“Basori” dapat merujuk pada banyak hal yang terkait dengan penglihatan, pemahaman, dan kewaspadaan, baik dalam pengertian fisik maupun spiritual.
Penulis: Muhammad Taufiq Ali Yahya
Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran
Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran
Berikut makna “basori” dalam bahasa Indonesia:
1.Penglihatan: Merujuk pada kemampuan untuk melihat secara fisik, atau organ yang digunakan untuk melihat (mata).
2.Wawasan: Memiliki pandangan atau pemahaman yang lebih dalam terhadap suatu hal, sering kali digunakan dalam konteks pemahaman yang lebih luas atau mendalam.
3.Pemahaman yang Jernih: Memiliki kemampuan untuk melihat atau memahami sesuatu dengan jelas tanpa adanya kebingungan atau keraguan.
4.Kejernihan Pandangan: Pandangan yang bebas dari kebingungan atau ketidakjelasan, baik dalam pengertian fisik maupun spiritual.
5.Kesadaran: Mengacu pada keadaan selalu sadar atau waspada terhadap sesuatu, terutama dalam konteks kesadaran spiritual atau moral.
6.Pencerahan Spiritual: Kemampuan untuk “melihat” atau menyadari hal-hal yang tidak terlihat oleh mata fisik, seperti kebenaran spiritual atau hal-hal gaib.
7.Ketajaman Pikiran: Kemampuan untuk menganalisis atau memahami dengan lebih tajam dan mendalam, baik dalam hal pengetahuan maupun situasi.
8.Pengertian: Mengacu pada pemahaman yang mendalam tentang suatu hal, baik itu pengetahuan agama, kehidupan, atau lainnya.
9.Kewaspadaan: Kemampuan untuk selalu waspada terhadap apa yang terjadi di sekitar, sering kali dalam konteks spiritual atau moral.
10.Kemampuan Membedakan: Mampu membedakan antara kebenaran dan kebohongan, yang sering dikaitkan dengan intuisi atau pemahaman yang mendalam.
Dalam konteks bahasa Indonesia, “basori” dapat merujuk pada banyak hal yang terkait dengan penglihatan, pemahaman, dan kewaspadaan, baik dalam pengertian fisik maupun spiritual.
Dalam konteks Al-Qur’an, istilah “basori” (بصری) atau “basha’ir” (بصائر) sering kali merujuk pada penglihatan atau pencerahan hati yang lebih dalam, baik secara fisik maupun spiritual. Makna “basori” ini mengandung beberapa aspek yang penting dalam pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa makna yang terkait dengan “basori” dalam Al-Qur’an:
1.Penglihatan Fisik: Secara harfiah, basori dapat merujuk pada penglihatan mata manusia. Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan Dia-lah yang menciptakan bagi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati. Tetapi sedikit sekali kalian yang bersyukur” (QS. Al-Mulk: 23), yang mengingatkan manusia untuk menggunakan indra mereka dengan bijak.
2.Penglihatan Spiritual: Dalam pengertian yang lebih dalam, basori juga mengacu pada pencerahan hati dan mata batin untuk melihat kebenaran. Al-Qur’an sering menyebutkan bahwa tidak semua orang dapat “melihat” atau memahami kebenaran meskipun mereka memiliki penglihatan fisik. Contohnya dalam surat Al-Hajj (22:46): “Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, sehingga hati mereka dapat memahami dan telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.”
3.Wawasan terhadap Ayat-ayat Allah: Basori juga berhubungan dengan kemampuan untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta. Dalam surat Al-Baqarah (2:164) disebutkan: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut membawa manfaat bagi manusia, dan apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air yang menghidupkan bumi setelah matinya, serta segala macam makhluk yang bergerak di bumi, dan perubahan angin dan awan yang tunduk kepada Allah… sungguh ada tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”
4.Peringatan untuk Orang yang Tidak Memahami: Dalam beberapa ayat, basori menggambarkan orang yang tidak bisa melihat kebenaran meskipun sudah diperingatkan. Dalam surat Al-A’raf (7:179) disebutkan: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami, dan mereka memiliki mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat.”
5.Kebutaan Hati: Dalam Al-Qur’an, istilah basori kadang-kadang digunakan untuk menggambarkan kebutaan hati, yakni ketidakmampuan seseorang untuk melihat atau memahami kebenaran meskipun secara fisik mereka memiliki penglihatan yang sempurna. Ini tercermin dalam surat Al-Baqarah (2:18), “Mereka adalah orang-orang yang buta (hati) dan tuli (rohani), mereka tidak bisa memahami.”
6.Pencerahan Hati: Basori juga terkait dengan pemahaman yang lebih mendalam terhadap wahyu dan petunjuk Allah. Dalam surat Al-Isra (17:72), Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang buta (hati) di dunia ini, dia akan lebih buta di akhirat dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.”
7.Mata Hati yang Melihat Kebenaran: Dalam konteks ini, “basori” mengarah pada kemampuan untuk melihat kebenaran Ilahi. Sebagai contoh, dalam surat Al-Furqan (25:73): “Dan apabila mereka diajak untuk sujud kepada Tuhan mereka, mereka tidak melakukannya.”
8.Bukti-bukti Kebenaran: Basori juga bisa berarti penglihatan yang jelas terhadap bukti-bukti kebenaran yang disampaikan oleh para nabi dan rasul. Ini mengarah pada pembukaan hati dan mata untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah di alam semesta dan dalam wahyu-Nya.
9.Kemampuan untuk Melihat Petunjuk Allah: Dalam beberapa ayat, basori merujuk pada kemampuan untuk melihat dan mengikuti petunjuk Allah, seperti yang terdapat dalam surat Yunus (10:108): “Katakanlah, ‘Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kalian.’”
10.Mengenal Allah dan Keagungannya: Basori juga berhubungan dengan kemampuan mengenali Allah dalam segala ciptaan-Nya. Dalam surat Al-Imran (3:190), Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.”
Secara keseluruhan, “basori” dalam Al-Qur’an lebih dari sekedar penglihatan fisik. Itu juga mencakup pemahaman spiritual yang dalam, pencerahan hati, dan kemampuan untuk melihat dan memahami kebenaran Ilahi.
Dalam hadis, istilah “basori” (بصری) atau “penglihatan”
juga memiliki makna yang mendalam, baik secara fisik maupun spiritual. Beberapa hadis yang berkaitan dengan makna basori mencakup penglihatan yang lebih tinggi, berupa pemahaman terhadap kebenaran, serta pemahaman tentang bagaimana seorang Muslim seharusnya menggunakan matanya dan hatinya untuk melihat dunia dan kebenaran. Berikut beberapa makna basori dalam konteks hadis:
1.Penglihatan yang Sejati:
Rasulullah SAW bersabda:
“Bukanlah mata yang buta, tetapi hati yang buta.” (HR. Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa kebutaan yang lebih besar adalah kebutaan hati, bukan kebutaan fisik. Ini menandakan bahwa “basori” dalam Islam juga berkaitan dengan kemampuan untuk melihat kebenaran dan memahami dengan hati yang bersih.
2.Kebutaan Hati dan Mata:
Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya, ada hati yang buta, sebagaimana mata yang buta. Ada hati yang tidak dapat melihat kebenaran meskipun mata terbuka.” (HR. Ahmad).
Hadis ini mengingatkan umat Islam bahwa meskipun mata fisik mereka terbuka, mereka dapat memiliki kebutaan hati yang menghalangi mereka dari melihat petunjuk Allah.
3.Melihat dengan Mata Hati:
Dalam hadis sahih yang diriwayatkan oleh Ibn Majah, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuh dan rupa kalian, tetapi Allah melihat hati-hati kalian.” (HR. Muslim).
Hadis ini menegaskan bahwa “basori” yang sejati dalam Islam berkaitan dengan melihat dan memahami dengan hati, yaitu dengan ketulusan dan keikhlasan, bukan sekadar penampilan luar.
4.Mata sebagai Sumber Peringatan: Rasulullah SAW pernah bersabda: “Dua mata yang tidak akan tersentuh api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang berjaga di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini menunjukkan bahwa penggunaan mata untuk merenung dan menangis karena Allah, serta menjaga mata agar tidak melihat hal yang haram, merupakan bentuk penglihatan yang diridhai oleh Allah.
5.Mata yang Tidak Menyaksikan yang Haram: “Dalam hadis lain, Rasulullah SAW bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian melihat sesuatu yang tidak baik, maka hendaklah ia berpaling dan tidak melihatnya.” (HR. Bukhari).
Ini mengajarkan umat Islam untuk menjaga penglihatan agar tidak terjerumus dalam perbuatan yang dilarang, menjaga mata untuk tetap pada hal-hal yang halal dan baik.
6.Melihat Tanda-Tanda Kekuasaan Allah: Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai manusia, sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa kalian dan harta kalian, tetapi Allah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim).
Hadis ini mengingatkan bahwa yang dilihat oleh Allah bukanlah penampilan luar, tetapi hati yang dapat melihat dan merasakan kedekatan dengan-Nya.
7.Melihat dengan Penuh Kesadaran: Dalam hadis lain, Rasulullah SAW mengatakan:
“Barangsiapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lidahnya, dan jika tidak mampu maka dengan hatinya. Itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).
Hadis ini mengajarkan bahwa “basori” (penglihatan) tidak hanya terbatas pada apa yang dilihat oleh mata fisik, tetapi juga mencakup kesadaran batin untuk menghindari keburukan dan memelihara iman.
8.Peringatan untuk Menggunakan Mata dengan Bijak:
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Jagalah mata kalian dari melihat hal-hal yang tidak baik, karena pandangan pertama adalah hak, dan pandangan kedua adalah dosa.” (HR. Abu Dawud).
Ini menunjukkan bahwa penting bagi seorang Muslim untuk menjaga penglihatannya agar tidak terjerumus pada dosa, dan agar mata digunakan untuk melihat yang bermanfaat dan baik.
9.Pencerahan melalui Ilmu dan Iman: Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang dikehendaki Allah untuk mendapatkan kebaikan, maka Dia akan memberikan pemahaman (basari) agama kepadanya.” (HR. Bukhari).
Hadis ini mengaitkan “basori” dengan pemahaman yang mendalam dalam agama, yang akan mengarahkan seseorang kepada kebaikan dan petunjuk Allah.
10.Mata yang Melihat dengan Kesadaran Ilahiyah: Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya, tidak ada yang lebih berharga selain mata yang digunakan untuk melihat dengan kesadaran akan kekuasaan Allah.” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini menunjukkan bahwa penglihatan yang benar adalah yang disertai dengan pemahaman tentang kekuasaan Allah, serta kesadaran akan tujuan hidup yang lebih tinggi.
Secara keseluruhan, dalam hadis, basori mencakup makna yang lebih luas daripada sekadar kemampuan fisik untuk melihat. Itu juga merujuk pada kemampuan spiritual dan kesadaran hati dalam memahami dan mengikuti petunjuk Allah.
Dalam konteks Ahlul Bayt (keluarga Nabi Muhammad SAW), terdapat banyak hadis yang berbicara tentang “basori” atau penglihatan, baik secara fisik maupun spiritual. Ahlul Bayt, yang terdiri dari Ali bin Abi Talib, Fatimah Az-Zahra, Hasan, Husain, dan keturunan mereka, dikenal dengan kedalaman pemahaman agama dan spiritualitas yang tinggi. Beberapa hadis dari Ahlul Bayt yang berkaitan dengan makna “basori” mencakup penglihatan hati, pemahaman spiritual, dan cara melihat dunia dengan pandangan yang lebih dalam. Berikut adalah beberapa hadis dari Ahlul Bayt yang berkaitan dengan “basori”:
1.Ali bin Abi Talib (AS):
Imam Ali AS berkata:
“Bukanlah mata yang buta, tetapi hati yang buta.” Hadis ini memiliki kesamaan dengan yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW. Imam Ali AS menekankan bahwa kebutaan yang sejati adalah kebutaan hati, bukan penglihatan fisik. Artinya, meskipun seseorang memiliki mata yang dapat melihat, jika hatinya tidak mampu memahami kebenaran, maka dia sesungguhnya buta.
2.Imam Ali (AS) tentang Pandangan yang Bijaksana:
Imam Ali AS juga berkata:
“Jika kamu tidak dapat melihat dengan mata kepala, maka lihatlah dengan mata hati.”
Hadis ini mengajarkan bahwa seseorang tidak hanya harus mengandalkan penglihatan fisik, tetapi juga harus menggunakan mata hati untuk memahami dan melihat kebenaran, terutama dalam urusan spiritual.
3.Imam Hasan (AS):
Imam Hasan AS mengatakan:
“Seorang yang bijaksana adalah orang yang menggunakan penglihatannya untuk merenung, bukan hanya untuk melihat dunia.”
Dalam hadis ini, Imam Hasan AS menekankan bahwa penglihatan yang benar adalah yang digunakan untuk merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah dan untuk mengambil pelajaran dari dunia ini.
4.Imam Husain (AS):
Imam Husain AS berkata:
“Mata yang tidak pernah melihat keburukan adalah mata yang bersih, tetapi hati yang tidak pernah melihat kebenaran adalah hati yang buta.”
Hadis ini menghubungkan “basori” dengan hati, bahwa meskipun mata fisik bisa melihat kebaikan, hati yang tidak mampu menerima kebenaran adalah kebutaan yang lebih parah.
5.Imam Ja’far al-Sadiq (AS):
Imam Ja’far al-Sadiq AS, salah satu imam terbesar dalam tradisi Syiah, berkata:
“Sesungguhnya orang yang memiliki basori adalah orang yang bisa melihat dengan hatinya, meskipun matanya tampak melihat dunia.”
Dalam hadis ini, Imam Ja’far al-Sadiq AS menggambarkan bahwa “basori” yang sejati bukan hanya penglihatan fisik, melainkan kemampuan hati untuk memahami dan meresapi kebenaran yang lebih tinggi, yaitu kebenaran yang berasal dari Allah.
6.Imam Ali (AS) tentang Wawasan yang Mendalam:
Imam Ali AS juga mengatakan:
“Sesungguhnya ada dua jenis kebutaan, kebutaan fisik dan kebutaan hati. Bukanlah yang pertama yang paling buruk, tetapi yang lebih buruk adalah kebutaan hati.”
Hal ini menunjukkan bahwa menurut Imam Ali AS, kebutaan hati adalah kondisi yang lebih parah daripada kebutaan fisik. Seorang yang memiliki basori atau penglihatan hati akan mampu melihat kebenaran, bahkan jika dunia ini tampak gelap baginya.
7.Imam Ali (AS) tentang Melihat Dunia dengan Pandangan yang Benar: “Barangsiapa yang tidak dapat melihat dengan mata hati, dia akan kehilangan arah.”
Ini mengajarkan bahwa seseorang yang hanya mengandalkan penglihatan fisik tanpa adanya pencerahan hati akan tersesat dalam kehidupan dunia.
8.Imam Zainul Abidin (AS) tentang Pencerahan Hati:
Dalam sebuah doa dari Imam Zainul Abidin AS (Doa Makarim al-Akhlaq), beliau berkata:
“Ya Allah, berikanlah kepada kami penglihatan hati yang mampu melihat dengan jelas tanda-tanda kebesaran-Mu.”
Doa ini mencerminkan permohonan untuk diberikan kemampuan basori yang sejati, yaitu penglihatan yang mampu mengenali dan memahami tanda-tanda Allah dengan hati yang bersih.
9.Imam Muhammad al-Baqir (AS) tentang Pencerahan Hati:
Imam al-Baqir AS berkata:
“Sesungguhnya basori yang sejati adalah penglihatan yang melihat kedalaman hati, bukan hanya sekadar pandangan mata.”
Hadis ini menegaskan bahwa penglihatan sejati adalah yang lebih dari sekadar penglihatan fisik, tetapi juga melibatkan kedalaman pemahaman spiritual.
10.Imam Ali (AS) tentang Kewaspadaan:
Imam Ali AS juga mengatakan:
“Jadilah kamu orang yang selalu melihat dengan hati, bukan hanya dengan mata. Karena orang yang tidak bisa melihat dengan hati, dia akan sering tergelincir dalam kebodohan.” Ini menunjukkan pentingnya menggunakan basori atau penglihatan hati untuk menilai segala sesuatu dalam hidup dengan lebih bijaksana.
Secara keseluruhan, ajaran Ahlul Bayt tentang “basori” atau penglihatan mengajarkan kepada umat Islam untuk tidak hanya mengandalkan penglihatan fisik, tetapi juga untuk mengembangkan penglihatan hati yang mampu melihat kebenaran dan kebesaran Allah. Penglihatan ini membawa seseorang untuk lebih memahami kehidupan dengan kedalaman spiritual dan menjauhkan diri dari kebutaan hati yang bisa menyesatkan.
Menurut para mufassir (ahli tafsir) Al-Qur’an, istilah “basori” atau penglihatan seringkali tidak hanya dipahami sebagai penglihatan fisik melalui mata, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang lebih dalam. Para mufassir menjelaskan makna “basori” sebagai kemampuan untuk melihat kebenaran, baik melalui penglihatan fisik maupun penglihatan hati yang diterangi oleh cahaya wahyu. Berikut adalah penjelasan dari beberapa mufassir mengenai makna basori dalam Al-Qur’an:
1.Ibn Kathir:
Ibn Kathir, salah satu mufassir terbesar, menjelaskan bahwa “basori” dalam Al-Qur’an sering kali merujuk pada penglihatan yang lebih dalam, yang melampaui kemampuan fisik. Dalam tafsirnya, khususnya untuk ayat-ayat yang berhubungan dengan penglihatan hati, ia menghubungkannya dengan pemahaman spiritual yang jelas dan penerimaan terhadap kebenaran yang datang dari Allah. Misalnya, dalam tafsirnya terhadap surat Al-Hajj (22:46), yang berbunyi:
“Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, sehingga hati mereka dapat memahami dan telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.”
Ibn Kathir menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa kebutaan yang sebenarnya adalah kebutaan hati, bukan kebutaan mata. Meskipun seseorang memiliki penglihatan fisik yang normal, jika hatinya tertutup dari kebenaran, maka ia tidak dapat melihat jalan yang benar.
2.Al-Qurtubi:
Al-Qurtubi, dalam tafsirnya, menekankan bahwa basori tidak hanya berarti penglihatan yang disebabkan oleh mata, tetapi juga kemampuan untuk memahami dan menyaksikan kebenaran yang lebih tinggi. Dalam tafsirnya, ia sering mengaitkan “basori” dengan “basa’ir” (pencerahan batin) yang diberikan oleh Allah. Menurutnya, ayat-ayat yang berbicara tentang penglihatan (seperti dalam surat Al-Isra 17:72: “Dan barangsiapa yang buta (hati) di dunia ini, dia akan lebih buta di akhirat dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”) menggambarkan bahwa orang yang tidak menggunakan penglihatan hatinya untuk memahami wahyu dan tanda-tanda Allah akan tersesat.
3.At-Tabari:
Dalam tafsirnya, At-Tabari mengartikan “basori” dengan dua dimensi: satu merujuk pada penglihatan fisik, dan yang lainnya adalah penglihatan spiritual yang berarti kemampuan seseorang untuk melihat kebenaran dengan hati nuraninya. At-Tabari memberikan penjelasan lebih lanjut tentang ayat dalam Al-Baqarah (2:18):
“Mereka adalah orang-orang yang buta (hati) dan tuli (rohani), mereka tidak bisa memahami.”
Ia menjelaskan bahwa meskipun orang-orang ini memiliki mata yang bisa melihat, mereka tetap tidak bisa menyaksikan kebenaran karena hati mereka tertutup dari pemahaman Ilahi.
4.Al-Razi:
Al-Razi, dalam tafsirnya, memberikan pandangan yang lebih filosofis mengenai “basori”, mengatakan bahwa penglihatan tidak terbatas pada indra fisik, melainkan merupakan penyadaran dan pemahaman mendalam terhadap realitas. Ia sering menekankan bahwa penglihatan sejati adalah yang dapat melihat melalui lapisan-lapisan duniawi menuju pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat Tuhan. Al-Razi mengaitkan hal ini dengan firman Allah dalam surat Al-A’raf (7:179):
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami, dan mereka memiliki mata, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat.”
Al-Razi menegaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa meskipun mereka memiliki mata fisik, mereka tidak dapat melihat dengan hati, yang merupakan bentuk basori yang sejati.
5.Fakhr al-Din al-Razi:
Fakhr al-Din al-Razi menafsirkan konsep basori lebih lanjut dengan menekankan bahwa dalam Al-Qur’an, basori adalah kemampuan untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta. Dalam tafsiran al-Razi terhadap surat Al-Baqarah (2:164), yang menyebutkan tanda-tanda Allah yang jelas di langit dan bumi, ia menghubungkan “basori” dengan kemampuan untuk mengamati dan merenung tentang alam semesta serta menghubungkannya dengan penciptaan Tuhan. Ia menganggap bahwa “basori” merujuk pada pemahaman yang lebih dalam terhadap penciptaan Allah yang dapat dilihat dengan hati yang terbuka.
6.Ibn ’Ashur:
Ibn ’Ashur dalam tafsirnya menyoroti bahwa “basori” adalah kemampuan untuk menyaksikan dan memahami kebenaran dengan pandangan batin yang lebih jelas dan tajam. Ia mengaitkan hal ini dengan ayat dalam surat Al-Mulk (67:23):
“Katakanlah: ‘Allah-lah yang menciptakan kalian, dan menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan, dan hati. Maka sedikit sekali kalian bersyukur.’”
Ibn ’Ashur menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa pemberian penglihatan oleh Allah bukan hanya dalam bentuk mata fisik, tetapi juga sebagai bentuk kemampuan untuk menyaksikan dan memahami kebenaran hakiki melalui hati yang jernih.
Kesimpulan dari para mufassir:
Secara umum, para mufassir sepakat bahwa dalam Al-Qur’an, “basori” atau penglihatan tidak hanya merujuk pada penglihatan mata fisik, tetapi juga mencakup penglihatan spiritual atau pemahaman batin yang lebih dalam. Basori yang sejati adalah kemampuan hati untuk melihat dan memahami kebenaran, baik dalam hal wahyu Allah maupun dalam merenung tentang ciptaan-Nya. Oleh karena itu, penglihatan yang sesungguhnya adalah yang disertai dengan pemahaman yang jernih dan hati yang terbuka untuk menerima petunjuk Ilahi.
Dalam tafsir dari perspektif Syiah, para mufassir juga menafsirkan istilah “basori” atau penglihatan dengan makna yang lebih dalam, baik secara fisik maupun spiritual. Dalam pandangan Syiah, penglihatan tidak hanya mencakup kemampuan melihat dengan mata fisik, tetapi juga kemampuan hati untuk memahami kebenaran yang lebih tinggi yang datang dari Allah, terutama melalui ajaran para Imam Ahlul Bayt yang dianggap memiliki pemahaman dan pencerahan khusus dari Allah. Beberapa mufassir Syiah terkenal yang memberikan penafsiran tentang “basori” termasuk al-Tustari, al-Majlisi, al-Tabarsi, dan al-Kaf’ami. Berikut adalah beberapa pandangan mereka tentang makna “basori” dalam Al-Qur’an:
1. Tafsir al-Majlisi (al-Bihar al-Anwar)
Dalam tafsirnya, al-Majlisi menghubungkan penglihatan dengan ilmu batin yang hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang memiliki hati yang bersih dan penuh keimanan, seperti para Imam Ahlul Bayt. Penglihatan sejati adalah yang datang dari pencerahan batin yang diberikan oleh Allah kepada orang yang dikehendaki-Nya. Al-Majlisi menjelaskan bahwa meskipun seseorang memiliki mata untuk melihat, basori sejati adalah kemampuan untuk melihat kebenaran dengan hati yang terbuka dan ilmu yang datang dari wahyu atau bimbingan para Imam.
Sebagai contoh, dalam tafsir surat Al-Isra (17:72): “Barangsiapa yang buta di dunia ini, maka ia akan lebih buta di akhirat, dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.”
Al-Majlisi menafsirkan ayat ini bahwa yang dimaksud dengan kebutaan bukan hanya kebutaan fisik, melainkan kebutaan hati yang tidak dapat melihat kebenaran, yang hanya bisa dihilangkan dengan bimbingan dari para Imam, yang merupakan penerus ilmu Nabi Muhammad SAW.
2. Tafsir al-Tabarsi (Majma’ al-Bayan)
Al-Tabarsi dalam tafsirnya sering kali menekankan bahwa penglihatan batin atau basori yang dimaksud dalam Al-Qur’an lebih dari sekadar penglihatan mata. Ia mengartikan bahwa kebutaan yang disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an lebih berkaitan dengan penutupan hati dari kebenaran. Al-Tabarsi menafsirkan ayat seperti dalam surat Al-Hajj (22:46): “Maka apakah mereka tidak berjalan di bumi, sehingga hati mereka dapat memahami dan telinga mereka dapat mendengar? Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang di dalam dada.”
Dalam tafsiran ini, al-Tabarsi menjelaskan bahwa ayat ini menyebutkan bahwa penglihatan fisik itu penting, tetapi lebih penting lagi adalah penglihatan hati yang dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang hanya bisa dicapai melalui bimbingan dan ilmu yang diberikan oleh Allah melalui Nabi dan Imam.
3. Tafsir al-Kaf’ami (al-Balad al-Amin)
Al-Kaf’ami juga memberikan penekanan pada konsep penglihatan hati dalam tafsiran-tafsirannya. Dalam tafsirnya, penglihatan batin, atau basori, adalah kemampuan untuk melihat hakikat sesuatu, bukan hanya penampilannya yang luar. Oleh karena itu, ia memandang penglihatan fisik sebagai sesuatu yang terbatas, sementara penglihatan spiritual atau batin adalah yang lebih utama.
Sebagai contoh, dalam tafsirnya terhadap ayat Al-Baqarah (2:18) yang berbunyi:
“Mereka adalah orang-orang yang buta dan tuli, mereka tidak bisa memahami.”
Al-Kaf’ami menjelaskan bahwa meskipun orang-orang tersebut memiliki indera yang sempurna, mereka sebenarnya buta terhadap kebenaran karena mereka tidak menggunakan penglihatan batin mereka. Basori yang sesungguhnya adalah kemampuan untuk melihat kebenaran dengan hati dan akal yang bersih, yang hanya dapat dicapai melalui pencerahan yang diberikan oleh Allah, terutama melalui ilmu yang diwariskan oleh para Imam Ahlul Bayt.
4. Tafsir al-Tustari (al-Tafsir al-Ma’ani)
Al-Tustari, seorang mufassir Syiah awal, lebih fokus pada aspek pencerahan hati dalam tafsirnya. Ia menekankan bahwa penglihatan batin adalah aspek yang lebih penting daripada penglihatan fisik. Dalam tafsiran terhadap surat Al-Baqarah (2:7), yang berbunyi:
“Allah telah mengunci hati mereka dan telinga mereka, dan di atas mata mereka ada penutup.”
Al-Tustari menjelaskan bahwa meskipun mereka memiliki indera fisik yang sempurna, hati mereka telah terkunci dari menerima petunjuk Allah, dan ini menghalangi mereka untuk melihat kebenaran dengan hati mereka.
5. Tafsir al-Sayyid Murtadha al-Askari
Sayyid Murtadha al-Askari, seorang mufassir Syiah kontemporer, mengaitkan penglihatan dengan penerimaan wahyu dan pemahaman spiritual yang mendalam. Dalam tafsiran beliau, penglihatan fisik adalah alat terbatas untuk memahami dunia, sementara basori sejati adalah penglihatan batin yang bisa mengenali hakikat sesuatu, terutama kebenaran Ilahi. Dalam ayat Al-A’raf (7:179) yang menyebutkan kebutaan hati, beliau mengutip bahwa kebutaan yang sebenarnya adalah penutupan hati terhadap kebenaran, yang bisa dibuka hanya melalui petunjuk dan pencerahan dari Allah, terutama yang datang melalui wahyu dan ajaran Imam Ahlul Bayt.
Kesimpulan ; Para mufassir Syiah umumnya sepakat bahwa “basori” dalam Al-Qur’an tidak hanya mengacu pada penglihatan fisik, tetapi juga pada penglihatan spiritual yang lebih tinggi. Penglihatan sejati adalah kemampuan hati untuk memahami kebenaran, yang hanya dapat dicapai melalui ilmu yang diberikan oleh Allah melalui wahyu dan bimbingan para Imam Ahlul Bayt. Dalam pandangan Syiah, kebutaan hati atau spiritual adalah keadaan yang lebih berbahaya daripada kebutaan fisik, dan hanya dengan bimbingan Imam-imam yang diberi ilmu langsung dari Allah, seseorang dapat mencapai pemahaman yang sejati dan penglihatan yang sempurna.
Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat, yang berfokus pada pemahaman spiritual yang lebih mendalam, “basori” atau penglihatan memiliki makna yang sangat luas dan melibatkan aspek batin yang lebih tinggi. Ahli makrifat dan hakikat mengaitkan basori dengan pemahaman tentang hakikat sejati dari segala sesuatu—termasuk pemahaman yang lebih dalam mengenai Tuhan, ciptaan-Nya, dan diri manusia. Mereka melihat penglihatan sebagai sesuatu yang melampaui sekadar melihat dengan mata fisik, tetapi juga mencakup kemampuan untuk melihat kebenaran dan hakikat yang lebih dalam dengan hati dan jiwa.
Berikut adalah pandangan beberapa ahli makrifat dan hakikat mengenai basori:
1. Imam Ali (AS)
Dalam ajaran Syiah dan juga dalam pandangan ahli makrifat, Imam Ali (AS) adalah sosok yang sering dikutip dalam kaitannya dengan “basori”. Imam Ali AS menjelaskan bahwa penglihatan sejati bukanlah penglihatan mata, tetapi penglihatan hati. Beliau sering mengajarkan bahwa kebenaran yang sejati tidak dapat dipahami hanya dengan indera fisik, tetapi melalui makrifat—pemahaman yang datang dari hati yang jernih dan dilimpahi cahaya Ilahi.
Imam Ali AS berkata:
“Bukanlah mata yang buta, tetapi hati yang buta.”
Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak dapat melihat dengan hatinya akan terhalang dari memahami hakikat dan kebenaran yang lebih dalam, meskipun mereka memiliki penglihatan fisik.
2. Al-Hallaj (al-Makrifah dan Wahdat al-Wujud)
Al-Hallaj, seorang sufi besar, dikenal dengan ajarannya tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud) dan makrifat. Dalam pandangannya, basori adalah penglihatan yang muncul dari kesadaran akan kesatuan dengan Tuhan. Menurut Al-Hallaj, penglihatan sejati adalah penglihatan yang menyaksikan segala sesuatu sebagai manifestasi dari Tuhan. Ia mengatakan:
“Aku adalah Aku yang dilihat oleh segala yang dilihat.”
Dengan kata lain, bagi Al-Hallaj, penglihatan yang sejati adalah yang melihat dengan hati, yang menyadari bahwa segala sesuatu di alam ini adalah manifestasi dari Tuhan.
3. Ibn Arabi (al-Hakikat al-Mahdiyyah)
Ibn Arabi, seorang filsuf dan mistikus besar dalam tradisi tasawuf, menyatakan bahwa basori adalah penglihatan batin yang datang melalui pencerahan Ilahi. Ibn Arabi memandang penglihatan sebagai alat untuk melihat hakikat yang tersembunyi, yaitu hakikat yang lebih tinggi yang tidak terlihat oleh mata fisik. Dalam karyanya yang terkenal, Fusus al-Hikam, Ibn Arabi menjelaskan bahwa ada dua jenis penglihatan:
•Penglihatan fisik, yang terbatas pada dunia materi.
•Penglihatan batin, yang merupakan makrifat atau pengetahuan yang datang dari Allah.
Ibn Arabi menggambarkan orang yang telah mencapai makrifat sebagai seseorang yang dapat melihat dengan mata hatinya, yang dapat menembus batas-batas dunia fisik dan menyaksikan realitas yang lebih tinggi dan lebih dalam.
4. Jalaluddin Rumi (Makrifat dan Syuhud)
Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar lainnya, mengajarkan bahwa basori yang sejati adalah penglihatan yang datang melalui makrifat—pemahaman batin yang mendalam tentang kebenaran Ilahi. Dalam banyak syairnya, Rumi menggambarkan bagaimana seseorang yang telah mencapai makrifat atau kesadaran spiritual dapat melihat dengan mata hati, yang lebih tajam daripada penglihatan fisik. Menurut Rumi, basori bukan hanya sekadar melihat, tetapi juga merasakan dan menyaksikan keberadaan Tuhan dalam segala ciptaan-Nya.
Rumi berkata: “Hati adalah mata yang dapat melihat Tuhan, sementara mata fisik hanya dapat melihat dunia.”
Ini menunjukkan bahwa bagi Rumi, basori adalah penglihatan batin yang memungkinkan seseorang untuk merasakan dan melihat keberadaan Tuhan di setiap aspek alam semesta.
5. Shaykh Ahmad al-Ahsai dan al-Makrifah (Pandangan Syiah)
Dalam tradisi Syiah, terutama yang berkaitan dengan pandangan Shaykh Ahmad al-Ahsai, seorang tokoh penting dalam Tasawuf Syiah, basori dipahami sebagai kemampuan untuk melihat dengan hati yang tercerahkan oleh wahyu Ilahi. Al-Ahsai berpendapat bahwa seseorang yang telah memperoleh makrifat sejati tidak hanya akan melihat dunia secara berbeda, tetapi juga akan mampu melihat tanda-tanda kekuasaan Allah yang tersembunyi di balik segala sesuatu. Menurutnya, orang yang memiliki penglihatan hati (basori) akan mampu merasakan kehadiran Tuhan di setiap aspek kehidupan.
Shaykh Ahmad al-Ahsai menekankan bahwa makrifat yang sejati hanya dapat diperoleh melalui pendekatan rohani yang mendalam, yaitu dengan membersihkan hati dari noda duniawi dan menumbuhkan cinta dan kesadaran spiritual kepada Allah. Dalam pandangannya, makrifat dan basori tidak dapat dipisahkan, karena makrifat memberikan penerangan yang memungkinkan seseorang untuk melihat hakikat yang lebih tinggi.
6. Mulla Sadra (al-Hikmah al-Muta’aliyah)
Mulla Sadra, seorang filosof dan pemikir Syiah terkemuka, menjelaskan bahwa basori adalah penglihatan batin yang diperoleh melalui ilmu dan pencerahan Ilahi. Ia mengembangkan filosofi hikmah al-muta’aliyah, yang memandang bahwa penglihatan sejati tidak hanya melibatkan indera fisik, tetapi juga pengetahuan yang lebih tinggi yang diperoleh melalui pencapaian makrifat. Mulla Sadra mengajarkan bahwa makrifat atau pemahaman yang lebih tinggi ini memungkinkan seseorang untuk melihat hakikat dari segala sesuatu dan memahami kedalaman ciptaan Allah, yang tidak dapat diakses hanya melalui penglihatan fisik semata.
Mulla Sadra menjelaskan:
“Manusia tidak hanya dapat mengetahui Allah melalui akal, tetapi melalui pengalaman rohani dan penglihatan batin yang membawa mereka ke pemahaman hakikat-Nya.”
Kesimpulan ; Menurut ahli makrifat dan hakikat, basori atau penglihatan sejati adalah penglihatan yang datang dari pencerahan hati dan pemahaman batin yang mendalam. Penglihatan ini tidak terbatas pada indra fisik, tetapi melibatkan makrifat—pengetahuan spiritual yang membawa seseorang untuk melihat kebenaran hakiki dari segala sesuatu, terutama yang terkait dengan Tuhan dan keberadaan-Nya. Dengan demikian, basori adalah cara untuk menyaksikan dunia dan Tuhan dengan mata hati, yang hanya bisa diperoleh melalui perjalanan spiritual dan pencerahan Ilahi.
Dalam tradisi hakikat Syiah, istilah “basori” atau penglihatan batin memiliki dimensi yang lebih dalam, terkait dengan pemahaman tentang hakikat atau realitas spiritual yang lebih tinggi, yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang memiliki makrifat—yaitu pemahaman dan pencerahan batin yang datang melalui wahyu, dan bimbingan para Imam Ahlul Bayt. Para ahli hakikat Syiah memandang bahwa penglihatan sejati adalah kemampuan untuk melihat realitas Ilahi dan memahami hakikat dari segala ciptaan, yang tidak dapat dijangkau hanya dengan penglihatan fisik atau indera duniawi.
Berikut adalah pandangan beberapa ahli hakikat Syiah terkait dengan basori dan penglihatan batin:
1. Shaykh Ahmad al-Ahsai (Hakikat dan Makrifat)
Shaykh Ahmad al-Ahsai, seorang tokoh terkemuka dalam Tasawuf Syiah dan mysticism Syiah, menekankan pentingnya makrifat (pengetahuan batin) dalam memahami penglihatan hakiki. Dalam pandangannya, basori bukan sekadar penglihatan dengan mata fisik, tetapi lebih kepada penglihatan hati yang diperoleh melalui pencapaian spiritual yang tinggi. Penglihatan ini hanya bisa dimiliki oleh mereka yang telah mendapat pencerahan batin melalui ilmu yang diwariskan oleh para Imam Ahlul Bayt.
Al-Ahsai mengajarkan bahwa basori yang sejati adalah kemampuan untuk melihat dengan hati, di mana hati tersebut dilimpahi oleh cahaya Ilahi dan dipenuhi dengan makrifat. Orang yang memiliki makrifat sejati bisa melihat hakikat dari segala sesuatu dan melihat Allah di balik segala ciptaan-Nya. Sebagai contoh, dalam salah satu ajarannya, al-Ahsai mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan “buta” dalam Al-Qur’an bukanlah kebutaan fisik, tetapi kebutaan hati yang tidak bisa melihat kebenaran hakiki.
2. Mulla Sadra (al-Hikmah al-Muta’aliyah)
Mulla Sadra, seorang filosof dan pemikir Syiah yang terkenal dengan filosofi hikmah al-muta’aliyah (hikmah yang lebih tinggi), mengajarkan bahwa penglihatan yang sejati (basori) melibatkan penglihatan yang lebih dalam daripada penglihatan fisik. Dalam pandangan Mulla Sadra, basori adalah penglihatan yang datang dari kesadaran spiritual yang lebih tinggi, yang memungkinkan seseorang untuk melihat hakikat dari segala sesuatu, bukan hanya apa yang tampak di permukaan.
Dalam karya-karyanya, Mulla Sadra menjelaskan bahwa manusia tidak hanya bisa mengetahui Tuhan melalui akal, tetapi juga melalui pengalaman batin yang mendalam. Ia mengatakan bahwa penglihatan batin ini memungkinkan seseorang untuk mencapai pemahaman hakikat yang lebih tinggi, yakni bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan manifestasi dari Tuhan. Sebagai contoh, dalam al-Hikmah al-Muta’aliyah, Mulla Sadra menjelaskan bahwa setiap benda di alam semesta memiliki hakikat Ilahi yang hanya bisa disaksikan dengan penglihatan hati yang dilimpahi dengan ilmu dan pencerahan spiritual.
3. Ibn Arabi (Pandangan tentang Wahdat al-Wujud)
Meskipun Ibn Arabi bukan seorang tokoh Syiah secara eksplisit, ajaran-ajarannya tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud) sangat mempengaruhi pemikiran dalam tradisi Syiah dan banyak dipelajari oleh para ahli hakikat Syiah. Dalam pandangan Ibn Arabi, basori atau penglihatan batin yang sejati adalah kemampuan untuk melihat Tuhan dalam segala ciptaan-Nya. Bagi Ibn Arabi, segala yang ada di alam ini merupakan manifestasi dari Tuhan, dan penglihatan batin atau makrifat adalah cara untuk melihat Tuhan dalam setiap bentuk dan fenomena di dunia ini.
Dalam karyanya, Fusus al-Hikam, Ibn Arabi menggambarkan bahwa orang yang telah mencapai makrifat Ilahi akan dapat melihat dunia ini sebagai kesatuan wujud, di mana segala sesuatu adalah refleksi dari Tuhan yang satu. Oleh karena itu, basori sejati adalah penglihatan yang melihat kesatuan dalam segala yang ada, yang hanya bisa dicapai oleh mereka yang telah mencapai tingkat pemahaman batin yang tinggi.
4. Imam Ali (AS) dan Pandangannya tentang Penglihatan Hakiki
Dalam ajaran Imam Ali (AS), penglihatan sejati (basori) lebih ditekankan pada penglihatan hati dan pemahaman spiritual daripada pada penglihatan fisik. Imam Ali (AS) terkenal dengan ungkapannya,
“Bukan mata yang buta, tetapi hati yang buta.”
Ini menunjukkan bahwa penglihatan yang hakiki bukanlah penglihatan dengan mata, tetapi penglihatan batin yang datang dari hati yang tercerahkan. Imam Ali (AS) juga sering mengajarkan bahwa untuk memahami hakikat dan kebenaran Ilahi, seseorang harus memiliki makrifat, yaitu pemahaman yang datang melalui hati yang terbuka dan bersih dari noda-noda duniawi. Sebagai contoh, dalam khutbahnya di Nahjul Balagha, beliau berbicara tentang hakikat dunia dan akhirat, dan menjelaskan bahwa hanya orang-orang yang memiliki penglihatan batin yang dapat memahami dan menyaksikan hakikat tersebut.
5. Sayyid Murtadha al-Askari (Tafsir dan Makrifat Syiah)
Sayyid Murtadha al-Askari, seorang ulama kontemporer Syiah, juga menekankan bahwa basori atau penglihatan hakiki berhubungan dengan makrifat yang datang melalui ilmu Ilahi dan bimbingan para Imam. Menurutnya, makrifat adalah pencerahan hati yang memungkinkan seseorang untuk melihat kebenaran di balik apa yang tampak secara lahiriah. Dalam tafsirnya, al-Askari menjelaskan bahwa basori yang dimaksud dalam Al-Qur’an adalah kemampuan untuk melihat hakikat Ilahi melalui hati yang telah disucikan dan diterangi dengan ilmu yang diberikan oleh Allah dan para Imam.
Kesimpulan ; Bagi para ahli hakikat Syiah, basori bukanlah penglihatan fisik biasa, melainkan penglihatan batin yang datang melalui makrifat—pengetahuan batin yang mendalam tentang hakikat Ilahi. Mereka berpendapat bahwa hanya dengan pencerahan hati dan bimbingan dari para Imam Ahlul Bayt, seseorang dapat mencapai penglihatan sejati yang memungkinkan untuk melihat realitas yang lebih tinggi dan lebih dalam tentang dunia dan Tuhan. Penglihatan batin ini, yang lebih disebut sebagai makrifat, memberikan seseorang kemampuan untuk menyaksikan kehadiran Tuhan dalam segala ciptaan-Nya, serta memahami hakikat dari segala sesuatu yang ada di alam semesta.
Dalam tradisi Syiah, basori atau penglihatan batin sering kali dipahami sebagai kemampuan untuk melihat kebenaran yang lebih dalam dan hakikat yang tersembunyi dari dunia ini, yang hanya bisa diperoleh melalui makrifat—pengetahuan spiritual yang datang dari wahyu dan bimbingan para Imam Ahlul Bayt.
Berikut adalah beberapa kisah dan cerita yang berkaitan dengan penglihatan batin ini, terutama dalam konteks ajaran Syiah dan pandangan tentang basori:
1. Kisah Imam Ali (AS) dan Penglihatan Hati
Salah satu kisah terkenal yang menunjukkan makna basori dalam tradisi Syiah adalah kisah Imam Ali (AS) yang dikenal dengan kebijaksanaan dan penglihatannya yang tajam. Suatu hari, Imam Ali (AS) berada di medan perang Perang Uhud. Ketika beliau sedang bertempur, beliau melihat seorang prajurit yang sedang menghadapinya dengan pedang terhunus. Imam Ali (AS) kemudian bertanya kepada prajurit tersebut:
“Mengapa kamu melawan aku?”
Prajurit itu menjawab, “Aku tidak melawan kamu, tetapi aku sedang melawan ketakutan dalam diriku.”
Imam Ali (AS) tersenyum dan berkata, “Ketakutan itu adalah bayangan dari hati, bukan penglihatan mata.”
Kisah ini menunjukkan bahwa penglihatan sejati (basori) datang dari pemahaman batin yang mendalam dan tidak hanya terfokus pada apa yang tampak di luar. Imam Ali (AS) mampu melihat hakikat ketakutan yang dirasakan prajurit tersebut, sebuah penglihatan batin yang lebih tajam daripada sekadar penglihatan fisik.
2. Kisah Imam Ali (AS) dan Malam Pertempuran Khandaq
Dalam peristiwa lain yang juga menunjukkan basori, Imam Ali (AS) terkenal dengan penglihatannya yang tajam saat pertempuran Khandaq (Perang Parit). Dalam pertempuran ini, ketika para sahabat terdesak oleh serangan musuh, Imam Ali (AS) maju untuk menghadapi seorang pejuang yang terkenal sangat kuat dan tangguh.
Sebelum pertempuran dimulai, Imam Ali (AS) memandang musuh tersebut dengan tatapan penuh pengertian. Beliau berkata, “Wahai musuh, apa yang kamu cari di sini? Apakah kamu mencari kemenangan duniawi ataukah kebenaran yang hakiki?”
Musuh tersebut terkejut dengan pertanyaan itu karena tidak ada seorang pun yang bisa melihat lebih dalam ke dalam hati dan niat seseorang seperti Imam Ali (AS). Dengan penglihatan batinnya yang tajam, Imam Ali (AS) melihat motivasi dan niat musuhnya, dan akhirnya berhasil mengalahkan lawannya.
Kisah ini memperlihatkan bagaimana basori atau penglihatan hati dapat menembus realitas luar dan memahami motivasi batin seseorang.
3. Kisah Imam Ali (AS) dan Ketajaman Penglihatan dalam Kehidupan Sehari-hari
Imam Ali (AS) dikenal dengan ketajaman penglihatannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam memberikan nasihat kepada para sahabat. Suatu kali, seorang sahabat datang kepada beliau dan menceritakan kesulitan yang sedang dihadapinya. Imam Ali (AS) tidak hanya mendengarkan dengan mata, tetapi juga dengan hatinya, memahami setiap nuansa dalam permasalahan tersebut. Beliau memberi solusi yang sangat tepat dan sesuai dengan kondisi batin sahabat tersebut.
Imam Ali (AS) berkata, “Jika hati kita bersih, maka mata kita akan melihat dunia dengan kebenaran.”
Ini adalah contoh lain dari bagaimana basori dalam ajaran Syiah bukan hanya terbatas pada penglihatan fisik, tetapi juga melibatkan pemahaman yang dalam tentang hakikat dan niat yang tersembunyi dalam diri setiap individu.
4. KisahImam Husain (AS) dalam Pertempuran Karbala
Salah satu kisah paling mendalam tentang basori dalam tradisi Syiah adalah peristiwa Perang Karbala, di mana Imam Husain (AS) dan keluarganya menghadapi pasukan Yazid. Sebelum pertempuran besar itu, Imam Husain (AS) menunjukkan penglihatan batin atau basori yang luar biasa, yang mencerminkan pemahamannya tentang takdir dan hakikat perjuangan untuk keadilan.
Pada malam sebelum pertempuran, Imam Husain (AS) mengumpulkan sahabat-sahabatnya dan keluarga di tenda. Beliau berbicara dengan penuh ketenangan, menyampaikan bahwa saat itu adalah ujian besar dan bahwa ia sendiri sudah tahu apa yang akan terjadi, yaitu syahidnya beliau di medan Karbala.
Imam Husain (AS) berkata:
“Aku melihat bahwa jalan ini adalah jalan yang harus aku jalani, dan aku tidak akan mundur, karena aku melihat dengan hatiku bahwa ini adalah perjuangan untuk kebenaran.”
Basori dalam konteks ini adalah kemampuan Imam Husain (AS) untuk melihat takdir Ilahi yang telah digariskan untuknya, dan dengan penglihatan batinnya yang jernih, beliau mampu menghadapi penderitaan dan syahadah dengan penuh keberanian dan ketabahan.
5. Kisah Mulla Sadra dan Penglihatan Batinnya
Mulla Sadra, seorang tokoh besar dalam pemikiran Syiah dan filsafat, juga memberikan banyak ajaran mengenai basori dalam konteks pemahaman hakikat dan makrifat. Mulla Sadra, melalui filosofinya tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud), mengajarkan bahwa segala yang ada adalah manifestasi dari Tuhan, dan untuk melihat hakikat tersebut, seseorang perlu mencapai makrifat.
Dalam salah satu cerita terkenal, Mulla Sadra menceritakan bagaimana ia pernah bermeditasi di pegunungan untuk mencari pencerahan. Selama meditasi, ia mengalami penglihatan batin yang sangat mendalam, di mana ia menyaksikan kesatuan antara dirinya dan alam semesta. Penglihatannya yang batin ini memberinya pemahaman bahwa segala sesuatu yang ada adalah manifestasi dari Tuhan.
Kisah ini menunjukkan bagaimana basori dalam pandangan Mulla Sadra adalah kemampuan untuk melihat hakikat Ilahi yang ada di balik segala ciptaan.
Kesimpulan ; Cerita-cerita di atas menunjukkan bahwa dalam ajaran Syiah, basori atau penglihatan batin adalah kemampuan untuk melihat kebenaran yang tersembunyi, yang tidak dapat dicapai hanya dengan penglihatan fisik. Imam Ali (AS), Imam Husain (AS), Mulla Sadra, dan banyak tokoh besar lainnya mengajarkan bahwa penglihatan sejati datang dari makrifat atau pengetahuan batin yang dipenuhi dengan cahaya Ilahi. Dengan penglihatan batin ini, seseorang dapat melihat hakikat dari segala sesuatu, menembus batas-batas dunia fisik, dan memahami keberadaan Tuhan di balik ciptaan-Nya.
Manfaat dari penglihatan batin atau basori dalam konteks spiritual, kehidupan sehari-hari, maupun dalam perjuangan untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. Berikut adalah beberapa manfaat utama dari basori:
1. Mendekatkan Diri kepada Allah
Basori yang sejati, yaitu penglihatan yang dilihat dengan hati yang tercerahkan, memungkinkan seseorang untuk merasakan kehadiran Ilahi dalam segala ciptaan-Nya. Dengan demikian, seseorang yang memiliki penglihatan batin akan lebih mudah merasakan kedekatan dengan Allah, karena mereka tidak hanya melihat dengan mata fisik, tetapi juga dengan hati yang peka terhadap cahaya Ilahi.
•Imam Ali (AS) mengajarkan bahwa hati yang suci dan penuh makrifat dapat melihat hakikat Allah dalam segala ciptaan-Nya. Penglihatan batin ini memperkuat hubungan spiritual seseorang dengan Tuhan dan membantunya untuk lebih ikhlas dalam ibadah.
2. Pencerahan dalam Menghadapi Ujian Hidup
Penglihatan batin memberikan seseorang kemampuan untuk memahami hakikat dari setiap peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Dengan makrifat, seseorang dapat melihat ujian hidup sebagai bagian dari takdir Ilahi dan pelajaran spiritual untuk memperbaiki diri.
•Sebagai contoh, dalam peristiwa Karbala, Imam Husain (AS) dengan penglihatan batinnya memahami bahwa pengorbanannya adalah bagian dari perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran Ilahi, meskipun hal itu akan mengarah pada syahadah. Ini memberi ketenangan batin, karena ia melihat takdirnya dengan perspektif yang lebih tinggi.
3. Mengatasi Keterbatasan Penglihatan Fisik
Basori mengajarkan bahwa mata fisik manusia memiliki keterbatasan dalam melihat kebenaran sejati. Hanya dengan penglihatan batin seseorang bisa memahami hakikat di balik setiap peristiwa dan ciptaan. Hal ini memberi manfaat dalam:
•Menyingkap kedalaman makna dari dunia ini dan memahami bahwa setiap fenomena yang tampak di luar hanyalah perwujudan dari realitas yang lebih dalam.
•Membedakan antara ilusi duniawi dan kebenaran Ilahi, sehingga seseorang tidak mudah terjebak dalam godaan dunia yang bersifat sementara.
4. Meningkatkan Kualitas Ibadah
Penglihatan batin yang bersih dapat meningkatkan kualitas ibadah seseorang. Seseorang yang memiliki penglihatan batin yang murni akan beribadah dengan kesadaran yang lebih dalam dan lebih khusyuk. Dalam setiap ibadah, mereka tidak hanya melihatnya sebagai rutinitas, tetapi sebagai waktu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memahami hakikat yang ada di balik perintah-Nya.
•Sebagai contoh, dalam shalat, seseorang dengan basori yang tinggi akan mampu merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap gerakan dan bacaan, dan ini akan membuat ibadah lebih bermakna dan mendalam.
5. Memberikan Kedamaian dan Ketenteraman Hati
Basori membantu seseorang untuk mencapai ketenangan batin yang lebih dalam, karena dengan penglihatan batin, mereka dapat mengenali tujuan hidup mereka yang sesungguhnya, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan mencari ridha-Nya. Mereka juga lebih mudah menerima ujian dan cobaan hidup dengan lapang dada, karena dapat melihatnya sebagai bagian dari proses pembentukan spiritual.
•Imam Ali (AS) dalam banyak khutbahnya menekankan pentingnya pembersihan hati untuk mencapai kedamaian batin. Penglihatan batin yang jernih akan membuat seseorang mampu menerima segala takdir dengan sabar, tanpa merasa cemas atau tertekan.
6. Memperoleh Hikmah dalam Memimpin dan Membimbing Orang Lain
Salah satu manfaat penting dari basori dalam tradisi Syiah adalah kemampuannya untuk memberikan hikmah atau kebijaksanaan dalam memimpin dan membimbing orang lain. Pemimpin yang memiliki makrifat dan penglihatan batin dapat mengambil keputusan yang bijaksana, adil, dan penuh kasih sayang.
•Imam Ali (AS) adalah contoh pemimpin yang dikenal dengan kebijaksanaannya. Beliau mampu memimpin dengan hati yang jernih dan penglihatan batin yang tajam, mampu melihat lebih jauh dari sekadar kepentingan duniawi dan selalu memprioritaskan kebaikan umat di dunia dan akhirat.
7. Melihat Kebenaran dalam Diri Sendiri
Salah satu manfaat besar dari basori adalah kemampuan untuk melihat kebenaran dalam diri sendiri—yaitu menyadari kelemahan, kesalahan, dan potensi diri yang sebenarnya. Penglihatan batin ini memungkinkan seseorang untuk berintrospeksi secara jujur dan membuka jalan bagi perbaikan diri.
•Dengan makrifat yang mendalam, seseorang dapat melihat diri mereka dari perspektif yang lebih tinggi, dan ini mendorong mereka untuk terus memperbaiki diri, memperbaiki akhlak, dan menambah kebaikan dalam hidup.
8. Menjaga Keikhlasan dan Kebenaran
Basori memungkinkan seseorang untuk tetap berada di jalur yang benar, dengan keikhlasan dan kebenaran sebagai panduan hidup. Dengan penglihatan batin, seseorang mampu membedakan antara kebenaran dan kebohongan, antara ikhlas dan riya dalam setiap tindakan.
•Dalam hal ini, Imam Ali (AS) mengajarkan pentingnya menjaga keikhlasan dalam setiap perbuatan, karena penglihatan batin akan memperlihatkan niat di balik setiap tindakan. Seorang mukmin dengan penglihatan batin yang tajam akan selalu berusaha untuk melakukan segala sesuatu karena Allah semata, bukan untuk mendapatkan pujian atau penghargaan duniawi.
9. Menghubungkan Diri dengan Para Imam Ahlul Bayt
Dalam ajaran Syiah, para Imam Ahlul Bayt dianggap sebagai penjaga makrifat dan cahaya Ilahi. Basori memungkinkan seorang mukmin untuk lebih memahami ajaran para Imam dan meneladani kehidupan mereka. Para Imam Ahlul Bayt memiliki penglihatan batin yang sangat tajam, yang memungkinkan mereka untuk memimpin umat dengan penuh kebijaksanaan dan kasih sayang.
•Dengan mengembangkan basori, seorang pengikut Syiah dapat lebih mudah memahami wasiat-wasiat dan ajaran-ajaran yang diajarkan oleh Imam Ali (AS), Imam Hasan (AS), Imam Husain (AS), dan Imam-imam lainnya.
10. Membuka Pintu Pencerahan Spiritual
Basori adalah salah satu pintu utama untuk mencapai pencerahan spiritual dalam ajaran Syiah. Melalui penglihatan batin ini, seseorang bisa membuka pintu-pintu ilmu yang lebih tinggi dan lebih mendalam tentang Tuhan, kehidupan, dan alam semesta. Ini memungkinkan seseorang untuk berkembang secara spiritual dan mencapai maqamat atau tingkat-tingkat spiritual yang lebih tinggi.
•Pencerahan ini juga membimbing seseorang untuk mengutamakan nilai-nilai yang lebih tinggi dalam hidup, seperti kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan pengorbanan, yang merupakan inti dari ajaran Syiah.
Kesimpulan ; Manfaat basori dalam tradisi Syiah sangat luas dan mendalam, mencakup kedekatan dengan Allah, peningkatan kualitas ibadah, ketenangan batin, kebijaksanaan dalam memimpin, serta kemampuan untuk melihat kebenaran sejati dalam diri dan dunia. Dengan penglihatan batin yang murni, seorang mukmin dapat memperoleh makrifat yang mendalam dan mengalami perjalanan spiritual yang penuh pencerahan menuju kebenaran Ilahi.
Doa yang terkait dengan basori (penglihatan batin) yang bertujuan untuk membuka hati dan meningkatkan kemampuan spiritual dalam melihat kebenaran Ilahi. Doa-doa ini membantu seorang mukmin untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, memperoleh pencerahan batin, dan memperbaiki diri dalam menjalani hidup.
1. Doa untuk Meminta Pencerahan dan Pembukaan Hati
Doa ini sering dibaca oleh mereka yang menginginkan pencerahan batin dan kemampuan untuk melihat kebenaran melalui basori:
اللّهُمَّ فَتِّحْ بَصَرِي وَبَصِيرَتِي وَفَطِنَتِي وَفَهْمِي
Allahumma fatiḥ basari wa basīratī wa fatīnati wa fahmī
“Ya Allah, bukakanlah penglihatanku, dan berikanlah kepadaku penglihatan batin, kecerdasan, dan pemahaman.”
Doa ini memohon kepada Allah untuk membuka hati dan mata batin agar seseorang dapat memahami kebenaran yang ada di sekitar mereka.
2. Doa untuk Memohon Perlindungan dari Penglihatan yang Salah
Doa ini mengandung permohonan perlindungan dari penglihatan yang keliru dan agar Allah memberikan pandangan yang benar:
اللّهُمَّ لَا تَجْعَلْ بَصَرِي غَافِلًا عَنْ حَقِّكَ
Allahumma lā taj‘al basarī ghāfilan ‘an ḥaqqik
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan penglihatanku lalai dari hak-Mu.”
Doa ini bertujuan agar seseorang tidak tergoda oleh ilusi duniawi, dan selalu memiliki pandangan yang jernih terhadap kebenaran Ilahi.
3. Doa untuk Meminta Kejernihan Hati dan Penglihatan
Doa ini bertujuan untuk meminta kepada Allah agar hati seseorang menjadi terang dan jernih, serta agar penglihatannya dapat menembus lapisan-lapisan duniawi:
اللّهُمَّ طَهِّرْ قَلْبِي وَبَصَرِي وَفَكِّ حُجُبَ الْغِشَاءِ عَنْهُ
Allahumma ṭahhir qalbī wa basarī wa fakk ḥujub al-ghishā’ ‘anhu
“Ya Allah, sucikanlah hatiku dan penglihatanku, dan hilangkanlah tabir dari pandanganku.”
Doa ini memohon kepada Allah untuk membersihkan hati dan penglihatan agar seseorang dapat melihat dengan mata hati yang jernih, menghindari kebingungan dan kesesatan.
4. Doa dari Al-Kafi untuk Pembersihan Hati dan Pembukaan Ilmu
Dalam hadis yang terdapat dalam kitab al-Kafi, Imam Ali (AS) mengajarkan sebuah doa yang sangat bermanfaat untuk pembersihan hati dan pembukaan ilmu:
اللّهُمَّ اَغْنِنِي بِالْفَهمِ وَبِاللُّطْفِ وَالْبَصِيرَةِ
Allahumma aghninī bil-fahm wa bi-luṭfi wa-l-baṣīrah
“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan pemahaman, kelembutan, dan penglihatan batin.”
Doa ini mengandung permohonan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang hidup, kebenaran, dan ajaran agama, serta diberikan penglihatan batin yang dapat membawa seseorang lebih dekat kepada kebenaran Ilahi.
5. Doa untuk Membuka Mata Batin dan Melihat Kebenaran
Doa ini memohon agar Allah membuka mata batin seseorang untuk melihat kebenaran sejati di dunia ini dan mencapai makrifat:
اللّهُمَّ اجْعَلْ قَلْبِي مُنَارًا وَبَصَرِي فَاتِحًا
Allahumma aj‘al qalbī munāran wa basarī fātiḥan
“Ya Allah, jadikanlah hatiku terang benderang dan penglihatanku terbuka.”
Doa ini mengharapkan penerangan hati dan pembukaan penglihatan batin untuk dapat melihat hakikat dan kebenaran sejati yang tersembunyi.
6. Doa untuk Melihat dengan Hati yang Tertajam
Doa ini bertujuan untuk memohon kepada Allah agar memberkahi seseorang dengan penglihatan batin yang tajam dan peka terhadap kebenaran.
اللّهُمَّ لَا تُعَتِّمْ بَصَرِي عَنْ نُورِك
Allahumma lā tu‘at’ṭim basarī ‘an nūrik
“Ya Allah, janganlah Engkau matikan penglihatanku dari cahaya-Mu.”
Doa ini memohon agar hati dan penglihatan seseorang selalu terbuka untuk menerima cahaya Ilahi dan tidak tertutup oleh kebodohan atau kebingungan.
7. Doa untuk Meminta Pandangan yang Lurus dan Benar
Doa ini adalah doa untuk memohon kepada Allah agar memberi kemampuan untuk melihat dunia ini dengan pandangan yang lurus dan benar, sesuai dengan kehendak-Nya:
اللّهُمَّ اجْعَلْ بَصَرِي فِي طَرِيقِكَ وَقَلْبِي عَلَىٰ إِيمَانِكَ
Allahumma aj‘al basarī fī ṭarīqik wa qalbī ‘alā īmānik
“Ya Allah, jadikanlah penglihatanku di jalan-Mu dan hatiku dalam iman kepada-Mu.”
Doa ini bertujuan agar seseorang selalu dapat melihat segala sesuatu dengan pandangan yang benar, yang sesuai dengan petunjuk dan iman kepada Allah.
8. Doa untuk Memperoleh Kejernihan Hati dan Pemahaman
Doa ini bertujuan untuk meminta kepada Allah agar diberikan hati yang suci dan penglihatan yang jelas, serta pemahaman yang mendalam tentang agama dan kehidupan:
اللّهُمَّ جَنِّبْنِي غَفْلَةَ الْقَلْبِ وَظُلْمَاتِ بَصَرِي
Allahumma jannibnī ghaflat al-qalb wa zulmāt basarī
“Ya Allah, jauhkanlah aku dari kelalaian hati dan kegelapan penglihatanku.”
Doa ini memohon kepada Allah untuk melindungi diri dari kekeliruan hati dan penglihatan yang keliru, serta memberikan pemahaman yang benar dan terang tentang hakikat hidup.
Kesimpulan ; Doa-doa di atas merupakan cara untuk memohon kepada Allah agar diberikan pencerahan batin, penglihatan yang jernih, dan pemahaman yang mendalam tentang kebenaran Ilahi. Dengan doa-doa ini, seorang mukmin dapat memperbaiki hati, memperluas penglihatan batin (basori), dan memperdalam makrifat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menjalani hidup dengan penuh kedamaian dan petunjuk-Nya.
Comments (0)
There are no comments yet