Iman adalah pengalaman batin yang mendalam, di mana seseorang mengenal Allah secara langsung, merasakan kehadiran-Nya, dan menjalani kehidupan dalam kerangka cinta, penyucian diri, dan kesatuan dengan Tuhan.
Penulis: Muhammad Taufiq Ali Yahya
Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran
Berikut makna iman dalam konteks keagamaan dan kehidupan sehari-hari:
1.Percaya kepada Tuhan: Keyakinan penuh terhadap eksistensi Tuhan dan segala ajaran-Nya.
2.Ketaatan kepada perintah Tuhan: Menjalankan segala kewajiban agama yang diperintahkan oleh Tuhan.
3.Rasa syukur: Iman mengajarkan untuk selalu bersyukur atas segala nikmat dan ujian yang diberikan.
4.Kedamaian hati: Iman memberikan rasa tenang dan damai dalam menghadapi berbagai cobaan hidup.
5.Optimisme: Keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi memiliki hikmah dan kebaikan di baliknya.
6.Kepercayaan terhadap takdir: Meyakini bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh Tuhan, baik itu yang baik maupun buruk.
7.Kehidupan yang berlandaskan moral: Iman mendorong individu untuk berperilaku baik dan menjauhi kejahatan.
8.Keterikatan dengan ibadah: Iman mendorong seseorang untuk selalu melaksanakan ibadah sebagai bentuk penghambaan kepada Tuhan.
9.Penguatan spiritual: Iman menjadi sumber kekuatan rohani yang membantu seseorang menghadapi ujian dan rintangan hidup.
10.Hubungan baik dengan sesama: Iman mengajarkan untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain, penuh kasih sayang dan toleransi.
Iman tidak hanya berbicara tentang keyakinan, tetapi juga tindakan yang mencerminkan keyakinan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Berikut adalah 10 referensi dari Alquran yang berkaitan dengan makna iman:
1.Percaya kepada Allah
•QS. Al-Baqarah (2): 285
“Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya…”
2.Ketaatan kepada Allah
•QS. An-Nisa’ (4): 59
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…”
3.Rasa syukur
•QS. Ibrahim (14): 7
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’”
4.Kedamaian hati
•QS. Ar-Ra’du (13): 28
“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
5.Optimisme
•QS. Al-Baqarah (2): 286
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…”
6.Kepercayaan terhadap takdir
•QS. At-Taubah (9): 51
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.’”
7.Moral dan etika hidup
•QS. Al-Hujurat (49): 13
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa…”
8.Ibadah sebagai bentuk iman
•QS. Al-Baqarah (2): 3
“Yaitu mereka yang beriman kepada yang gaib, melaksanakan salat, dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
9.Kekuatan spiritual dalam menghadapi ujian
•QS. Al-Baqarah (2): 155-157
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar…”
10.Hubungan baik dengan sesama manusia
•QS. Al-Ma’idah (5): 2
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan…”
Ayat-ayat ini mencerminkan berbagai aspek iman yang mendasari keyakinan dan perilaku seorang Muslim dalam kehidupan sehari-hari.
Para mufasir (ahli tafsir) memberikan berbagai penjelasan mengenai makna iman berdasarkan Al-Quran dan hadis. Berikut beberapa pandangan mereka:
1.Ibnu Katsir
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa iman adalah keyakinan yang teguh dalam hati, disertai dengan pengakuan melalui lisan dan amalan dengan anggota badan. Iman tidak hanya sekadar percaya, tetapi juga mencakup perbuatan dan komitmen terhadap ajaran Allah. Ia mengutip QS. Al-Baqarah: 285 yang menyebutkan komponen iman terhadap Allah, malaikat, kitab, dan rasul-rasul.
2.Al-Qurthubi
Al-Qurthubi menyatakan bahwa iman adalah pengakuan terhadap kebenaran yang datang dari Allah dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan dibuktikan dengan perbuatan. Ia menegaskan bahwa iman harus menyatu dengan tindakan nyata, karena iman tanpa amal tidak lengkap. Tafsirnya sering menekankan hubungan erat antara iman dan ketakwaan, sebagaimana disebut dalam QS. Al-Hujurat: 15.
3.Al-Thabari
Menurut Al-Thabari, iman adalah pengakuan dan keyakinan terhadap wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada nabi-nabi-Nya, yang mencakup semua aspek keyakinan, baik kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari kiamat, dan qadar (takdir). Dalam tafsir QS. An-Nisa’: 136, Al-Thabari menegaskan pentingnya iman sebagai pondasi kehidupan seorang Muslim.
4.Fakhruddin Ar-Razi
Ar-Razi menafsirkan iman sebagai sesuatu yang meliputi keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan, dan amal perbuatan. Ia juga menekankan bahwa iman harus memiliki kesadaran akal dan pengetahuan yang benar tentang Allah dan ajaran-Nya, sehingga iman tidak hanya berdasarkan emosi atau ikut-ikutan.
5.Sayyid Qutb
Dalam tafsirnya Fi Zhilalil Quran, Sayyid Qutb menjelaskan bahwa iman adalah keyakinan yang aktif, yaitu kepercayaan yang harus diwujudkan dalam tindakan dan pengorbanan. Iman menurutnya bukan hanya sekadar pengakuan lisan, tetapi harus terlibat dalam pergerakan dan amal nyata yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Ia merujuk pada QS. Al-Baqarah: 177 untuk menjelaskan bahwa iman mencakup perilaku sosial yang baik.
6.Al-Sa’di
Al-Sa’di menekankan bahwa iman adalah kepercayaan yang sempurna yang mendorong seseorang untuk melaksanakan kebaikan dan menjauhi keburukan. Dalam tafsir QS. Al-Baqarah: 3, ia menjelaskan bahwa orang yang beriman kepada yang gaib akan selalu tergerak untuk memperbaiki amal dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah.
7.Imam Al-Ghazali
Dalam karyanya, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa iman mencakup tiga hal: ilmu (pengetahuan tentang Allah dan ajaran-Nya), keyakinan (tanpa keraguan), dan amal (melaksanakan perintah Allah). Baginya, iman harus dimurnikan dari segala bentuk keraguan dan dilandasi oleh pengetahuan yang benar tentang agama.
8.Ibn Qayyim Al-Jawziyyah
Ibn Qayyim menjelaskan bahwa iman adalah gabungan antara ilmu, keyakinan, dan cinta kepada Allah. Ia menegaskan bahwa iman harus tumbuh dari kecintaan kepada Allah dan keinginan untuk melaksanakan perintah-Nya. Menurutnya, iman yang benar akan menghasilkan keinginan untuk selalu memperbaiki diri dan taat kepada Allah.
9.Imam An-Nawawi
Imam An-Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim menjelaskan bahwa iman terdiri dari keyakinan dalam hati, ucapan dengan lisan, dan amalan dengan perbuatan. Iman adalah sesuatu yang dinamis, dapat bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Hal ini ditekankan dalam hadis yang menyatakan bahwa “Iman itu terdiri dari 70-an cabang, yang tertinggi adalah kalimat tauhid, dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan.”
10.Al-Raghib Al-Isfahani
Al-Isfahani menjelaskan dalam Mufradat Alfaz Al-Quran bahwa iman adalah pembenaran hati yang didukung oleh bukti dan tindakan nyata. Menurutnya, iman bukan sekadar pengakuan, tetapi memerlukan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama dan penerapan prinsip-prinsip keimanan dalam kehidupan sehari-hari.
Pandangan para mufasir ini menggambarkan bahwa iman dalam Islam bukan hanya soal keyakinan, tetapi mencakup dimensi amal dan komitmen terhadap ajaran Allah.
Dalam pandangan mufassir Syiah, makna iman memiliki beberapa aspek yang berkaitan dengan keyakinan, amal, dan hubungan dengan para imam yang menjadi pembimbing rohani umat. Berikut beberapa pandangan dari mufassir Syiah mengenai iman:
1.Allamah Thabathabai (Tafsir al-Mizan)
Allamah Thabathabai, seorang mufassir terkemuka dalam mazhab Syiah, dalam Tafsir al-Mizan menekankan bahwa iman adalah gabungan antara keyakinan yang kokoh di dalam hati, pernyataan lisan, dan amal perbuatan. Menurutnya, iman tidak hanya berhenti pada pengakuan lisan tetapi harus disertai dengan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan. Dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah: 177, ia menjelaskan bahwa iman mencakup kepercayaan kepada Allah, hari kiamat, para malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, tetapi juga harus terwujud dalam bentuk tindakan nyata seperti mendirikan salat, menunaikan zakat, dan berlaku adil.
2.Syekh Mufid
Syekh Mufid, salah satu teolog dan mufassir Syiah awal, dalam karyanya menekankan bahwa iman dalam ajaran Syiah tidak hanya berarti percaya kepada Allah dan Rasul, tetapi juga harus mencakup keyakinan kepada kepemimpinan para Imam Ahlul Bait (keturunan Nabi Muhammad SAW). Dalam pandangannya, pengakuan terhadap Imamah (kepemimpinan spiritual dan politik) adalah bagian integral dari iman, dan tanpa itu, iman seseorang dianggap tidak sempurna.
3.Al-Kulayni (Tafsir al-Kafi)
Al-Kulayni, dalam kitab Al-Kafi, menyebutkan bahwa iman adalah keyakinan yang teguh yang diucapkan dengan lisan dan diaktualisasikan dalam tindakan. Namun, ia menambahkan bahwa iman dalam perspektif Syiah juga berarti mengakui otoritas Imam Ali dan para imam dari keturunannya. Dalam tafsir QS. Al-Ma’idah: 55, yang berbicara tentang kepemimpinan, Al-Kulayni menjelaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan pentingnya kepemimpinan spiritual dari para imam sebagai bagian dari iman.
4.Al-Tusi (Tafsir al-Tibyan)
Al-Tusi dalam tafsirnya, Tafsir al-Tibyan, mengajarkan bahwa iman mencakup keyakinan kepada Allah, nabi-Nya, serta para Imam Ahlul Bait sebagai penerus sah dari Nabi. Iman bukan hanya keyakinan spiritual, tetapi juga kesetiaan kepada kebenaran yang diwakili oleh para Imam. Menurutnya, iman harus dipraktikkan dalam bentuk ibadah dan kepatuhan terhadap ajaran para imam yang memandu umat ke jalan yang benar.
5.Allamah Majlisi (Bihar al-Anwar)
Allamah Majlisi dalam kitabnya Bihar al-Anwar menegaskan bahwa iman yang sempurna mencakup keyakinan kepada Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, dan nabi-nabi-Nya, serta kepemimpinan para Imam. Ia menyatakan bahwa pengakuan terhadap Imamah adalah syarat utama iman dalam mazhab Syiah. Hal ini karena para Imam dipandang sebagai penjaga dan penerus otoritas agama setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
6.Imam Ja’far ash-Shadiq (Imam Syiah ke-6)
Imam Ja’far ash-Shadiq, salah satu imam dalam mazhab Syiah, mengajarkan bahwa iman adalah campuran antara keyakinan dalam hati, pernyataan dengan lisan, dan pengamalan dalam tindakan. Namun, ia menekankan bahwa iman juga memerlukan pengakuan terhadap kebenaran Ahlul Bait. Dalam salah satu ucapannya yang diriwayatkan dalam kitab Usul al-Kafi, beliau menyatakan bahwa iman tanpa pengakuan terhadap Ahlul Bait adalah iman yang tidak sempurna.
7.Ayatullah Muhammad Baqir as-Sadr
Ayatullah as-Sadr, seorang teolog dan mufassir kontemporer Syiah, menyatakan bahwa iman haruslah bersifat dinamis, yang mendorong seseorang untuk selalu memperjuangkan kebenaran dan keadilan berdasarkan ajaran para imam. Dalam tafsirnya terhadap QS. Al-Baqarah: 177, ia menekankan bahwa iman yang sempurna melibatkan keyakinan kepada Allah dan menjalankan nilai-nilai moral yang ditanamkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para imam.
8.Al-Fadl ibn Hasan al-Tabarsi (Tafsir Majma’ al-Bayan)
Al-Tabarsi dalam Tafsir Majma’ al-Bayan menafsirkan bahwa iman mencakup keyakinan terhadap Allah, rasul-Nya, kitab-Nya, dan para imam. Ia menekankan pentingnya iman yang diwujudkan melalui amal, dengan penekanan bahwa seseorang harus tunduk kepada ajaran para imam sebagai penerus kepemimpinan Rasulullah SAW.
9.Al-Hilli (Tafsir Al-Hilli)
Al-Hilli, seorang teolog dan ahli hukum Syiah, menyatakan bahwa iman tidak hanya berarti keyakinan kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga melibatkan kepercayaan kepada imam-imam yang maksum (terjaga dari dosa). Menurutnya, ketaatan kepada imam merupakan bukti iman yang sejati, dan tanpa pengakuan ini, iman tidak dianggap sah.
10.Ayatullah Murtadha Mutahhari
Ayatullah Mutahhari, seorang cendekiawan dan filosof Syiah, menafsirkan iman sebagai kekuatan spiritual yang melibatkan keyakinan kepada Allah dan para Imam Ahlul Bait, serta pengamalan nilai-nilai moral dan sosial yang mereka ajarkan. Ia menekankan bahwa iman harus mencakup kesadaran intelektual dan perbuatan nyata untuk mencapai kesejahteraan rohani dan sosial.
Dalam pandangan mufassir Syiah, iman tidak hanya berkaitan dengan keyakinan kepada Allah dan Rasul, tetapi juga melibatkan pengakuan dan kesetiaan kepada para Imam Ahlul Bait sebagai penerus otoritas spiritual dan moral Islam. Iman juga harus diwujudkan dalam bentuk amal yang nyata dan konsisten dengan ajaran agama.
Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat (tasawuf), iman memiliki dimensi yang lebih mendalam dibandingkan pemahaman literal atau hukum syariat. Iman dalam konteks ini lebih menekankan hubungan batin, pengalaman spiritual, serta pengenalan langsung kepada Tuhan (makrifatullah) melalui kesucian hati dan penyingkapan hakikat. Berikut beberapa pandangan ahli makrifat dan hakikat tentang iman:
1. Iman sebagai Pengenalan Batin (Makrifatullah)
Para ahli makrifat menganggap iman sebagai pengenalan sejati kepada Allah melalui hati, bukan sekadar pengetahuan intelektual. Iman bukan hanya percaya secara lisan, tetapi adalah kehadiran dan kesadaran batin tentang Tuhan dalam segala aspek kehidupan.
Al-Hallaj, seorang sufi besar, mengungkapkan bahwa iman sejati adalah mengenal Allah melalui cinta dan pengalaman langsung dengan-Nya. Baginya, iman adalah ketika seseorang merasakan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan, melampaui batas-batas logika dan formalitas ibadah. Hal ini disebut sebagai makrifat, yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh melalui penyucian jiwa dan kesatuan dengan Tuhan.
2. Iman sebagai Cinta dan Kerinduan kepada Allah
Dalam tasawuf, iman seringkali dijelaskan sebagai cinta yang mendalam kepada Allah. Rumi, seorang penyair dan sufi besar, menyatakan bahwa iman adalah cinta yang meluap-luap kepada Sang Pencipta, yang menarik manusia mendekat kepada-Nya. Cinta ini melampaui segala kecintaan duniawi dan mengarah kepada fanā’ (peleburan diri) dalam kehadiran Allah.
Iman, menurut Rumi, bukanlah sekadar percaya pada Tuhan, melainkan kerinduan yang mendalam kepada-Nya sehingga hati tidak dapat dipuaskan oleh apa pun selain Allah. Cinta inilah yang mendorong seseorang untuk terus mendekat kepada Tuhan, bahkan sampai pada tahap “menghilang” dalam cinta-Nya.
3. Iman sebagai Jalan Pencapaian Hakikat
Ibnu Arabi, seorang ahli makrifat terkemuka, menjelaskan bahwa iman adalah pintu gerbang menuju hakikat ilahi. Menurutnya, iman tidak cukup hanya sebatas syariat atau keyakinan literal, tetapi harus membawa seseorang pada tingkat pengetahuan batin yang lebih dalam, yang dikenal sebagai hakikat. Iman adalah alat untuk mencapai pengetahuan tentang realitas tertinggi dari segala sesuatu, yaitu Tuhan.
Ibnu Arabi menyatakan bahwa iman sejati adalah pengenalan terhadap wahdatul wujud (kesatuan eksistensi), di mana manusia mengenali bahwa semua yang ada hanyalah manifestasi dari Tuhan. Dalam hal ini, iman membawa seseorang kepada penyadaran bahwa Tuhan adalah sumber segala sesuatu, dan manusia harus menyatu dengan realitas-Nya.
4. Iman sebagai Penyucian Diri
Dalam pandangan sufi, iman erat kaitannya dengan penyucian hati (tazkiyah al-nafs). Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar yang juga ahli dalam tasawuf, menjelaskan bahwa iman yang hakiki hanya bisa dicapai dengan penyucian jiwa dari sifat-sifat tercela seperti kesombongan, iri, dan cinta dunia. Menurutnya, iman harus disertai dengan mujahadah (perjuangan batin) untuk membersihkan hati, sehingga hati dapat menjadi cermin bagi Cahaya Ilahi.
Al-Ghazali menekankan bahwa iman sejati adalah ketika seorang mukmin tidak hanya mengenal Allah melalui dalil-dalil rasional, tetapi mengalami dan menyaksikan tanda-tanda kehadiran-Nya dalam kehidupannya. Oleh karena itu, iman yang hakiki adalah buah dari perjalanan spiritual yang penuh dengan renungan, doa, dan penghambaan yang tulus.
5. Iman sebagai Kesadaran Akan Kehadiran Ilahi
Abu Yazid Al-Busthami, seorang sufi besar, menjelaskan bahwa iman adalah kesadaran penuh akan kehadiran Allah dalam setiap momen kehidupan. Iman bukan hanya sesuatu yang abstrak, tetapi pengalaman nyata dari kebersamaan dengan Tuhan. Menurutnya, iman adalah perjalanan untuk mencapai pengenalan hakiki kepada Tuhan, di mana seseorang menyadari bahwa dirinya hanyalah “bayangan” di hadapan realitas Tuhan yang mutlak.
Iman dalam pengertian ini adalah proses transformasi batin di mana seseorang menyadari kehendak Tuhan dalam segala hal. Para ahli hakikat sering menggambarkan iman sebagai perjalanan menuju peniadaan diri (fana’), sehingga seseorang sepenuhnya bergantung dan menyadari kehadiran Ilahi dalam segala aspek kehidupan.
6. Iman sebagai Tahapan dalam Perjalanan Spiritual (Maqamat)
Dalam tasawuf, iman juga dipandang sebagai salah satu dari maqamat (tahapan-tahapan) dalam perjalanan spiritual seorang hamba menuju Tuhan. Junaid Al-Baghdadi menyebutkan bahwa iman adalah salah satu maqam di antara berbagai maqam yang harus dilalui oleh seorang sufi, seperti taubat, zuhud, tawakkal, dan ridha. Setiap maqam memiliki derajat spiritual yang lebih tinggi, dan iman adalah fondasi dari semua maqam ini.
Menurut Junaid, iman akan bertambah seiring dengan peningkatan maqam seseorang dalam perjalanan mendekat kepada Allah. Seorang yang beriman tidak hanya berhenti pada keyakinan awal, tetapi terus menerus memperdalam keyakinannya dan memperhalus hubungannya dengan Allah melalui setiap maqam yang ia capai.
7. Iman sebagai Keterlepasan dari Diri (Fanā’)
Ahli hakikat seperti Al-Bistami atau Rabi’ah Al-Adawiyah memandang iman sebagai keterlepasan dari diri pribadi, dalam istilah tasawuf dikenal dengan fanā’. Iman bukan hanya tentang mengenal Allah, tetapi juga melibatkan penyerahan total, di mana ego manusia “hilang” dalam cinta dan pengenalan kepada Tuhan. Dalam keadaan fanā’, seorang sufi tidak lagi melihat dirinya, tetapi hanya melihat Allah dalam segala sesuatu.
Iman dalam konteks ini membawa seseorang kepada tingkat spiritual tertinggi, di mana dia tidak lagi terikat oleh keinginan duniawi atau keterbatasan dirinya sendiri, tetapi hanya terpusat pada kehendak dan cinta Allah.
8. Iman sebagai Keesaan Allah dalam Perbuatan (Tawhid al-Af’al)
Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengajarkan bahwa iman yang hakiki melibatkan pengakuan terhadap keesaan Allah dalam perbuatan (tawhid al-af’al). Iman bukan hanya pengakuan lisan, tetapi keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini adalah hasil dari kehendak Allah. Seorang yang beriman harus melihat bahwa segala sesuatu yang dialami dalam hidup adalah bentuk manifestasi dari kehendak-Nya.
Kesimpulan
Para ahli makrifat dan hakikat memahami iman sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar keyakinan intelektual atau pengakuan lisan. Iman adalah pengalaman batin yang mendalam, di mana seseorang mengenal Allah secara langsung, merasakan kehadiran-Nya, dan menjalani kehidupan dalam kerangka cinta, penyucian diri, dan kesatuan dengan Tuhan. Iman dalam pandangan ini adalah perjalanan spiritual yang terus berkembang dan membawa seseorang kepada hakikat Tuhan dan realitas eksistensial yang lebih tinggi.
Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat dalam tradisi Syiah, iman memiliki dimensi yang sangat mendalam dan transendental, dengan penekanan pada aspek batiniah, cinta kepada Allah, serta hubungan khusus dengan Ahlul Bait (keluarga Nabi). Iman dalam tasawuf Syiah tidak hanya berhubungan dengan keyakinan formal, tetapi juga dengan pengalaman langsung (makrifat) dan kesadaran penuh terhadap hakikat ilahi. Berikut adalah beberapa perspektif tentang iman menurut ahli makrifat dan hakikat Syiah:
1. Iman sebagai Pengenalan Sejati kepada Allah (Makrifatullah)
Dalam tasawuf Syiah, iman adalah proses mencapai makrifatullah (pengenalan langsung kepada Allah). Ahli makrifat seperti Ayatullah Khomeini mengajarkan bahwa iman sejati adalah ketika seseorang mencapai pengetahuan yang lebih tinggi tentang Allah melalui hati yang disucikan. Iman tidak hanya sekadar mengikuti dogma atau hukum syariat, tetapi merupakan kesadaran penuh tentang Tuhan sebagai realitas tertinggi yang meliputi segala sesuatu. Menurut Khomeini, iman membawa seseorang kepada penyingkapan hakikat, di mana Allah tidak lagi hanya diketahui melalui nalar, tetapi dirasakan langsung melalui hati.
2. Iman sebagai Cinta kepada Allah dan Ahlul Bait
Salah satu ciri khas iman dalam tasawuf Syiah adalah keterkaitan yang mendalam dengan Ahlul Bait. Allamah Thabathabai, seorang filsuf dan ahli makrifat Syiah, menekankan bahwa iman mencakup cinta yang mendalam kepada Allah dan para Imam dari keturunan Nabi Muhammad (Ahlul Bait). Cinta ini dianggap sebagai jalan menuju Tuhan, karena para Imam adalah penunjuk jalan kepada hakikat Ilahi. Bagi ahli hakikat Syiah, cinta kepada Ahlul Bait adalah bagian integral dari iman, karena mereka dipandang sebagai refleksi dari cahaya Ilahi di dunia.
Mulla Sadra, seorang filsuf dan ahli makrifat terkemuka, juga menjelaskan bahwa iman adalah perwujudan dari cinta Ilahi. Dalam pandangannya, cinta kepada Allah tidak bisa dipisahkan dari cinta kepada Imam Ali dan para Imam Ahlul Bait, yang merupakan manifestasi tertinggi dari kehendak Allah di bumi.
3. Iman sebagai Pembersihan Diri (Tazkiyah al-Nafs)
Ahli makrifat Syiah seperti Ayatullah Behjat menekankan bahwa iman sejati hanya dapat dicapai melalui tazkiyah al-nafs (penyucian jiwa). Menurutnya, iman yang sempurna bukan hanya soal keyakinan rasional, tetapi harus dilandasi dengan perjuangan melawan hawa nafsu dan penyucian hati dari segala bentuk keserakahan, iri, dan kebencian. Dalam pandangan ini, iman adalah proses batiniah yang terus berkembang, di mana seorang mukmin harus senantiasa berusaha mendekatkan dirinya kepada Allah melalui amal ibadah dan peningkatan kualitas spiritual.
4. Iman sebagai Kesetiaan kepada Imamah (Wilayah)
Konsep wilayah (kepemimpinan spiritual para Imam) sangat penting dalam ajaran makrifat Syiah. Imam Ja’far ash-Shadiq, salah satu imam Syiah yang banyak memberikan ajaran tentang makrifat, menekankan bahwa iman yang sejati melibatkan keyakinan kepada Allah, Nabi, dan pengakuan terhadap kepemimpinan para Imam sebagai penerus sah Nabi Muhammad. Tanpa pengakuan terhadap Imamah, iman seseorang dianggap tidak sempurna. Menurut Imam ash-Shadiq, para Imam adalah “pintu” menuju pengenalan Allah, dan melalui mereka seseorang dapat mencapai hakikat iman yang sejati.
Ahli makrifat Syiah memahami bahwa para Imam memiliki peran khusus dalam menghubungkan umat dengan Tuhan. Iman yang sempurna berarti menerima dan mengikuti bimbingan spiritual para Imam, yang dilihat sebagai manifestasi dari kehendak Ilahi.
5. Iman sebagai Perenungan dan Penyingkapan Hakikat
Allamah Muhammad Husain Tabatabai, seorang filsuf dan ahli makrifat Syiah, menafsirkan iman sebagai perjalanan menuju penyingkapan hakikat ilahi (kasyf). Baginya, iman bukan hanya kepercayaan yang diucapkan dengan lisan, tetapi adalah perjalanan spiritual yang dalam, yang membawa seseorang kepada penyaksian langsung tentang Tuhan dan realitas batiniah segala sesuatu. Dalam tafsirnya, ia sering menekankan bahwa iman yang sejati adalah iman yang membawa seseorang kepada pengetahuan tentang hakikat (haqiqah), bukan hanya pengetahuan rasional.
Menurut Tabatabai, iman tidak bisa dipisahkan dari makrifat, karena iman yang hakiki akan selalu berkembang menjadi makrifat, yaitu pengetahuan yang datang langsung dari Allah sebagai buah dari penyucian hati dan pengabdian.
6. Iman sebagai Kesadaran Akan Keesaan Tuhan (Tawhid)
Bagi ahli makrifat seperti Mulla Sadra, iman juga berkaitan dengan kesadaran akan tawhid (keesaan Allah) dalam arti yang paling mendalam. Iman tidak hanya berarti percaya bahwa Tuhan itu satu, tetapi memahami bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah manifestasi dari satu realitas ilahi. Iman yang sejati membawa seseorang kepada kesadaran bahwa tidak ada wujud selain Allah, dan segala sesuatu yang ada hanyalah refleksi dari cahaya-Nya.
Mulla Sadra mengembangkan konsep wahdat al-wujud (kesatuan eksistensi), yang menyatakan bahwa seluruh realitas pada hakikatnya adalah satu, yaitu Allah. Iman dalam konteks ini bukan sekadar pengakuan lisan atau rasional, tetapi pengalaman langsung akan kesatuan segala sesuatu dalam Tuhan.
7. Iman sebagai Pengorbanan dan Keridhaan kepada Allah
Ahli makrifat Syiah sering menekankan pentingnya keridhaan (ridha) kepada Allah dalam iman. Imam Ali Zainal Abidin, dalam doa-doa yang disampaikan melalui Sahifah Sajjadiyah, mengajarkan bahwa iman harus dibarengi dengan sikap ridha terhadap segala ketetapan Allah. Ridha adalah tanda keimanan yang sejati, di mana seorang mukmin tidak hanya menerima perintah dan larangan Allah, tetapi juga menerima takdir-Nya dengan penuh cinta dan kerelaan, apa pun bentuknya.
8. Iman sebagai Tahapan dalam Maqam Spiritual
Dalam tradisi tasawuf Syiah, iman juga dipandang sebagai salah satu maqam (tahapan) dalam perjalanan spiritual menuju Tuhan. Ayatullah Jawadi Amuli, seorang ulama kontemporer, mengajarkan bahwa iman adalah maqam awal yang harus dilalui seorang salik (pejalan spiritual). Namun, iman ini harus terus ditingkatkan melalui ibadah, pengorbanan, dan makrifat hingga mencapai maqam-maqam yang lebih tinggi seperti tawakal (penyerahan diri), sabar, dan cinta ilahi (mahabba).
Menurut Jawadi Amuli, iman adalah perjalanan yang dinamis, di mana seorang mukmin terus-menerus berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyempurnakan keimanan melalui pengamalan ajaran-ajaran spiritual.
Kesimpulan ; Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat Syiah, iman bukan hanya soal keyakinan rasional atau mengikuti ajaran agama secara formal, tetapi juga pengalaman batin yang mendalam terhadap Allah dan para Imam. Iman adalah proses perjalanan spiritual yang melibatkan penyucian diri, pengenalan kepada Allah melalui para Imam, dan penyingkapan hakikat ilahi. Iman dalam tradisi ini juga diwarnai oleh cinta yang mendalam kepada Ahlul Bait sebagai manifestasi dari cahaya Ilahi dan sebagai jalan menuju Tuhan yang hakiki
20 Salam untuk Rasul dan Az-Zahra saat menziarahinya
20 Pondasi Iman
20 Syariat Islam dari Az-Zahra as
Ziarah Rasulullah saw
اَشْهَدُ اَنْ لا اِلـهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لا شَريكَ لَهُ، وَاَشْهَدُ اَنَّمُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ،
وَاَشْهَدُ اَنَّهُ سَيِّدُ الاَْوَّلينَ وَالاْخِرينَ،
وَاَنَّهُ سَيِّدُ الاَْنْبِياءِوَالْمُرْسَلينَ،
اَللّـهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلى اَهْلِ بَيْتِهِ الاَئِمَّةِ الطَّيِّبينَ، ثمّ قل :
1, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يارَسُولَ اللهِ،
2, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا خَليلَ اللهِ،
3, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا نَبِيَّ اللهِ،
4, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ ياصَفِيَّ اللهِ،
5, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا رَحْمَةَ اللهِ،
6, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا خِيَرَةَ اللهِ،
7, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ ياحَبيبَ اللهِ،
8, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا نَجيبَ اللهِ،
9, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا خاتَمَ النَّبِيّينَ،
10, اَلسَّلامُ عَلَيْكَيا سَيِّدَ الْمُرْسَلينَ،
11, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا قائِماً بِالْقِسْطِ،
12, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا فاتِحَ الْخَيْرِ،
13, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا مَعْدِنَ الْوَحْيِ وَالتَّنْزيلِ،
14, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا مُبَلِّغاً عَنِ اللهِ،
15, اَلسَّلامُعَلَيْكَ اَيُّهَا السِّراجُ الْمُنيرُ،
16, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا مُبَشِّرُ،
17, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا نَذيرُ،
18, اَلسَّلامُعَلَيْكَ يا مُنْذِرُ،
19, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا نُورَ اللهِ الَّذي يُسْتَضاءُ بِهِ،
20, اَلسَّلامُ عَلَيْكَ وَعَلى اَهْلِبَيْتِكَ الطَّيِّبينَ الطّاهِرينَ الْهادينَ الْمَهْدِيّينَ،
اَلسَّلامُ عَلَيْكَ وَعَلى جَدِّكَ عَبْدِ المُطَّلِبِ،وَعَلى اَبيكَ عِبْدِ اللهِ،
اَلسَّلامُ عَلى اُمِّكَ آمِنَةَ بِنْتِ وَهَب،
اَلسَّلامُ عَلى عَمِّكَ حَمْزَةَ سَيِّدِالشُّهَداءِ،
اَلسَّلاُمُ عَلى عَمِّكَ الْعَبّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ،
اَلسَّلامُ عَلى عَمِّكَ وَكَفيلِكَ أبيطالِب،
اَلسَّلامُ عَلى ابْنِ عَمِّكَ جَعْفَر الطَّيّارِ في جِنانِ الْخُلْدِ،
اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا مُحَمَّدُاَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا اَحْمَدُ
اَلسَّلامُ عَلَيْكَ يا حُجَّةَ اللهِ عَلَى الاَْوَّلينَ وَالاْخَرينَ
وَالسّابِقُ اِلىطاعَةِ رَبِّ الْعالَمينَ،
وَالْمُهَيْمِنُ عَلى رُسُلِهِ، وَالْخاتَمُ لاَِنْبِيائِهِ،
وَالشّاهِدُ عَلى خَلْقِهِ،وَالشَّفِيعُ اِلَيْهِ،
وَالْمَكينُ لَدَيْهِ، وَالْمُطاعُ في مَلَكُوتِهِ،
الاَْحْمَدُ مِنَ الاَْوْصافِ،
الُْمحَمَّدُلِسائِرِ الاَْشْرافِ،
الْكَريمُ عِنْدَ الرَّبِّ،
وَالْمُكَلَّمُ مِنْ وَراءِ الْحُجُبِ،
الْفائِزُ بِالسِّباقِ،وَالْفائِتُ عَنِ اللِّحاقِ،
تَسْليمَ عارِف بِحَقِّكَ مُعْتَرِف بِالتَّقْصيرِ في قِيامِهِ بِواجِبِكَ،
غَيْرَ مُنْكَر مَا انْتَهى اِلَيْهِ مِنْ فَضْلِكَ،
مُوقِن بِالْمَزيداتِ مِنْ رَبِّكَ،
مُؤْمِن بِالْكِتابِ الْمُنْزَلِعَلَيْكَ،
مُحَلِّل حَلالَكَ، مُحَرَّم حَرامَكَ،
اَشْهَدُ يا رَسُولَ اللهِ مَعَ كُلِّ شاهِد،
وَاَتَحَمَّلُها عَنْكُلِّ جاحِد،
اَنَّكَ قَدْ بَلَّغْتَ رِسالاتِ رَبِّكَ،
وَنَصَحْتَ لاُِمَّتِكَ،
وَجاهَدْتَ في سَبيلِ رَبِّكَ،
وصَدَعْتَ بِاَمْرِهِ،
وَاحْتَمَلْتَ الاَْذى في جَنْبِهِ،
وَدَعَوْتَ اِلى سَبيلِهِ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِالْحَسَنَةِ الْجَميلَةِ،
وَاَدَّيْتَ الْحَقَّ الَّذي كانَ عَلَيْكَ،
وَاَنَّكَ قَدْ رَؤُفْتَ بِالْمُؤْمِنينَ،
وَغَلُظْتَعَلَى الْكافِرينَ،
وَعَبَدْتَ اللهَ مُخْلِصاً حَتّى اَتاكَ الْيَقينُ،
فَبَلَغَ اللهُ بِكَ اَشْرَفَ مَحَلِّالْمُكَرَّمينَ،
وَاَعْلى مَنازِلِ الْمُقَرَّبينَ،
وَاَرْفَعَ دَرَجاتِ الْمُرْسَلينَ،
حَيْثُ لا يَلْحَقُكَ لاحِقٌ،
وَلايَفُوقُكَ فائِقٌ،
وَلا يَسْبِقُكَ سابِقٌ،
وَلا يَطْمَعُ في اِدْراكِكَ طامِعٌ،
Dengan asma Allah Yang Mahakasih dan Maha sayang.
Ya Allah curahkanlah rahmat- Mu kepada Muhammad dan keluarga Muham mad. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba- Nya dan Rasul-Nya. Beliau adalah penghulu orang-orang yang pertama dan orang-orang yang terakhir. Beliau adalah pemimpin para nabi dan rasul. Ya Allah, sampaikan shalawat kepadanya dan kepada ahli baytnya, para Imam yang baik.
Salam atasmu duhai Rasulullah. Salam atasmu duhai Kesayangan Allah. Salam atasmu duhai Nabi Allah. Salam atasmu duhai Kecintaan Allah. Salam atasmu duhai Rahmat Allah. Salam atasmu duhai Pilihan Allah. Salam atasmu duhai Kekasih Allah. Salam atasmu duhai Kemuliaan Allah. Salam atasmu duhai Nabi yang terakhir. Salam atasmu duhai pemimpin para utusan (Allah). Salam atasmu duhai yang meneggakkan keadilan. Salam atasmu duhai pembuka kebaikan. Salam atasmu duhai Tambang wahyu dan Al-Quran. Salam atasmu duhai Yang menyampaikan agama Allah. Salam atasmu duhai Cahaya yang bersinar. Salam atasmu duhai Pembawa berita gembira. Salam atasmu duhai Pemberi peringatan. Salam atasmu duhai Yang memperingatkan. Salam atasmu duhai Cahaya Allah yang menerangi segala sesuatu. Salam atasmu dan kepada ahlulbaitmu yang baik dan suci, yang mem-beri petunjuk dan mendapatkan petunjuk. Salam atasmu dan kepada kakekmu, Abdul Mutholib, dan kepada ayahmu, Abdullah. Salam kepada ibumu, Aminah binti Wahab. Salam untuk pamanmu, Hamzah, pemimpin para syuhada. Salam untuk pamanmu, Abbas bin Abdul Mutholib. Salam untuk pamanmu dan sekaligus pengasuhmu, Abu Tholib. Salam untuk sepupumu, Ja`far ath-Thayyar yang tinggal di surga yang abadi. Salam atasmu duhai Muhammad. Salam atasmu duhai Ahmad. Salam atasmu duhai Hujah Allah atas orang-orang yang pertama dan orang-orang yang terakhir.
Duhai orang yang terdepan dalam ketaatan kepada Tuhan semesta alam, yang mengung- guli para rasul-Nya, penutup para nabi-Nya, saksi atas makhluk-Nya, pemberi syafaat, orang yang kuat di sisi-Nya, yang ditaati di kerajaan-Nya, yang memiliki sifat-sifat yang terpuji, yang dipuji atas semua kemuliaan yang diperolehnya di sisi Allah. Yang diajak bicara dari belakang hijab, Yang mulia sejak dahulu, Yang menerima dan mengakui hak- mu, yang mengakui kelalaian dalam melaksa- nakan kewajiban padamu, serta tidak meng- ingkari keutamaan yang datang kepadanya darimu. Meyakini segala anugerah dari Tuhanmu, mengimani Al-Quran yang turun atasmu, menghalalkan apa-apa yang engkau halalkan dan mengharamkan apa-apa yang engkau haramkan.
Aku bersaksi duhai Rasulullah bersama orang yang bersaksi dan Aku siap melawan kejahatan orang yang menentang. Engkau telah menyampaikan ajaran-ajaran Tuhanmu, Engkau telah memberikan nasihat kepada umatmu. Engkau telah berjuang di jalan Tuhanmu. Engkau telah menerangkan segala perintah-Nya, bahkan karenanya, Engkau menanggung penderitaan dan gangguan. Engkau telah berdakwah di jalan-Nya dengan penuh hikmah dan nasihat yang baik. Engkau telah menyampaikan kebenaran yang engkau ketahui. Engkau telah menebar kasih sayang di tengah-tengah kaum mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Engkau telah beribadah kepada Allah dengan penuh keikhlasan sehingga kematian menjemputmu. Mudah-mudahan Allah mendudukkanmu ke tempat yang mulia, yang tertinggi yang diduduki orang yang muqorrobin, serta derajat teragung yang diraih oleh para rasul di mana tidak ada seorangpun yang mampu menyusulmu, tak seorangpun yang mampu mengunggulimu, tak seorangpun yang mampu mendahuluimu, dan tak seorangpun yang berhasrat akan mencapai [kedudukan]mu.
20 Salam saat Ziarah kepada Sayyidah Fathimah Az-Zahra as
1, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا بِنْتَ رَسُوْلِ اللهِ،
2, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَابِنْتَ نَبِيِّ اللهِ،
3, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا بِنْتَ حَبِيْبِ اللهِ،
4, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا بِيْتَ خَلِيْلِ اللهِ،
5, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَابِنْتَ صَفِيِّ اللهِ،
6, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا بِنْتَ أَمِيْنِ اللهِ،
7, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا بِنْتَ خَيْرِ خَلْقِ اللهِ،
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا بِنْتَ أَفْضَلِ أَنْبِيَآءِ اللهِ وَرُسُلِهِ وَمَلآئِكَتِهِ،
8, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا بِنْتَ خَيْرِ الْبَرِيَّةِ،
9, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا سَيِّدَةِ نِسَاءِ الْعَالَمِيْنَ مِنَ اْلأَوَّلِيْنَ وَاْلآخِرِيْنَ،
10, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا زَوْجَةَ وَلِيِّ اللهِ وَخَيْرِ الْخَلْقِ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ،
11, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا أُمَّ الْحَسَنِ وُالْحُسَيْنِ سَيِّدَيْ شَبَابِ أَهْلِ الْجَنَّةِ،
12, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الصَِّدِّيْقَةُ الشَّهِيْدَةُ،
13, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الرَّضِيَّةُ الْمَرْضِيَّةُ،
14, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الْفَاضِلَةُ الزَّكِيَّةُ،
15, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الْحَوْرَاءُ اْلإِنْسِيَّةُ،
16, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا التَّقِيَّةُ النَّقِيَّةُ،
17, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الْمُحَدَّثَةُ الْعَلِيْمَةُ،
18, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الْمَظْلُوْمَةُ الْمَغْصُوْبَةُ، 19, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ أَيَّتُهَا الْمُضْطَهَدَةُ الْمَقْهُوْرَةُ، 20, اَلسَّلاَمُ عَلَيْكِ يَا فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُوْلِ اللهِ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
صَلَّى اللهُ عَلَيْكِ وَعَلَى رُوْحِكِ وَبَدَنِكِ،
أَشْهَدُ أَنَّكِ مَضَيْتِ عَلَى بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّكِ
وَأَنَّ مَنْ سَرَّكِ فَقَدْ سَرَّ رَسُوْلَ اللهِ،
وَمَنْ جَفَاكِ فَقَدْ جَفَا رَسُوْلَ اللهِ،
وَمَنْ آذَاكِ فَقَدْ آذَى رَسُوْلَ اللهِ،
وَمَنْ وَصَلَكِ فَقَدْ وَصَلَ رَسُوْلَ اللهِ،
وَمَنْ قَطَعَكِ فَقَدْ قَطَعَ رَسُوْلَ اللهِ، ِ
لأَنَّكِ بِضْعَةٌ مِنْهُ، وَرُوْحُهُ الَّتِي بَيْنَ جَنْبَيْهِ،
كَمَا قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ،
أُشْهِدُ اللهَ وَرُسُلَهُ وَمَلآئِكَتَهُ
أَنِّي رَاضٍ عَمَّنْ رَضِيْتِ عَنْهُ،
سَاخِطٌ عَلَى مَنْ سَخِطْتِ عَلَيْهِ،
مُتَبَرِّىءٌ مِمَّنْ تَبَرَّأْتِ مِنْهُ،
مُوَالٍ لِمَنْ وَالَيْتِ،
مُعَادٍ لِمَنْ عَادَيْتِ،
مُبْغِضٌ لِمَنْ أَبْغَضْتِ،
مُحِبٌّ لِمَنْ أَحْبَبْتِ،
وَكَفَى بِاللهِ شَهِيْدًا،
وَحَسِيْبًا وَجَازِيًا وَمُثِيْبًا
Salam atasmu duhai putri Rasulullah. Salam atasmu duhai putri Nabi Allah. Salam atasmu duhai putri kekasih Allah. Salam atasmu duhai putri kesayangan Allah Salam atasmu duhai putri pilihan Allah. Salam atasmu duhai putri kepercayaan Allah
Salam atasmu duhai putri makhluk terbaik Allah Salam atasmu duhai putri Nabi yang paling utama, putri Rasul yang paling utama dan mailakatnya Salam atasmu duhai putri manusia terbaik. Salam atasmu duhai penghulu wanita semua alam, dari yang pertama dan terakhir
Salam atasmu duhai istri wali Allah, sebaik-baik makhluk setelah Rasulullah saw. Salam atasmu duhai bunda Al-Hasan dan Al-Husain penghulu pemuda ahli surga. Salam atasmu duhai as-shiddiqah dan as-syahiidah. Salam atasmu duhai yang rela dan direlai. Salam atasmu duhai yang utama dan suci. Salam atasmu duhai manusia bidadari. Salam atasmu duhai yang taqwa dan suci. Salam atasmu duhai yang berbicara dengan malaikat dan yang alim. Salam atasmu duhai yang teraniaya dan yang dirampas. Salam atasmu duhai yang diperah dan dikuasai haknya. Salam atasmu duhai Fatimah, putri Rasul, semoga rahmat Allah juga berkah-Nya (dilipahkan atasmu).Semoga shalawat Allah selalu atasmu, ruhmu dan jasadmu, aku bersaksi bahwa engkau berada di atas kebenaran dari Tuhanmu, dan siapa yang telah menyenangkanmu, berarti telah menyenangkan Rasul Allah saw. Siapa yang menyakitimu berarti menyakiti Rasulullah saw.
Siapa yang menghubungimu berarti menghubungi Rasulullah saw. Siapa yang memutuskan hubungan denganmu berarti telah memutuskan hubungan dengan Rasulullah saw. Karena engkaulah darah dagingnya, serta ruhnya yang ada pada kedua sampingnya Sebagaimana sabda Rasulullah saw,’
Saya mempersaksikan pada Allah, rasul-rasul dan para malaikat-Nya,
bahwa saya rela dari siapa yang engkau relai (wahai Fathimah) dan murka pada siapa yang engkau murkai Saya berlepas diri dari orang yang engkau berlepas diri darinya, Saya mencintai pada siapa yang engkau cintai, Saya memusuhi pada siapa yang engkau musuhi, Saya marah pada siapa yang engkau marahi, Saya sayang pada siapa yang engkau sayangi. Cukuplah Allah sebagai saksi, Yang akan memperhitungkan, Yang akan membalas dan mengganjar.
20 Pondasi Iman dalam Hadis Imam Ali a.s.
وسُئِلَ عليه السلام عَنِ الْإِيمَانِ،
فَقَالَ: الْإِيمَانُ عَلَى أَرْبَعِ دَعَائِمَ:
عَلَى الصَّبْرِ، والْيَقِينِ، وَالْعَدْلِ، وَالْجَهَادِ:
Pondasi Iman ;
1, Sabar
2, Yaqin
3, Adil
4, Jihad
فَالصَّبْرُ مِنْهَا عَلَى أَربَع شُعَبٍ عَلَى الشَّوْقِ، وَالشَّفَقِ (الخوف)، وَالزُّهْدِ، وَالتَّرَقُّبِ
Pondasi Sabar
5, Gairah (Rindu/Semangat)
6, Takut
7, Zuhud
8, Waspada
وَالْيَقِينُ مِنْهَا عَلَى أَرْبَعِ شُعَبٍ:
عَلَى تَبْصِرَةِ الْفِطْنَةِ، وَتَأَوُّلِ الْحِكْمَةِ (الوصول إلى دقائقها.) وَمَوْعِظَةِ الْعِبْرَةِ، وَسُنَّةِ الْأَوَّلِينَ:
Pondasi Yaqin
9, Pandangan Bijaksana
10, Hikmah
11, Pelajaran (Ibroh)
12, Sunnah Terdahulu
وَالْعَدْلُ مِنْهَا عَلَى أَرْبَعِ شُعَبٍ:
عَلَى غائِصِ الْفَهْمِ، وَغَوْرِ الْعِلْمِ ، وَزُهْرَةِ الْحُكْمِ، وَرَسَاخَةِ الْحِلْمِ
Pondasi Adil
13, Faham
14, Kedalaman Ilmu
15, Hikmah Hukum
16, Bijaksana (Hilim)
وَالْجِهَادُ مِنْهَا عَلَى أَرْبَعِ شُعَبٍ:
عَلَى الْأَمْرِ بالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنكَرِ،
وَالصِّدْقِ فِي الْمَوَاطِنِ،وَشَنَآنِ الْفَاسِقيِنَ:
Pondasi Jihad
17, Amar Ma’ruf
18, Nahi Mungkar
19, Berjuang dalam Kebenaran
20, Membenci Kejahatan
Hadis lengkapnya:
وسُئِلَ عليه السلام عَنِ الْإِيمَانِ،
فَقَالَ: الْإِيمَانُ عَلَى أَرْبَعِ دَعَائِمَ:
عَلَى الصَّبْرِ، والْيَقِينِ، وَالْعَدْلِ، وَالْجَهَادِ:
فَالصَّبْرُ مِنْهَا عَلَى أَربَع شُعَبٍ عَلَى الشَّوْقِ، وَالشَّفَقِ الخوف.">(1)، وَالزُّهْدِ، وَالتَّرَقُّبِ:
فَمَنِ اشْتَاقَ إِلَى الْجَنَّةِ سَلاَ عَنِ الشَّهَوَاتِ،
وَمَنْ أشْفَقَ مِنَ النَّارِ اجْتَنَبَ الْمُحَرَّمَاتِ،
وَمَنْ زَهِدَ فِي الدُّنْيَا اسْتَهَانَ بِالْمُصِيبَاتِ،
وَمَنِ ارْتَقَبَ الْمَوْتَ سَارَعَ فِي الْخَيْرَاتِ.
Imam Ali as ditanya tentang Iman;
"Iman berdiri di atas empat pondasi 1, Kesabaran 2, Keyakinan,
3, Keadilan ,4, Jihad
Kesabaran mempunyai empat aspek:
1, Gairah, (Semangat/Rindu)
2, Takut,
3, Zuhud ,
4, Antisipasi (akan kematian)
Maka barangsiapa bergairah untuk surga, ia akan mengabaikan hawa nafsunya.
Barangsiapa takut akan api (neraka), ia akan menahan diri dari perbuatan yang terlarang.
Barangsiapa zuhud dengan dunia maka dia harus tangguh menghadapi ujian.
Barangsiapa mengantisipasi (waspada) pada kematian ia akan bergegas kepada amal baik
وَالْيَقِينُ مِنْهَا عَلَى أَرْبَعِ شُعَبٍ:
عَلَى تَبْصِرَةِ الْفِطْنَةِ،
وَتَأَوُّلِ الْحِكْمَةِ الوصول إلى دقائقها.">(2)،
وَمَوْعِظَةِ الْعِبْرَةِ (3)،
وَسُنَّةِ (4) الْأَوَّلِينَ:
فَمَنْ تَبَصَّرَ فِي الْفِطْنَةِ تبَيَّنَتْ لَهُ الْحِكْمَةُ،
وَمَنْ تَبَيَّنَتْ لَهُ الْحِكْمَةُ عَرَفَ الْعِبْرَةَ،
وَمَنْ عَرَفَ الْعِبْرَةَ فَكَأَنَّمَا كَانَ فِي الْأَوَّلِينَ.
Keyakinan juga mempunyai empat aspek :
1, Penglihatan yang bijaksana.
2, Kecerdasan dan pengertian.
3, Menarik pelajaran dari hal-hal yang mengandung pelajaran.
4, Mengikuti contoh orang-orang sebelumnya
Oleh karena itu, barangsiapa melihat dengan bijaksana, pengetahuan bijaksana akan terwujud kepadanya
dan barangsiapa yang terwujud padanya pengetahuan bijaksana maka ia akan menilai obyek-obyek yang mengandung pelajaran
Barangsiapa menilai obyek-obyek yang mengandung pelajaran, samalah dia dengan orang-orang yang terdahulu.
وَالْعَدْلُ مِنْهَا عَلَى أَرْبَعِ شُعَبٍ:
عَلَى غائِصِ الْفَهْمِ، وَغَوْرِ الْعِلْمِ ، وَزُهْرَةِ الْحُكْمِ، وَرَسَاخَةِ الْحِلْمِ:
فَمَنْ فَهِمَ عَلِمَ غَوْرَ الْعِلْمِ،
وَمَنْ عَلِمَ غَوْرَ الْعِلْمِ صَدَرَ عَنْ شَرَائِعِ الْحُكْمِ (7)،
وَمَنْ حَلُمَ لَمْ يُفَرِّطْ فِي أَمْرِهِ وَعَاشَ فِي النَّاسِ حَمِيداً.
Keadilan mempunyai empat aspek:
1, Pemahaman yang tajam.
2, Pengetahuan yang mendalam.
3, Kemampuan yang baik untuk memutuskan.
4, Ketabahan yang kukuh.
Barangsiapa yang memahami dia akan mendapatkan kedalaman pengatahuan.
Barangsiapa mendapatkan kedalaman pengetahuan, ia meminum dari sumber keadilan.
Dan barangsiapa berlaku sabar maka ia tak akan melakukan perbuatan jahat dalam urusannya,
dan akan menjalani kehidupan yang terpuji di antara manusia.
وَالْجِهَادُ مِنْهَا عَلَى أَرْبَعِ شُعَبٍ:
عَلَى الْأَمْرِ بالْمَعْرُوفِ، وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنكَرِ،
وَالصِّدْقِ فِي الْمَوَاطِنِ،وَشَنَآنِ الْفَاسِقيِنَ:
فَمَنْ أَمَرَ بِالْمَعْرُوفِ شَدَّ ظُهُورَ الْمُؤمِنِينَ،
وَمَنْ نَهَىِ عَنِ الْمُنْكَرِ أَرْغَمَ أُنُوفَ الْكَافِرِينَ،
ومَنْ صَدَقَ فِي الْمَوَاطِنِ قَضَى مَا عَلَيْهِ،
وَمَنْ شَنِىءَ الْفَاسِقِينَ وَغَضِبَ لِلَّهِ غَضِبَ اللهُ لَهُ وَأَرْضَاهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
Jihad juga mempunyai empat aspek:
1. Menyuruh orang berbuat baik.
2. Mencegah orang berbuat kemungkaran.
3. Berjuang [di jalan Allah] dengan ikhlas dan teguh pada setiap kesempatan.
4. Membenci yang mungkar
Maka barangsiapa menyuruh orang lain berbuat baik, ia memberikan kekuatan kepada kaum mukmin. Barang siapa menghentikan orang lain dari kemungkaran, ia menghinakan orang kafir.
Barangsiapa berjuang dengan ikhlas pada segala kesempatan, ia melaksanakan seluruh kewajibannya.
Dan barangsiapa membenci yang mungkar dan menjadi marah demi Allah maka Allah akan marah untuk kepentingan dia dan akan tetap meridhainya pada Hari Pengadilan.
(Kitab Nahjul Balaghoh)
20 Tujuan Ibadah atau Syareat Islam Menurut Sayyidah Fathimah Az-Zahra as putri Rasulullah saw Wanita Al-Quran
Dalam Khotbahnya di hadapan para sahabat Nabi saw; setelah wafat ayahnya Rasulullah saw; saat menjelaskan hakikat dan kandungan Al-Quran yg pernah disampaikan ayahnya yaitu hikmah dari ibadah dalam syareat yg beliau sebut ada 20 syariat;
Wahai hamba-hamba Allah!
Kalian adalah pemuka-pemuka yang menyebarkan perintah-perintah-Nya dan kemungkaran yang dilarang-Nya.
Kalian adalah penyampai agama dan wahyu-Nya.
Kalian juga adalah orang-orang yang dipercaya Allah untuk mengurus dirinya masing-masing dan penyampai pesan-pesan-Nya kepada ummat-ummat yang lain.
Di sisi kalian ada pemimpin haq yang ditunjuki-Nya.
Dia telah mengambil ikrar janjinya dari kalian.
Dan meninggalkannya kepada kalian sebagai peninggalan yang besar.
Itulah Kitab Allah yang natiq (berbicara),
Al-Quran yang benar,
cahaya yang terang benderang,
dan pelita yang berkilauan.
Petunjuk-petunjuknya jelas.
Rahasia-rahasianya tidak rumit
dan ayat-ayat lahiriahnya mudah dipahami.
Pengikut-pengikutnya dicemburui orang lain.
Dia mengajak kepada keridhoan pada pengikutnya,
membawa pendengarnya pada keselamatan.
Dengan Al-Quranlah bukti-bukti Allah (tampil) terang benderang,
perintah-perintahnya yang ditafsirkan,
larangan-larangannya yang diperingatkan,
penjelasan-penjelasannya yang lugas, bukti-bukti-Nya yang kuat,
keutamaan-keutamaannya yang dituliskan, keringanannya yang diberikan, hukum syareatnya yang diwajibkan bisa diperoleh.
1. فَجَعَلَ اللهُ اْلإِيْمَانَ تَطْهِيْرًا لَكُمْ مِنَ الشِّرْكِ،
1. Allah menjadikan Iman sebagai penyucian bagi kalian dari kemusyrikan.
2. وَالصَّلاَةَ تَنْزِيْهًا لَكُمْ عَنِ الْكِبْرِ،
2. Sholat sebagai pembersih dari kesombongan.
3. وَالزَّكَاةَ تَزْكِيَةً لِلنَّفْسِ وَنِمَاءً فِي الرِّزْقِ،
3. Zakat sebagai penyucian diri dan pengembangan rizqi.
4. وَالصِّيَامَ تَثْبِيْتًا لِلإِْخْلاَصِ،
4. Puasa sebagai pengokoh keikhlasan.
5. وَالْحَجَّ تَشْيِيْدًا لِلدِّيْنِ،
5. Haji untuk meninggikan agama.
6. وَالْعَدْلَ تَنْسِيْقًا لِلْقُلُوْبِ،
6. Keadilan sebagai ketertiban jiwa.
7. وَطَاعَتَنَا نِظَامًا لِلْمِلَّةِ،
7. Taat pada kami sebagai sistem keagamaan.
8. وَإِمَامَتَنَا أَمَانًا لِلْفُرْقَةِ،
8. Kepemimpinan kami sebagai penjaga dari cerai-berai.
9. وَالْجِهَادَ عِزًّا لِلإِْسْلاَمِ،
9. Jihad sebagai kehormatan agama.
10. وَالصَّبْرَ مَعُوْنَةً عَلَى اسْتِيْجَابِ اْلأَجْرِ،
10. Sabar sebagai penopang untuk memperoleh pahala.
11. وَاْلأَمْرَ بِالْمَعْرُوْفِ مَصْلِحَةً لِلْعَامَّةِ،
11. Amar ma'ruf sebagai usaha perbaikan sosial.
12. وَبِرَّ الْوَالِدَيْنِ وِقَايَةً مِنَ السَّخَطِ،
12. Bakti pada kedua orang tua sebagai langkah menghindari kemurkaan.
13. وَصِلَةَ اْلأَرْحَامِ مَنْسَاءً فِي الْعُمْرِ وَمَنْمَاةً لِلْعَدَدِ،
13. Silaturrahmi sebagai pemanjang umur dan sarana bagi pertumbuhan nilai.
14. وَالْقِصَاصَ حِقْنًا لِلدِّمَاءِ،
14. Qishas sebagai pelindung jiwa.
15. وَالْوَفَاءَ بِالنَّذْرِ تَعْرِيْضًا لِلْمَغْفِرَةِ،
15. Memenuhi Nazar untuk mendapatkan ampunan.
16. وَتَوْفِيَةَ الْمَكَايِيْلِ وَالْمَوَازِيْنِ تَغْيِيْرًا لِلْبَخْسِ.
16. Benar dalam timbangan dan takaran untuk merubah ketidaklayakan.
17. وَالنَّهْيَ عَنْ شُرْبِ الْخَمْرِ تَنْزِيْهًا عَنِ الرِّجْسِ،
17. Larangan meminum khamer untuk membersihkan dari kotoran.
18. وَاجْتِنَابَ الْقَذْفِ حِجَابًا عَنِ اللَّعْنَةِ،
18. Menjauhi menuduh (zina) tanpa dasar sebagai tabir penyelamat dari kutukan.
19. وَتَرْكَ السِّرْقَةِ اِيْجَابًا لِلْعِصْمَةِ،
19. Melarang pencurian agar terjaga harga diri.
20. وَحَرَّمَ اللهُ الشِّرْكَ إِخْلاَصًا لَهُ بِالرُّبُوْبِيَّةِ.
20. Mengharamkan syirik sebagai pemurnian sifat rububiyah (ketuhannan). (Oleh karenanya) bertaqwalah pada Allah dengan sebenarnya dan jangan sekali-kali, kalian mati kecuali dalam keadan muslim (pasrah pada Allah).
Taatlah pada Allah dalam hal apa yang diperintahkan pada kalian dan dilarang-Nya.
Sesunggugnya hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah orang-orang yang berpengetahuan.
Comments (0)
There are no comments yet