Debu Nikel di Ujung Surga: Ketika Izin Lama Mencoba Hidup Kembali di Raja Ampat

Supa Athana - News
12 June 2025 14:05
Status kawasan sudah berubah, hukum lingkungan telah diperbarui, dan masyarakat adat memiliki hak konstitusional

Raja Ampat, Papua Barat Daya — Raja Ampat dikenal sebagai “surga terakhir di bumi,” tempat karang menari di kedalaman laut biru dan budaya adat masih memeluk alam dengan penuh hormat. Tapi di balik keindahan itu, badai kini mengintai dari balik meja kebijakan. Sebuah langkah reaktivasi izin tambang nikel PT Gag Nikel memantik gelombang protes dari Pusat Informasi Lingkungan Hidup Indonesia (PILHI).

Pada 2004, izin tambang PT Gag Nikel dihentikan. Kini, dua dekade kemudian, izin itu hendak dihidupkan kembali. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia berdalih: izinnya sudah ada sejak lama, bahkan sebelum Raja Ampat jadi kawasan konservasi. Tapi bagi aktivis lingkungan, pernyataan itu tak lebih dari ilusi hukum yang menyesatkan.

“Benar bahwa izin itu keluar sejak 1990-an, tapi logika hukumnya tidak bisa dijalankan secara ahistoris,” kata Syamsir Anchi, Direktur Eksekutif PILHI, dalam sebuah pernyataan tegas. “Status kawasan sudah berubah, hukum lingkungan telah diperbarui, dan masyarakat adat memiliki hak konstitusional.”

Mengapa Izin Lama Tak Berlaku Lagi?

PILHI memaparkan empat alasan kuat:
Pertama, izin yang telah dihentikan tidak bisa serta-merta diaktifkan kembali tanpa prosedur baru sesuai dengan UU Minerba 3/2020.
Kedua, Raja Ampat telah ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional sejak 2007—status yang mengikat secara hukum.
Ketiga, aktivitas ekonomi di tanah ulayat wajib mendapat persetujuan resmi masyarakat adat berdasarkan Putusan MK No. 35/2012.
Keempat, reaktivasi tanpa kajian ulang berpotensi menjadi penyalahgunaan wewenang.

Yang lebih mengkhawatirkan, hasil overlay spasial menunjukkan bahwa tambang hanya berjarak sekitar 1.800–2.000 meter dari zona konservasi laut. Padahal regulasi mewajibkan minimal 2.000 meter sebagai zona penyangga. “Pernyataan bahwa jaraknya 30–40 km itu manipulatif,” kata Syamsir.

Baca juga:
KPK Geledah Kantor PT Taspen Terkait Kasus Dugaan Investasi Fiktif

Dugaan Korupsi dan Jalan Sunyi Penegakan Hukum

Bukan hanya soal lingkungan dan hukum tata ruang. PILHI juga menyentil kemungkinan praktik korupsi kebijakan. Oleh karena itu, mereka mendorong Kejaksaan Agung untuk memimpin penyelidikan.

“Kami mendesak agar Kejagung tidak berhenti pada Menteri Investasi, tetapi juga menyasar pejabat kementerian, manajemen PT Gag Nikel, pemegang saham seperti ANTAM, dan oknum pemda serta broker kebijakan,” tegas Syamsir.

Kasus ini, menurut PILHI, dapat melibatkan pelanggaran berbagai undang-undang: mulai dari UU Lingkungan Hidup, UU Minerba, UU Agraria, hingga UU Tindak Pidana Korupsi. Dalam konteks kawasan seluas dan sepenting Raja Ampat, impunitas bukanlah pilihan.


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment