Kolom: "What's in a Name!"

Supa Athana - Tekno & Sains
22 November 2024 16:54
Karena Tuhan diperlakukan "Tuhan" sebagai sebuah kata semata, maka ia tak pusing untuk memikirkan dan menyusun pikiran-pikiran yang runut sebagai dasar pemahaman dan konfirmasi.

Penulis: Dr. Muhsin Labib
              Direktur Moderate Institute

What’s in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet.”

(Apalah arti sebuah nama? Itulah yang kita sebut bunga mawar. Dengan nama lain, aromanya akan tetap harum).

Judul di atas tidak membahas kalimat sangat populer dari drama romantis-tragedi mahakarya William Shakespeare, “Romeo and Juliet”, manun justru melukiskan tragedi keyakinan tentang Tuhan yang hanya diperlakukan sebagai kata atau nama sesuatu yang tak ditemukan dalam realitas namun diyakini adanya.

Sebagian besar orang bila menemukan sebuah kata berupa ucapan atau tulisan yang tak dimengerti, umumnya mencaritahu artinya dengan membuka kamus atau bertanya.

Setelah menemukan arti dari kata tersebut, benak kita menggambarkan benda atau entitas yang diartikan bila kita pernah menginderakannya.

Bila setelah menemukan arti kata asing tersebut,  gagal menghadirkan gambarannya dari slot memori, maka kata tersebut hanya tersimpan sebagai sebuah kata.

Karena Tuhan diterima sebagai kata dan nama  semata, maka Tuhan pun hanya dipandang sebagai kata atau nama yang tak mempunyai koherensi dengan tindakan dan sikap serta perilaku.

Karena Tuhan diperlakukan "Tuhan" sebagai sebuah kata semata, maka ia tak pusing untuk memikirkan dan menyusun pikiran-pikiran yang runut sebagai dasar pemahaman dan konfirmasi.

Karena Tuhan hanya diyakini sebagai sebuah kata dan nama yang diberikan untuk sesuatu yang tidak dikonfirmasi melalui pikiran-pikiran yang tersusun runut sebagai realitas, maka Tuhan dianggap sebagai sebuah realitas artifisial alias tidak nyata.

Karena Tuhan dipahami sebagai kata atau nama untuk sesuatu yang tidak dipikirkan bahkan realitas artifisial sebagai produk pikiran semata, maka tak merasa perlu menghimpun konsep-konsep besar demi membangun argumen yang memvalidasinya, bahkan melompatinya dengan ajaran-ajaran yang mestinya secara sistematis merupakan konsekuensinya.

Karena tak berdiri di atas argumen yang dibangun secara sistematis, makaTuhan dipahami sebagai sebuah nama takkan bisa menjadi pengarah perbuatan yang selaras,

Karena  menganggap Tuhan hanyalah nama yang tak bisa menjadi pengarah tindakan yang selaras dengannya, maka sebagian perbuatannya justru merupakan kontra keyakinan tentang Tuhan.

Banyak orang membangun keyakinan tentang Tuhan dengan proses pertama di atas. Mereka menemukan kata Tuhan lalu mengambil maknanya dari orang lain yang telah merasa mengimani Tuhan dengan proses yang sama.

Baca juga:
Demi Selamatkan Bumi, Crazy Rich Ini Donasikan Sebagian Besar Kekayaannya

Sebagian kecil orang bila Bila menyaksikan sebuah benda atau entitas baru alias belum pernah menyaksikan objek itu sebelumnya, mereka langsung memotretnya dan merekamnya sebagai sebuah konsep.

Bila setelah menemukan benda itu dalam realitas dan gagal menemukan atau menciptakan kata khas sebagai penanda dan nama, maka realitasnya tetap tersimpan berupa konsep dalam benak.

Supaya tidak kabur akibat tercampur dengan konsep-konsep lain dalam lemari benak, biasanya atau mestinya mereka mencari kata yang telah ditetapkan sebagai nama khusus untuk entitas itu.

Sedikit orang meyakini Tuhan, sebagai realitas yang diimani dalam  serangkaian pikiran yang disusun berdasarkan metode logis dan dipilih sebagai keputusan dengan kesadaran dan sukarela. Tuhan bagi kelompok ini bukanlah sekadar kata dan nama yang dicangkok paksa dalam benak.

Kelompok kecil ini membangun keyakinan tentang Tuhan dengan cara kedua. Mereka mengimani atau mengkonfirmasi adanya sebuah entitas sublim yang tunggal lalu menggambarkannya sebagai konsep dalam benak kemudian mencari kata khas sebagai penanda personal bagi konsep itu, dan menemukan kata khas yang telah ditetapkan secara konvensional, Tuhan atau lainnya adalah sebutannya.

Banyak orang salah kaprah memahami aqidah sebagai sebuah doktrin yang ditanam dalam benak sebagai produk dikte. Dengan kata lain, aqidah diposisikan sebagai sekumpulan pernyataan orang lain yang ditanamkan pada seseorang atau sekelompok orang tanpa dipilih sebagai keputusan mandiri.

Akibatnya, aqidah yang terlanjur didiktekan diperlakukan sebagai sebuah info layaknya berita tentang sebuah peristiwa di suatu tempat dan waktu yang disimak selama beberapa detik lalu dilewati begitu saja.

Karena hanya dianggap sebagai sekadar informasi, difolow up bila penasaran dengan melakukan penyelidikan atau diabaikan karena tak dipahami sebagai sebuah pandangan fundamental atau ajaran yang berkorelasi secara niscaya dengan tindakan tertentu sebagai respon aktual terhadapnya.

Keyakinan yang berubah atau keyakinan yang tidak terjustifikasi secara argumentatif juga keyakinan yang hanya menjadi simbol tanpa implementasi praktikal pada hakikatnya hanyalah info-info yang diberi label aqidah atau agama oleh penerima yang pada hakikatnya penyimpan data semata yang merasa sebagai penganut.

Karena agama dan ajaran-ajarannya hanya dianggap sebagai kumpulan info, kerap dibagi-bagi, diulang-ulang dalam bermacam momen dan terus mwnjadi bahan obrolan.

Karena memandang agama sebagai "just info", ketika menghadapi masalah dalam hidup atau ketika hendak melakukan sesuatu yang penting dalam hirup, mencari solusi dan pandangan-pandangan praktis di luar agama, misalnya memberikan preverensi kepada psikologi modern dijadikan rujukan saat mengalami stress atau teori self imptovement bila ingin bahagia dan sebagaonya, tapi sesekali agama informasi ini juga diperlukan, saat anggota keluarga sekarat, ahli agama diundang untuk membaca mantra.

Sebagian kecil orang memahami aqidah dalam dua pengertian. Aqidah secara etimologis berasal dari kata aqada yang berarti sesuatu yang mengikat erat. Secara terminologis aqidah adalah premis atau pernyataan aksiomatis (yang valid secara niscaya) atau premis (pernyataan) teorematis (yang valid berdasarkan premis aksiomatis) dalam benak dan menjadi pengarah tindakan yang selaras dengannya.

Agama yang dimani sebagai keyakinan yang dipilih dengan kesadaran (sebagai rangkaian menjulang premis-premis yang tersusun dengan logika aksioma dan teorema), bukan sekadar info-info beredar, adalah paradigma, ideologi dan tuntunan praktis dalam semua aspek hidup.


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment