid Ali Qadhi Tabatabai, seorang wali Allah terkenal dalam tradisi Syiah, menceritakan kepada muridnya tentang pentingnya niat dalam amal.
•Cerita: Salah satu muridnya menanyakan mengapa amal kecil seperti memberi segelas air kepada seseorang bisa memiliki pahala besar. Sayyid Qadhi menjawab:
“Jika amal itu dilakukan karena Allah, walaupun kecil, ia menjadi besar di sisi-Nya. Tetapi jika dilakukan dengan niat duniawi, walaupun besar, ia menjadi sia-sia.”
•Pelajaran:
•Hakikat amal bukan terletak pada bentuknya, tetapi pada niat yang menyertainya.
•Amal yang dilakukan karena Allah mengandung keberkahan yang tak terlihat.
Kesimpulan ; Kisah-kisah ini menegaskan bahwa dalam pandangan ahli hakikat Syiah:
1.Niat adalah ruh amal. Amal yang ikhlas jauh lebih bernilai dibandingkan amal besar yang disertai riya atau tujuan duniawi.
2.Amal yang berkaitan dengan wilayah Ahlul Bayt diterima di sisi Allah.
3.Kesadaran akan kehadiran Allah dalam amal lahiriah menjadikannya lebih bermakna.
4.Transformasi hati dan keimanan bisa menjadikan amal seseorang diterima, bahkan jika ia baru saja berubah.
Amal dalam hakikatnya adalah perjalanan menuju Allah, dan kisah-kisah ini mengajarkan bahwa ketulusan dan pengakuan terhadap wilayah menjadi kunci keberhasilan dalam perjalanan itu.
Dalam pandangan ahli hakikat Syiah, kisah-kisah sering digunakan untuk menjelaskan hakikat amal. Cerita ini menggambarkan bagaimana amal yang tulus dan didasari cinta kepada Allah serta pengakuan terhadap wilayah Ahlul Bayt menjadi sangat bernilai.
Kisah Al-Hurr bin Yazid Ar-Riyahi di Karbala
Kisah Al-Hurr bin Yazid Ar-Riyahi, seorang komandan pasukan Yazid, menjadi contoh transformasi amal yang didasari makrifat dan keimanan.
•Cerita: Al-Hurr awalnya berada di pihak Yazid dan menghadang jalan Imam Husain (AS). Namun, ketika ia menyadari kebenaran Imam Husain, ia bertobat dan bergabung dengan pasukan Imam. Dalam pertempuran Karbala, ia menjadi syahid sebagai pejuang di jalan Allah. Imam Husain memuji keikhlasannya, meskipun sebelumnya ia berada di pihak musuh.
•Pelajaran:
•Amal di sisi Allah tidak dinilai dari masa lalu seseorang, tetapi dari keikhlasan dan perubahan hati menuju kebenaran.
•Pengakuan terhadap wilayah Imam Husain menjadi jalan penerimaan amal.
Kisah Sayyid Ali Qadhi dan Muridnya yang Meremehkan Niat
Sayyid Ali Qadhi Tabatabai, seorang wali Allah terkenal dalam tradisi Syiah, menceritakan kepada muridnya tentang pentingnya niat dalam amal.
•Cerita: Salah satu muridnya menanyakan mengapa amal kecil seperti memberi segelas air kepada seseorang bisa memiliki pahala besar. Sayyid Qadhi menjawab:
“Jika amal itu dilakukan karena Allah, walaupun kecil, ia menjadi besar di sisi-Nya. Tetapi jika dilakukan dengan niat duniawi, walaupun besar, ia menjadi sia-sia.”
•Pelajaran:
•Hakikat amal bukan terletak pada bentuknya, tetapi pada niat yang menyertainya.
•Amal yang dilakukan karena Allah mengandung keberkahan yang tak terlihat.
Kesimpulan; Kisah-kisah ini menegaskan bahwa dalam pandangan ahli hakikat Syiah:
1.Niat adalah ruh amal. Amal yang ikhlas jauh lebih bernilai dibandingkan amal besar yang disertai riya atau tujuan duniawi.
2.Amal yang berkaitan dengan wilayah Ahlul Bayt diterima di sisi Allah.
3.Kesadaran akan kehadiran Allah dalam amal lahiriah menjadikannya lebih bermakna.
4.Transformasi hati dan keimanan bisa menjadikan amal seseorang diterima, bahkan jika ia baru saja berubah.
Amal dalam hakikatnya adalah perjalanan menuju Allah, dan kisah-kisah ini mengajarkan bahwa ketulusan dan pengakuan terhadap wilayah menjadi kunci keberhasilan dalam perjalanan itu.
Dalam tradisi Islam, khususnya dalam pandangan Syiah dan ahli hakikat, amal shalih memiliki manfaat yang besar, baik di dunia maupun di akhirat. Amal juga sering disertai doa agar diterima oleh Allah dengan penuh berkah. Berikut adalah manfaat amal dan doa-doa yang dianjurkan untuk menyempurnakan amal:
Manfaat Amal ;
1. Mendekatkan Diri kepada Allah
•Amal yang dilakukan dengan ikhlas menjadi sarana taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).
•Manfaat spiritual: Hati menjadi tenang, jiwa bersih, dan hubungan dengan Allah semakin kuat.
•QS. Al-Baqarah: 2-3: “Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki mereka…”
Amal membuat pelakunya menjadi lebih dekat kepada Allah.
2. Membawa Keberkahan di Dunia
•Amal shalih, seperti sedekah dan doa, mendatangkan keberkahan dalam hidup, seperti rezeki yang melimpah, kesehatan, dan perlindungan dari bala.
•Hadis Imam Ali (AS):
“Sedekah mencegah datangnya musibah.”
Amal shalih menciptakan perlindungan dari cobaan di dunia.
3. Meningkatkan Timbangan Amal di Akhirat
•Amal shalih menjadi pemberat dalam timbangan kebaikan di akhirat.
•QS. Al-Zalzalah: 7-8: “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya).”
Bahkan amal kecil yang dilakukan dengan niat tulus akan memberikan manfaat besar di hari akhir.
4. Membersihkan Dosa
•Amal, seperti istighfar, sedekah, dan doa, menjadi sarana penghapus dosa.
•QS. Hud: 114: “Sesungguhnya kebaikan itu menghapus keburukan.”
Amal shalih menghapus dosa-dosa kecil yang dilakukan manusia.
5. Memberikan Syafaat di Akhirat
•Amal tertentu, seperti shalat, sedekah, dan cinta kepada Ahlul Bayt, menjadi syafaat yang menyelamatkan dari siksa.
•Imam Ja’far Ash-Shadiq (AS):
“Wilayah kami adalah amalan yang akan menyelamatkanmu dari siksa neraka.”
Amal dengan pengakuan terhadap wilayah menjadi syafaat besar.
6. Membawa Kebahagiaan di Dunia dan Akhirat
•Orang yang rajin beramal akan mendapatkan kebahagiaan di dunia melalui keberkahan dan kebahagiaan di akhirat dengan pahala.
•QS. An-Nahl: 97: “Barang siapa yang beramal shalih, baik laki-laki maupun perempuan, maka Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik.”
Doa-doa yang Diajarkan dalam Islam untuk Amal
1. Doa Agar Amal Diterima
Doa ini dianjurkan untuk dibaca setelah beramal agar diterima oleh Allah:
“Rabbana taqabbal minna innaka Antas-Sami’ul-’Alim.”
“Ya Tuhan kami, terimalah amal kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 127)
2. Doa untuk Keikhlasan Amal
Agar amal dilakukan dengan hati yang ikhlas dan hanya untuk Allah:
“Allahumma inni as’aluka niyyatan shadiqatan wa amalan mutaqabbalan.”
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu niat yang tulus dan amal yang diterima.”
3. Doa untuk Kebaikan Dunia dan Akhirat
Amal shalih sering diiringi dengan doa ini untuk memohon kebaikan di dunia dan akhirat:
“Rabbana atina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah waqina ’adzabannar.”
“Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka.”
(QS. Al-Baqarah: 201)
4. Doa agar Diberi Kemampuan Beramal
Untuk memohon pertolongan Allah agar dapat istiqamah dalam beramal:
“Allahumma a’inni ’ala dzikrika wa syukrika wa husni ’ibadatika.”
“Ya Allah, bantulah aku untuk selalu mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan memperbaiki ibadahku kepada-Mu.”
(Hadis Rasulullah SAW)
5. Doa Agar Amal Tidak Sia-sia
Untuk menjaga amal agar tidak rusak oleh riya atau perbuatan dosa:
“Rabbana la tuzigh qulubana ba’da idz hadaytana wa hablana min ladunka rahmah. Innaka Antal-Wahhab.”
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau palingkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Pemberi.”
(QS. Ali Imran: 8)
Amal Khusus dan Doa yang Menyertainya
1. Sedekah
•Doa setelah bersedekah:
“Allahumma jal hadza fi mizanil hasanat, waj’alhu sababan li dzuhuli ila rahmatika.”
“Ya Allah, jadikan sedekah ini sebagai pemberat timbangan kebaikanku, dan jadikan ia sebagai sebab untuk masuk ke dalam rahmat-Mu.”
2. Shalat Malam (Tahajjud)
•Doa setelah tahajjud:
“Allahumma innaka ’afuwwun kariim, tuhibbul ‘afwa fa’fu ’anni.”
“Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Pemurah. Engkau menyukai pemaafan, maka maafkanlah aku.”
3. Amal Cinta kepada Ahlul Bayt
•Doa cinta kepada Ahlul Bayt sebagai amal yang mengundang syafaat:
“Allahumma arzuqni hubba Muhammadin wa Aali Muhammad wa aj’alhu syafi’an li yawmal qiyamah.”
“Ya Allah, karuniakanlah aku cinta kepada Muhammad dan keluarganya, dan jadikan cinta ini sebagai syafaat bagiku pada hari kiamat.”
Kesimpulan: Manfaat amal dalam Islam meliputi keberkahan di dunia, penghapusan dosa, peningkatan spiritual, dan syafaat di akhirat. Doa-doa yang mengiringi amal membantu memperkuat keikhlasan, menjaga konsistensi, dan memastikan amal diterima di sisi Allah.
Amal yang sempurna
adalah amal yang dilakukan dengan cinta kepada Allah,
niat ikhlas, dan pengakuan terhadap wilayah Ahlul Bayt.
Comments (0)
There are no comments yet