Kolom: Makna Berkata Tidak Berbuat

Supa Athana - Tekno & Sains
14 October 2024 09:05
Signifikansi konsistensi antara perkataan dan perbuatan.
Penulis: Muhammad Taufiq Ali Yahya
             Pelayan Pesantren Pertanian dan Pengamalan Al-Quran
 
 
Makna “berkata tidak berbuat” dalam berbagai konteks agama, sosial, dan moral dapat diartikan sebagai ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan. 
 
Dalam perspektif Islam, terutama yang diambil dari tafsir para ulama, ahli makrifat, dan hakikat, berikut makna yang dapat dihubungkan dengan konsep ini:
 
1. Kemunafikan
 
Kemunafikan adalah makna utama dari berkata tanpa berbuat, di mana seseorang menampilkan citra diri yang baik melalui kata-kata, tetapi tindakannya tidak sesuai. 
 
Dalam Islam, ini adalah salah satu sifat yang sangat dicela. Rasulullah SAW bersabda bahwa salah satu ciri munafik adalah ketika ia berbicara, ia berdusta.
 
2. Lemahnya Iman
 
Ketika seseorang mengatakan sesuatu tanpa melaksanakannya, itu menandakan bahwa imannya belum kuat. 
 
Iman yang sejati akan mendorong seseorang untuk bertindak sesuai dengan ucapannya. 
 
Allah menyukai orang yang jujur dalam perkataan dan perbuatan, dan ketidaksesuaian ini menunjukkan kurangnya keyakinan dalam janji Allah.
 
3. Riya’ (Pamer)
 
Berkata tanpa berbuat sering kali dilakukan untuk tujuan riya’ atau pamer, di mana seseorang ingin dianggap baik oleh orang lain tanpa niat sungguh-sungguh melaksanakan apa yang ia ucapkan. Hal ini sangat dikecam dalam Islam, karena niat untuk dipuji manusia menghapuskan pahala amal.
 
4. Penyakit Hati
 
Berkata tidak berbuat adalah tanda adanya penyakit hati seperti sombong, dengki, atau cinta dunia yang berlebihan. 
 
Seseorang yang memiliki hati yang bersih akan konsisten antara ucapannya dan tindakannya. 
 
Penyakit hati ini mencegah seseorang dari bertindak dengan tulus sesuai dengan ajaran agama.
 
5. Kehilangan Integritas
 
Integritas seseorang diuji melalui konsistensi antara kata-kata dan perbuatannya. Ketika seseorang sering kali berkata tetapi tidak menepati atau melakukannya, ia kehilangan kepercayaan dari orang lain dan reputasinya rusak. Ini dapat memengaruhi hubungan sosial dan kepercayaan di lingkungan sekitarnya.
 
6. Pemborosan Potensi
 
Mengucapkan sesuatu yang baik tanpa melakukannya menunjukkan pemborosan terhadap potensi diri. Seseorang yang memiliki pengetahuan atau kemampuan untuk berbuat baik tetapi tidak melaksanakannya dianggap telah menyia-nyiakan kesempatan untuk berbuat kebajikan dan menambah amal.
 
7. Ketidakjujuran terhadap Diri Sendiri
 
Berkata tanpa berbuat juga menunjukkan seseorang tidak jujur terhadap dirinya sendiri. Ia mengucapkan hal-hal yang tidak benar-benar ia niatkan atau mampu lakukan, dan ini mencerminkan ketidakselarasan dalam batinnya. Dalam pandangan makrifat, ketidakjujuran terhadap diri sendiri adalah bentuk ketidakjujuran terhadap Tuhan.
 
8. Kehilangan Berkah dalam Hidup
 
Menurut ajaran Islam, berkah dalam hidup datang ketika seseorang jujur dan ikhlas dalam kata dan perbuatan. Orang yang sering berkata tetapi tidak melaksanakannya dapat kehilangan keberkahan dari Allah, karena ia tidak menepati apa yang sudah ia janjikan, baik kepada sesama manusia maupun kepada Tuhan.
 
9. Melemahkan Kepercayaan Diri dan Orang Lain
 
Seseorang yang terus-menerus berbicara tetapi tidak berbuat akan merasa kecewa dengan dirinya sendiri, karena tidak mampu menjalankan apa yang diucapkan. Selain itu, orang di sekitarnya juga akan kehilangan kepercayaan kepadanya, karena ia dianggap tidak dapat diandalkan atau tidak konsisten.
 
10. Menunda Perbaikan Diri
 
Berkata tidak berbuat juga dapat diartikan sebagai bentuk penundaan dalam memperbaiki diri. Seseorang yang terus berbicara tentang kebaikan tetapi tidak memulainya dalam perbuatan, pada dasarnya sedang menunda proses peningkatan spiritual dan moral dalam dirinya, sehingga ia tidak berkembang menuju kedekatan dengan Allah.
 
Kesimpulan:
 
Secara keseluruhan, berkata tanpa berbuat dalam Islam tidak hanya merujuk pada ketidaksesuaian antara perkataan dan tindakan secara lahiriah, tetapi juga mencerminkan masalah-masalah spiritual dan moral yang lebih mendalam. Sifat ini harus dihindari agar seorang Muslim dapat mencapai maqam spiritual yang lebih tinggi dan mendapatkan keberkahan dari Allah.
 
Tafsir :Ayat 61:2 dari Surah Ash-Shaff 
 
Al-Quran 61:2
------------------
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ
 
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
 
Ayat ini berfungsi sebagai teguran kepada orang-orang beriman yang mengatakan sesuatu tetapi tidak melaksanakannya. 
 
Para mufassir dari berbagai tradisi, baik Sunni maupun Syiah, memberikan penjelasan mendalam mengenai makna dan konteks ayat ini.
 
Berikut adalah penafsiran beberapa mufassir terkait ayat tersebut:
 
1. Tafsir Al-Mizan (Allamah Thabathaba’i - Syiah)
 
Allamah Thabathaba’i, dalam Tafsir Al-Mizan, menjelaskan bahwa ayat ini merupakan teguran kepada orang-orang beriman yang tidak konsisten antara ucapan dan perbuatan mereka. Ia menekankan bahwa konsistensi antara perkataan dan tindakan adalah prinsip penting dalam Islam. Menurut Thabathaba’i, ayat ini juga mencakup aspek etika dan spiritual, di mana seorang mukmin seharusnya berusaha untuk tidak hanya berkata-kata yang baik, tetapi juga menjalankan apa yang mereka katakan.
 
•Pandangan Spiritual: Thabathaba’i menafsirkan ayat ini sebagai peringatan terhadap orang-orang yang mengaku beriman tetapi gagal menjalankan perintah Allah dengan tindakan. Ini adalah bentuk ketidakjujuran dan kemunafikan yang bertentangan dengan iman yang sejati. Orang yang benar-benar beriman akan selalu berusaha untuk menjadikan ucapan dan perbuatannya selaras.
 
2. Tafsir Al-Kashani (Manhaj Al-Sadiqin) - Syiah
 
Mulla Fathullah Al-Kashani, dalam tafsir Manhaj Al-Sadiqin, menekankan pentingnya kejujuran dan integritas dalam ucapan dan tindakan. Ia menjelaskan bahwa ayat ini merupakan teguran langsung kepada mereka yang mungkin berjanji untuk melakukan sesuatu tetapi tidak melaksanakannya. Menurut Al-Kashani, ini bisa berlaku baik dalam konteks perjanjian antar sesama manusia maupun dalam hubungan dengan Allah.
 
•Pandangan Moral: Al-Kashani melihat ayat ini sebagai pengingat untuk tidak terjebak dalam kemunafikan atau kesombongan. Mengatakan sesuatu tanpa melakukannya adalah tindakan yang mencerminkan lemahnya iman, dan Allah mengecam ketidakjujuran ini karena bisa merusak hubungan sosial dan melemahkan kepercayaan antara orang beriman.
 
3. Tafsir At-Thabari (Sunni)
 
Imam At-Thabari, dalam Tafsir At-Thabari, menafsirkan ayat ini sebagai teguran kepada orang-orang yang membuat janji atau komitmen tetapi tidak memenuhinya. Menurutnya, ayat ini turun berkenaan dengan para sahabat yang sebelumnya berjanji untuk berjihad tetapi kemudian mengundurkan diri. Thabari menekankan bahwa ini adalah teguran terhadap kemunafikan, di mana seseorang mengatakan sesuatu yang tidak benar-benar ingin atau mampu mereka lakukan.
 
•Pandangan Kontekstual: Thabari menjelaskan bahwa ayat ini juga dapat berlaku dalam konteks luas, di mana Allah memperingatkan orang-orang beriman untuk tidak membuat janji atau klaim yang mereka tidak mampu tunaikan. Ini adalah pengingat untuk menjaga kejujuran dan integritas dalam segala hal, terutama ketika berbicara atau membuat komitmen.
 
4. Tafsir Ibn Kathir (Sunni)
 
Ibn Kathir, dalam Tafsir Al-Quran Al-Azim, menafsirkan ayat ini sebagai peringatan kepada kaum Muslimin yang tidak memenuhi janji mereka. Ia mencatat bahwa Allah sangat membenci orang-orang yang berbicara sesuatu yang tidak mereka lakukan, terutama dalam hal janji-janji untuk berjihad atau beribadah. Ibn Kathir mengutip beberapa hadits Nabi Muhammad yang menegaskan bahwa janji yang tidak ditepati adalah ciri dari orang-orang munafik.
 
•Pandangan Praktis: Ibn Kathir menjelaskan bahwa ayat ini menuntut orang-orang beriman untuk bertindak sesuai dengan ucapan mereka, terutama dalam urusan-urusan agama seperti berjihad atau melaksanakan ibadah. Ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan menunjukkan ketidakjujuran yang dikecam oleh Allah.
 
5. Tafsir Al-Qummi (Syiah)
 
Ali bin Ibrahim Al-Qummi, seorang mufassir Syiah terkenal, dalam tafsirnya menyebutkan bahwa ayat ini mengandung teguran kepada orang-orang yang hanya berbicara tentang kebaikan tetapi tidak mengamalkannya. Ia menafsirkan bahwa Allah menginginkan orang-orang beriman untuk mempraktikkan apa yang mereka katakan dan tidak hanya berhenti pada ucapan saja.
 
•Pandangan Tentang Keimanan yang Sejati: Al-Qummi menekankan bahwa iman sejati tidak hanya diukur dari ucapan tetapi juga tindakan. Ketidaksesuaian antara keduanya menunjukkan lemahnya iman, dan ini adalah sifat yang harus dijauhi oleh setiap Muslim yang ingin mencapai kedekatan dengan Allah.
 
6. Tafsir Al-Baghawi (Sunni)
 
Al-Baghawi, dalam tafsirnya Ma’alim at-Tanzil, menafsirkan ayat ini sebagai kecaman terhadap orang-orang yang berpura-pura beriman tetapi tidak menjalankan perintah-perintah Allah. Menurutnya, Allah menegur orang-orang yang membuat janji kepada Rasulullah SAW untuk berjuang di jalan Allah, tetapi kemudian tidak menepati janji tersebut. Bagi Al-Baghawi, ayat ini juga memperingatkan terhadap sifat munafik.
 
•Pandangan Sosial dan Politik: Al-Baghawi menjelaskan bahwa ayat ini relevan dalam konteks masyarakat, di mana janji atau komitmen yang tidak ditepati dapat merusak tatanan sosial. Ayat ini juga memiliki implikasi politik, di mana pemimpin dan orang-orang berpengaruh harus memastikan bahwa mereka melaksanakan apa yang mereka katakan.
 
Kesimpulan:
 
Para mufassir, baik dari tradisi Sunni maupun Syiah, secara umum sepakat bahwa ayat 61:2 dari Surah Ash-Shaff adalah teguran yang keras terhadap orang-orang yang berbicara atau membuat janji tanpa menindaklanjutinya dengan tindakan nyata. Ayat ini mengandung makna penting mengenai integritas, kejujuran, dan konsistensi antara perkataan dan perbuatan. Para mufassir menekankan bahwa dalam Islam, iman yang sejati bukan hanya diukur dari apa yang diucapkan, tetapi dari bagaimana seseorang menjalankan apa yang diucapkan dalam tindakan sehari-hari.
 
Berikut tambahan lima tafsir terkait ayat Quran 61:2 dari para mufassir:
 
1. Tafsir Ruh al-Ma’ani (Al-Alusi - Sunni)
 
Al-Alusi dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani menjelaskan bahwa ayat ini datang sebagai teguran kepada mereka yang hanya membual tentang ketaatan atau kebaikan yang tidak pernah mereka kerjakan. Menurut Al-Alusi, Allah mengecam mereka yang gemar berbicara tentang amal kebajikan atau janji dalam ibadah, tetapi dalam kenyataannya tidak ada tindakan nyata yang dilakukan.
 
•Pandangan Spiritual: Al-Alusi menekankan bahwa ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan adalah dosa besar dalam Islam. Umat Muslim harus memiliki integritas, di mana setiap kata yang diucapkan diiringi oleh perbuatan yang sesuai.
 
2. Tafsir Nur al-Thaqalayn (Al-Huwaizi - Syiah)
 
Al-Huwaizi dalam Tafsir Nur al-Thaqalayn menyatakan bahwa ayat ini menegur orang-orang yang berpura-pura menjalankan ajaran agama, tetapi dalam kenyataannya mereka hanya berbicara tanpa tindakan. Menurut Al-Huwaizi, ini bukan hanya soal tidak menepati janji, tetapi juga mencakup mereka yang mengaku beriman tetapi tidak menjalankan kewajiban-kewajiban agama mereka secara konsisten.
 
•Pandangan tentang Kemunafikan: Ayat ini dianggap sebagai peringatan keras terhadap perilaku munafik, di mana seseorang menampilkan citra tertentu kepada orang lain, tetapi perilakunya tidak sesuai dengan klaim keimanannya.
 
3. Tafsir Al-Jalalayn (Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin As-Suyuti - Sunni)
 
Dalam Tafsir Al-Jalalayn, kedua mufassir ini menafsirkan ayat ini sebagai celaan kepada mereka yang berbicara tentang kebaikan, jihad, atau amal saleh lainnya, namun tidak melaksanakannya. Mereka menyebutkan bahwa Allah memerintahkan umat Muslim untuk bersikap jujur dan bertindak sesuai dengan ucapan mereka, terutama terkait dengan janji atau komitmen dalam ketaatan kepada Allah.
 
•Pandangan tentang Janji kepada Allah: Tafsir ini menghubungkan ayat dengan kewajiban umat Islam untuk selalu menepati janji, baik kepada sesama manusia maupun kepada Allah. Menjadi seseorang yang hanya berbicara tanpa bertindak adalah tanda lemahnya keimanan.
 
4. Tafsir Al-Kashani (Syiah)
 
Mulla Fathullah Al-Kashani, dalam tafsir Manhaj al-Sadiqin, menjelaskan bahwa ayat ini tidak hanya berlaku pada perbuatan sosial atau politik, tetapi juga meliputi aspek spiritual dan ibadah. Al-Kashani menekankan bahwa seorang mukmin sejati adalah orang yang menjadikan seluruh ucapannya sebagai manifestasi dari tindakan nyata. Dengan kata lain, tidak cukup bagi seseorang hanya mengaku beriman atau berniat baik, tetapi iman harus diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan.
 
•Pandangan Tentang Kemurnian Iman: Al-Kashani mengaitkan ayat ini dengan kebutuhan untuk menjaga kemurnian iman, di mana keimanan tidak boleh menjadi sekadar ungkapan verbal tanpa dilandasi tindakan yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah.
 
5. Tafsir Al-Bahr Al-Muhit (Abu Hayyan Al-Andalusi - Sunni)
 
Abu Hayyan Al-Andalusi, dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhit, menyebutkan bahwa ayat ini memperingatkan umat Muslim agar berhati-hati dalam berbicara, terutama ketika berhubungan dengan janji-janji agama. Menurut Al-Andalusi, ayat ini juga memiliki dimensi etika sosial, di mana seorang Muslim harus menjaga kredibilitas dan tidak membuat klaim yang berlebihan atau tidak benar, baik di ranah pribadi maupun publik.
 
•Pandangan tentang Etika Sosial: Ayat ini menunjukkan bahwa perkataan tanpa tindakan dapat merusak tatanan sosial dan hubungan antarindividu. Allah menuntut konsistensi dalam perkataan dan perbuatan, karena hanya dengan demikian hubungan yang adil dan tulus antara umat manusia dapat terwujud.
 
Kesimpulan Tambahan:
 
Mufassir-mufassir ini menegaskan bahwa Quran 61:2 adalah peringatan keras terhadap ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan, terutama dalam aspek keimanan, janji, dan tanggung jawab sosial. Para mufassir baik dari tradisi Sunni maupun Syiah sepakat bahwa ayat ini menuntut umat Islam untuk bertindak secara jujur, konsisten, dan tidak membiarkan kemunafikan atau ketidaktulusan merusak hubungan mereka dengan Allah maupun sesama manusia. Ketulusan dalam keimanan harus diwujudkan dalam amal perbuatan, bukan sekadar kata-kata.
 
Para ahli makrifat dan hakikat dalam tradisi Islam, baik dari perspektif Sunni maupun Syiah, memberikan pandangan yang lebih mendalam dan spiritual terkait ayat Quran 61:2 (“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”). Bagi mereka, ayat ini tidak hanya mencakup aspek etika sosial dan amal perbuatan, tetapi juga mengandung dimensi batin yang dalam tentang kejujuran dalam hubungan seseorang dengan Allah dan tentang keselarasan antara lahiriah dan batiniah.
 
Hadis-Hadis berkata tanpa berbuat
 
1. Hadis tentang Tanda Munafik
 
Rasulullah SAW bersabda:
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanah, ia berkhianat.”
— (HR. Bukhari dan Muslim)
 
2. Hadis tentang Mereka yang Tidak Mengamalkan Ilmu
 
Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang paling berat azabnya di hari kiamat adalah orang yang Allah memberikan kepadanya ilmu, namun dia tidak mengambil manfaat dari ilmunya.”
— (HR. Ibn Hibban)
 
3. Hadis tentang Ucapan dan Amal
 
Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku di hari kiamat adalah orang yang berbicara berlebihan tetapi tidak mengamalkan apa yang ia katakan.”
— (HR. Tirmidzi)
 
4. Hadis tentang Niat dan Amal
 
Rasulullah SAW bersabda:
“Amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.”
— (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Hadis ini mengajarkan bahwa niat baik yang diucapkan harus dibarengi dengan amal nyata, dan amal hanya akan bernilai sesuai dengan niat di baliknya.
 
5. Hadis tentang Ucapan yang Mencerminkan Perbuatan
 
Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang mukmin tidak akan berdusta. Apabila ia berkata, ia jujur. Apabila ia berjanji, ia menepati, dan apabila ia berbuat, ia melaksanakan dengan amanah.”
— (HR. Baihaqi)
 
6. Hadis tentang Mengucapkan Kebaikan
 
Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
— (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Ini menunjukkan bahwa setiap kata yang diucapkan haruslah mencerminkan kebaikan, dan tidak hanya berhenti di kata-kata, tetapi juga diwujudkan dalam tindakan.
 
7. Hadis tentang Menepati Janji
 
Rasulullah SAW bersabda:
“Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika dipercaya, ia berkhianat.”
— (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Janji adalah bentuk ucapan yang harus ditepati, dan berkata tanpa berbuat dalam konteks janji merupakan ciri dari kemunafikan.
 
8. Hadis tentang Penyampaian Ilmu
 
Rasulullah SAW bersabda:
“Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat, dan berceritalah tentang Bani Israil. Tidak ada salahnya, dan barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.”
— (HR. Bukhari)
 
Hadis ini mengajarkan bahwa saat menyampaikan ilmu atau pesan kebaikan, seseorang harus menyampaikannya dengan jujur dan mengamalkannya.
 
9. Hadis tentang Beramal untuk Akhirat
 
Rasulullah SAW bersabda:
“Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok.”
— (HR. Baihaqi)
 
Hadis ini menekankan pentingnya tidak hanya berbicara tentang persiapan untuk akhirat, tetapi juga melakukan tindakan nyata untuk mempersiapkannya.
 
10. Hadis tentang Perbuatan yang Mencerminkan Keimanan
 
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak beriman seseorang di antara kamu hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.”
— (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Keimanan sejati tidak hanya diucapkan dengan lisan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata, terutama dalam hubungan sosial dan sikap terhadap sesama.
 
Kesimpulan:
 
Hadis-hadis ini menekankan pentingnya konsistensi antara perkataan dan perbuatan, serta mengecam keras orang-orang yang berkata tanpa melaksanakannya. Rasulullah SAW mengajarkan bahwa iman dan amal harus selaras, dan setiap kata yang diucapkan hendaknya mencerminkan tindakan yang sesuai dengan ajaran Islam.
 
Berikut adalah 10 hadis yang diriwayatkan dalam tradisi Syiah mengenai pentingnya keselarasan antara perkataan dan perbuatan, serta peringatan bagi mereka yang berkata tanpa berbuat:
 
1. Hadis tentang Bahaya Berkata Tanpa Berbuat
 
Imam Ja’far ash-Shadiq (AS) berkata:
“Janganlah kalian menyuruh orang lain untuk melakukan kebaikan, sementara kalian sendiri tidak melakukannya. Sebab, ketika seseorang hanya menyuruh tetapi tidak mengerjakannya, maka dia termasuk orang yang dibenci oleh Allah.”
— (Al-Kafi, jilid 2, halaman 72)
 
2. Hadis tentang Keikhlasan dalam Perbuatan
 
Imam Ali (AS) berkata:
“Siapa saja yang memerintahkan kebaikan tetapi tidak melaksanakannya, ia akan mengalami kehancuran. Sungguh buruknya manusia yang berkata tetapi tidak melakukannya.”
— (Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalim)
 
3. Hadis tentang Konsistensi Perkataan dan Perbuatan
 
Imam Ali (AS) berkata:
“Berbahagialah orang yang perkataan dan perbuatannya selaras, dan celakalah orang yang hanya bisa berbicara tanpa bertindak.”
— (Nahjul Balaghah, Hikmah 133)
 
4. Hadis tentang Munafik
 
Imam Ja’far ash-Shadiq (AS) berkata:
“Orang yang paling munafik adalah dia yang mengucapkan sesuatu tetapi tidak melaksanakannya, yang berkata tentang kebajikan tetapi tindakannya tidak sesuai dengan perkataannya.”
— (Bihar al-Anwar, jilid 72, halaman 165)
 
5. Hadis tentang Niat yang Dibarengi Perbuatan
 
Imam Muhammad al-Baqir (AS) berkata:
“Seorang hamba tidak akan mendapatkan pahala dari perkataannya jika ia tidak melaksanakannya. Oleh karena itu, sesuaikanlah niat dengan tindakanmu agar engkau tidak menjadi orang yang berkata tanpa berbuat.”
— (Al-Kafi, jilid 2, halaman 453)
 
6. Hadis tentang Menghindari Kemunafikan
 
Imam Ja’far ash-Shadiq (AS) berkata:
“Jauhilah mereka yang hanya bisa berkata tentang kebaikan tetapi tidak melaksanakannya, karena mereka adalah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri di hadapan Allah.”
— (Wasail al-Shi’ah, jilid 15, halaman 37)
 
7. Hadis tentang Amal dan Ucapan
 
Imam Hasan al-Askari (AS) berkata:
“Sesungguhnya manusia dibangkitkan berdasarkan amal mereka, bukan berdasarkan ucapan mereka. Dan amal adalah cerminan dari ucapan yang benar. Oleh karena itu, jangan hanya berbicara tanpa berbuat.”
— (Bihar al-Anwar, jilid 78, halaman 372)
 
8. Hadis tentang Orang yang Berdusta pada Diri Sendiri
 
Imam Ali (AS) berkata:
“Orang yang paling besar kebohongannya adalah dia yang berkata tentang kebaikan namun tidak mengamalkannya. Dia berdusta pada dirinya sendiri dan juga pada orang lain.”
— (Nahjul Balaghah, Hikmah 175)
 
9. Hadis tentang Keutamaan Menepati Perkataan
 
Imam Ja’far ash-Shadiq (AS) berkata:
“Barang siapa yang berkata tentang suatu kebaikan, maka ia wajib melaksanakannya. Jika tidak, perkataannya itu menjadi saksi yang akan menuntut dirinya di hari kiamat.”
— (Al-Kafi, jilid 2, halaman 77)
 
10. Hadis tentang Keutamaan Orang yang Jujur
 
Imam Ali Zainal Abidin (AS) berkata:
“Orang yang benar-benar jujur adalah dia yang perkataan dan perbuatannya selaras. Janganlah kalian tertipu oleh orang yang pandai berkata tetapi tidak mengamalkan apa yang ia katakan.”
— (Sahifah Sajjadiyah, Doa ke-20)
 
Kesimpulan:
 
Hadis-hadis dalam tradisi Syiah menekankan pentingnya konsistensi antara perkataan dan perbuatan, serta peringatan keras bagi mereka yang hanya berbicara tentang kebaikan tetapi tidak melakukannya. Seperti dalam tradisi Sunni, prinsip keselarasan ini adalah tanda kejujuran dan iman yang sejati.
 
Berikut pandangan para ahli makrifat dan hakikat terkait ayat ini:
 
1. Al-Ghazali (Sunni - Ahli Makrifat dan Tasawuf)
 
Imam Al-Ghazali dalam karya-karya spiritualnya, seperti Ihya Ulum al-Din, sering berbicara tentang pentingnya keikhlasan dan konsistensi antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan, terutama dalam konteks ibadah dan niat. Menurutnya, ayat ini merupakan peringatan bagi mereka yang mengklaim memiliki iman, tetapi tidak mencerminkannya dalam tindakan nyata, baik dalam hubungan dengan Allah maupun sesama manusia.
 
•Pandangan Makrifat: Al-Ghazali mengajarkan bahwa ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan adalah tanda lemahnya hubungan batin seseorang dengan Allah. Bagi seorang ahli makrifat, perkataan yang keluar dari mulut harus mencerminkan keadaan hati yang sejati, karena dalam Islam batin dan lahir harus selaras. Ketika seseorang berbicara tanpa tindakan yang mendukungnya, itu menunjukkan adanya “penyakit hati” seperti riya atau kemunafikan.
 
2. Ibn Arabi (Sunni - Ahli Hakikat dan Tasawuf)
 
Ibn Arabi, seorang tokoh besar dalam filsafat tasawuf dan wahdatul wujud (kesatuan wujud), menafsirkan ayat ini dari perspektif hakikat sebagai peringatan terhadap perbedaan antara “kesadaran lahiriah” dan “kesadaran batiniah”. Menurut Ibn Arabi, kata-kata yang tidak didukung oleh tindakan adalah refleksi dari keterpisahan antara jiwa dan kebenaran ilahi.
 
•Pandangan Hakikat: Dalam Futuhat al-Makkiyah, Ibn Arabi menekankan bahwa segala ucapan yang tidak disertai oleh niat yang murni dan tindakan nyata tidak memiliki makna hakiki. Menurutnya, ayat ini mengingatkan kita bahwa tindakan manusia harus bersumber dari kesadaran spiritual yang mendalam tentang hakikat diri dan Tuhan. Ketika seseorang mengatakan sesuatu yang tidak dia lakukan, dia berada dalam kebohongan terhadap hakikat dirinya sendiri, karena di dalam hakikat, segala sesuatu harus bersumber dari kebenaran batin.
 
3. Jalaluddin Rumi (Sunni - Ahli Makrifat dan Hakikat)
 
Jalaluddin Rumi, seorang penyair sufi yang sangat terkenal dengan karya Mathnawi, menafsirkan ayat ini sebagai kritik terhadap keterputusan antara pikiran, hati, dan tindakan. Menurut Rumi, orang yang hanya berbicara tentang kebaikan tanpa melakukannya adalah orang yang belum mencapai maqam makrifat (pengetahuan sejati tentang Allah). Dalam dunia spiritual, tindakan adalah manifestasi dari cinta kepada Allah, dan jika tindakan tidak mengikuti ucapan, itu berarti seseorang belum mencapai kedalaman cinta sejati.
 
•Pandangan Makrifat dan Hakikat: Bagi Rumi, ayat ini mengajarkan bahwa makrifat adalah proses di mana pengetahuan batin tentang Tuhan diimplementasikan dalam setiap tindakan kita. Orang yang benar-benar memahami Tuhan tidak akan berbicara tanpa berbuat, karena cinta dan pengetahuan mereka terhadap Tuhan mendorong mereka untuk bertindak sesuai dengan ucapan mereka. Dalam pandangan hakikat, manusia harus menjadi cerminan dari kesempurnaan ilahi dalam kata dan perbuatan.
 
4. Imam Khomeini (Syiah - Ahli Makrifat)
 
Imam Khomeini, seorang ulama besar dan ahli makrifat dalam tradisi Syiah, dalam karya-karyanya seperti Adab As-Salat dan Sirr as-Salat, menekankan pentingnya penyatuan antara ucapan, niat, dan perbuatan dalam semua aspek kehidupan, terutama dalam ibadah. Menurutnya, ayat ini mencerminkan keharusan untuk menjalankan segala perintah Allah dengan sepenuh hati dan tidak hanya berhenti pada tataran verbal atau niat.
 
•Pandangan Makrifat: Bagi Khomeini, orang yang berbicara tentang kebaikan tetapi tidak melaksanakannya menunjukkan bahwa ia belum sepenuhnya mengenal Tuhan dan belum mencapai derajat makrifat yang sejati. Makrifat sejati adalah pengenalan terhadap Tuhan yang menuntut keselarasan penuh antara lahir dan batin. Orang yang mengenal Allah akan selalu berusaha menjaga konsistensi antara ucapan dan perbuatannya sebagai bentuk ketaatan total kepada Allah.
 
5. Sayyid Haidar Amuli (Syiah - Ahli Hakikat dan Irfan)
 
Sayyid Haidar Amuli, seorang filosof dan sufi Syiah, dalam tulisan-tulisannya tentang irfan (gnosis) menjelaskan bahwa ayat ini mengandung peringatan kepada mereka yang belum menyatu antara kata, tindakan, dan pemahaman batin. Menurut Amuli, manusia diciptakan untuk menyatu dengan kehendak ilahi, dan ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan menunjukkan ketidakseimbangan dalam jalan spiritual seseorang.
 
•Pandangan Hakikat: Amuli menekankan bahwa hakikat sejati dari setiap perbuatan terletak pada niat yang murni dan kesadaran penuh akan kehadiran Tuhan. Ketika seseorang mengatakan sesuatu yang tidak dia lakukan, itu menunjukkan bahwa ia belum mencapai maqam hakikat, di mana setiap tindakan lahiriah adalah manifestasi dari kesadaran batin yang sempurna tentang kebenaran dan kehendak Allah.
 
Kesimpulan:
 
Para ahli makrifat dan hakikat dari tradisi Sunni dan Syiah sepakat bahwa ayat Quran 61:2 tidak hanya berbicara tentang tindakan fisik atau lahiriah, tetapi juga tentang integritas batin dan kedalaman spiritual seseorang. Bagi mereka, ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan adalah cerminan dari kelemahan dalam hubungan batin dengan Allah dan kurangnya makrifat atau pengetahuan sejati tentang Tuhan. Dalam pandangan hakikat, seseorang yang berbicara tanpa bertindak dianggap belum mencapai maqam tertinggi dalam perjalanan spiritualnya, karena pada tingkat tertinggi, setiap ucapan harus diiringi oleh tindakan yang sesuai dengan kehendak ilahi.
 
Berikut lima tambahan makna “berkata tidak berbuat” menurut pandangan ahli makrifat dan hakikat, yang lebih berfokus pada dimensi spiritual dan batin:
 
1. Ketidakselarasan antara Batin dan Lahir
 
Menurut ahli makrifat, seperti Ibn Arabi dan Al-Ghazali, berkata tanpa berbuat mencerminkan ketidakselarasan antara batin dan lahir. Dalam makrifat, ucapan yang keluar dari seseorang seharusnya merupakan manifestasi dari kedalaman batinnya. Jika seseorang berkata tentang hal-hal baik tetapi tidak melaksanakannya, itu berarti batinnya belum selaras dengan kehendak Allah. Makrifat menuntut keselarasan antara pikiran, hati, dan tindakan.
 
•Hakikat Spiritual: Tindakan harus lahir dari kesadaran batin yang sejati, dan ketidaksesuaian antara keduanya menunjukkan bahwa seseorang belum mencapai pengenalan hakiki tentang Tuhan.
 
2. Hijab (Penghalang) antara Hamba dan Allah
 
Berkata tanpa berbuat, dalam pandangan para sufi seperti Imam Khomeini dan Rumi, adalah tanda adanya hijab (penghalang) antara hamba dan Allah. Ketika seseorang mengetahui kebaikan dan mengucapkannya, tetapi tidak melaksanakannya, hijab ini adalah penutup yang mencegah cahaya ilahi menyentuh hati. Hijab ini bisa berupa ego, hawa nafsu, atau cinta dunia yang membuat seseorang tidak mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya.
 
•Pandangan Makrifat: Menembus hijab ini adalah tugas utama seorang pencari kebenaran, dan hal ini hanya bisa dicapai dengan keikhlasan dan tindakan yang selaras dengan ucapan.
 
3. Keterpisahan dari Hakikat Diri Sejati
 
Menurut Ibn Arabi, manusia yang sejati adalah mereka yang mengenal hakikat dirinya sebagai cermin dari sifat-sifat Allah. Berkata tidak berbuat menunjukkan bahwa seseorang masih terpisah dari hakikat dirinya yang sejati, karena ia belum mampu mewujudkan sifat-sifat ilahi, seperti kebenaran dan kejujuran, dalam tindakan nyata. Ketika seseorang hanya berbicara tanpa bertindak, itu menandakan bahwa dia belum menyadari bahwa semua perkataan dan perbuatan harus mencerminkan kehendak ilahi.
 
•Pandangan Hakikat: Manusia sempurna (insan kamil) adalah mereka yang tindakan lahiriahnya selalu mencerminkan batin yang telah sepenuhnya terserap dalam kehendak Tuhan.
 
4. Kurangnya Maqam Ikhlas (Ketulusan)
 
Dalam tradisi makrifat, seperti yang diajarkan oleh Imam Al-Ghazali dan Sayyid Haidar Amuli, ikhlas adalah maqam yang sangat tinggi dalam spiritualitas. Berkata tanpa berbuat menunjukkan bahwa seseorang belum mencapai maqam ikhlas, di mana setiap perbuatan dan perkataan dilakukan semata-mata karena Allah. Orang yang berkata tanpa berbuat cenderung melakukan sesuatu untuk mendapat pengakuan dari manusia, bukan karena Allah, dan ini menunjukkan kurangnya ketulusan dalam hatinya.
 
•Makrifat Ikhlas: Ketika seseorang benar-benar ikhlas, setiap ucapan dan tindakan adalah satu, karena keduanya dilakukan hanya untuk mencapai ridha Allah, bukan untuk tujuan duniawi.
 
5. Tanda dari Ego (Nafs) yang Dominan
 
Dalam pandangan ahli hakikat seperti Al-Jili dan Rumi, berkata tanpa berbuat merupakan manifestasi dari nafs atau ego yang masih dominan dalam diri seseorang. Ego suka berkata-kata untuk mendapat pujian atau pengakuan, tetapi tidak mau berusaha keras dalam berbuat. Ego menghalangi seseorang dari berbuat kebajikan karena lebih mementingkan kesenangan duniawi dan kemalasan.
 
•Pandangan Hakikat: Dalam perjalanan menuju Tuhan, seseorang harus menundukkan egonya, sehingga setiap ucapan menjadi tindakan nyata yang didorong oleh cinta kepada Allah, bukan oleh keinginan untuk dipuji atau dihormati oleh manusia.
 
Kesimpulan:
 
Dalam pandangan ahli makrifat dan hakikat, berkata tidak berbuat adalah gejala dari masalah-masalah batin yang lebih dalam, seperti ketidakselarasan antara batin dan lahir, hijab antara manusia dan Tuhan, dominasi ego, serta kurangnya ikhlas dan pengetahuan tentang hakikat diri. Orang yang sejati dalam perjalanan spiritual berusaha untuk menyelaraskan semua aspek dirinya sehingga setiap kata yang diucapkan adalah cerminan dari tindakan nyata dan hubungan yang tulus dengan Allah.
 
Berikut adalah kisah-kisah atau cerita yang menggambarkan makna berkata tidak berbuat dalam tradisi Islam, baik dari Al-Quran, hadis, maupun kisah para ulama dan ahli makrifat:
 
1. Kisah Nabi Isa dan Para Muridnya
 
Nabi Isa AS dalam suatu kesempatan memberikan nasihat kepada murid-muridnya tentang pentingnya kejujuran dalam perkataan dan perbuatan. Dalam sebuah riwayat, Nabi Isa berkata kepada mereka:
“Seperti apakah kalian ingin menjadi? Seperti pohon yang penuh buah tetapi tidak pernah ada yang matang atau seperti pohon yang berbunga namun tidak pernah berbuah?”
Nasihat ini mengajarkan bahwa berkata tanpa berbuat adalah seperti pohon yang tidak memberikan manfaat, sama halnya seperti pengetahuan yang tidak diiringi dengan amal. Nabi Isa menekankan bahwa iman harus tercermin dalam perbuatan nyata, bukan sekadar kata-kata yang indah.
 
2. Kisah Munafik di Zaman Rasulullah SAW
 
Di zaman Rasulullah SAW, terdapat beberapa orang munafik yang selalu menyatakan keimanan mereka secara verbal, namun perbuatan mereka selalu bertolak belakang dengan ucapan. Mereka mengklaim mendukung Rasulullah, tetapi sering kali tidak ikut serta dalam jihad atau menentang keputusan-keputusan beliau. Dalam salah satu peperangan, Rasulullah SAW mendapat wahyu dari Allah yang mengungkap kemunafikan mereka. Mereka selalu berkata bahwa mereka akan mendukung Islam dan Rasulullah, namun tindakan mereka memperlihatkan sebaliknya. Peristiwa ini menggambarkan peringatan Allah dalam QS. 61:2 tentang orang-orang yang berkata tetapi tidak melakukannya.
 
3. Kisah Seorang Murid dan Syeikh
 
Suatu ketika, seorang murid bertanya kepada syeikhnya:
“Wahai guru, aku telah belajar banyak tentang ajaran Islam dan selalu menyampaikan kepada orang lain tentang pentingnya shalat malam, berpuasa, dan bersedekah, tetapi mengapa aku merasa bahwa diriku belum mencapai kesempurnaan iman?”
Syeikhnya menjawab:
“Wahai muridku, jangan hanya sibuk berkata-kata tentang kebaikan, namun tidak melaksanakannya. Sebagaimana Nabi Isa berkata, jadilah pohon yang berbuah dan tidak hanya berbunga. Berbicaralah tentang apa yang kamu praktikkan. Sejatinya, ilmu yang tidak disertai dengan amal adalah seperti debu yang ditiup angin, ia takkan bermanfaat.”
 
4. Kisah Nabi Syuaib AS dan Kaumnya
 
Nabi Syuaib AS diutus kepada kaum Madyan yang terkenal karena kecurangan mereka dalam berdagang. Kaum ini selalu berkata bahwa mereka adalah orang-orang yang jujur dan baik dalam perkataan, namun kenyataannya mereka menipu dalam timbangan dan berbuat zalim kepada orang-orang yang lemah. 
 
Nabi Syuaib memperingatkan mereka agar tidak hanya berkata tentang kejujuran, tetapi juga melaksanakannya dalam tindakan mereka. Namun, kaum Madyan tidak mendengarkan nasihatnya dan terus melakukan kecurangan. Akibatnya, mereka dihukum dengan azab yang dahsyat dari Allah, karena ketidaksesuaian antara ucapan dan perbuatan mereka.
 
5. Kisah Abu Darda dan Pesan Rasulullah SAW
 
Abu Darda RA, seorang sahabat Rasulullah SAW yang terkenal dengan kebijaksanaannya, pernah menceritakan pesan penting dari Rasulullah kepada para sahabatnya. Rasulullah SAW berkata:
“Tidak akan berguna perkataan seseorang jika ia tidak mengamalkannya, sebagaimana pohon yang tumbuh tanpa buah. Allah mencintai orang-orang yang berbicara kebaikan dan melakukannya, serta membenci mereka yang hanya mengucapkan tanpa bertindak.”
Abu Darda selalu mengingatkan orang lain bahwa ilmu yang benar harus diamalkan, bukan hanya disimpan atau diucapkan tanpa tindakan.
 
Kesimpulan:
 
Kisah-kisah ini mengajarkan betapa pentingnya keselarasan antara perkataan dan perbuatan, serta bahaya dari hanya berkata tanpa berbuat. Dalam pandangan Islam, perkataan harus menjadi cerminan dari tindakan nyata, dan kemunafikan—di mana ucapan tidak sesuai dengan tindakan—sangat dicela oleh Allah dan Rasul-Nya
 
Berikut tambahan lima kisah yang menggambarkan makna berkata tidak berbuat dalam perspektif Islam:
 
6. Kisah Qarun yang Berjanji, tetapi Tidak Melaksanakan
 
Qarun adalah salah seorang yang hidup di zaman Nabi Musa AS dan dikenal sebagai orang yang sangat kaya. Sebelum menjadi kaya, Qarun sering kali berjanji bahwa jika ia diberikan kekayaan, ia akan menggunakan hartanya untuk membantu orang-orang miskin dan berbuat kebaikan di jalan Allah. Namun, setelah ia mendapatkan kekayaan yang luar biasa, Qarun justru menjadi sombong, menolak membayar zakat, dan enggan membantu orang lain. Allah SWT memperingatkan Qarun, tetapi ia tidak mengindahkan peringatan itu. Akhirnya, ia dihancurkan bersama kekayaannya. Kisah ini menjadi pelajaran tentang bahayanya berjanji kebaikan tanpa melaksanakannya.
 
7. Kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz
 
Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal sebagai salah satu pemimpin yang adil dan berintegritas. Dalam satu kesempatan, ia mendengar seorang pejabat di bawahnya sering berbicara tentang keadilan dan kebajikan, tetapi tindakannya tidak mencerminkan apa yang ia ucapkan. Umar bin Abdul Aziz memanggilnya dan berkata, “Ketahuilah, ucapanmu adalah hutang yang harus engkau bayar dengan tindakanmu. Jika engkau tidak menunaikan apa yang engkau ucapkan, maka engkau menipu dirimu sendiri dan orang lain.” Pejabat itu pun tersadar dan mulai memperbaiki tindakannya. Kisah ini menggambarkan bahwa berkata tanpa berbuat adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah.
 
8. Kisah Iblis yang Tidak Mengamalkan Pengetahuannya
 
Iblis adalah makhluk yang memiliki pengetahuan yang luas tentang Tuhan dan tauhid, namun pengetahuannya tidak tercermin dalam tindakannya. Ketika Allah memerintahkan malaikat dan Iblis untuk sujud kepada Adam AS, Iblis menolak karena kesombongannya. Meskipun Iblis tahu kebenaran tentang perintah Allah, ia tidak melaksanakan perintah tersebut, dan akhirnya menjadi terkutuk. Kisah ini adalah contoh jelas dari berkata tidak berbuat, karena meskipun Iblis mengetahui keesaan Allah, ia tidak mempraktikkan kepatuhan yang seharusnya.
 
9. Kisah Abu Hurairah dan Nasihat Rasulullah
 
Abu Hurairah RA suatu ketika mendengar Rasulullah SAW memberi nasihat kepada sahabat tentang pentingnya menepati apa yang diucapkan. Rasulullah SAW bersabda:
“Seseorang akan dihisab di akhirat karena perkataannya sendiri jika ia tidak melaksanakan apa yang telah ia ucapkan. Allah akan bertanya, ‘Kenapa engkau berbicara tentang hal-hal yang tidak engkau lakukan?’ Maka hisablah dirimu sebelum engkau dihisab.”
Abu Hurairah selalu mengingat nasihat ini dan berusaha untuk mengamalkan apa yang ia ucapkan agar tidak termasuk orang yang berkata tanpa berbuat.
 
10. Kisah Ali bin Abi Thalib tentang Kejujuran dalam Ucapan dan Perbuatan
 
Imam Ali bin Abi Thalib RA dikenal dengan kebijaksanaannya. Dalam satu khutbahnya, Ali menegur mereka yang berbicara tentang kebaikan tetapi tidak melaksanakannya:
“Wahai manusia, janganlah engkau menjadi seperti mereka yang berkata tentang kebaikan, namun tindakannya penuh kejahatan. Ketahuilah, ucapan tanpa amal adalah seperti pohon tanpa buah; ia tidak akan memberi manfaat kepada siapapun, bahkan kepada dirimu sendiri.”
Imam Ali selalu menekankan pentingnya keselarasan antara ucapan dan perbuatan, karena Allah mencintai orang yang bertindak sesuai dengan apa yang ia katakan.
 
Kesimpulan:
 
Kisah-kisah ini menguatkan pesan bahwa berkata tanpa berbuat adalah perbuatan yang sangat tercela dalam Islam, baik dari sisi kemunafikan, kesombongan, atau penundaan dalam melaksanakan kebaikan. Keselarasan antara perkataan dan perbuatan tidak hanya menjadi dasar moralitas dalam hubungan sosial, tetapi juga merupakan prinsip fundamental dalam spiritualitas dan ibadah seorang Muslim.

Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment