Makna 'Aqimu' di Berbagai Ayat dalam Alquran (Bagian Kedua)

Supa Athana - Entertainment
15 April 2025 09:40
Ayat ini mengandung kekuatan spiritual yang mendalam, dan setiap kata dalam ayat ini mengandung manfaat besar untuk jiwa yang ingin mendekatkan diri kepada Allah melalui tauhid, ibadah, dan dzikir.

Oleh: Muhammad Taufiq Ali Yahya*

Makna ayat Taha:14 menurut ahli makrifat dan hakikat, khususnya dalam tradisi Syiah Irfani dan batin, dengan pendekatan tasawuf hakiki dan suluk ilahi berdasarkan warisan Ahlul Bayt a.s.:

‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”

Makna Menurut Ahli Makrifat & Hakikat (Syiah)

‎1. “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ” – Tajallī Dzātī

  • Ini adalah tajallī (penyingkapan langsung) Allah kepada Nabi Musa a.s., bukan melalui perantara makhluk.
  • Dalam maqam makrifat, ini disebut syuhūd dzāt — saat hamba menyaksikan keberadaan mutlak tanpa batas.
  • Menurut para arif seperti Sayyid Haidar Amuli:

              “Ini adalah isyarat bahwa seorang salik, pada akhir perjalanan ruhani, akan ditampakkan hakikat Allah secara batin.”

‎2. “لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا” – Penafian Wujud Selain Allah

  • Dalam pandangan wujūdiyyah (eksistensialis) Ahlul Bayt, la ilaha illa ana berarti:

              “Tiada wujud hakiki selain-Ku.”

  • Semua selain Allah adalah fana’ (sirna) dan yang tinggal hanyalah Dia.
  • Imam Ja‘far al-Sadiq a.s. berkata:”Kefanaan adalah syarat kehadiran dalam keesaan.”

‎3. “فَاعْبُدْنِي” – Ibadah Hakiki adalah Fana’

  • Menurut arif Syiah, ‘ubudiyyah bukan sekadar ritual, tapi:

              “Menafikan segala kehendak dan melebur dalam kehendak Allah.”

  • Ini maqam fana’ fi’l-‘ibādah, di mana hamba tidak melihat ibadahnya, hanya yang diibadahi.

‎4. “وَأَقِمِ الصَّلَاةَ” – Shalat adalah Mi‘rāj Ruhani

  • Shalat bukan sekadar gerakan, tapi perjalanan ruhani (suluk) dari kehijaban ke hudur (kehadiran).
  • Dalam irfan:

              Qiyam = wujud, Rukuk = ruku’ ego, Sujud = fana’, Salam = kembali ke khalq setelah menyatu dengan al-Haqq.

‎5. “لِذِكْرِي” – Dzikir Sebagai Sirul-Wushul

  • Dzikir di sini bukan lafaz, tapi hudūr qalb (kehadiran hati) yang terus-menerus.
  • Menurut ahli hakikat, dzikir adalah:

              “Sir (rahasia) antara Allah dan kekasih-Nya yang tak pernah terputus, bahkan dalam tidur dan diam.”

  1. Seluruh Ayat Ini adalah Peta Suluk
  • Bagi ahli makrifat, ayat ini adalah khitāb langsung Allah kepada setiap salik yang telah bersih dari hijab:
  • Mengenal-Nya (إنني أنا الله)
  • Meniadakan selain-Nya (لا إله إلا أنا)
  • Melebur dalam ibadah (فاعبدني)
  • Mengalami mi‘raj dzikir dalam shalat (وأقم الصلاة لذكري)
  1. Dalam Shalat, Wali Menjadi Cermin Tuhan
  • Dalam maqam tertinggi, wali atau imam maksum adalah mazhar dzikir, tempat dzikir Allah termanifestasi.
  • Dzikir dalam shalat yang hakiki adalah dzikir pada Wali Allah, yang tidak lain adalah manifestasi kehadiran-Nya di alam ini.

              Imam Ali Zainal Abidin a.s.:

“Aku berdiri dalam shalat, lalu seakan tabir-tabir dunia tersingkap dan aku berdiri langsung di hadapan-Nya.”

              Sayyid Haidar Amuli:

“Ayat ini adalah rangkuman suluk dari tauhid dzati, tauhid af‘ali, sampai fana’ dan baqa’.”

              Mulla Sadra:

”‘Ibadah’ adalah wujud yang kembali pada asal-Nya melalui penyucian dari wujud majazi.”

              Makna Hakikat

Allah memperkenalkan Diri        

Tajalli Dzati kepada salik sejati

Tiada Tuhan Selain Aku  Semua selain Allah adalah bayangan wujud

Sembahlah Aku Hancurkan ego, larut dalam Kehendak-Nya

Dirikan Shalat    Mi‘raj menuju Hadirat Tuhan

Untuk Mengingat-Ku      Dzikir sebagai kesadaran permanen dalam Wujud-Nya

Makna Ayat Menurut Ahli Hakikat Syiah

‎1. إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ – Tajalli Dzat di Ruang Ruh

Menurut ahli hakikat seperti Sayyid Haidar Amuli, ayat ini bukan hanya dialog kepada Nabi Musa a.s., tapi juga sebuah tajalli dzat (penyingkapan kehadiran Allah) kepada ruh manusia yang telah bersih.

              “Allah memperkenalkan Diri-Nya dalam dimensi batin setiap ruh yang telah melewati maqam tazkiyah.”

‎2. لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا – Wujudullah Segala Sesuatu

Ahli hakikat Syiah meyakini bahwa la ilaha illa ana adalah penegasan bahwa tidak ada realitas sejati kecuali Allah.

Menurut Imam Ali a.s. (dalam Nahjul Balaghah):

              “Aku tidak pernah melihat sesuatu kecuali aku melihat Allah sebelumnya, bersamanya, dan setelahnya.”

Artinya: hakikat dari tauhid bukan hanya menolak berhala lahiriah, tapi meniadakan penglihatan terhadap selain-Nya.

‎3. فَاعْبُدْنِي – Ibadah sebagai Fana’

Ibadah hakiki, dalam pandangan ahli hakikat Syiah, adalah:

              “Melenyapkan kehendak dan ego dalam kehendak Ilahi.”

Imam Ja‘far al-Sadiq a.s. bersabda: “Al-‘ubudiyyah jawharah, kuntuhā al-rubūbiyyah.”

“Penghambaan adalah permata yang di dalamnya terkandung ketuhanan.”

Artinya: penghambaan total akan menampakkan kehadiran Ilahi dalam diri.

‎4. وَأَقِمِ الصَّلَاةَ – Shalat Sebagai Mi‘raj Batin

Ahli hakikat menafsirkan shalat sebagai perjalanan menuju perjumpaan.

Maqam dalam shalat menurut mereka:

  • Qiyām: berdiri di hadapan Allah, wujud sadar.
  • Rukū‘: tunduknya ego.
  • Sujūd: tenggelam dan melebur dalam asal mula.
  • Tasyahhud dan Salam: kembali ke khalayak dengan membawa Nur Ilahi.

Mereka menyebut shalat sebagai maqām liqā’, tempat ruh bertemu dengan hakikat Allah.

‎5. لِذِكْرِي – Dzikir sebagai Kesadaran Kehadiran

Dzikir menurut ahli hakikat bukan sekadar menyebut, tapi:

              “Hidup dalam kesadaran bahwa tidak ada yang hadir kecuali Allah.”

Imam Ali Zainal Abidin a.s. dalam Munajat:

              “Ilāhī… anartā qalbī bi nūr ma‘rifatika, hatta kharaja ‘anhu kullu syak wa wahm.”

“Tuhanku, Engkau sinari hatiku dengan cahaya makrifat-Mu hingga semua keraguan dan ilusi lenyap.”

  1. Wilayah adalah Dzikir Sejati

Ahli hakikat Syiah memahami bahwa dzikir sejati tidak bisa dipisahkan dari wilayah Ahlul Bayt.

Dalam banyak riwayat:

              “Naḥnu dzikrullāh al-akbar.”

“Kami (Ahlul Bayt) adalah dzikir Allah yang agung.”

Maka, mengingat Allah tanpa menyambung ke wilayah Imam adalah seperti ibadah tanpa arah dan cahaya.

  1. Keseluruhan Ayat = Rangkaian Suluk Hakiki

Ahli hakikat Syiah melihat ayat ini sebagai rangkaian suluk ruhaniyah:

Bagian Ayat        Maqam Suluk

‎“إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ”           Tajalli dzat kepada ruh

‎“لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا”         Tauhid eksistensial, wujud hanya Allah

‎“فَاعْبُدْنِي”               Fana’ dalam ‘ubudiyyah

‎“وَأَقِمِ الصَّلَاةَ”         Mi‘raj ruhani dan maqam hudur

‎“لِذِكْرِي”  Kehadiran Allah yang abadi dalam kalbu

              Sayyid Haidar Amuli (murid ruhani Syekh Ishraq):

“Ayat ini adalah tali penghubung antara tauhid, wilayah, dan makrifat. Siapa yang membaca ayat ini dalam shalat dan menyaksikannya dalam kalbu, dia telah mencapai maqam wushul.”
وَقُرْآنَ الْفَجْرِ ۖ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا﴾ ~ فارس عباد  ~ أجمل حالات واتس اب - YouTube

Kisah dan cerita maknawi dari para arif, ahli hakikat, dan Ahlul Bayt a.s., yang mencerminkan kandungan ayat “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي” dalam bentuk pengalaman, ilham, atau suluk ruhani:

  1. Musa a.s. dan Tajallī di Bukit Thur

Nabi Musa a.s. naik ke bukit dalam keadaan mencari kebenaran. Di sana, tiba-tiba terdengar suara suci dari pohon yang menyala tapi tak terbakar, yang berkata:

“Sesungguhnya Aku adalah Allah.”

Momen ini adalah awal mi‘raj ruhani Nabi Musa, bukti bahwa **perjumpaan maknawi dengan Allah bukanlah ilusi, tapi pengalaman hakiki bagi ruh yang suci.

  1. Imam Ali a.s. dalam Shalat yang Luar Biasa

Diriwayatkan saat kaki Imam Ali terkena anak panah, tidak bisa dicabut tanpa rasa sakit, tapi ketika beliau masuk shalat, panah itu dicabut tanpa terasa.

Ketika ditanya, beliau menjawab:

Dalam shalatku, aku tidak melihat selain Allah.”

Ini menggambarkan maqam “aqim as-shalah li dzikrī” – shalat sebagai kesadaran penuh terhadap kehadiran Ilahi.

  1. Syekh Bahā’ī Menyamar Demi Ibadah

Syekh Bahā’ī (ulama dan arif Syiah) sering menyamar sebagai penggembala atau pekerja kasar, agar dapat bermunajat di tempat sepi tanpa dipuji manusia.

Dalam salah satu kisah, ia berkata kepada muridnya:

              “Sesungguhnya yang dicari bukan bentuk shalat, tapi kehadiran dalam dzikir.”

  1. Seorang Arif Tua dan Malam Qadar

Dalam mimpi, seorang arif tua melihat nur memancar dari langit dan terdengar suara:

              “Wahai hamba-Ku, engkau mengingat-Ku dengan lesanmu, namun hatimu sibuk dengan dunia.”

Keesokan harinya, ia menyendiri dan shalat sepanjang malam hanya dengan dzikir kalbu, dan sejak itu ia menjadi ahli makrifat.

  1. Imam Sajjad a.s. dan Sujud Panjang

Diriwayatkan Imam Zainul Abidin a.s. sujud begitu lama hingga tanah menjadi basah oleh air mata.

Ketika ditanya kenapa beliau menangis dalam shalat, beliau menjawab:”Bagaimana tidak menangis, sedang aku berdiri di hadapan Dzat yang berkata: ‘Akulah Allah, tiada Tuhan selain Aku.’”

  1. Dzikir Dalam Tidur – Kisah Abu Hamzah

Abu Hamzah ats-Tsumali bermimpi melihat dirinya berdzikir dalam tidur.

Baca juga:
Mentan Amran dan Wamentan Sudaryono Temukan Pelanggaran HET di Magelang

Ketika bertanya pada Imam Sajjad a.s., beliau berkata:”Kalbu yang hidup tidak tidur dari dzikir meski badan tidur.”

Ini adalah makna dzikir yang hidup terus menerus — bukan lafaz, tapi ruh.

  1. Al-Khidr a.s. dan Pelajaran Tentang Ibadah

Diceritakan bahwa al-Khidr a.s. berkata kepada seorang salik:

“Ibadah bukan tentang banyaknya rakaat, tapi tentang hadirnya hati dalam satu sujud.”

Ia mengajarkan bahwa fokus dzikir lebih utama daripada jumlah amal, sesuai makna “wa aqim ash-shalah li dzikrī.”

  1. Suara yang Membakar Hati Seorang Pencari

Seorang salik mendengar ayat ini dibacakan dengan penuh penghayatan. Ia tersungkur menangis dan berkata:

“Selama ini aku menyembah-Nya dalam bentuk, tapi belum pernah mengenal Dia yang berkata: ‘Akulah Allah.’”

Sejak hari itu, ia meninggalkan semua pujian manusia dan hanya mencari dzikrullah sejati.

  1. Shalat Sayyid al-Karbalā’ī di Bawah Pedang

Sayyid al-Karbala’i, seorang arif besar, tetap shalat khusyuk bahkan ketika kaki dan tangannya terbelenggu oleh musuh. Ia berkata:

Tak ada yang bisa menghentikanku dari berdiri di hadapan yang Maha Lembut yang berkata: ‘Fā‘budnī!’”

Ini contoh keteguhan ruhani dalam semua keadaan.

  1. Munajat Seorang Penjaga Masjid

Seorang penjaga masjid tua sering terlihat shalat di waktu malam sambil berkata lirih: “Ya Allah, Engkau berkata ‘Aqim as-shalah li dzikrī’, maka aku mendirikan shalat agar aku tak lupa akan-Mu. Jangan tinggalkan aku sendirian dalam gelap malam.”

Malam itu ia wafat dalam sujud — wafat dalam keadaan dzikir. Ruhnya menjadi pelajaran hakikat bagi murid-murid pencari Tuhan.

أقم الصلاة لدلوك الشمس | Salehfolder | Flickr

Manfaat dari ayat “إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي”

serta doa yang terkait untuk meraih manfaat-manfaat tersebut, sesuai dengan ajaran Islam, terutama dalam perspektif ahli hakikat Syiah.

  1. Meneguhkan Tauhid dalam Hati

Manfaat: Ayat ini mengingatkan kita akan keesaan Allah yang mutlak. Membaca dan memahami makna dari ayat ini membantu meneguhkan tauhid dalam hati dan pikiran kita, menjauhkan kita dari kemusyrikan.

              “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk dalam golongan ahli tauhid yang sejati yang tidak menyekutukan-Mu dengan apapun.”

  1. Meningkatkan Kualitas Ibadah

Manfaat:

Dengan pemahaman mendalam tentang makna “Fā‘budnī” (beribadahlah kepada-Ku), seseorang akan mampu meningkatkan kualitas ibadahnya, baik dalam shalat maupun dalam seluruh aspek kehidupan.

              “Ya Allah, jadikanlah ibadahku murni karena wajah-Mu yang mulia, dan berikanlah aku kemampuan untuk melaksanakannya dengan sempurna.”

  1. Meningkatkan Kedekatan dengan Allah

Manfaat: Ayat ini menuntun kita untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat dan dzikir yang terus-menerus. Ini membawa kedamaian batin dan ketenangan jiwa.

              “Ya Allah, dekatkanlah aku kepada-Mu di setiap waktu, dan jadikanlah dzikirmu selalu ada dalam hatiku.”

  1. Memperoleh Perlindungan dari Allah

Manfaat: Menyadari bahwa hanya Allah yang berhak disembah menguatkan keyakinan kita bahwa hanya kepada-Nya kita memohon perlindungan, dan segala hal yang terjadi adalah takdir-Nya.

              “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan setiap makhluk yang Engkau ciptakan, dan jadikanlah aku berada dalam perlindungan-Mu.”

  1. Mendapatkan Keberkahan dalam Shalat

Manfaat: Shalat yang dilakukan dengan pemahaman bahwa shalat itu adalah “li dzikrī”, untuk mengingat Allah, akan memberi keberkahan yang lebih besar dalam hidup kita.

              “Ya Allah, jadikanlah shalatku cahaya dalam hatiku dan berkah dalam kehidupanku.”

  1. Membersihkan Hati dari Penyakit Jiwa

Manfaat: Ayat ini membantu kita membersihkan hati dari segala bentuk kesombongan, keraguan, dan penyakit hati lainnya, dengan fokus hanya kepada Allah.

              “Ya Allah, sucikanlah hatiku dari keraguan dan kegelisahan, dan hiasilah aku dengan ketakwaan dan kejujuran.”

  1. Meningkatkan Keikhlasan dalam Beramal

Manfaat: Dengan memahami bahwa hanya Allah yang patut disembah, kita akan berusaha agar semua amal kita dilakukan dengan niat yang ikhlas demi mendapatkan ridha-Nya.

              “Ya Allah, jadikanlah setiap amalanku murni karena wajah-Mu yang mulia, dan janganlah Engkau memberikan sedikit pun kepada selain-Mu.”

  1. Menjaga Kesabaran dalam Ujian

Manfaat: Dengan kesadaran bahwa hanya Allah yang berhak disembah, kita akan lebih mudah bersabar dalam menghadapi ujian, karena kita yakin segala sesuatu datang dari-Nya.

              “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk dalam golongan orang-orang yang sabar, yang ridha dengan takdir dan keputusan-Mu.”

  1. Menumbuhkan Rasa Syukur yang Mendalam

Manfaat: Menyadari bahwa Allah adalah satu-satunya yang disembah akan menumbuhkan rasa syukur yang mendalam atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya.

              “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang bersyukur atas nikmat-Mu, dan janganlah Engkau jadikan aku termasuk orang-orang yang kufur.”

  1. Membantu Mencapai Maqam Fana’ dan Baqa’

Manfaat: Pemahaman yang mendalam tentang “la ilaha illa ana” dapat membawa seorang salik pada maqam fana’ (melebur dalam Allah) dan baqa’ (tetap bersama-Nya). Ini adalah tingkatan spiritual tertinggi.

              “Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang fana’ dalam Engkau, dan tetap ada dalam kekekalan-Mu.”

Kesimpulan:

Ayat ini mengandung kekuatan spiritual yang mendalam, dan setiap kata dalam ayat ini mengandung manfaat besar untuk jiwa yang ingin mendekatkan diri kepada Allah melalui tauhid, ibadah, dan dzikir. Doa-doa yang disebutkan di atas membantu kita meraih makna hakiki dari ayat ini dalam kehidupan sehari-hari.

Munajat Para Pedzikir

Dengan asma Allah

Yang Maha Pengasih

Maha Penyayang

Ya Allah, limpahkanlah sholawat atas

Muhammad dan keluarga Muhammad

Tuhanku, sekiranya tiada kewajiban menerima perintah-Mu

akan kunyatakan Engkau terlalu suci

untuk zikirku pada-Mu hanya dengan kadarku, bukan kadar-Mu.

Tidaklah disampaikan pada kemampuanku,

sampai daku dijadikan tempat untuk menyucikan-Mu

Di antara nikmat-Mu yang besar bagi kami Kaualirkan

pada lidah kami zikir pada-Mu,

Kau-izinkan kami berdoa pada-Mu.

Menyucikan dan bertasbih pada-Mu

Tuhanku, Ilhamkan pada kami zikir pada-Mu,dalam kesendirian dan kebersamaan pada waktu siang

dan malam dalam keramaian dan kesunyian, dalam suka dan duka, sertai kami dengan zikir diam, bimbing kami melakukan amal suci dan pekerjaan yang

Kauridhoi.

Balaslah kami dengan timbangan yang memadai.

Tuhanku, kepada-Mu terpaut hati yang dipenuhi cinta untuk mengenal-Mu dihimpunkan semua akal yang berbeda.

Tidak tenang kalbu kecuali

dengan mengingat-Mu.

Tidak tentram jiwa kecuali

ketika memandang-Mu.

Engkaulah Yang ditasbihkan

disemua tempat, yang disembah disetiap zaman.

Yang Maujud diseluruh waktu,

Yang Diseru oleh setiap

lidah. Yang Dibesarkan disetiap hati.

Daku mohon ampun pada-Mu dari setiap kelezatan tanpa mengingat-Mu dari setiap ketenangan tanpa

menyertai-Mu, dari setiap kebahagiaan tanpa mende-

kati-Mu, dari setiap kesibukan tanpa menaati-Mu.

Tuhanku, Engkau berfirman dan firman-Mu benar.

Hai orang-orang yang berirman berzikirlah kepada Allah

dengan zikir yang banyak bartasbihlah kepada-Nya

pagi dan sore (Q.S. Al-Imran: 41)

Engkau berfirman dan firman-Mu benar “Ingatlah Aku, niscaya Aku ingat padamu (Q.S. Al-Baqarah: 152).

Engkau perintahkan kami mengingat Mu Engkau janjikan kami, Engkau akan mengingat kami sebagai penghormatan, pemuliaan, dan penyanjungan bagi kami.

Inilah kami, sedang mengingat-Mu, seperti yang Engkau perintahkan, penuhi apa yang Kaujanjikan pada kami.

Wahai Yang Mengingat

orang yang mengingat!

Wahai Yang Paling Pengasih

dari segala yang mengasihi.

*penulis adalah Pelayan Pesantren dan  Pertaniangamalan Al-Quran


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment