Kolom: Detik-detik Wafatnya Putri Kinasih Rasulullah Saw. : Sayyidah Fathimah Az-Zahra As.

Supa Athana - Tekno & Sains
17 October 2024 09:39
Fathimah Az-Zahra As. dilihat sebagai sosok yang telah mencapai puncak spiritualitas, dan wafatnya adalah sebuah perjalanan menuju penyatuan dengan Allah yang lebih sempurna.

Penulis: Muhammad Taufik Ali Yahya
             Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran

Ada 5 riwayat tentang wafatnya Sayyidah Fathimah AzZahra as

1, Pada tanggal ; 8 Rabius Tsani 11 hijrah berdasarkan riwayat; 40 Hari setelah Wafatnya Ayahnya Rasulullah saw ( 28 shofar 11 H)

2, Pada tanggal ; 13 Rabius Tsani 11 hijrah berdasarkan riwayat; 45 Hari setelah Wafatnya Ayahnya Rasulullah saw ( 28 shofar 11 H)

3, Pada tanggal ; 13 Jumadil Awwal 11 hijrah berdasarkan riwayat; 75 Hari setelah Wafatnya Ayahnya Rasulullah saw ( 28 shofar 11 H)

4, Pada tanggal ; 3 Jumadis Tsani 11 hijrah berdasarkan riwayat; 95 Hari setelah Wafatnya Ayahnya Rasulullah saw ( 28 shofar 11 H)

5, Riwayat Sunni 6 bulan setelah wafatnya Rasul saw ; 6 bulan setelah 12 Rabiul Awwal 11 H

Dalam tradisi Sunni, riwayat tentang detik-detik wafatnya Sayyidah Fathimah Az-Zahra RA berbeda dengan tradisi Syiah, meskipun tetap mencerminkan kesedihan yang mendalam atas wafatnya putri Nabi Muhammad SAW. 

Riwayat Sunni lebih menekankan pada peran Sayyidah Fathimah ra sebagai wanita yang mulia, sabar, dan teladan dalam kehidupan, serta tidak banyak mencatat secara rinci mengenai penderitaan politik atau fisik yang dialaminya setelah wafatnya Nabi. 

Berikut adalah beberapa poin utama tentang wafatnya Sayyidah Fathimah ra menurut riwayat Sunni:

1. Kesedihan Setelah Wafatnya Rasulullah SAW

Sayyidah Fathimah as sangat sedih setelah wafatnya ayahnya, Nabi Muhammad SAW. Menurut beberapa hadis yang diriwayatkan dalam sumber-sumber Sunni, Sayyidah Fathimah ra menangis terus-menerus setelah Nabi wafat, karena beliau sangat dekat dengan ayahnya. 

Hadis dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim mencatat bahwa Sayyidah Fathimah as mengatakan, “Setelah wafatnya Nabi, aku mengalami kesedihan yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.”

2. Berita Tentang Kematiannya yang Dekat

Dalam beberapa riwayat Sunni, Nabi Muhammad SAW pernah memberi tahu Sayyidah Fathimah as bahwa dialah anggota keluarganya yang pertama kali akan menyusulnya wafat. 

Ini dikonfirmasi dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA. Aisyah mengatakan bahwa ketika Nabi sedang sakit sebelum wafat, beliau memanggil Sayyidah Fathimah as dan berbicara secara rahasia kepadanya. 

Ketika ditanya apa yang dibicarakan, Sayyidah Fathimah as menjawab bahwa Nabi memberitahunya bahwa ia akan segera menyusul Nabi, dan hal itu membuatnya tersenyum. Hadis ini tercatat dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim.

3. Kedekatan dengan Imam Ali as dan Keluarga

Riwayat Sunni menekankan bagaimana Sayyidah Fathimah as tinggal bersama suaminya, Imam Ali bin Abi Thalib as dan kedua putranya, Imam Hasan as dan Imam Husain as selama sisa hidupnya setelah wafatnya Nabi. 

Sayyidah Fathimah as sangat memperhatikan keluarganya dan tetap menjalankan perannya sebagai ibu dan istri dengan penuh kasih sayang. Ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah as hidup dalam keadaan sederhana, bahkan setelah wafatnya Nabi.

4. Penyakit Menjelang Wafat

Riwayat Sunni menyebutkan bahwa Sayyidah Fathimah ra jatuh sakit tidak lama setelah wafatnya Nabi. Penyakit yang dideritanya semakin memburuk, hingga akhirnya beliau wafat sekitar enam bulan setelah wafatnya ayahnya. Meskipun tidak ada rincian yang jelas mengenai jenis penyakit yang dideritanya, riwayat Sunni umumnya menggambarkan bahwa kesedihan yang mendalam atas kehilangan Nabi turut memperburuk kondisi kesehatannya.

5. Wasiat Sayyidah Fathimah as

Dalam hadis-hadis Sunni, disebutkan bahwa menjelang wafatnya, Sayyidah Fathimah as mewasiatkan kepada suaminya, Imam Ali bin Abi Thalib as beberapa hal, termasuk keinginan agar beliau dimakamkan secara sederhana. Ada riwayat yang menunjukkan bahwa Sayyidah Fathimah lebih memilih tidak diketahui oleh banyak orang tentang proses pemakamannya, meskipun tidak ada rincian eksplisit tentang hal ini seperti dalam riwayat Syiah.

6. Pemakaman Sayyidah Fathimah as

Dalam riwayat Sunni, disebutkan bahwa Sayyidah Fathimah as dimakamkan di Madinah, dan menurut sebagian besar ulama Sunni, makam beliau berada di pemakaman Jannatul Baqi, di mana banyak anggota keluarga Nabi SAW yang lain juga dimakamkan. 

Berbeda dengan tradisi Syiah yang mengisahkan pemakaman Sayyidah Fathimah as dilakukan secara rahasia, sumber-sumber Sunni tidak mencatat adanya indikasi bahwa pemakaman beliau dilakukan secara tersembunyi. Namun, tetap ada perbedaan pendapat mengenai lokasi tepatnya makam Sayyidah Fathimah as meski mayoritas Sunni meyakini bahwa makamnya terletak di Baqi.

7. Cinta Sayyidah Fathimah as Terhadap Ayahnya

Sumber-sumber Sunni menekankan cinta dan kesetiaan Sayyidah Fathimah as kepada ayahnya, Nabi Muhammad SAW. Salah satu hadis terkenal dalam Shahih Muslim menyebutkan bahwa Sayyidah Fathimah as disebut sebagai “pemimpin wanita penghuni surga.” 

Hadis ini menunjukkan kemuliaan dan kedudukan tinggi Sayyidah Fathimah as di sisi Allah SWT. 

Riwayat ini sering disebutkan sebagai bukti kemuliaan Sayyidah Fathimah as dalam pandangan Sunni.

8. Kedudukan Sayyidah Fathimah as di Kalangan Umat Islam

Dalam pandangan Sunni, Sayyidah Fathimah as dikenal sebagai sosok yang penuh kebajikan dan kesabaran, serta merupakan teladan dalam ibadah dan kehidupan berumah tangga. 

Beliau adalah wanita yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. 

Sunni mengakui bahwa beliau adalah wanita yang paling utama dalam Islam, bersama dengan Khadijah binti Khuwailid, Asiyah, dan Maryam binti Imran, berdasarkan hadis yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari.

9. Doa-doa dan Amal Sayyidah Fathimah as

Riwayat Sunni juga menceritakan bahwa Sayyidah Fathimah as sering berdoa untuk kesejahteraan umat Islam dan keluarganya. Beliau dikenal dengan kesalehan dan kedermawanannya, serta disebutkan dalam banyak riwayat sebagai sosok yang selalu membantu orang lain meskipun dirinya sendiri hidup dalam kesederhanaan.

Meskipun riwayat Sunni dan Syiah berbeda dalam hal detail peristiwa menjelang wafatnya Sayyidah Fathimah Az-Zahra as kedua mazhab sepakat bahwa beliau adalah sosok wanita yang sangat dicintai oleh Nabi Muhammad SAW, dan wafatnya beliau membawa duka yang mendalam bagi keluarga Nabi dan umat Islam.

Menurut para mufassir Syiah, Sayyidah Fathimah Az-Zahra AS, putri Nabi Muhammad SAW, memiliki kedudukan yang sangat istimewa baik secara spiritual maupun dalam hubungannya dengan Ahlul Bait. 

Dalam pandangan para mufassir Syiah, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang dihubungkan dengan Sayyidah Fathimah as secara langsung maupun tidak langsung, menegaskan kemuliaannya dalam tatanan Islam. 

Berikut adalah beberapa ayat yang ditafsirkan oleh mufassir Syiah dan kaitannya dengan Sayyidah Fathimah as;

1. Surah Al-Kautsar (QS. 108:1-3)

Ayat ini sangat erat kaitannya dengan Sayyidah Fathimah Az-Zahra as dalam pandangan mufassir Syiah. 

Al-Kautsar, yang secara harfiah berarti “kebaikan yang banyak” atau “anugerah yang melimpah,” dipahami sebagai referensi kepada Sayyidah Fathimah as

Sebagian mufassir Syiah menafsirkan bahwa Allah memberikan “al-Kautsar” kepada Nabi Muhammad SAW dalam bentuk Sayyidah Fathimah as yang menjadi ibu dari keturunan suci Nabi, yakni para Imam dari Ahlul Bait.

Kelahiran Sayyidah Fathimah as dianggap sebagai jawaban Allah terhadap hinaan orang-orang Quraisy yang mengatakan bahwa Nabi adalah seorang “abtar” (tidak memiliki keturunan laki-laki). 

Melalui Sayyidah Fathimah as keturunan Nabi tetap berlanjut melalui Imam Hasan as dan Imam Husain as, yang diteruskan oleh para Imam Ahlul Bait dalam garis keturunan yang suci.

2. Ayat Tathir (QS. 33:33)

Ayat Tathir berbunyi:

“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlul Bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Para mufassir Syiah menafsirkan ayat ini sebagai bukti kesucian Sayyidah Fathimah Az-Zahra as bersama dengan ayahnya, Nabi Muhammad SAW, suaminya Imam Ali, serta kedua putranya, Imam Hasan dan Imam Husain. 

Dalam tradisi Syiah, Ayat Tathir sering dikaitkan dengan Hadis al-Kisa, yang menceritakan peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW, Sayyidah Fathimah as, Imam Ali, Imam Hasan as dan Imam Husain as berada di bawah selembar kain (kisa), dan Nabi menyebut mereka sebagai Ahlul Bait yang disucikan oleh Allah.

Mufassir Syiah menekankan bahwa ayat ini adalah bukti tentang kemurnian Sayyidah Fathimah as dan keluarganya, yang telah dijaga oleh Allah dari segala dosa dan noda. 

Kesucian ini menunjukkan derajat tinggi mereka dalam Islam dan otoritas spiritual mereka sebagai pemimpin umat setelah Nabi.

3. Ayat Mubahalah (QS. 3:61)

Ayat ini berkaitan dengan peristiwa Mubahalah (doa kutukan) antara Nabi Muhammad SAW dan delegasi Kristen Najran. 

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi untuk mengajak orang-orang yang berselisih dengannya untuk membawa anak-anak, wanita, dan diri mereka sendiri untuk saling mendoakan, jika mereka menolak kebenaran Islam. Ayat ini berbunyi:

“Maka siapa yang membantahmu tentang kisah Isa setelah datang ilmu (yang meyakinkan) kepadamu, katakanlah (kepada mereka): ‘Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, wanita kami dan wanita kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita mohon supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang berdusta.’”

Dalam peristiwa ini, Nabi Muhammad SAW membawa Imam Hasan as dan Imam Husain sebagai anak-anaknya, Sayyidah Fathimah as sebagai wanitanya, dan Imam Ali as sebagai dirinya sendiri. 

Para mufassir Syiah menafsirkan ayat ini sebagai bukti lain tentang status spiritual dan kemuliaan Sayyidah Fathimah as, karena Allah memerintahkan Nabi untuk membawa hanya orang-orang yang paling suci dan dekat dengan Allah dalam peristiwa Mubahalah. 

Kehadiran Sayyidah Fathimah as di sini menunjukkan peran pentingnya sebagai bagian dari Ahlul Bait dan pembawa otoritas spiritual.

4. Surah Al-Insan (QS. 76:5-12)

Ayat-ayat dalam Surah Al-Insan juga sering dikaitkan dengan Ahlul Bait, khususnya Fathimah Az-Zahra. Dalam riwayat Syiah, ayat ini diturunkan ketika Sayyidah Fathimah, Imwm Ali, Imam Hasan, dan Imam Husain as berpuasa selama tiga hari dan setiap harinya memberikan makanan berbuka mereka kepada seorang miskin, anak yatim, dan tawanan, meskipun mereka sendiri kelaparan. Ayat ini berbunyi:

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. (Mereka berkata): ‘Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.’”

Para mufassir Syiah menekankan bahwa perbuatan ini menggambarkan sifat ikhlas dan kesalehan Sayyidah Fathimah as serta keluarganya. 

Mereka dianggap sebagai teladan dalam pengorbanan dan amal saleh. Ayat-ayat ini memuji sikap mereka yang memberi tanpa mengharapkan imbalan duniawi, hanya demi ridha Allah, yang menunjukkan tingkat spiritualitas mereka yang sangat tinggi.

5. Sayyidah Fathimah as sebagai “Hujjah” Allah

Dalam pandangan mufassir Syiah, Sayyidah Fathimah Az-Zahra as tidak hanya dipandang sebagai putri Nabi, tetapi juga sebagai Hujjah Allah (bukti Allah) di muka bumi, khususnya bagi para Imam Ahlul Bait. 

Mereka meyakini bahwa semua Imam setelah Nabi memperoleh legitimasi spiritual dan ilahi mereka melalui hubungan mereka dengan Sayyidah Fathimah as Sebagai ibu para Imam, Sayyidah Fathimah as memiliki kedudukan yang sangat mulia, dan melalui garis keturunannya, ajaran Islam yang murni dan hakiki diteruskan.

Sayyidah Fathimah as disebut sebagai “Sayyidat Nisa al-Alamin” (pemimpin para wanita seluruh alam), menunjukkan bahwa dia adalah teladan tidak hanya bagi wanita, tetapi bagi seluruh umat manusia, baik dari segi spiritualitas maupun moralitas.

6. Kedudukan di Hari Kiamat

Banyak riwayat dalam tradisi Syiah, yang didukung oleh tafsir mufassir mereka, menunjukkan bahwa Sayyidah Fathimah Az-Zahra as memiliki kedudukan istimewa di Hari Kiamat. Dikatakan bahwa pada hari kiamat, Sayyidah Fathimah as akan diberikan hak untuk memberikan syafaat (pertolongan) kepada para pengikutnya dan orang-orang yang mencintai Ahlul Bait. 

Mufassir Syiah menafsirkan beberapa ayat tentang syafaat dan rahmat Allah sebagai bukti bahwa Sayyidah Fathimah as memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah, dan dia akan menjadi penolong bagi umat yang beriman pada Ahlul Bait di akhirat.

Kesimpulan

Menurut para mufassir Syiah, Sayyidah Sayyidah Fathimah Az-Zahra AS adalah salah satu figur spiritual dan ilahi yang paling mulia dalam Islam. 

Tafsir-tafsir mereka menekankan bahwa Sayyidah Fathimah as adalah simbol dari kesucian, keadilan, pengorbanan, dan kepatuhan kepada Allah. 

Melalui berbagai ayat Al-Qur’an yang dihubungkan dengan kehidupannya, para mufassir Syiah melihat Sayyidah Fathimah as sebagai inti dari keberlangsungan spiritual Islam dan ibu dari para Imam yang meneruskan ajaran Nabi Muhammad SAW. 

Wafatnya bukan hanya merupakan tragedi sejarah, tetapi juga memiliki makna simbolis yang dalam terkait dengan perjuangan kebenaran dan keadilan.

Dalam pandangan ulama Syiah, wafatnya Sayyidah Fathimah Az-Zahra AS dipandang sebagai salah satu peristiwa tragis dan penuh duka dalam sejarah Islam. 

Menurut riwayat Syiah, wafatnya putri Nabi ini tidak hanya disebabkan oleh faktor alamiah, tetapi juga terkait dengan peristiwa kekerasan yang dialaminya setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Berikut adalah beberapa elemen utama yang diuraikan ulama Syiah mengenai detik-detik wafatnya Sayyidah Fathimah Az-Zahra as ;

1. Luka Fisik Akibat Penyerangan

Dalam tradisi Syiah, salah satu penyebab utama wafatnya Fathimah adalah luka-luka yang ia derita akibat peristiwa penyerangan terhadap rumahnya. 

Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, terjadi perselisihan politik terkait kepemimpinan umat Islam. 

Sayyidah Fathimah as yang berdiri di sisi Imam Ali AS, suaminya, mengalami tekanan dan penyerangan ketika sejumlah sahabat berusaha memaksa Imam Ali as untuk memberikan bai’at (sumpah setia) kepada khalifah yang baru terpilih.

Riwayat-riwayat Syiah menyebutkan bahwa rumah Sayyidah Fathimah diserang, pintu rumah didobrak, dan dalam proses tersebut Sayyidah Fathimah mengalami luka serius di bagian rusuknya. 

Sebagian riwayat juga mengatakan bahwa ia mengalami keguguran karena peristiwa itu, kehilangan seorang anak yang masih dalam kandungan bernama Muhsin. 

Luka-luka tersebut dikatakan sebagai salah satu faktor utama yang memperburuk kondisi kesehatannya hingga akhirnya menyebabkan wafatnya.

2. Detik-detik Menjelang Wafat

Ulama Syiah menjelaskan bahwa ketika Sayyidah Fathimah as merasakan ajalnya semakin dekat, ia mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan Allah dan ayahnya, Nabi Muhammad SAW. 

Ada riwayat yang menggambarkan bahwa ia memanggil Imam Ali dan kedua putranya, Imam Hasan dan Imam Husain, untuk mengucapkan selamat tinggal.

Dalam detik-detik terakhirnya, Sayyidah Fathimah as dikatakan memberikan pesan-pesan terakhir kepada suaminya, Imam Ali AS. Beberapa pesan pentingnya termasuk agar ia dimakamkan pada malam hari secara sederhana, tanpa sepengetahuan banyak orang, khususnya mereka yang terlibat dalam perselisihan dan peristiwa yang menyebabkan penderitaannya. Sayyidah Fathimah as juga dikatakan meminta agar makamnya dirahasiakan, yang sampai saat ini menjadi salah satu misteri sejarah, karena tempat makamnya tidak diketahui secara pasti.

3. Kondisi Spiritual Menjelang Wafat

Baca juga:
Malaysia Banjir Investasi Teknologi Data Center, Namun Krisis Juga Menghantui

Dalam tradisi Syiah, Sayyidah Fathimah as digambarkan sebagai seorang wanita yang sangat dekat dengan Allah dan memiliki derajat spiritual yang tinggi. 

Menjelang wafatnya, dikatakan bahwa ia berada dalam kondisi yang sangat sabar, meskipun mengalami penderitaan fisik yang sangat berat. Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Sayyidah Fathimah as tetap berdoa dan memohon kepada Allah dalam sisa-sisa hidupnya, serta memperlihatkan ketabahan yang luar biasa.

Sebelum wafat, Fathimah juga dikatakan meminta agar anak-anaknya, Imam Hasan dan Imam Husain as selalu dijaga dan diingatkan tentang hak-hak mereka sebagai bagian dari Ahlul Bait. Ia memberikan pesan agar mereka tetap teguh dalam memperjuangkan kebenaran, meskipun kelak mereka akan menghadapi banyak cobaan dan kesulitan.

4. Wafat di Pangkuan Imam Ali AS

Beberapa riwayat Syiah menggambarkan bahwa Sayyidah Fathimah as wafat di pangkuan suaminya, Imam Ali. Ia meninggalkan dunia dalam keadaan yang penuh duka, tetapi juga dengan hati yang penuh keyakinan kepada Allah. 

Imam Ali as dikatakan merasakan kesedihan yang mendalam atas wafatnya Sayyidah Fathimah as yang dianggap sebagai kehilangan besar tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga bagi umat Islam secara keseluruhan.

5. Pemakaman Rahasia

Sesuai dengan wasiatnya, Sayyidah Fathimah as dimakamkan pada malam hari secara rahasia. Hanya beberapa orang terdekat yang hadir dalam pemakaman tersebut, termasuk Imam Ali, kedua putranya Imam Hasan dan Imam Husain, serta sahabat setia mereka, Salman Al-Farisi. 

Hingga hari ini, tempat makam Sayyidah Fathimah as tidak diketahui secara pasti. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ia dimakamkan di Pemakaman Baqi’, sementara yang lain mengatakan bahwa makamnya berada di dalam Masjid Nabawi, di dekat rumahnya.

Kesimpulan

Menurut ulama Syiah, detik-detik wafatnya Sayyidah Fathimah Az-Zahra AS adalah momen yang sangat tragis dan penuh penderitaan. 

Wafatnya dikaitkan dengan luka-luka fisik dan batin yang ia derita akibat penyerangan terhadap rumahnya, serta tekanan politik yang dihadapinya setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. 

Meski demikian, Sayyidah Fathimah as tetap menunjukkan kesabaran, ketabahan, dan keyakinan yang kuat hingga akhir hayatnya. Wafatnya dipandang sebagai pengorbanan besar dalam mempertahankan hak-hak Ahlul Bait, dan kisahnya tetap menjadi sumber inspirasi dan penghormatan bagi pengikut Syiah di seluruh dunia.

Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah, wafatnya Sayyidah Fathimah Az-Zahra RA/AS seringkali dipahami dengan kedalaman spiritual dan dimensi batin yang lebih luas. 

Pandangan ahli makrifat dari kedua mazhab melihat Sayyidah Fathimah as sebagai sosok yang tidak hanya menjadi putri Nabi Muhammad SAW, tetapi juga sebagai personifikasi dari kesempurnaan ruhani, kekuatan ilahi, dan simbol kebenaran. Berikut adalah bagaimana ahli makrifat dari kedua tradisi ini memandang wafatnya Sayyidah Fathimah as ;

1. Sayyidah Fathimah as sebagai Manifestasi Kebenaran Ilahi

Ahli makrifat, baik dari Sunni maupun Syiah, melihat Sayyidah Fathimah sebagai salah satu representasi tertinggi dari kebenaran ilahi. 

Dalam pandangan ini, wafatnya Sayyidah Fathimah as bukan hanya peristiwa sejarah, tetapi juga memiliki makna simbolik yang mendalam. 

Wafatnya sering diartikan sebagai simbol ketidakadilan yang menimpa kebenaran dan kebijaksanaan ilahi yang dipersonifikasikan oleh Ahlul Bait.

Ahli hakikat dari kedua mazhab sering kali menekankan bahwa Sayyidah Fathimah adalah “al-Kautsar” (anugerah berlimpah), sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Kautsar, yang diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. 

Wafatnya Sayyidah Fathimah as dianggap sebagai hilangnya simbol kesempurnaan ruhani di dunia ini, tetapi kehadirannya tetap abadi dalam dimensi batin dan spiritual umat Islam.

2. Peran sebagai Ibu Ruhani Umat Islam

Dalam makrifat dan hakikat, Sayyidah Fathimah as tidak hanya dilihat sebagai ibu biologis Imam Hasan dan Imam Husain, tetapi juga sebagai ibu ruhani seluruh umat Islam. Sebagaimana Rasulullah saw dan Imam Ali as adalah bapak ruhani seluruh umat.

Para ahli makrifat melihat Sayyidah Fathimah as sebagai manifestasi dari sifat kasih sayang Allah (Rahmah). Kasih sayang ini terpancar dalam seluruh aspek hidupnya, dari perannya sebagai seorang ibu, istri, hingga putri Nabi. 

Wafatnya Sayyidah Fathimah as dipandang sebagai peristiwa yang melambangkan kerinduan ilahi untuk menyatukan Sayyidah Fathimah as dengan ayahnya, Rasulullah SAW, di alam yang lebih tinggi.

Ahli tasawuf dari Sunni seperti Ibn Arabi menyebut bahwa para wali Allah, seperti Sayyidah Fathimah as berada di antara alam duniawi dan alam malakut. 

Kematian mereka tidak berarti akhir, melainkan perpindahan ke dimensi yang lebih tinggi di mana mereka terus berfungsi sebagai sumber spiritual bagi umat.

3. Wafat sebagai Pengorbanan Spiritual

Bagi ahli makrifat, wafatnya Sayyidah Fathimah as dipahami sebagai pengorbanan spiritual demi kelanjutan perjuangan Ahlul Bait dan tegaknya kebenaran. 

Dalam tradisi Syiah, Sayyidah Fathimah as dipandang sebagai martir spiritual, bukan hanya dalam arti politik tetapi juga dalam arti pengorbanan suci. 

Wafatnya dipandang sebagai perwujudan dari kefanaan dunia dan kesementaraan segala sesuatu kecuali kebenaran Ilahi. 

Ahli hakikat dari kalangan Syiah sering kali melihat penderitaan yang dialami Sayyidah Fathimah as sebagai ujian spiritual yang mempertinggi derajatnya di hadapan Allah SWT.

Begitu juga, dalam tradisi Sunni, ahli tasawuf melihat Sayyidah Fathimah as sebagai salah satu insan kamil (manusia sempurna) yang wafatnya bukan sekadar peristiwa fisik, tetapi merupakan penjelmaan dari pengorbanan jiwa demi mencapai kedekatan dengan Allah. 

Pengorbanan yang dialaminya adalah cermin dari perjuangan hakikat manusia untuk mencapai puncak spiritual dan berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah.

4. Sayyidah Fathimah as sebagai Simbol Cahaya Nurani

Dalam pandangan makrifat, Sayyidah Fathimah as seringkali disebut sebagai “Fatimah al-Batul”, yang melambangkan kesucian mutlak dan cahaya nurani. 

Para ahli tasawuf dan hakikat, baik Sunni maupun Syiah, mengaitkan Sayyidah Fathimah as dengan “nur” (cahaya) ilahi yang tidak terpadamkan. 

Wafatnya Sayyidah Fathimah as dilihat sebagai peristiwa yang mengembalikan cahaya suci ini ke sumber asalnya, yaitu Allah SWT.

Ahli tasawuf Sunni seperti Imam Ghazali dan Jalaluddin Rumi menekankan bahwa Fathimah adalah contoh teladan dari wanita yang sempurna secara spiritual, yang wafatnya membawa serta nur ilahi kembali ke alam malakut. 

Wafatnya adalah momen di mana dunia kehilangan salah satu cahayanya, tetapi cahaya itu tetap bersinar dalam dimensi yang lebih tinggi dan dalam hati orang-orang yang mengenang dan mencintainya.

5. Dimensi Batiniah dan Kesempurnaan Spiritual

Baik dalam tradisi Sunni maupun Syiah, ahli makrifat melihat Sayyidah Fathimah as sebagai contoh kesempurnaan spiritual. 

Dalam tradisi Syiah, Sayyidah Fathimah as seringkali dianggap sebagai “Mazhar al-Insan al-Kamil” (manifestasi manusia sempurna), yang segala tindakan dan kehidupannya dipenuhi dengan hikmah dan makrifat. 

Wafatnya Sayyidah Fathimah as tidak hanya dilihat sebagai akibat dari ketidakadilan duniawi, tetapi juga sebagai takdir ilahi yang dirancang untuk memperlihatkan kebenaran yang lebih dalam tentang eksistensi manusia, hubungan dengan Allah, dan kesabaran dalam menghadapi ujian.

Ahli hakikat Sunni juga memandang Sayyidah Fathimah as sebagai sosok yang sempurna dalam hal ketakwaan, kesabaran, dan kedekatan dengan Allah. Kematian beliau dianggap sebagai penyatuan antara ruh manusia yang sempurna dengan Sang Pencipta. 

Wafatnya adalah simbol dari “perjalanan pulang” yang harus dialami setiap orang beriman setelah mencapai puncak spiritualitas.

6. Simbol Kesedihan Kosmik

Dalam tradisi Syiah, ahli makrifat melihat wafatnya Sayyidah Fathimah  as sebagai peristiwa kesedihan kosmik yang tidak hanya dirasakan oleh keluarga Nabi, tetapi juga oleh seluruh makhluk Allah. 

Kematian Sayyidah Fathimah as dipandang sebagai “musibah besar” yang mempengaruhi alam semesta secara spiritual. Imam Ali AS, suaminya, dalam banyak riwayat disebutkan mengalami kesedihan yang sangat mendalam, dan ini diartikan oleh para ahli hakikat sebagai manifestasi dari kesedihan kosmik atas wafatnya salah satu sosok yang paling dicintai oleh Allah.

Para ahli hakikat dalam tradisi Sunni juga sering mengaitkan wafatnya para wali Allah, seperti Sayyidah Fathimah as dengan perubahan besar dalam tatanan spiritual alam. Mereka percaya bahwa ketika seseorang yang sangat dekat dengan Allah wafat, ada getaran spiritual yang mempengaruhi seluruh ciptaan.

Kesimpulan

Bagi ahli makrifat dan hakikat dari Sunni dan Syiah, wafatnya Sayyidah Fathimah Az-Zahra RA/AS dilihat lebih dari sekadar peristiwa historis. Mereka memahaminya sebagai simbol dari pengorbanan spiritual, kesempurnaan ruhani, dan kesedihan yang mempengaruhi alam semesta. 

Fathimah dilihat sebagai sosok yang telah mencapai puncak spiritualitas, dan wafatnya adalah sebuah perjalanan menuju penyatuan dengan Allah yang lebih sempurna. 

Peristiwa wafatnya diartikan sebagai pengingat bagi umat manusia tentang pentingnya kesabaran, keteguhan dalam iman, dan pengorbanan demi kebenaran.

Menurut pandangan para ahli makrifat dan hakikat, Sayyidah Fathimah Az-Zahra AS, putri Nabi Muhammad SAW, memiliki kedudukan spiritual yang sangat tinggi dan istimewa. 

Wasiat dan pesan-pesan yang diberikan Nabi kepada putrinya tidak hanya mencakup aspek moral dan kehidupan sehari-hari, tetapi juga memiliki dimensi batin yang mendalam, terkait dengan kesadaran spiritual dan perjalanan menuju Tuhan. 

Berikut beberapa poin yang dianggap sebagai inti dari wasiat Nabi kepada Sayyidah Fathimah as menurut perspektif ahli makrifat dan hakikat:

1. Kedudukan Sebagai Cahaya dan Hujjah Allah

Nabi Muhammad SAW sering menyebut Sayyidah Fathimah as sebagai “bagian dari dirinya” dan “cahaya matanya”. Menurut ahli makrifat, hal ini mengisyaratkan bahwa Sayyidah Fathimah as bukan sekadar putri biologis Nabi, tetapi juga manifestasi dari cahaya ilahi yang dikaruniakan kepada umat manusia. 

Pesan Nabi kepada Sayyidah Fathimah as ini bersifat spiritual, di mana Sayyidah Fathimah as diminta untuk menjaga dan meneruskan cahaya kenabian dan risalah ilahi yang diberikan kepadanya dan Ahlul Bait.

Dalam konteks hakikat, Sayyidah Fathimah as adalah cerminan dari kesempurnaan spiritual dan dianggap sebagai hujjah (bukti) Allah di muka bumi. Nabi SAW menekankan bahwa keberadaannya bukan hanya sebagai sosok keluarga, tetapi juga sebagai simbol dan pemegang otoritas ilahi yang akan menjaga kebenaran setelah kepergian Nabi saw.

2. Pentingnya Kesabaran dan Keteguhan Hati

Nabi Muhammad SAW mengetahui bahwa setelah wafatnya, putrinya akan menghadapi ujian dan cobaan yang sangat berat, baik secara fisik maupun spiritual. Salah satu pesan penting yang sering diberikan Nabi kepada Sayyidah Fathimah as adalah tentang kesabaran (sabr) dan keteguhan hati dalam menghadapi kesulitan. Dalam pandangan ahli makrifat, pesan ini tidak hanya bersifat praktis, tetapi juga merupakan pelajaran spiritual yang dalam.

Kesabaran Sayyidah Fathimah as tidak hanya diminta dalam konteks kehidupan duniawi, tetapi juga sebagai sarana untuk mencapai kesempurnaan spiritual. 

Dalam makrifat, sabar adalah salah satu kunci utama untuk mendekati Allah, dan Nabi mengajarkan bahwa cobaan yang dialami Sayyidah Fathimah as adalah bentuk dari ujian ilahi yang akan semakin mendekatkan dirinya kepada Allah.

3. Menjaga Kesucian Diri dan Keluarga

Nabi juga berpesan kepada Sayyidah Fathimah as untuk menjaga kesucian diri dan keluarganya, baik dalam hal spiritual maupun fisik. Menurut ahli hakikat, kesucian ini tidak hanya berarti kebersihan dalam pengertian lahiriah, tetapi juga mencakup dimensi batin yang mendalam. 

Sayyidah Fathimah as, sebagai pemimpin para wanita surga, diberi pesan untuk menjaga keluarganya sebagai pewaris risalah yang suci dan sebagai penjaga kebenaran.

Nabi menyampaikan bahwa Sayyidah Fathimah as adalah salah satu dari Ahlul Kisa’, yang disucikan oleh Allah dalam Ayat Tathir (QS. 33:33). Artinya, ia memiliki peran penting dalam menjaga kesucian ajaran yang diwariskan oleh Nabi kepada umat Islam. 

Pesan ini menjadi pusat dari tugas spiritual Sayyidah Fathimah as untuk menjaga keluarganya, terutama suami dan anak-anaknya, dari segala bentuk penyelewengan dan ketidakadilan yang akan mereka hadapi.

4. Makrifat kepada Allah dan Ketaatan yang Penuh

Dalam ajaran hakikat dan makrifat, pesan utama dari Nabi kepada Fathimah adalah untuk selalu menyadari dan memahami kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan. Nabi sering mengajarkan bahwa ketaatan kepada Allah adalah jalan untuk mencapai makrifat yang sempurna. Fathimah diingatkan untuk selalu terhubung dengan Allah dalam semua tindakan dan keputusan hidupnya.

Fathimah dikenal karena keikhlasannya dalam beribadah dan ketaatan total kepada Allah. Para ahli makrifat menekankan bahwa Nabi mengajarkan kepada putrinya bahwa kedekatan dengan Allah hanya bisa dicapai melalui ketaatan yang ikhlas, di mana tidak ada sedikitpun keinginan duniawi yang menjadi penghalang. Makrifat ini berarti bahwa semua tindakan Fathimah harus dilandasi oleh cinta yang murni kepada Allah, bukan karena ingin mendapatkan imbalan duniawi.

5. Syafaat dan Pertolongan di Hari Kiamat

Nabi Muhammad SAW juga menyampaikan kepada Sayyidah Fathimah as bahwa ia akan memiliki peran penting dalam memberikan syafaat (pertolongan) kepada umat di Hari Kiamat. 

Para ahli makrifat memandang pesan ini sebagai pengakuan atas kedudukan spiritual yang sangat tinggi yang dimiliki Sayyidah Fathimah as di mana ia diberikan kemampuan untuk memberikan syafaat kepada mereka yang mencintai dan mengikuti Ahlul Bait.

Dalam ajaran hakikat, kemampuan memberikan syafaat bukan hanya sekadar anugerah, tetapi merupakan cerminan dari tingkat kesucian batin seseorang. 

Sayyidah Fathimah as yang mencapai makrifat tertinggi kepada Allah, diberikan tugas untuk menjadi penolong bagi umat yang beriman dan berjuang di jalan yang benar. Nabi mengingatkan bahwa syafaat Sayyidah Fathimah as adalah bentuk dari kasih sayang ilahi yang diberikan kepada umat melalui dirinya.

6. Peran dalam Melanjutkan Perjuangan Kebenaran

Nabi Muhammad SAW juga memberi pesan kepada Sayyidah Fathimah as agar ia selalu mendukung perjuangan Imam Ali AS dan melanjutkan misi kebenaran setelah kepergiannya. 

Ahli makrifat melihat pesan ini bukan hanya sebagai wasiat politik atau sosial, tetapi sebagai amanah spiritual yang dalam. 

Nabi menyadari bahwa Sayyidah Fathimah as memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kesinambungan risalah Islam, terutama melalui putra-putranya, Imam Hasan as dan Imam Husain as

Sayyidah Fathimah as ditugaskan untuk menjadi benteng terakhir kebenaran dalam masa-masa penuh ujian dan tantangan setelah wafatnya Nabi. 

Ahli hakikat percaya bahwa peran Sayyidah Fathimah as tidak berhenti di dunia ini saja, tetapi akan berlanjut sebagai pelindung dan penolong bagi mereka yang berpegang teguh pada jalan yang benar di akhirat.

Kesimpulan

Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat, wasiat dan pesan Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidah Fathimah Az-Zahra AS tidak hanya mencakup hal-hal duniawi, tetapi juga menyentuh dimensi spiritual yang sangat dalam. Pesan-pesan tersebut berhubungan erat dengan peran Sayyidah Fathimah as sebagai penerus cahaya ilahi, penjaga kesucian Ahlul Bait, serta pemimpin spiritual yang memiliki tugas untuk membawa umat menuju kebenaran dan makrifat kepada Allah. 

Kedekatan Sayyidah Fathimah as dengan Allah, ketaatan penuh kepada-Nya, dan kemampuannya memberikan syafaat di Hari Kiamat adalah bukti dari kedalaman spiritualnya yang diajarkan oleh Nabi.

Adapun doa ziarahnya adalah sebagai berikut 

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَابِنْتَ رَسُوْلِ اللهِ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَابِنْتَ نَبِيِّ اللهِ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَابِنْتَ حَبِيْبِ اللهِ،
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَابِيْتَ خَلِيْلِ اللهِ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَابِنْتَ صَفِيِّاللهِ،
 اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَابِنْتَ أَمِيْنِ اللهِ،
 اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَابِنْتَ خَيْرِ خَلْقِ اللهِ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَابِنْتَ أَفْضَلِ أَنْبِيَآءِ اللهِ وَرُسُلِهِ وَمَلآئِكَتِهِ،
 اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَابِنْتَ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ،
 اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَاسَيِّدَةِ نِسَاءِالْعَالَمِيْنَ مِنَ اْلأَوَّلِيْنَ وَاْلآخِرِيْنَ
 اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَازَوْجَةَ وَلِيِّ اللهِ وَخَيْرِالْخَلْقِ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ،
 اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَاأُمَّ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ سَيِّدَيْ شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الصَّدِيْقَةُ الشَّهِيْدَةُ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الرَّضِيَّةُ الْمَرْضِيَّةُ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الْفَاضِلَةُ الزَّكِيَّةُ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَاالْحَوْرَاءُ اْلإِنْسِيَّةُ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا التَّقِيَّةُ النَّقِيَّةُ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الْمُحَدَّثَةُ الْعَلِيْمَةُ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الْمَظْلُوْمَةُ الْمَغْصُوْبَةُ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الْمُضْطَهَدَةُ الْمَقْهُوْرَةُ، 
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَافَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُوْلِ اللهِ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
 صَلَّى اللهُ عَلَيْكِ وَعَلَى رُوْحِكِ وَبَدَنِكِ،
 أَشْهَدُ أَنَّكِ مَضَيْتِ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّكِ 
وَأَنَّ مَنْ سَرَّكِ فَقَدْ سَرَّ رَسُوْلَ اللهِ، 
وَمَنْ جَفَاكِ فَقَدْ جَفَا رَسُوْلَ اللهِ، 
وَمَنْ آذَاكِ فَقَدْ آذَى رَسُوْلَ اللهِ، 
وَمَنْ وَصَلَكِ فَقَدْ وَصَلَ رَسُوْلَ اللهِ، 
وَمَنْ قَطَعَكِ فَقَدْ قَطَعَ رَسُوْلَ اللهِ، ِ
لأَنَّكِ بِضْعَةٌ مِنْهُ، وَرُوْحُهُ الَّتِي بَيْنَ جَنْبَيْهِ، 
كَمَاقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ، 
أُشْهِدُ اللهَ وَرُسُلَهُ وَمَلآئِكَتَهُ
 أَنِّي رَاضٍ عَمَّنْ رَضِيْتِ عَنْهُ، 
سَاخِطٌ عَلَى مَنْ سَخِطْتِ عَلَيْهِ،
 مُتَبَرِّءٌ مِمَّنْ تَبَرَّأْتِ مِنْهُ، 
مُوَالٍ لِمَنْ وَالَيْتِ،
 مُعَادٍ لِمَنْ عَادَيْتِ،
 مُبْغِضٌ لِمَنْ أَبْغَضْتِ،
 مُحِبٌّ لِمَنْ أَحْبَبْتِ، 
وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا 
وَحَسِيْبًا وَجَازِيًا وَمُثِيْبًا. 


Assalâmu’alaiki yâ binta Rasûlillâh, 
Assalâ mu’alaiki yâ binta Nabiyyillâh, 
Assalâmu ’alaiki yâ binta Habîbillâh, 
Assalâmu’alaiki yâ binta Kholîlillâh, 
Assalâmu’alaiki yâ binta Shofiyyillâh, 
Assalâmu’alaiki yâ binta Amînillâhi, 
Assalâmu’alaiki yâ binta khoiri kholqillâh 
Assalâmu’alaiki yâ binta Afdholi anbiyâ-illâh warasûlihi wamalâ-ikatihi, 
As-salâmu ’alaiki yâ binta khoiril bariyyah, 
As-salâmu’alaiki yâ sayyidati nisâ-il ‘âlamîn minal awwalîna wal âkhirîn, 
Assalâmu’alai ki yâ zaujata waliyyillâhi wa khoiril kholqi ba’da rosûlillahi, 
Assalâmu’alaiki yâ ummal Hasan wal Husein sayyidasy syabâbi ahlil jannah 
Assalâmu’alaiki ayyatuhash shiddi-qotusysyahîdah, 
Assalâmu’alaiki ayyatuhar rodiyyatul mardhiyyah, 
Assalâmu’alaiki ay-yatuhal fâdhilatuz-zakiyyah, 
Assalâmu’alai ki ayyatuhal hauro-ul insiyyah, 
Assalâmu  ’alaiki ayyatuhat taqiyyatun naqiyyah, 
Assalâmu’alaiki ayyatuhal muhaddatsatul ‘alî mah, 
Assalâmu’alaiki ayyatuhal madzlûma tul maghshûbah 
Assalâmu’alaiki ayyatuhal mudhthohadatul maqhûroh, 
Assalâmu’alai ki yâ Fathimata binta Rasûlillâhi wa rohma tullâhi wa barokâtuh 
Shollallâhu ‘alaiki wa ‘alâ rûhiki wa badaniki, 
asyhadu annaki madhoiti ‘alâ bayyinatin min robbiki 
wa anna man sârroki faqod sarro Rosûlallâhi, 
waman jafâki faqod jafâ Rosûlallâhi, 
waman âdzâki faqod âdzâ Rasûlallâhi, 
waman washolaki faqod washola Rosû lallâh, 
waman qotho’aki faqod qotho’a Rosû lallâh, 
li-annaki bidh’atum minhu 
wa rûhuhullati baina jambaihi 
kamâ qôla sholal lâhu ‘alaihi wa-âlihi, 
usyhidullâha wa rusu lahu 
wa malâ-ikatahu 
annî rôdhin amman rodhîti anhu, 
sâkhitun ‘alâ man sakhithti ‘alaihi, 
mutabarriun minman tabarrokti min hu, 
muwâlin liman wâ laiti, 
mu’âdin liman ‘âdaiti 
mubghidhun liman abghodhti, 
muhibbun liman ahbabti, 
wa kafâ billâhi syahîdâ 
wahasîban wajâziyan 
wamutsîbâ, 
washallalâ hu ‘alâ sayyidinâ Muhammadin 
wa âlihith-thôhirîn.

Salam atasmu duhai putri Rasulullah. Salam atasmu duhai putri Nabi Allah. Salam atasmu duhai putri kekasih Allah. Salam atasmu duhai putri kesayangan Allah Salam atasmu duhai putri pilihan Allah. Salam atasmu duhai putri kepercayaan Allah. Salam atasmu duhai putri makhluk terbaik Allah Salam atasmu duhai putri Nabi yang paling utama, putri Rasul yang paling utama dan mailakatnya. Salam atasmu duhai putri manusia terbaik. Salam atasmu duhai penghulu wanita semua alam, dari yang pertama dan terakhir. Salam atasmu duhai istri wali Allah, sebaik-baik makhluk setelah Rasulullah saw. Salam atasmu duhai bunda Al-Hasan dan Al-Husain penghulu pemuda ahli surga. Salam atasmu duhai as-shiddiqah dan as-syahiidah. Salam atasmu duhai yang rela dan direlai. Salam atasmu duhai yang utama dan suci. Salam atasmu duhai manusia bidadari. Salam atasmu duhai yang taqwa dan suci. Salam atasmu duhai yang berbicara dengan malaikat dan yang alim. Salam atasmu duhai yang teraniaya dan yang dirampas. Salam atasmu duhai yang diperah dan dikuasai haknya. Salam atasmu duhai Fatimah, putri Rasul, semoga rahmat Allah juga berkah-Nya (di-limpahkan atasmu). Semoga shalawat Allah selalu atasmu, ruhmu dan jasadmu, aku bersaksi bahwa engkau berada di atas ke benaran dari Tuhanmu, dan siapa yang telah menyenangkanmu, berarti telah menyenang kan Rasul Allah saw. Siapa yang menyaki timu berarti menyakiti Rasulullah saw. Siapa yang menghubungimu berarti menghubungi Rasulullah saw. Siapa yang memutuskan hu-bungan denganmu berarti telah memutuskan hubungan dengan Rasulullah saw. Karena engkaulah darah dagingnya, serta ruhnya yang ada pada kedua sampingnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Saya mempersaksikan pada Allah, rasul-rasul dan para malaikat-Nya, bahwa saya rela dari siapa yang engkau relai (wahai Fathimah)  dan murka pada siapa yang engkau murkai. Saya berlepas diri dari orang yang engkau berlepas diri darinya.Saya mencintai pada siapa yang engkau cintai. Saya memusuhi pada siapa yang engkau musuhi. Saya marah pada siapa yang engkau marahi. Saya sayang pada siapa yang engkau sayangi. Cukuplah Allah sebagai saksi. Yang akan memper-hitungkan, Yang akan membalas dan mengganjar”.


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment