Kolom: Makna ‘Mahasin Mawtakum’ ; Menyebut yang Baik dan Indah dari Orang yang Meninggal
Tujuan utama dari menyebut dan mengingat kebaikan orang yang telah meninggal adalah menjaga kedamaian, mendoakan mereka, dan membangun lingkungan yang positif di antara yang hidup.
Penulis: Muhammad Taufiq Ali Yahya
Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran
Ungkapan “mahasin mautakum” (sebutkan yang indah-indah dari yang mati di antara kalian) berasal dari tradisi dan ajaran dalam Islam yang mendorong umat untuk menyebut kebaikan orang yang telah meninggal. Ini adalah cara untuk menghormati mereka dan menjaga keharmonisan dalam komunitas. Berikut makna atau alasan di balik ajaran ini:
1.Menghormati Orang yang Telah Meninggal: Dengan menyebut kebaikan mereka, kita menunjukkan rasa hormat kepada yang sudah tiada.
2.Menghindari Ghibah: Berbicara hal buruk tentang seseorang yang telah meninggal dapat dianggap sebagai ghibah, yang dilarang dalam Islam.
3.Menginspirasi yang Hidup: Kebaikan yang disebutkan dapat menjadi inspirasi dan teladan bagi yang masih hidup untuk melakukan hal serupa.
4.Mendoakan Keampunan: Dengan mengingat kebaikan mereka, kita didorong untuk mendoakan ampunan bagi mereka.
5.Menghargai Amal Baik: Kebaikan orang yang telah meninggal tetap harus dihargai, meskipun mereka sudah tiada.
6.Menjaga Harmoni:
Menyebut kebaikan menjaga harmoni dalam keluarga dan komunitas yang ditinggalkan.
7.Mengenang Warisan Positif: Kebaikan yang dilakukan oleh almarhum menjadi bagian dari warisan yang mereka tinggalkan untuk generasi berikutnya.
8.Mengurangi Kesedihan: Mengingat kebaikan bisa membantu mengurangi kesedihan bagi mereka yang berduka, fokus pada kenangan positif.
9.Mengikuti Sunnah:
Praktik ini mengikuti anjuran Nabi Muhammad SAW yang mendorong umatnya untuk mengingat kebaikan orang yang meninggal.
10.Menumbuhkan Syukur: Mengingat kebaikan almarhum mengajarkan kita untuk bersyukur atas kesempatan hidup dan berbuat baik yang masih kita miliki.
Intinya, tujuan utama dari mengingat kebaikan orang yang telah meninggal adalah menjaga kedamaian, mendoakan mereka, dan membangun lingkungan yang positif di antara yang hidup.
Berikut adalah beberapa dalil dari Al-Qur’an dan hadis dari pandangan Sunni dan Syiah yang mendukung pentingnya menyebut kebaikan orang yang telah meninggal dan menghindari berbicara buruk tentang mereka.
1. Dalil Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an, tidak ada ayat yang secara eksplisit memerintahkan untuk menyebut kebaikan orang yang telah meninggal, tetapi ada prinsip-prinsip umum yang mendorong perbuatan baik dan menghindari ghibah atau mencela sesama:
Al-Quran 49:12
------------------
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.
Ayat ini melarang ghibah atau berbicara buruk tentang orang lain, termasuk yang sudah meninggal, karena tindakan ini dianggap seperti memakan daging saudaranya yang sudah mati.
2. Hadis dari Sunni
Dalam tradisi Sunni, ada beberapa hadis yang menganjurkan untuk menyebut kebaikan orang yang sudah meninggal.
•Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim:
“Dari ‘Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW bersabda: Janganlah kalian mencela orang-orang yang telah mati, karena sesungguhnya mereka telah sampai kepada apa yang telah mereka lakukan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menganjurkan untuk tidak mencela atau berbicara buruk tentang orang yang sudah meninggal karena mereka sudah mempertanggungjawabkan amal mereka di hadapan Allah.
•Hadis Riwayat Bukhari:
“Dari Anas bin Malik, Nabi Muhammad SAW bersabda: Sebutlah kebaikan-kebaikan orang yang telah meninggal di antara kalian dan janganlah kalian menyebut keburukan-keburukannya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini jelas menunjukkan pentingnya menyebut kebaikan almarhum dan tidak mengingat-ingat keburukan mereka.
3. Hadis dari Syiah
Dalam tradisi Syiah, ada juga ajaran serupa yang menekankan pada kebaikan dan menghindari berbicara buruk tentang yang telah meninggal.
•Hadis Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah:
“Sebutlah kebaikan-kebaikan saudaramu yang sudah meninggal, dan janganlah kamu menyebut keburukan-keburukannya, karena hal itu akan mendatangkan azab bagi kamu sendiri.”
Imam Ali (as) mendorong untuk menyebut kebaikan orang yang sudah meninggal dan tidak mengungkit keburukan mereka, sebagai cara untuk menjaga keharmonisan sosial dan melindungi diri dari dosa.
•Hadis Imam Ja’far as-Shadiq:
“Jika seseorang telah meninggal dunia, maka sebutlah kebaikan-kebaikannya. Janganlah kamu mencari-cari keburukan-keburukan mereka, karena sesungguhnya manusia itu tidak akan selamat dari kekurangan.”
Hadis ini mencerminkan pentingnya menekankan kebaikan dan menghindari menyebut keburukan orang yang telah tiada, karena setiap manusia pasti memiliki kekurangan.
Kesimpulan:
Baik dalam tradisi Sunni maupun Syiah, terdapat ajaran kuat yang mendorong umat untuk menghormati yang telah meninggal dengan menyebut kebaikan mereka dan menghindari mencela atau mengingat keburukan mereka. Ini sejalan dengan nilai-nilai dasar Islam tentang menjaga kehormatan, mencegah ghibah, dan menumbuhkan kebaikan dalam komunitas.
Pandangan mufassir Syiah mengenai pentingnya menyebut kebaikan orang yang telah meninggal:
1. Allamah Thabathaba’i (Tafsir Al-Mizan)
Dalam karya tafsirnya yang terkenal, Al-Mizan, Allamah Thabathaba’i sering menekankan prinsip keadilan dan kemurahan Allah dalam hubungan antara manusia.
Thabathaba’i mengajarkan bahwa menyebut kebaikan orang yang meninggal adalah bagian dari pengakuan terhadap amal baik mereka, yang akan terus memberi manfaat di dunia dan akhirat. Ia menjelaskan bahwa amal baik seseorang tidak berhenti pada kematian, melainkan menjadi warisan spiritual yang kekal.
•Pandangan dalam Tafsir Al-Mizan: Menyebut kebaikan orang yang telah meninggal adalah cara untuk memperkuat kehadiran mereka di dunia spiritual dan di hadapan Allah, di mana amal baik tersebut menjadi saksi bagi mereka di akhirat.
2. Syaikh Muhammad Husein Thabarsi (Majma’ Al-Bayan)
Syaikh Thabarsi, dalam tafsir Majma’ Al-Bayan, menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan hubungan sosial, termasuk sikap terhadap orang yang telah meninggal. Menurutnya, berbicara tentang kebaikan seseorang yang telah tiada adalah bentuk dari menghormati perjanjian sosial yang diajarkan dalam Al-Qur’an, yakni menjaga kehormatan dan martabat setiap individu, baik yang hidup maupun yang mati.
•Pandangan dalam Tafsir Majma’ Al-Bayan: Thabarsi menjelaskan bahwa menyebut kebaikan seseorang yang telah meninggal adalah bentuk penghormatan terhadap hak mereka sebagai manusia yang telah menjalani kehidupan sesuai dengan peran mereka di dunia, dan itu juga mencerminkan kesadaran akan peran manusia sebagai makhluk sosial yang saling memberi manfaat.
3. Al-Hurr Al-Amili (Wasa’il al-Shi’ah)
Al-Hurr Al-Amili, seorang mufassir dan ulama besar dalam Syiah, dalam karya Wasa’il al-Shi’ah menyebutkan pentingnya menjaga lisan dan berbicara dengan baik tentang orang yang telah meninggal sebagai bentuk penghormatan kepada mereka. Ia menjelaskan bahwa menyebut kebaikan seseorang yang telah tiada adalah manifestasi dari kecintaan terhadap Ahlul Bait, yang mengajarkan untuk selalu melihat kebaikan dalam diri orang lain.
•Pandangan dalam Wasa’il al-Shi’ah: Al-Amili mengaitkan konsep ini dengan prinsip akhlak Islam yang menganjurkan untuk selalu menjaga lisan dari hal-hal buruk, terutama ketika berbicara tentang mereka yang telah wafat, karena mereka sudah tidak bisa membela diri. Ini juga sejalan dengan ajaran Rasulullah SAW dan Imam Ali as yang menekankan pentingnya menjaga kehormatan mereka yang telah meninggal.
4. Syaikh Al-Mufid (Al-Irshad)
Dalam karyanya Al-Irshad, Syaikh Al-Mufid menyebutkan beberapa peristiwa kehidupan Imam Ali as dan para Imam Ahlul Bait yang menekankan pentingnya menyebut kebaikan orang yang telah meninggal sebagai bagian dari amal baik yang akan terus mengalir. Ia menyoroti pentingnya mengingat amal kebaikan sebagai bentuk penghormatan terhadap orang tersebut dan sebagai sarana untuk memetik pelajaran dari kehidupan mereka.
•Pandangan dalam Al-Irshad: Al-Mufid menekankan bahwa menyebut kebaikan orang yang telah meninggal juga merupakan bentuk mencontoh perilaku para Imam yang selalu memuliakan dan menghormati orang yang telah wafat, terutama melalui ucapan yang baik dan doa untuk mereka.
5. Mulla Fathullah Al-Kashani (Tafsir Manhaj Al-Sadiqin)
Mulla Fathullah Al-Kashani, dalam tafsir Manhaj Al-Sadiqin, berfokus pada hubungan manusia dengan alam akhirat. Dia menjelaskan bahwa ketika seseorang meninggal, segala amal baik yang telah mereka lakukan akan menjadi penerang bagi mereka di alam kubur dan di hari kiamat. Menyebut kebaikan mereka di dunia adalah cara untuk memperpanjang pahala amal mereka dan menjadi doa tidak langsung bagi mereka.
•Pandangan dalam Tafsir Manhaj Al-Sadiqin: Menurut Al-Kashani, dengan menyebut kebaikan seseorang, kita tidak hanya menghormati mereka, tetapi juga mengambil bagian dalam memperluas kebaikan mereka di dunia. Ini adalah tindakan yang membantu menegaskan bahwa amal baik seseorang terus memberi manfaat meskipun mereka telah tiada, dan kita menjadi saksi atas amal baik tersebut di hadapan Allah.
Kesimpulan:
Para mufassir Syiah, seperti Allamah Thabathaba’i, Syaikh Thabarsi, Al-Hurr Al-Amili, Syaikh Al-Mufid, dan Mulla Fathullah Al-Kashani, semuanya menekankan pentingnya menyebut kebaikan orang yang telah meninggal sebagai bagian dari warisan spiritual mereka yang terus berlanjut. Mereka mengajarkan bahwa amal baik seseorang tidak berakhir dengan kematian, tetapi tetap hidup dalam bentuk penghormatan yang diberikan oleh orang-orang yang masih hidup melalui ucapan baik, doa, dan pengingat akan kebaikan yang pernah dilakukan. Tafsir dan karya-karya mereka memberikan dasar teologis dan spiritual bagi pentingnya menjaga kehormatan almarhum dan mencontohkan akhlak mulia dalam berbicara tentang mereka
Pentingnya menyebut kebaikan orang yang telah meninggal melalui cerita atau kisah dari tradisi Islam:
1. Kisah Nabi Muhammad SAW dan Jenazah Seorang Muslim
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, ada sebuah kisah di mana Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat menghadiri pemakaman seorang Muslim.
Saat jenazah dibawa, beberapa sahabat menyebutkan kebaikan orang tersebut, dan Nabi berkata, “Wajib baginya!”
Ketika jenazah lain dibawa, beberapa orang mencela almarhum, dan Nabi berkata lagi, “Wajib baginya!”
Para sahabat bertanya apa maksud ucapan Nabi, dan beliau menjawab: “Kalian menjadi saksi di bumi. Orang yang kalian puji, surga wajib baginya, dan orang yang kalian cela, neraka wajib baginya.” (HR. Bukhari)
Kisah ini menunjukkan betapa besar pengaruh ucapan kita terhadap orang yang telah meninggal, karena ucapan baik tentang almarhum dapat menjadi saksi untuknya di hari kiamat.
2. Kisah Sayyidina Ali dan Pembelaan terhadap Sahabat yang Telah Tiada
Imam Ali bin Abi Thalib pernah menghadapi sekelompok orang yang mencela salah seorang sahabat yang telah meninggal dunia.
Ketika mendengar celaan itu, Ali berkata: “Janganlah kalian mencela mereka yang telah meninggal. Sesungguhnya mereka telah sampai pada apa yang mereka kerjakan dan Allah adalah hakim yang seadil-adilnya.”
Dalam kisah ini, Ali menunjukkan sikap yang lembut dan penuh hikmah, mendorong umat untuk meninggalkan kebiasaan buruk mencela orang yang sudah tiada.
Dengan menghindari celaan, kita menghormati mereka yang telah meninggalkan dunia ini dan menyerahkan penghakiman sepenuhnya kepada Allah.
3. Kisah Seorang Wanita yang Pernah Berzina
Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW menceritakan tentang seorang wanita yang pernah berzina, tetapi kemudian bertobat dengan sungguh-sungguh.
Setelah wanita itu meninggal dunia, sebagian orang mencela masa lalunya. Namun Nabi bersabda: “Sesungguhnya tobatnya telah menghapus dosa-dosanya, dan amal kebaikannya yang terakhir itulah yang lebih layak disebut.” (HR. Muslim)
Kisah ini mengajarkan kita untuk tidak menilai seseorang hanya dari masa lalunya, terutama setelah orang tersebut bertaubat. Nabi menekankan bahwa kebaikan dan tobat harus diingat dan dipuji, bukan keburukan yang telah lalu.
4. Kisah Abdullah bin Ubayy, Pemimpin Kaum Munafik
Meskipun Abdullah bin Ubayy dikenal sebagai pemimpin kaum munafik di Madinah dan banyak mengganggu dakwah Islam, Nabi Muhammad SAW tetap berusaha memperlakukan jenazahnya dengan hormat setelah kematiannya.
Ketika putra Abdullah, yang merupakan seorang Muslim setia, memohon agar Nabi menshalati jenazah ayahnya, Nabi dengan kebesaran hati menyanggupi. Namun, kemudian turun wahyu yang melarang beliau untuk memohonkan ampun bagi kaum munafik.
Kisah ini menunjukkan kebesaran hati Nabi Muhammad SAW, yang tetap berusaha menjaga kehormatan seseorang, bahkan meskipun orang tersebut selama hidupnya menunjukkan permusuhan.
Hal ini mengajarkan bahwa kita harus menghindari memperburuk keadaan dengan mencela mereka yang sudah meninggal.
5. Kisah Sahabat Abu Hurairah dan Nasihat Nabi
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, suatu ketika ada seseorang yang meninggal dan dikenal dengan beberapa keburukan selama hidupnya. Beberapa orang mencela almarhum tersebut, tetapi Abu Hurairah mengingatkan mereka tentang nasihat Nabi: “Jika seseorang telah meninggal dunia, janganlah kalian menyebut-nyebut keburukan mereka. Sebab, mereka telah berpulang kepada Allah, dan Allah-lah yang berhak menghisab mereka.”
Abu Hurairah mencontohkan bagaimana sahabat Nabi menjaga adab dalam menghadapi kematian seseorang, dengan fokus pada kebaikan yang bisa disebutkan, karena hanya Allah yang berhak menghakimi. Kisah ini menegaskan pentingnya menjaga ucapan, terutama dalam hal yang menyangkut orang yang telah wafat.
Kesimpulan:
Cerita dan kisah di atas menegaskan betapa pentingnya menjaga lisan ketika berbicara tentang orang yang sudah meninggal.
Baik melalui kisah Nabi Muhammad SAW dan para sahabat, kita diajarkan untuk menyebutkan kebaikan orang yang telah tiada dan menyerahkan segala penghakiman kepada Allah.
Hal ini juga menjadi cermin untuk kita dalam menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang masih hidup, menghindari ghibah, dan selalu fokus pada kebaikan-kebaikan mereka.
Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat, baik dari tradisi Sunni maupun Syiah, menyebut kebaikan orang yang telah meninggal bukan hanya terkait dengan etika sosial, tetapi juga mencerminkan pengertian yang lebih dalam tentang kesadaran spiritual, hakikat manusia, dan hubungan manusia dengan Allah.
Berikut adalah pandangan dari kedua mazhab berdasarkan ajaran makrifat dan hakikat.
1. Pandangan Ahli Makrifat dan Hakikat Sunni
Dalam tasawuf Sunni, makrifat (pengetahuan batin) adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan cara memahami esensi dari segala sesuatu yang ada di alam semesta, termasuk kematian. Ahli makrifat dalam tasawuf Sunni mengajarkan bahwa menyebut kebaikan orang yang meninggal adalah bagian dari penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) dan pencarian hakikat sejati, yaitu melihat kebaikan dan keindahan dari ciptaan Allah. Ada beberapa konsep utama dalam pandangan ini:
•Kesucian Jiwa yang Tinggi: Ahli makrifat percaya bahwa manusia diciptakan dengan sifat dasar yang baik (fitrah). Ketika seseorang meninggal, kebaikan mereka tetap ada di dunia sebagai pantulan dari fitrah suci mereka.
Menyebut kebaikan mereka adalah cara untuk mengakui keindahan fitrah yang dianugerahkan Allah.
•Menghindari Nafs (Ego): Menyebut keburukan seseorang yang sudah tiada dianggap sebagai tanda dari hawa nafsu atau ego yang masih menguasai jiwa. Ahli hakikat dalam Sunni, seperti Jalaluddin Rumi dan Imam al-Ghazali, mengajarkan pentingnya memerangi nafs yang mendorong seseorang untuk fokus pada kesalahan orang lain, terutama setelah mereka meninggal.
•Persaudaraan Spiritual (Ukhuwwah Batiniah): Dalam pandangan ahli makrifat Sunni, kematian bukanlah akhir dari hubungan, melainkan transformasi. Orang yang telah meninggal menjadi bagian dari alam yang lebih tinggi. Oleh karena itu, menyebut kebaikan mereka adalah cara untuk menjaga ikatan spiritual ini dan meresapi bahwa kehidupan sejati adalah di sisi Allah.
Contoh Pandangan: Jalaluddin Rumi
Rumi, seorang sufi besar Sunni, dalam Mathnawi-nya sering mengajarkan tentang keindahan jiwa manusia.
Bagi Rumi, ketika seseorang meninggal, mereka kembali kepada asal muasal keindahan, yaitu Allah. Oleh karena itu, menyebut kebaikan mereka bukan hanya etika sosial, tetapi juga pengakuan akan cahaya ilahi yang pernah memancar melalui mereka.
2. Pandangan Ahli Makrifat dan Hakikat Syiah
Dalam tradisi Irfan (makrifat) Syiah, pendekatan terhadap kematian dan menyebut kebaikan almarhum juga memiliki dimensi yang sangat mendalam.
Ahli makrifat dan hakikat Syiah, seperti Mulla Sadra dan Imam Ali, melihat kematian sebagai perjalanan menuju Allah, di mana setiap kebaikan yang dilakukan seseorang menjadi saksi di hadapan-Nya.
•Kebangkitan Jiwa dan Kesempurnaan: Ahli makrifat Syiah meyakini bahwa setiap jiwa sedang dalam proses perjalanan menuju kesempurnaan.
Saat seseorang meninggal, mereka telah melampaui dunia fisik dan menuju realitas yang lebih tinggi. Menyebut kebaikan mereka adalah bagian dari pengakuan bahwa mereka sedang dalam perjalanan menuju penyempurnaan di hadapan Allah.
•Keterhubungan Dunia dan Akhirat: Menurut ahli makrifat Syiah, seperti Imam Ja’far as-Shadiq, orang yang telah meninggal masih bisa dihubungi melalui doa dan ucapan baik.
Menyebut kebaikan mereka adalah cara untuk terus menjalin hubungan spiritual dengan mereka, karena amalan baik mereka terus membawa manfaat bagi dunia dan akhirat.
•Penekanan pada Hakikat Tauhid: Dalam pandangan ahli makrifat Syiah, kebaikan seseorang mencerminkan manifestasi dari tauhid, yaitu penyaksian keesaan Allah dalam setiap aspek kehidupan. Ketika kita menyebut kebaikan almarhum, kita sedang mengakui bahwa segala amal baik berasal dari cahaya Allah yang memancar melalui makhluk-Nya.
Contoh Pandangan: Mulla Sadra
Mulla Sadra, seorang filsuf dan sufi Syiah, dalam ajarannya tentang hikmah al-muta’aliyah (filsafat transendental), menjelaskan bahwa kematian adalah perjalanan menuju kebenaran mutlak, yaitu Allah.
Ia mengajarkan bahwa setiap amal baik yang dilakukan seseorang adalah manifestasi dari realitas ilahi. Maka, menyebut kebaikan orang yang meninggal adalah pengakuan atas manifestasi Allah dalam kehidupan mereka.
3. Makrifat dan Hakikat Kematian: Persamaan Sunni dan Syiah
Baik dalam tradisi makrifat Sunni maupun Syiah, terdapat beberapa kesamaan mendasar terkait kematian dan menyebut kebaikan almarhum:
•Kesadaran tentang Kefanaan Dunia:
Baik Sunni maupun Syiah mengajarkan bahwa kehidupan dunia ini sementara, dan yang kekal adalah kehidupan akhirat. Menyebut kebaikan almarhum adalah pengingat bahwa amal baik seseorang adalah bekal mereka menuju akhirat.
•Penyucian Jiwa (Tazkiyah al-Nafs):
Menyebut kebaikan almarhum dan menghindari membicarakan keburukan mereka dianggap sebagai cara untuk menyucikan jiwa kita sendiri. Dalam pandangan makrifat, lisan yang bersih dari celaan adalah tanda jiwa yang bersih.
•Penghormatan terhadap Kehendak Allah:
Ahli makrifat baik dari Sunni maupun Syiah mengajarkan bahwa berbicara buruk tentang orang yang telah meninggal sama saja dengan menentang takdir Allah, karena kematian adalah bagian dari rencana ilahi. Menyebut kebaikan orang yang telah meninggal adalah bentuk penghormatan terhadap keputusan Allah.
Kesimpulan:
Ahli makrifat dan hakikat dari tradisi Sunni dan Syiah mengajarkan bahwa menyebut kebaikan orang yang telah meninggal adalah bagian dari proses spiritual yang mendalam.
Bukan hanya tentang menjaga etika sosial, tetapi juga sebagai bentuk pengakuan atas kebaikan ilahi yang pernah dimanifestasikan melalui amal baik mereka.
Ini juga merupakan cara untuk menjaga hubungan spiritual dengan yang telah tiada, dan untuk menyucikan jiwa kita sendiri dari hawa nafsu yang mendorong kita untuk mencela orang lain.
Pandangan dari perspektif ahli makrifat dan hakikat Sunni dan Syiah mengenai pentingnya menyebut kebaikan orang yang telah meninggal:
1. Kebaikan Sebagai Pantulan Cahaya Ilahi
Dalam pandangan ahli makrifat, kebaikan yang dilakukan oleh manusia dianggap sebagai pancaran dari cahaya Ilahi yang memancar melalui jiwa-jiwa yang suci. Ahli hakikat dari Sunni maupun Syiah, seperti Ibn Arabi dan Sayyid Haydar Amuli, meyakini bahwa ketika kita menyebut kebaikan seseorang yang telah meninggal, sebenarnya kita sedang mengingat dan mengakui kehadiran Allah dalam setiap amal baik mereka.
•Pandangan Ibn Arabi: Dalam ajaran Wahdatul Wujud (Kesatuan Wujud), Ibn Arabi menekankan bahwa segala sesuatu, termasuk amal baik manusia, pada hakikatnya adalah manifestasi dari Wujud Allah. Maka, ketika kita menyebut kebaikan seseorang yang telah meninggal, kita juga sedang mengakui bahwa kebaikan itu berasal dari Allah sebagai sumber segala kebaikan.
2. Kebajikan Sebagai Jalan Menuju Kedamaian Batin
Ahli makrifat, baik dari tradisi Sunni maupun Syiah, mengajarkan bahwa menyebut kebaikan orang yang telah meninggal dapat menenangkan hati dan jiwa yang berduka. Dalam makrifat, mengingat kebaikan seseorang bukan hanya bermanfaat bagi almarhum, tetapi juga memberi ketenangan bagi yang masih hidup.
•Pandangan Imam Al-Ghazali: Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menekankan bahwa kebajikan memiliki pengaruh besar terhadap jiwa manusia. Ketika kita mengingat kebaikan almarhum, kita sedang memupuk kedamaian dalam hati kita dan menjauhkan diri dari kesedihan yang berlebihan. Ini adalah bagian dari proses penyucian jiwa.
3. Kehidupan Kekal dalam Kebaikan
Ahli hakikat, seperti Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i dari Syiah dan Imam al-Junayd dari Sunni, percaya bahwa kebaikan seseorang akan abadi, bahkan setelah mereka meninggal. Menyebut kebaikan mereka adalah pengakuan bahwa amal baik yang dilakukan selama hidup akan terus mengalir manfaatnya di dunia dan akhirat.
•Pandangan Sayyid Muhammad Husayn Tabataba’i: Dalam tafsir Al-Mizan, Tabataba’i menekankan bahwa setiap amal baik seseorang akan terus memberikan dampak dan pahala, bahkan setelah mereka tiada. Dengan mengingat kebaikan mereka, kita memperkuat pengaruh positif mereka di dunia ini dan menjadi saksi amal kebaikan yang mereka tinggalkan.
4. Menyebut Kebaikan Sebagai Bagian dari Zikir
Dalam pandangan ahli makrifat, menyebut kebaikan orang yang telah meninggal juga bisa dianggap sebagai bentuk zikir (mengingat Allah), karena segala amal kebaikan sejatinya kembali kepada Allah. Zikir tidak hanya terbatas pada pengucapan nama-nama Allah, tetapi juga mencakup pengakuan atas segala bentuk keindahan dan kebaikan yang berasal dari-Nya.
•Pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah: Sufi wanita besar Sunni, Rabi’ah Al-Adawiyah, selalu menekankan bahwa segala bentuk cinta dan kebaikan pada akhirnya harus mengarah kepada Allah. Ketika kita mengingat kebaikan seseorang yang telah meninggal, itu adalah bagian dari bentuk cinta kepada Allah, karena kebaikan itu merupakan cerminan dari sifat-sifat Allah yang Maha Pemurah dan Penyayang.
5. Transformasi Jiwa Melalui Penyebutan Kebaikan
Ahli makrifat, seperti Mulla Sadra dan Syekh Abdul Qadir al-Jilani, mengajarkan bahwa menyebut kebaikan orang yang telah meninggal adalah bentuk pengembangan jiwa kita sendiri. Ketika kita fokus pada kebaikan orang lain, jiwa kita terangkat menuju pemahaman yang lebih tinggi tentang hakikat kehidupan dan kematian.
•Pandangan Mulla Sadra: Dalam filsafat transendentalnya, Mulla Sadra mengajarkan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini terus-menerus bergerak menuju kesempurnaan. Ketika kita menyebut kebaikan orang yang telah meninggal, kita membantu mempercepat proses penyucian jiwa kita sendiri, karena jiwa kita terlatih untuk melihat kebaikan dalam setiap aspek kehidupan.
Kesimpulan Tambahan:
Ahli makrifat dan hakikat dari tradisi Sunni dan Syiah melihat pentingnya menyebut kebaikan orang yang telah meninggal sebagai bagian integral dari perjalanan spiritual. Selain sebagai penghormatan kepada almarhum, ini juga merupakan bentuk penyucian jiwa, pengakuan atas cahaya Ilahi, serta sarana untuk menenangkan batin dan memperkuat hubungan kita dengan Allah. Mengingat kebaikan seseorang adalah bentuk zikir dan merupakan cara untuk mengakui keabadian amal baik yang terus mengalir di dunia dan akhirat.
Comments (0)
There are no comments yet