Keberhasilan Hizbullah memukul mundur Israel dan mengusirnya dari Lebanon adalah fakta historis yang mencengangkan.
Penulis: Muhsin Labib
Direktur Moderate Institute
Direktur Moderate Institute
Pendirian negara Israel pada 1948 yang diprakrasi oleh Barat di atas tanah Palestina menimbulkan kemarahan umat Islam, terutama bangsa-bangsa Arab.
Berikut kronologi singkatnya :
1. Mesir di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Naser melakukan penutupan Selat Tiran pada bulan Mei 1967. Selat Tiran merupakan jalur utama bagi pelayaran internasional menuju pelabuhan Israel, melanggar kesepakatan internasional.
2. Meskipun membukanya kembali, Mesir memprakarsai pembentukan aliansi Arab demi menguatkan posisi dalam konfiontasi dengan Israel. Yordania dan Suriah juga mulai memobilisasi pasukan mereka dan mempersiapkan diri untuk konflik bersenjata dengan Israel.
3. Perdana Menteri Israel, David Ben-Gurion, bersama dengan angkatan bersenjata Israel, menyusun rencana untuk serangan terhadap negara-negara tetangga.
Perang Tujuh Hari, juga dikenal sebagai Perang Arab-Israel 1967, terjadi pada bulan Juni 1967 antara Israel dan negara-negara Arab, yaitu Mesir, Yordania, dan Suriah. Perang ini dimulai pada tanggal 5 Juni dan berakhir pada tanggal 10 Juni tahun itu, sehingga disebut sebagai Perang Tujuh Hari.
Perang Tujuh Hari dianggap sebagai kemenangan besar bagi Israel, yang memperluas wilayahnya secara signifikan dan menggantikan ancaman serangan dari negara-negara tetangga. Namun, ini juga meninggalkan dampak besar terhadap hubungan antara Israel dan negara-negara Arab di wilayah tersebut, serta masalah-masalah politik dan territorial yang masih berkelanjutan hingga saat ini.
Perang Tujuh Hari tahun 1967 memiliki dampak yang signifikan dalam konstelasi dan peta geopolitik Timur Tengah. Berikut adalah beberapa keuntungan Israel kemenangan Israel dalam Perang Tujuh Hari tersebut:
1. Israel berhasil merebut Semenanjung Sinai dari Mesir.
2. Israel berhasil merebut Yerusalem Timur dari Yordania selama perang ini, yang kemudian dijadikan ibu kota Israel.
3. Israel berhasil mencaplok Tepi Barat Sungai Yordan.
4. Israel berhasil merampas Dataran Tinggi Golan dari Suriah.
5. Amerika Serikat berhasil menjadikan Israel sebagai proxy sekaligus sumber ancaman permanen bagi negara-negara Arab yang makin bergantung kepada Amerika sebagai penjamin stabilitas dan status quo rezim-rezim. Arab yang dirawatnya demi kepentingan imperialistiknya dalam berkompetisi dengan Uni Sovyet kala itu.
Meski demikian Perang Tujuh Hari meninggalkan ketegangan yang mendalam antara Israel dan negara-negara Arab di kawasan tersebut, termasuk Perang Yom Kippur tahun 1973 dan konflik-konflik selanjutnya yang terus berkecamuk hingga saat ini.
Sejak saat itu dunia Arab menjadi lemah dan Israel makin kuat. Perundingan damai mulai diterima oleh PLO. Para pemimpin negara-negara Arab mulai menerima solusi dua negara yang dipaksakan oleh Amerika Serikat dan mayoritas dunia. Isu kemerdekaan kian redup seiring dengan perluasan pemukiman yang terus dilakukan oleh Israel dan perampasan wilayah Palestina, termasuk Yerussalem yang diklaim penuh sebagai ibukota.
Situasi beruban total. Iran, yang bukan negara Arab dan tidak dirampas tanahnya, tak bersengketa perbatasan dengan Israel, justru tampil sebagai sebuah kekuatan ideologis yang tak hanya mengancam Israel namun berpeluang mengakhiri dominasi Amerika Serikat di Timur Tengah dan Asia Barat, bahkan dunia Islam.
Kendati mengalami gangguan agresi 8 tahun Irak yang menjadi pro Barat dan embargo, isolasi, serta ratusan sanski Amerika dan Barat, Iran berhasil membangun sebuah gugus ideologi anti Hegemoni dan Zionisme yang dikenal dengan Poros Resistensi di kawasan wilayah terutama Lebanon. Iran tak mengintervensi negara atau menciptakan rezim boneka sebagaimana Amerika Serikat, namun menyebarkan paradigma penentangan terhadap proposall perdamaian palsu kepada bangsa-bangsa Arab dan umat Islam.
Misi dan seruan ini direspon secara positif pertama kali oleh masyarakat di Lebanon Selatan yang semula hidup di bawah pengucilan dalam negeri dari semua aspek. Pada tahun 1980 didirikanlah organisasi masyarakat bernama Hizbullah sebagai reaksi terhadap invasi Israel ke Lebanon.
Pada 2006 Hizbullah menyerang pos-pos Israel yang menduduki beberapa wilayah Lebanon di perbatasan. Konflik militer pun terjadi.
Dalam perang tak seimbang ini Hizbullah yang baru berusia 6 tahun bisa dianggap sebagain pemenang karena berhasil memaksa Israel menerima gencatan senjata setelah konflik militer berlangsung 34 hari. Hizbullah berhasil mempertahankan popularitasnya di dalam negeri bahkan dunia Arab dan Islam. Iran dan Hizbullah menjungkirbalikkan tatanan dominasi Amerika Serikat dan Barat serta menjadi ancaman serius bagi eksistensi Israel.
Keberhasilan memukul mundur Israel dan mengusirnya dari Lebanon adalah fakta historis yang mencengangkan. Konfrontasi antara Hizbullah dan Israel memang menjadi salah satu contoh keberhasilan milisi bersenjata non-negara dalam melawan kekuatan militer dari sebuah negara yang kuat yang didukung oleh Amerika dan Barat.
Hizbullah menggunakan taktik perang gerilya yang cukup efektif dalam melawan pasukan Israel yang berdisiplin dan terlatih. Organisasi ini memanfaatkan wilayah pegunungan di Lebanon, terowongan bawah tanah, dan jaringan perlawanan di tengah-tengah masyarakat untuk melancarkan serangan terhadap Israel secara tak terduga.
Keberhasilan Hizbullah dalam melawan Israel memengaruhi dinamika keamanan regional di Timur Tengah seiring makin luasnya popularitas dan kian menguatnya legitimasi Hizbullah di bawah kepempinan kharismatik Sayed Hassan Nasrullah (SHN).
Setelah Perang Lebanon 2006 antara Hizbullah dan Israel, hubungan kedua pihak tetap tegang dan konflik-konflik kecil terus terjadi di sepanjang perbatasan Lebanon-Israel.
Pada bulan Agustus 2019, israel melakukan penyerangan dengan dua drone (pesawat tanpa awak) ke wilayah Lebanon yang dianggap sebagai wilayah Hizbullah. Salah satu drone tersebut melibatkan serangan yang menewaskan seorang anggota Hizbullah, yang kemudian memicu balasan dari pihak Hizbullah yang meluncurkan roket ke Israel.
Konflik di Agustus 2019 ini mencapai titik kritis ketika Israel melancarkan serangan udara balasan yang menghancurkan pos-pos Hizbullah di perbatasan Lebanon-Israel. Balasan dari Hizbullah tidak berlangsung lama, tetapi konfrontasi ini memunculkan ketegangan yang tinggi di kawasan tersebut.
Kedua belah pihak kemudian mencoba menahan diri dan menghindari eskalasi lebih lanjut setelah intervensi pihak internasional, termasuk PBB dan AS. Meskipun konflik tersebut berhasil diredam, ketegangan antara Hizbullah dan Israel tetap berlanjut di kemudian hari.
Comments (0)
There are no comments yet