BALASAN IRAN KE ISRAEL: Humanisme Militer dan Begin of The End

Supa Athana - Tekno & Sains
03 October 2024 20:53
Serangan rudal-rudal hipersonik Iran

 

Penulis : Muhammad Rusli Malik
              Pengasuh Rumah Kajian Al-Quran Al-Barru

Janji itu telah tertunaikan. Pada 1 Oktober 2024 malam. Penumpah darah Ismail Haniyeh. Darah Hasan Nasrullah. Darah para patriot perlawanan. Darah dan air mata rakyat Gaza dan Lebanon. Telah menerima akibat perbuatannya. 

Hanya dalam waktu 15 menit, hukuman itu berhasil mengubah Israel menjadi genangan padang pasir traumatis yang tak mungkin bisa disembuhkan lagi.

Bayangkan, selama hampir 100 tahun, dibantu Amerika, negara-negara NATO, media massa arus utama, Israel membangun opini dunia bahwa negaranya—walaupun kecil—adalah digdaya dan tak akan terkalahkan.

Karenanya, paling aman di dunia. Berkat arhanud (pertahanan udara)nya yang menggunakan kubah besi (Iron Dome) berteknologi paling canggih dan mustahil bisa ditembus.

Dengan opini itu, kelas menengah atas Yahudi—atau diyahudikan—di negara-negara Eropa dan Amerika berbondong-bondong datang ke tanah bangsa Palestina yang dirampas. Untuk berinvestasi. Membeli rumah. Berwisata. Dan, atau, menjadi warga negara.

Sementara orang Yahudi dari negara-negara Arab dan Afrika difasilitasi untuk datang menjadi petempur garis depan menghadapi pemilik tanah asli (bangsa Palestina) yang dianggap sebagai pengganggu.

Dengan opini yang sama, negara-negara Arab monarki totaliter dan demokrasi transaksional di kawasan, merasa tidak punya pilihan lain kecuali membangun aliansi (terang-terangan atau sembunyi-sembunyi) dengan Israel.

Juga banyak negara di belahan bumi lain, karena terpukau atau karena terpaksa, ikut mengagumi teknologi arhanud Israel. Bahkan ikut menjadi pembeli dan pengguna teknologi tersebut. Mereka lalu merasa aman karena dengan begitu Israel, Amerika dan NATO tersenyum.

Baca juga:
Sejarah Berubah? Bukti Alfabet Tertua Ditemukan di Antara Harta Karun Makam Kuno di Suriah

Tetapi kini semuanya berubah. Usai serangan rudal-rudal hipersonik Iran, yang kecepatan minimalnya lima kali kecepatan suara Netanyahu. Dan berpresisi tinggi. Sasaran-sasaran vital yang ditarget, termasuk yang di Tel Aviv dan sekitarnya, semua berhasil.

Hebatnya lagi, tak ada bangunan sipil yang disasar. Menurut pengakuan pihak militer Israel, hanya ada dua orang sipil yang cedera karena terkena serpihan rudal.

Bandingkan dengan korban bom Israel di Gaza dan Lebanon. Dalam satu tahun serangan Israel di Gaza sudah sekitar 42 ribu korban sipil, yang mayoritasnya perempuan dan anak-anak. Berarti rata-rata setiap hari ada 115 orang sipil yang meregang nyawa akibat serangan brutal militer Israel.

Itu baru jiwa. Belum properti: rumah warga, rumah sakit, tempat ibadah, sekolah, tenda-tenda pengungsian, bantuan kemanusiaan, gedung milik PBB.

Artinya, pertama, serangan 1 Oktober itu mengajarkan kepada manusia modern apa yang disebut humanisme militer. Melalui pengerahan militer oleh Barat, Israel dan komprador-kompradornya selama ini, militer umumnya termaknai sebagai perampas kebebasan, penjajah, pembunuh sipil tak berdaya, penculikan senyap dan penghilangan paksa musuh politik.

Sehingga dalam konteks ini, mendengar kata militer adalah membayangkan seorang kurus tak berdaya di bawah sepatu laras. Padahal aslinya militer adalah institusi sangat mulia dalam kerangka berbangsa dan bernegara. Yaitu pelindung dan pengayom manusia dan kemanusiaan. Karena militer adalah dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat.

Kedua , jebolnya Iron Dome bagai sarang laba-laba, membuat Israel menjadi tempat yang paling tidak aman di dunia. Ke depan kita akan menyaksikan eksodus besar-besaran. Dan terhentinya arus investasi dan pembelian rumah-rumah baru. Serta matinya sektor pariwisata.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa serangan 1 Oktober menandai datangnya era baru bagi Israel: Begin of The End!


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment