BosTesla Akui Teknologinya Ketinggalan 9 Tahun dari China
Elon Musk
JAKARTA -- CEO Tesla Elon Musk blak-blakan mengakui bahwa teknologi yang dimilikinya tertinggal 9 tahun dengan China. Pengakuan Elon Musk ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Luhut membeberkan bahwa teknologi smelter High Pressure Acid Leach (HPAL) Amerika Serikat (AS) tertinggal selama 9 tahun dengan China. Fakta tersebut ia ketahui dari bos Tesla sendiri yakni Elon Musk.
"Sekarang kan investor-investor Tiongkok ini kan punya teknologi. Elon Musk bilang ke saya, kami itu 9 tahun di belakang teknologi Tiongkok dalam HPAL. Untuk bahan baterai daripada lithium ini 9 tahun," kata Luhut dalam sebuah forum ekonomi, Rabu (31/07/2024).
"Jadi saya bilang sama teman-teman di Amerika, ya kau kan nggak bisa beli waktu. Nah sekarang teknologi kita ada di sini. Nah saya ajak tadi teman-teman Tiongkok itu sudah 4 tahun lalu sebenarnya 3 tahun lebih lah ya. Mau nggak kamu ngirimin anak-anak Indonesia untuk belajar ini kan? Kemana? Ke Tiongkok. Ya kita kirim lah. Saya kira ada 40 orang ya. Sudah 3 tahunan. Saat balik banyak mereka," imbuh dia.
Sebelumnya Luhut mengungkapkan bahwa pemerintah juga berencana membuat pusat riset baterai kendaraan listrik di Morowali, Sulawesi Tengah. Hal tersebut tak terlepas dari ketersediaan cadangan nikel yang cukup melimpah serta sumber daya mineral pendukung lainnya sebagai bahan baku pembuatan baterai.
Baca juga:
Wawancara Eksklusif CJS, Irmawati Zainuddin: Potensi Wisata Jeneponto Sangat Besar
Menurut Luhut, melalui kolaborasi dan kerja sama dengan beberapa pihak, maka hal ini dapat mempercepat transisi menuju sistem energi yang lebih berkelanjutan dan adil.
"Jadi kita akan memiliki pusat penelitian sendiri. Saya pikir untuk saat ini, Prof. Kartini memiliki penelitian semacam ini, tetapi kami ingin membuat pusat penelitian yang lebih besar di Morowali," kata Luhut dalam acara International Battery Summit di Jakarta, Senin (29/7/2024).
Ia lantas mengajak seluruh institusi yang terkait untuk turut berkolaborasi menjadi bagian dari pengembangan pusat riset tersebut di Morowali. Adapun, institusi yang terkait yakni termasuk berbagai universitas ternama di Indonesia.
"Kami telah mendiskusikan hal ini dengan universitas-universitas terkemuka di Indonesia, dan kami meminta mereka untuk menjadi bagian dari solusi ini. Kami mengirim sekitar 42 anak muda Indonesia untuk belajar di Tiongkok, untuk mendapatkan gelar di industri ini, dan sebagian dari mereka melakukan penelitian," ujar Luhut. (*)
Comments (0)
There are no comments yet