Kata-kata Imam Ali:"seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak"
Penulis: Khusnul Yaqin
Guru Besar Universitas Hasanuddin
Terlepas kita sepakat atau tidak sepakat dengan cara-cara Jokowi selama memerintah Indonesia, sesuatu yang tidak bisa dipungkiri bahwa Jokowi berhasil memberi pelajaran kepada bangsa Indonesia bahwa politik itu tidak hitam putih dalam perspektif menjaga keutuhan persatuan bangsa setelah kontestasi kekuasaan.
Musuh politik tidak selamanya harus terus menerus secara kontinyu dianggap musuh. Pada tingkatan tertentu musuh politik bisa dijadikan sahabat seiring dalam menyukseskan suatu gagasan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Jokowi mempertontonkan politik yang tidak berujung pada pertengkaran yang berkepanjangan. Politik ditampilkan oleh Jokowi secara santun. Jokowi memperlakukan kompetitor kerasnya, yaitu Prabowo bukan sekadar sebagai mitranya tetapi sebagai pelanjut atau kader dalam mengawal gagasannya tentang Indonesia emas. Sepanjang sejarah perpolitikan hampir jarang kita menemukan orang yang menarangkul musuh kerasnya dalam politik sebagai sahabat seiring, selain Jokowi.
Jokowi setelah merangkul Prabowo yang telah ditumbangkan dalam "perebutan" tampuk kekuasaan, menjadikan Prabowo sebagai kader penerus gagasannya dalam menjadikan Indonesia menjadi negara yang maju. Padahal perilaku Prabowo tampak arogan di 2014 terhadap Jokowi.
Jokowi betul-betul menerapkan falsafah Nusantara yaitu "menang tanpa musuh merasa direndahkan". Jokowi berhasil mengalahkan Probowo di dua periode konstestasi, tetapi setelah menang, Jokowi tidak mendepak musuh utamanya yaitu Prabowo, justru Jokowi menarik Probowo untuk menjadi menteri di kabinetnya.
Selain falsafah Nusnatara Jokowi tampaknya mengikuti kata-kata Imam Ali "seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak". Menariknya pada beberapa kesempatan Prabowo mengulang-ulang kata-kata Imam Ali itu, terutama di pidato pelantikannya sebagai presiden.
Baca juga:
Andi Sudirman-Fatma 63,4 Persen, Danny Pomanto-Azhar 22 Persen
Selama menjadi menterinya Jokowi, sepertinya Probowo banyak menyerap ilmu dari Jokowi, bahwa politik itu bukan hitam putih. Setelah diumumkan menang dalam pemilihan presiden, Probowo tidak lantas euforia dengan meninggalkan musuh-musuh politiknya, Prabowo justru membuka tangan lebar-lebar agar musuh-musuh politik bergabung dalam kabinetnya.
Jokowi berhasil menyempurnahkan langkah SBY dalam mentransisi kekuasaan dengan damai dan mulus. Jika transisi kekuasaan dari Sukarno ke Suharto, Suharto ke Habibi, Gus Dur ke Megawati, Megawati SBY terjadi huru hara dari yang pelik hingga sedikit gejolak, SBY memulai transisi kekuasan tanpa gejolak dan disempurnakan oleh Jokowi dengan transisi yang dimulai sejak awal pemilihan presiden.
Dalam pidato pelantikannya Prabowo menguraikan panjang lebar bagaimana supaya bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar dari pengenalan potensi besar wilayah Nusantara untuk kesejahteraan rakyat kecil hingga pemberantasan korupsi. Probowo juga memuji pendahulunya yakni Jokowi yang telah berhasil menjalankan amanatnya sebagai Presiden.
Kini yang tersisa adalah apakah menteri-menteri Prabowo bisa melaksanakan poin-poin penting yang telah disampaikan oleh Prabowo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden. Kita tunggu bagaimana Prabowo bisa mengorkestrasi menteri-menterinya yang bisa jadi tidak sevisi dengan pidato Prabowo, yang mungkin karena menteri-memteri itu terlalu Ngoa (Rakus).
Tamalanrea mas, 20 Oktober 2024
Comments (0)
There are no comments yet