Kolom: Makna Laa Ilaha Illallah (Bagian ke-2)

Supa Athana - Tekno & Sains
28 October 2024 09:43
Laa ilaha illallah sebagai kalimat yang mengajarkan pembersihan diri, kesatuan dengan Allah, dan pencapaian makrifat yang hanya mungkin melalui penghayatan dan kesadaran batin yang mendalam.
Penulis: Muhammad Taufiq Ali Yahya
             Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al0Quran

Menurut para mufassir atau ahli tafsir, kalimat Laa ilaha illallah memiliki banyak makna mendalam yang dijelaskan melalui berbagai tafsir Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa pandangan dari mufassir terkenal tentang makna dan pentingnya kalimat ini:
 
1.Ibnu Katsir
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Laa ilaha illallah menegaskan keesaan Allah dalam rububiyyah (kepenguasaan) dan uluhiyyah (hak untuk diibadahi). Menurutnya, kalimat ini adalah pernyataan mutlak bahwa hanya Allah yang berhak untuk diibadahi, dan tidak ada satu pun makhluk atau benda yang memiliki kekuasaan atau hak tersebut. Ia juga menekankan bahwa kalimat ini adalah inti dari dakwah para nabi.
2.Al-Qurtubi
Al-Qurtubi menafsirkan Laa ilaha illallah sebagai dasar tauhid yang mengharuskan penafian terhadap segala bentuk penyembahan selain kepada Allah dan menegaskan bahwa hanya Allah yang layak disembah. Dalam tafsirnya, ia juga menyebutkan bahwa kalimat ini adalah inti dari keimanan, dan mengucapkannya harus diiringi dengan pemahaman serta keyakinan akan maknanya.
3.Al-Razi
Fakhruddin Al-Razi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa Laa ilaha illallah tidak hanya menunjukkan pada keesaan Allah, tetapi juga menunjukkan bahwa tidak ada yang memiliki kekuatan atau keagungan selain Allah. Menurut Al-Razi, kalimat ini mengajak setiap Muslim untuk menolak segala bentuk kebergantungan pada makhluk atau materi, karena hanya Allah yang berkuasa dan memiliki sifat-sifat sempurna.
4.Ibnu Jarir Ath-Thabari
Dalam tafsir Ath-Thabari, Laa ilaha illallah diuraikan sebagai pengesaan Allah dalam hal rububiyyah dan uluhiyyah. Ia menjelaskan bahwa kalimat ini mengandung makna bahwa hanya Allah yang menciptakan, mengatur, dan berhak disembah, sehingga seorang Muslim tidak boleh meminta pertolongan atau berdoa kepada selain Allah.
5.Al-Baghawi
Al-Baghawi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Laa ilaha illallah adalah kalimat yang menolak segala bentuk kesyirikan dan memurnikan ibadah kepada Allah semata. Menurutnya, setiap bentuk perbuatan yang menyekutukan Allah, baik dalam doa, penyembahan, maupun cinta, bertentangan dengan makna kalimat ini.
6.As-Sa’di
Dalam tafsir As-Sa’di, kalimat ini ditafsirkan sebagai penegasan tauhid uluhiyyah. Ia menyatakan bahwa Laa ilaha illallah berarti menafikan segala sesuatu yang dianggap berkuasa atau berhak disembah selain Allah. Ini mencakup seluruh bentuk peribadahan, baik yang terlihat maupun tersembunyi, harus ditujukan hanya kepada Allah.
7.Syekh Al-Alusi
Syekh Al-Alusi dalam tafsirnya “Ruh Al-Ma’ani” menjelaskan bahwa Laa ilaha illallah bukan hanya pernyataan lisan, tetapi harus dihayati dengan hati dan dijalankan dalam amal. Menurutnya, kalimat ini mengharuskan seorang Muslim untuk berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan dan bergantung penuh pada Allah dalam segala hal.
8.Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah menekankan bahwa Laa ilaha illallah mengandung makna ketaatan dan cinta yang sempurna hanya kepada Allah. Menurutnya, pernyataan ini harus menggerakkan hati seseorang untuk benar-benar menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam hidupnya, bebas dari pengaruh syahwat atau godaan dunia.
9.Al-Jalalain (Imam Al-Mahalli dan Imam As-Suyuti)
Tafsir Al-Jalalain menyebutkan bahwa Laa ilaha illallah adalah kalimat yang mengajarkan umat untuk tidak menganggap ada sesuatu pun yang setara dengan Allah dalam hal rububiyyah dan uluhiyyah. Kedua mufassir ini juga menegaskan bahwa kalimat ini adalah dasar dari seluruh ajaran Islam.
10.Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab
Dalam kitabnya “Kitab Tauhid,” Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan bahwa kalimat ini merupakan pemurnian ibadah yang menjadikan Allah satu-satunya tujuan penghambaan. Beliau juga menekankan pentingnya memahami Laa ilaha illallah bukan sekadar ucapan lisan, tetapi melalui keyakinan hati dan praktik nyata dalam kehidupan.
 
Menurut para mufassir, kalimat Laa ilaha illallah adalah inti dari keimanan dan pintu menuju Islam, yang menuntut seorang Muslim untuk mengesakan Allah dalam segala aspek kehidupannya, serta menghindari segala bentuk syirik dan ketergantungan pada selain-Nya.
 
Dalam tafsir Syiah, kalimat Laa ilaha illallah
juga diakui sebagai inti dari tauhid dan pengesaan Allah, sama seperti yang diyakini oleh para mufassir lainnya. 
 
Para mufassir Syiah memberikan penekanan pada aspek-aspek spiritual dan implikasi moral dari kalimat ini. 
 
Berikut adalah pandangan beberapa mufassir terkenal dari kalangan Syiah tentang makna Laa ilaha illallah:
 
1.Allamah Thabathaba’i
Dalam tafsirnya Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, Allamah Thabathaba’i menekankan bahwa Laa ilaha illallah menunjukkan keesaan mutlak Allah dalam penciptaan, pengaturan, dan penyembahan. Beliau menjelaskan bahwa memahami kalimat ini tidak cukup hanya dengan ucapan, tetapi harus melalui penghayatan dan kesadaran mendalam bahwa Allah adalah satu-satunya sumber wujud dan kebenaran.
2.Ayatullah Murtadha Mutahhari
Murtadha Mutahhari, seorang ulama dan pemikir Syiah, menjelaskan bahwa Laa ilaha illallah berarti menolak segala bentuk ketergantungan kepada dunia dan makhluk, serta mengarahkan hati sepenuhnya kepada Allah. Dalam pandangannya, kalimat ini membentuk dasar untuk membersihkan jiwa dari kecenderungan duniawi dan ego yang menghambat hubungan manusia dengan Tuhan.
3.Imam Khomeini
Imam Khomeini dalam berbagai tulisan dan ceramahnya menguraikan makna Laa ilaha illallah sebagai dasar dari spiritualitas Islam. Menurutnya, kalimat ini adalah langkah awal menuju makrifatullah (pengenalan kepada Allah), yang mengajak setiap Muslim untuk membersihkan hati dari kebergantungan pada selain Allah dan mencapai kebebasan spiritual sejati.
4.Ayatullah Jawadi Amuli
Dalam tafsir dan karya-karyanya, Ayatullah Jawadi Amuli menekankan bahwa Laa ilaha illallah adalah pengakuan atas kesatuan dan kekuasaan Allah dalam segala aspek kehidupan. Menurutnya, kalimat ini mengharuskan seorang Muslim untuk melihat semua ciptaan sebagai manifestasi kekuasaan dan kebesaran Allah, yang hanya berfungsi sebagai jalan menuju Allah, bukan tujuan akhir.
5.Allamah Muhammad Husain Tabatabai
Dalam tafsirnya, Allamah Tabatabai juga menegaskan bahwa Laa ilaha illallah adalah pengakuan penuh atas rububiyyah dan uluhiyyah Allah. Dia berpendapat bahwa kalimat ini mencerminkan hakikat tauhid yang membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan materi, menjadikannya manusia yang merdeka di bawah bimbingan Tuhan.
6.Ayatullah Sayyid Kamal al-Haydari
Al-Haydari dalam tafsirnya menyatakan bahwa Laa ilaha illallah adalah prinsip yang menuntut pemahaman mendalam tentang ketergantungan manusia pada Allah dalam segala aspek. Beliau menjelaskan bahwa dengan menghayati kalimat ini, seorang Muslim akan mengarahkan hidupnya hanya untuk Allah, menghilangkan ego dan kesombongan dalam hatinya.
7.Syekh Muhammad Baqir al-Sadr
Syekh Baqir al-Sadr dalam tafsirnya menguraikan bahwa Laa ilaha illallah adalah penegasan tauhid dalam aspek kehidupan sosial dan politik. Beliau menekankan bahwa kalimat ini menuntut Muslim untuk berjuang melawan ketidakadilan, karena hanya Allah yang memiliki otoritas tertinggi.
8.Sayyid Muhammad Husayn Fadlallah
Dalam tafsirnya, Sayyid Fadlallah menjelaskan bahwa Laa ilaha illallah mengajarkan seorang Muslim untuk menempatkan ketergantungan penuh kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari. Kalimat ini, menurutnya, juga mendorong seorang Muslim untuk merendahkan ego dan menghilangkan kecintaan pada dunia yang berlebihan.
9.Ayatullah Makarem Shirazi
Dalam tafsirnya Tafsir Nemuneh, Ayatullah Makarem Shirazi menafsirkan Laa ilaha illallah sebagai pernyataan teologis yang menuntut pemurnian jiwa. Beliau menjelaskan bahwa seorang Muslim harus menafikan setiap bentuk penghambaan kepada selain Allah, termasuk hawa nafsu, demi mencapai kedekatan spiritual dengan Allah.
10.Ayatullah Sayyid Ali Khamenei
Ayatullah Khamenei mengajarkan bahwa Laa ilaha illallah adalah kalimat pembebasan yang menunjukkan bahwa seorang Muslim harus merdeka dari segala bentuk perbudakan, baik material maupun spiritual. Kalimat ini, menurutnya, adalah dasar dari kemerdekaan manusia di bawah kekuasaan mutlak Allah.
 
Mufassir dari kalangan Syiah menekankan bahwa Laa ilaha illallah bukan sekadar kalimat lisan, tetapi mengharuskan keyakinan hati, pemahaman mendalam, serta amal nyata dalam kehidupan. Mereka menekankan pentingnya aspek spiritual dalam menghayati kalimat ini untuk mencapai kedekatan dengan Allah dan kebebasan dari segala bentuk kebergantungan selain kepada-Nya.
 
Kalimat Laa ilaha illallah atau “Tiada Tuhan selain Allah” memiliki kedudukan penting dalam ajaran Islam, baik dalam hadis Sunni maupun Syiah. Banyak hadis dari kedua mazhab yang menegaskan pentingnya kalimat ini sebagai inti dari keimanan dan kunci menuju surga. Berikut adalah beberapa pandangan hadis dari kedua perspektif:
 
Hadis dari Mazhab Sunni
 
1.Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaha illallah dengan tulus hati, maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa kalimat ini adalah kunci keselamatan bagi seorang Muslim dan pintu untuk masuk ke surga.
2.Hadis dari Abu Hurairah
Rasulullah SAW bersabda, “Perbaharuilah iman kalian.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana cara memperbaharui iman kami, wahai Rasulullah?” Rasulullah SAW menjawab, “Perbanyaklah mengucapkan Laa ilaha illallah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Hadis ini menunjukkan pentingnya mengucapkan kalimat tauhid untuk menjaga keimanan.
3.Hadis dari Mu’adz bin Jabal
Dalam sebuah hadis sahih, Rasulullah SAW pernah bertanya kepada Mu’adz bin Jabal, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi bersabda, “Hak Allah atas hamba-Nya adalah mereka menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim). Ini menunjukkan bahwa Laa ilaha illallah adalah pengakuan yang harus dipegang seorang Muslim dalam hubungannya dengan Allah.
4.Hadis dari Ubadah bin Shamit
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka Allah mengharamkan neraka baginya.” (HR. Muslim). Hadis ini menunjukkan kekuatan kalimat Laa ilaha illallah dalam menjauhkan seorang Muslim dari siksa neraka.
5.Hadis Qudsi
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, “Wahai anak Adam, jika engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, tetapi engkau tidak menyekutukan Aku dengan apapun, maka Aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini menegaskan pentingnya tauhid dan tidak menyekutukan Allah.
 
Hadis dari Mazhab Syiah
 
1.Hadis dari Imam Ali bin Abi Thalib as
Imam Ali as mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ’Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaha illallah dengan ikhlas, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga.’” (Sumber: Nahjul Balaghah, perkataan tentang tauhid). Imam Ali menekankan pentingnya keikhlasan dalam mengucapkan kalimat ini.
2.Hadis dari Imam Ja’far Ash-Shadiq as
Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata, “Tauhid adalah pondasi Islam, dan kalimat Laa ilaha illallah adalah pernyataan keimanan yang harus diucapkan dengan keyakinan penuh dan amal nyata.” (Al-Kafi, Kitab Tauhid). Beliau mengajarkan bahwa kalimat ini bukan sekadar ucapan, tetapi harus dilandasi oleh pemahaman dan tindakan.
3.Hadis dari Imam Musa Al-Kadhim as 
Imam Musa Al-Kadhim menjelaskan bahwa Laa ilaha illallah adalah pelindung bagi seorang Mukmin dari segala kesulitan dunia dan akhirat. Dia berkata, “Kalimat ini adalah jalan keselamatan yang jika diucapkan dengan ikhlas, maka akan melindungi dari segala macam keburukan.” (Bihar al-Anwar, Jilid 3). Ini menunjukkan pentingnya ikhlas dalam mengucapkan kalimat ini.
4.Hadis dari Imam Ali Zainal Abidin as
Imam Ali Zainal Abidin mengatakan, “Tiada kalimat yang lebih dicintai Allah daripada Laa ilaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkannya, maka ia telah menyerahkan jiwanya kepada Allah.” (Mizan al-Hikmah). Beliau menjelaskan bahwa kalimat ini adalah pernyataan totalitas penghambaan kepada Allah.
5.Hadis dari Imam Muhammad Al-Baqir as 
Imam Al-Baqir berkata, “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaha illallah dengan keikhlasan, maka ia akan diampuni meskipun dosanya sebesar gunung.” (Al-Kafi, Kitab Tauhid). Ini menunjukkan bahwa kalimat tauhid dapat menjadi sumber pengampunan jika diucapkan dengan niat yang tulus.
 
Kesimpulan dari Hadis Sunni dan Syiah
 
 Kedua mazhab, Laa ilaha illallah diakui sebagai inti dari tauhid dan fondasi agama. 
 
Hadis-hadis dari Sunni dan Syiah menunjukkan beberapa kesamaan  ;  dalam pemahaman tentang kalimat ini:
•Keikhlasan adalah Kunci: Kedua mazhab sepakat bahwa Laa ilaha illallah harus diucapkan dengan ikhlas agar memiliki dampak yang penuh.
•Pengampunan dan Keselamatan: Kedua mazhab menekankan bahwa kalimat ini, jika diucapkan dengan tulus, dapat menjadi sumber pengampunan dan keselamatan dari siksa neraka.
•Pentingnya Keyakinan dan Amal: Kalimat ini tidak hanya sebagai ucapan lisan, tetapi memerlukan keyakinan dalam hati dan diwujudkan dalam amal.
 
Kalimat Laa ilaha illallah adalah inti dari keimanan, yang menjadi pernyataan kesaksian seorang Muslim terhadap keesaan Allah dan pengingkaran terhadap segala bentuk kesyirikan, yang menjamin keselamatan akhirat jika dihayati dan diimplementasikan dengan benar.
 
Dalam pandangan ahli makrifat (pengetahuan batin) dan hakikat (realitas esensial), kalimat Laa ilaha illallah 
dipahami lebih dalam sebagai pernyataan tauhid yang bukan hanya diucapkan, tetapi harus dipahami melalui pengalaman batin dan penghayatan yang dalam. Mereka menekankan bahwa makna kalimat ini adalah pengakuan dan penyatuan diri sepenuhnya dengan Allah, yang melampaui sekadar pemahaman intelektual dan membawa seorang hamba kepada makrifatullah, yaitu pengetahuan tentang Allah melalui hati.
 
Berikut beberapa pandangan ahli makrifat dan hakikat tentang Laa ilaha illallah:
 
1.Ibnu Arabi
Ibnu Arabi, seorang tokoh sufi besar, memandang bahwa Laa ilaha illallah adalah ungkapan dari “Keesaan Wujud” atau Wahdatul Wujud, yaitu bahwa hakikat segala sesuatu pada dasarnya adalah satu, yaitu Allah. Menurutnya, ketika seseorang benar-benar memahami kalimat ini, ia akan menyadari bahwa tidak ada realitas selain Allah, dan segala sesuatu yang ada hanyalah manifestasi dari keberadaan-Nya. Ucapan Laa ilaha illallah bukan hanya penegasan keesaan Allah, tetapi pengakuan bahwa tidak ada yang eksis secara mandiri kecuali Allah.
2.Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menekankan bahwa Laa ilaha illallah harus dipahami melalui hati yang benar-benar mengenal Allah. Beliau menyatakan bahwa bagi seorang ahli hakikat, kalimat ini mengandung penafian semua yang fana dan ketergantungan hanya kepada Yang Maha Kekal, yaitu Allah. Menurutnya, penghayatan Laa ilaha illallah berarti mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah, sehingga tidak ada lagi dorongan ego atau nafsu dalam diri seorang mukmin.
3.Jalaluddin Rumi
Rumi dalam berbagai puisinya mengajarkan bahwa Laa ilaha illallah adalah ekspresi dari cinta kepada Allah. Menurut Rumi, kalimat ini melambangkan perjalanan spiritual seorang hamba dalam meninggalkan segala sesuatu yang bersifat duniawi dan fana untuk menuju Tuhan yang abadi. Rumi menjelaskan bahwa kalimat ini adalah kunci untuk memasuki samudera cinta ilahi, di mana seorang pencari hakikat akan larut dan melebur dalam keesaan Allah.
4.Syekh Abdul Qadir Al-Jilani
Dalam ajaran tasawufnya, Syekh Abdul Qadir Al-Jilani mengatakan bahwa Laa ilaha illallah adalah jalan bagi seorang sufi untuk membersihkan diri dari nafsu dan ego. Beliau mengajarkan bahwa dengan mengucapkan kalimat ini, seorang pencari harus mengingkari segala dorongan yang bersifat duniawi dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah. Menurutnya, kalimat ini adalah pengakuan bahwa tiada kekuatan, tiada kehendak, dan tiada wujud selain milik Allah semata.
5.Imam Rabbani Ahmad Sirhindi
Imam Rabbani, seorang sufi terkenal dari India, menafsirkan Laa ilaha illallah sebagai kalimat yang menafikan segala bentuk keberadaan yang bersifat relatif dan mengukuhkan bahwa hanya Allah yang memiliki keberadaan absolut. Beliau mengatakan bahwa seorang yang mencapai makrifat akan menyaksikan bahwa dirinya sendiri dan segala yang ada hanyalah cerminan dari kekuasaan Allah.
6.Syekh Ibn Ata’illah Al-Sakandari
Syekh Ibn Ata’illah dalam Al-Hikam menjelaskan bahwa Laa ilaha illallah adalah kunci dari ketenangan batin, di mana seseorang mencapai tauhid sejati. Menurutnya, seseorang tidak dapat mencapai makrifatullah tanpa membersihkan hatinya dari segala keterikatan duniawi. Laa ilaha illallah menjadi pernyataan batin yang membersihkan hati dari ego dan membawa ketenangan dengan bersandar hanya kepada Allah.
7.Mawlana Syekh Nazim Al-Haqqani
Syekh Nazim Al-Haqqani menjelaskan bahwa Laa ilaha illallah adalah cara untuk menghancurkan “berhala” di dalam diri manusia, yaitu segala dorongan atau hasrat yang menyimpang. Beliau mengajarkan bahwa setiap orang memiliki “berhala” dalam hati mereka—baik dalam bentuk harta, ketenaran, atau ambisi duniawi—yang harus dihancurkan agar hati menjadi murni dalam penghambaan kepada Allah.
8.Imam Ja’far Ash-Shadiq as
Dalam pandangan Imam Ja’far Ash-Shadiq, seorang tokoh spiritual yang juga dihormati dalam tasawuf, Laa ilaha illallah adalah proses spiritual yang membawa seorang hamba pada pengakuan bahwa segala sesuatu bergantung pada Allah. Menurutnya, kalimat ini membawa makna bahwa segala keberadaan, kekuatan, dan kehidupan sepenuhnya berasal dari Allah, dan seorang pencari harus mencapai kefanaan diri atau fana’ fillah, yaitu melebur dalam kesadaran akan Allah.
9.Al-Hallaj
Al-Hallaj, seorang sufi yang dikenal dengan ungkapan Ana al-Haqq (“Akulah Kebenaran”), memahami Laa ilaha illallah sebagai sebuah jalan menuju keesaan Allah yang absolut. Menurut Al-Hallaj, mengucapkan kalimat ini adalah perjalanan bagi seorang sufi untuk memahami bahwa dirinya adalah bagian dari Kebenaran Ilahi. Kalimat ini bukan sekadar syahadat, tetapi jalan bagi pencari hakikat untuk mengenal dan menyatu dengan Allah.
10.Syekh Sufi Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri, seorang sufi dari Nusantara, memahami Laa ilaha illallah sebagai realisasi bahwa hanya Allah yang memiliki wujud mutlak, dan segala sesuatu yang lain adalah bayangan atau manifestasi dari-Nya. Dalam pandangan Hamzah Fansuri, kalimat ini mengajak seseorang untuk mengesampingkan segala bentuk kebergantungan dan merenungi kehadiran Allah di setiap aspek kehidupan.
 
Kesimpulan ; Menurut ahli makrifat dan hakikat, Laa ilaha illallah bukan sekadar kalimat, tetapi adalah proses spiritual yang membawa seseorang dari tahap penolakan (menafikan segala sesuatu selain Allah) hingga pengukuhan bahwa hanya Allah yang layak disembah. Bagi mereka:
 
•Tauhid Batiniah: Laa ilaha illallah adalah proses membersihkan hati dari segala dorongan duniawi, ego, dan nafsu, untuk mencapai kesucian dan kedekatan dengan Allah.
•Fana’ (Melebur dalam Allah): Kalimat ini mengajarkan kefanaan diri, di mana seorang hamba melihat segala sesuatu sebagai cerminan dari Allah dan menyadari ketergantungan total pada-Nya.
•Tauhid Cinta: Kalimat ini menjadi jalan menuju cinta yang tulus kepada Allah, di mana tidak ada lagi perantara atau kekuatan lain yang bisa menghalangi hubungan seorang hamba dengan Tuhan.
 
Bagi ahli makrifat, Laa ilaha illallah adalah inti dari kehidupan spiritual, di mana setiap aspek kehidupan diarahkan untuk mengabdi kepada Allah dengan hati yang penuh cinta dan kesadaran.
 
Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat Syiah, kalimat Laa ilaha illallah 
dipahami sebagai jalan menuju makrifatullah (pengenalan terhadap Allah) melalui penyucian diri dan pengalaman spiritual yang mendalam. Bagi para ahli hakikat Syiah, seperti para Imam Ahlulbait dan tokoh sufi Syiah lainnya, kalimat ini merupakan langkah menuju penghambaan sejati kepada Allah dan menghilangkan segala keterikatan kepada dunia, ego, serta hawa nafsu. Berikut adalah beberapa pandangan dari ahli makrifat Syiah mengenai Laa ilaha illallah:
 
1. Imam Ali bin Abi Thalib as 
Dalam ajaran Imam Ali, Laa ilaha illallah merupakan pondasi utama dalam perjalanan menuju Allah. Imam Ali menjelaskan bahwa pengucapan kalimat ini harus disertai dengan kesadaran batin yang mendalam. Dalam Nahjul Balaghah, Imam Ali berkata, “Tauhid adalah rahasia di balik segala sesuatu. Barangsiapa yang mengenal hakikat tauhid, ia akan melepaskan dirinya dari segala ketergantungan kecuali kepada Allah.” Bagi Imam Ali, Laa ilaha illallah adalah pengakuan akan keesaan Allah yang menuntut penghambaan yang sepenuhnya tanpa keterikatan kepada dunia.
 
2. Imam Ja’far Ash-Shadiq as
Imam Ja’far Ash-Shadiq, seorang tokoh sentral dalam spiritualitas Syiah, menekankan bahwa Laa ilaha illallah adalah jalan menuju makrifat dan fana’ (melebur dalam kesadaran akan Allah). Beliau mengajarkan bahwa kalimat ini membawa seseorang untuk menafikan segala hal selain Allah dalam hidupnya dan untuk mencapai maqam (tingkatan) ma’rifah, yaitu pengenalan mendalam kepada Allah. Imam Ja’far Ash-Shadiq mengatakan, “Tauhid adalah ketika hati seseorang mengingkari segala sesuatu kecuali Allah dan menempatkan Dia sebagai pusat dari segala niat dan amal.”
 
3. Imam Al-Baqir as
Imam Muhammad Al-Baqir as menjelaskan bahwa Laa ilaha illallah adalah kalimat yang dapat menghapuskan segala dosa jika diucapkan dengan ikhlas dan kesadaran penuh. Beliau berkata, “Sesungguhnya makrifat adalah pengakuan bahwa tidak ada wujud selain Allah, dan inilah inti dari Laa ilaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkannya dengan kesadaran, maka ia telah sampai kepada makrifatullah.” Menurut Imam Al-Baqir, kalimat ini merupakan jalan bagi seorang hamba untuk menghilangkan ego dan mencapai pengakuan bahwa Allah adalah sumber segala wujud.
 
4. Imam Musa Al-Kadhim as
Imam Musa Al-Kadhim as mengajarkan bahwa Laa ilaha illallah adalah kunci untuk membuka hati dan membersihkannya dari pengaruh duniawi. Beliau mengatakan, “Barangsiapa yang mengucapkan kalimat ini dengan kesungguhan hati, maka Allah akan melindunginya dari segala bentuk keraguan dan kebimbangan.” Menurut Imam Musa, kalimat ini bukan hanya untuk diucapkan dengan lisan, tetapi harus dimaknai dengan kesadaran jiwa yang mendalam.
 
5. Imam Ali Zainal Abidin as
Imam Ali Zainal Abidin as menekankan bahwa Laa ilaha illallah adalah kalimat yang mengandung penafian ego dan penyerahan penuh kepada Allah. Dalam salah satu doa beliau yang terkenal dalam Sahifah Sajjadiyah, beliau memohon kepada Allah agar diberikan kemampuan untuk mengesampingkan segala sesuatu selain Allah dalam hati dan hidupnya. Menurut Imam Zainal Abidin, Laa ilaha illallah adalah ungkapan yang menuntut seorang mukmin untuk hidup sepenuhnya dalam ketaatan dan kebergantungan kepada Allah.
 
6. Allamah Thabathaba’i
Allamah Thabathaba’i, seorang ahli makrifat dan mufassir dari kalangan Syiah, dalam tafsirnya Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an, menekankan bahwa kalimat Laa ilaha illallah menuntut kesadaran akan Tajrid, yaitu pemurnian diri dari segala ketergantungan selain kepada Allah. Beliau menguraikan bahwa melalui penghayatan kalimat ini, seorang hamba dapat melihat seluruh alam sebagai manifestasi keesaan Allah. Bagi Allamah Thabathaba’i, Laa ilaha illallah adalah jalan bagi seorang sufi untuk melewati batas-batas dunia fisik dan mencapai kesatuan batin dengan Allah.
 
7. Ayatullah Khomeini
Ayatullah Khomeini, seorang tokoh besar Syiah, melihat Laa ilaha illallah sebagai jalan menuju kebebasan spiritual. Menurutnya, kalimat ini menuntut seseorang untuk melepaskan diri dari keterikatan duniawi dan mencapai ketenangan jiwa melalui penyatuan dengan kehendak Allah. Dalam banyak ceramahnya, Khomeini menekankan bahwa makrifatullah hanya dapat dicapai jika seorang Muslim benar-benar menafikan segala bentuk ketergantungan selain kepada Allah dan menjalani hidup dalam kepasrahan penuh.
 
8. Ayatullah Bahjat
Ayatullah Muhammad Taqi Bahjat, seorang ahli makrifat yang dihormati di kalangan Syiah, menafsirkan Laa ilaha illallah sebagai jalan untuk mencapai kesucian hati. Beliau mengajarkan bahwa kalimat ini hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah melepaskan hati dari segala kecintaan kepada dunia. Bagi Ayatullah Bahjat, pengucapan Laa ilaha illallah berarti mengingkari segala bentuk kekuasaan, kehendak, dan wujud selain milik Allah.
 
9. Sayyid Ali Qadhi Tabataba’i
Sayyid Ali Qadhi Tabataba’i, seorang guru spiritual Allamah Thabathaba’i dan Ayatullah Bahjat, mengajarkan bahwa Laa ilaha illallah adalah pintu menuju kesempurnaan spiritual. Menurutnya, kalimat ini menuntut seorang mukmin untuk melewati tingkatan spiritual dari syari’at (hukum lahir) menuju hakikat (realitas batin). Beliau menekankan bahwa seseorang harus mengosongkan hatinya dari segala ketergantungan dan hanya bergantung kepada Allah semata.
 
10. Ayatullah Jawadi Amuli
Ayatullah Jawadi Amuli, seorang mufassir kontemporer, menekankan bahwa Laa ilaha illallah adalah pernyataan tentang kesatuan esensial Allah yang mutlak. Menurutnya, kalimat ini mencerminkan bahwa tidak ada hakikat yang benar-benar ada selain Allah. Beliau mengajarkan bahwa melalui penghayatan kalimat ini, seseorang akan mencapai maqam fana’, yaitu keadaan di mana ego dan keinginan pribadi telah hilang, dan yang ada hanya kesadaran penuh kepada Allah.
 
Kesimpulan dari Pandangan Ahli Makrifat Syiah; 
Bagi ahli makrifat dan hakikat dari kalangan Syiah:
•Tauhid Batiniah: Laa ilaha illallah adalah proses penafian segala ketergantungan kepada dunia, ego, dan hawa nafsu, sehingga hati menjadi murni dalam penghambaan kepada Allah.
•Fana’ Fillah: Kalimat ini mengajarkan kefanaan atau peleburan diri, di mana seseorang menghilangkan ego dan melihat segala sesuatu sebagai cerminan dari Allah.
•Kesadaran Spiritual: Kalimat ini menuntut seorang mukmin untuk hidup dalam ketaatan dan kebergantungan penuh kepada Allah, menjadikannya sumber kedamaian dan kebebasan sejati.
 
Para ahli makrifat Syiah melihat Laa ilaha illallah sebagai kalimat yang mengajarkan pembersihan diri, kesatuan dengan Allah, dan pencapaian makrifat yang hanya mungkin melalui penghayatan dan kesadaran batin yang mendalam.
 
Kalimat Laa ilaha illallah memiliki kisah yang menginspirasi dan mendalam dalam sejarah Islam. Sejak awal, kalimat ini menjadi inti dari dakwah Rasulullah SAW untuk mengajak umat manusia meninggalkan penyembahan kepada berhala dan mengesakan Allah sebagai satu-satunya Tuhan.

 

Baca juga:
Puan Buka Suara Terkait Wacana Hak Angket DPR tentang Pilpres


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment