Kolom: Pluralisme Imam Ali: Suatu Tinjauan Teologis

Oleh: Syamsir Nadjamuddin,S.Ag*
Pluralisme merupakan salah satu isu sentral dalam diskursus keagamaan kontemporer. Dalam konteks Islam, pluralisme kerap diperdebatkan — apakah ia bagian dari ajaran Islam atau hasil dari konstruksi modern? Tokoh-tokoh besar dalam sejarah Islam telah menampilkan wajah keberagamaan yang inklusif, toleran, dan terbuka terhadap perbedaan. Salah satu figur utama adalah Imam Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Nabi Muhammad SAW, yang dikenal tidak hanya sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai simbol keadilan dan kebijaksanaan.
Pandangan dan praktik kehidupan Imam Ali mencerminkan prinsip-prinsip pluralisme, dan bagaimana pendekatan teologisnya terhadap keragaman dapat memberikan kontribusi besar dalam membangun harmoni sosial dan keberagamaan di era modern.
Landasan Teoritis dan Teologis
Secara etimologis, pluralisme berasal dari kata Latin pluralis yang berarti “lebih dari satu”. Dalam konteks keagamaan, pluralisme tidak sekadar mengakui keberagaman, tetapi juga mengafirmasi nilai-nilai kebenaran dan keselamatan yang mungkin ada dalam tradisi lain. John Hick, seorang teolog pluralis, menyatakan:
"The great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real." (Hick, 1989)
Dalam Islam, pluralitas dijelaskan sebagai bagian dari kehendak Ilahi. QS. Al-Hujurat:13 menyatakan:
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal."
Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini adalah pernyataan teologis bahwa perbedaan bukanlah cacat, melainkan manifestasi dari kehendak Allah yang Maha Bijaksana. Dengan demikian, keberagaman adalah sunnatullah, bukan sekadar kenyataan sosial.
Imam Ali dan Konsep Pluralisme
1. Keadilan Sebagai Fondasi Pluralisme
Imam Ali menempatkan keadilan sebagai prinsip utama dalam seluruh aspek kehidupan. Dalam Nahjul Balaghah, ia menegaskan:
"Keadilan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, sedangkan kezaliman meletakkannya tidak pada tempatnya."
(Nahjul Balaghah, Hikmah 437)
Keadilan ini tidak bersifat sektarian. Ketika ia menunjuk Malik al-Ashtar sebagai gubernur Mesir, ia menulis dalam suratnya:
"Jadilah engkau pengayom bagi rakyatmu, berbelas kasih kepada mereka. Janganlah engkau menjadi seperti binatang buas yang menganggap mereka mangsanya. Ingatlah bahwa mereka ada dua golongan: saudaramu dalam agama atau setaramu dalam penciptaan."
(Nahjul Balaghah, Surat 53)
Pernyataan ini adalah kristalisasi pemikiran pluralisme. Imam Ali mengakui eksistensi dan hak-hak orang lain di luar komunitas Muslim sebagai bagian dari persaudaraan kemanusiaan.
2. Sikap Terhadap Non-Muslim dan Minoritas
Dalam praktik kekuasaannya, Imam Ali tidak melakukan diskriminasi terhadap non-Muslim. Dalam suatu riwayat, diceritakan bahwa saat melihat seorang Yahudi tua meminta-minta di jalan, Imam Ali langsung mempertanyakan: "Mengapa ia harus mengemis? Bukankah ia dulu membayar jizyah ketika masih kuat? Mengapa tidak dijamin hari tuanya?" Maka Imam Ali memerintahkan agar orang tersebut diberikan tunjangan dari baitul mal.
Hal ini menunjukkan bahwa bagi Imam Ali, jaminan sosial dan hak dasar manusia tidak dikaitkan dengan keimanan, tetapi dengan kemanusiaan. Pendekatan ini sangat progresif untuk zamannya dan sejalan dengan semangat pluralisme modern.
3. Dialog dan Toleransi terhadap Kelompok Berbeda
Baca juga:
Program Unggulan Jokowi Melejit Berkali kali Lipat Capai Rp510 Triliun
Salah satu kelompok yang paling menentang Imam Ali adalah Khawarij. Bahkan mereka menganggapnya Imam Ali sebagai kafir, Imam Ali tetap tidak membatasi kebebasan mereka. Ia berkata:
"Mereka memiliki tiga hak atas kita: tidak dilarang masuk masjid, tidak dicegah mengambil bagian dari baitul mal, dan tidak diperangi selama mereka tidak memulai kekerasan."
(Ibn Abi al-Hadid, Syarh Nahjul Balaghah)
Imam Ali memerangi Khawarij bukan karena keyakinannya, tetapi karena mereka mulai menggunakan kekerasan dan memberontak.
Imam Ali dan Pluralisme dalam Praktik
Imam Ali menunjukkan sikap pluralis dalam berbagai aspek:
1. Dalam Pemerintahan: Ketika menjadi khalifah, Imam Ali memperlakukan non-Muslim (terutama Ahlul Kitab) dengan adil. Ia tidak menghapus hak-hak mereka sebagai warga negara, bahkan menegaskan bahwa mereka adalah mitra dalam kemanusiaan.
2. Dalam Hukum dan Keadilan: Surat Imam Ali kepada Malik al-Ashtar (gubernur Mesir) merupakan bukti nyata prinsip pluralisme. Di dalamnya, Imam Ali memerintahkan untuk memperlakukan rakyat secara adil, tanpa memandang agama atau etnis.
3. Dalam Etika Sosial: Imam Ali berkata, “Manusia ada dua jenis: saudaramu dalam iman, atau setaramu dalam kemanusiaan.” Ini adalah deklarasi etika pluralisme yang melampaui batas-batas agama.
4. Dalam Dialog: Imam Ali dikenal sebagai tokoh yang senantiasa membuka ruang dialog dengan kelompok-kelompok yang berbeda pandangan, seperti Khawarij. Walaupun mereka menyimpang, Imam Ali tetap memberikan hak berbicara dan hanya memerangi mereka setelah mereka memulai kekerasan.
Analisis Teologis
Pandangan Imam Ali tentang pluralisme lahir dari pemahaman tauhid yang mendalam. Tauhid tidak hanya bermakna keesaan Tuhan dalam ibadah, tetapi juga sebagai dasar keadilan dan kesatuan umat manusia. Menurut Murtadha Mutahhari kok:
"Imam Ali adalah manifestasi sempurna dari Islam rasional dan spiritual. Tauhid baginya adalah sumber etika dan keadilan sosial."
(Mutahhari, Polarization around the Character of Ali)
Imam Ali memahami bahwa iman tidak dapat dipaksakan. Sebagaimana firman Allah:
"Tidak ada paksaan dalam agama." (QS. Al-Baqarah: 256)
Sikap teologis ini menjadikan Imam Ali tokoh penting dalam membangun paradigma Islam yang terbuka dan humanis.
Relevansi Pemikiran Imam Ali dalam Konteks Kontemporer
Di zaman modern, di mana konflik sektarian dan intoleransi agama marak, ajaran Imam Ali sangat relevan. Dalam konteks Indonesia, semangat pluralisme Imam Ali dapat menjadi landasan bagi moderasi beragama (wasathiyah). Pendekatan yang memuliakan hak asasi manusia, kebebasan berkeyakinan, dan keadilan sosial merupakan bagian dari aktualisasi ajaran Islam yang sejati.
Imam Ali tidak mengajarkan relativisme teologis, tetapi mengajarkan sikap rendah hati teologis: bahwa manusia tidak memiliki otoritas absolut atas kebenaran Ilahi. Ini adalah dasar dari dialog antaragama yang sehat.
Pluralisme Imam Ali bukan hanya wacana, tetapi juga tindakan nyata. Ia melihat manusia dalam dua kategori: saudara seiman dan saudara sebangsa dalam kemanusiaan. Sikapnya terhadap non-Muslim, kelompok berbeda, dan kebijakan sosial menunjukkan bahwa pluralisme adalah manifestasi dari iman yang sejati. Dalam dunia yang terpolarisasi, keteladanan Imam Ali menjadi cermin bagi siapa pun yang menginginkan keadilan, dialog, dan perdamaian.
- Daftar Pustaka:
Ali bin Abi Thalib. Nahjul Balaghah. Terj. M. Iqbal. Jakarta: Lentera, 2003. - Al-Qur’an al-Karim.
- Hick, John. An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent. Yale University Press, 1989.
- Mutahhari, Murtadha. Polarization around the Character of Ali. Qum: Islamic Publications Office.
- Ibn Abi al-Hadid. Syarh Nahjul Balaghah. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi.
- Nasr, Seyyed Hossein. Ideals and Realities of Islam. London: George Allen & Unwin, 1966 .
*Penulis adalah Aparat Sipil Negara (ASN) Kementerian Agama (Kemenag) Maros
Comments (0)
There are no comments yet