kekalahan Israel di Gaza adalah kekalahan AS dan sekutu-sekutunya
Penulis: Muhammad Rusli Malik
Pengasuh Rumah Kajian Al-Quran Al-Barru
Secara de facto Israel sebetulnya sudah kalah. Patokannya, dua tujuan Israel membombardir Gaza dan menggenosida warganya. Yaitu, pertama, mengembalikan para sandra. Kedua, menghancurkan Hamas.
Setelah 10 bulan memerangi Hamas, tak satupun dari dua tujuan tersebut tercapai. Seluruh dunia malah mengutuk rezim Zionis tersebut. Wajahnya semakin buruk. Kekuatannya semakin terpuruk. Masyarakat dunia menyaksikan secara streaming bahwa Negara Israel itulah yang teroris. Bukan Hamas.
Lucunya lagi, Israel bukan kalah oleh negara, tapi hanya oleh ormas-ormas yang mempersenjatai diri, yang dikenal sebagai Axis of Resistance (Poros Perlawanan).
Ormas-ormas semacam ini bertebaran di berbagai negara yang mengepung Israel. Ada di Palestina. Ada di Libanon, Ada di Suriah. Ada di Yaman. Ada di Irak. Yang paling populer: Hamas (Palestina), Hizbullah (Libanon), dan Ansharullah (Hautsi, Yaman).
TAKDIR SEJARAH
Israel sadar betul bahwa ormas-ormas tersebut hanyalah ekor dari sebuah takdir sejarah yang sebentar lagi akan menelannya. Kepalanya ada di Iran. Namanya Wilayatul Faqih (Pemerintahan Ulama).
Itu sebabnya Israel merasa tak mampu lagi melepaskan diri dari belitan ekor takdir sejarah tersebut kecuali dengan memukul kepalanya. Maka dengan membunuh Ismail Haniyeh di Teheran, harapannya Israel mampu membunuh takdir sejarah itu, cukup dengan dua pukulan sekaligus.
Pukulan pertama, dengan membunuh Haniyeh di Teheran, maka Iran dan Hamas akan berbenturan dan talak tiga. Lebih luasnya lagi, Syiah dan Sunni (yang sudah bersatu melalui perang Gaza) akan ribut lagi. Dibuatlah narasi bahwa Syiah mengkhianati Sunni.
Pukulan kedua, Iran pasti akan sangat marah dan membalas langsung ke Israel. Lalu Amerika dan sekutu Barat Israel lainnya—terutama Inggeris, Perancis dan Jerman—akan terlibat menghabisi Iran. Dan kalau Iran tidak juga mati, maka negeri para mullah itu akan
di-Hiroshima-kan.
Tujuan pukulan pertama ternyata tidak tercapai. Hubungan Iran dan Hamas, Sunni dan Syiah, oke oke saja. Tak ada apa-apa yang terjadi. Bahkan hubungan mereka semakin mesra. Karena merasa senasib sepenanggungan.
Sekarang semua orang di dunia menunggu efek pukulan kedua. Sudah berlalu lebih dari dua pekan, tapi belum ada balasan dari Iran. Macam-macam asumsi mulai dibangun. Ada yang
mengatakan Iran ragu. Yang lain berpendapat, Iran tersandera oleh proses negosiasi gencatan senjata.
Bahkan ada yang berpikir bahwa Iran tidak mungkin berani mempertaruhkan kepentingan nasionalnya demi Palestina. Sehingga, katanya, di dalam Iran sendiri terjadi tarik ulur dan perseteruan mengenai urgen tidaknya serangan tersebut.
WILAYATUL FAQIH
Semua Asumsi itu tidak benar. Dan menunjukkan bahwa mereka tidak memahami roh pemerintahan Wilayatul Faqih. Dalam sistem Wilayatul Faqih, Wali Faqih (Pemimpin Tertinggi) adalah seorang ulama a’lam (paling berilmu). Ya ilmu ma’rifah (mengenal Tuhan). Ya ilmu ibadah. Ya ilmu muamalah. Ya ilmu filsafat. Ya ilmu siasah (politik), regional dan global.
Baca juga:
Jokowi Beri Restu Gibran Maju di Pilpres
Lihatlah Ali Khamenei, apakah ada raut amarah dan tegang di wajahnya dalam menghadapi keadaan yang terus bereskalasi ini? Beliau tetap tenang. Full under control. Kelihatan tidak ada rasa takut dan bimbang pada dirinya. Yang kelihatan adalah aura arif dan bijaksana.
Beliau pasti akan membalas kematian Haniyeh. Karena beliau berkali-kali mengulangi bahwa adalah kewajiban Iran membalas pembunuhan Haniyeh. Tak saja sebagai penghormatan terhadap maruah Hamas, tapi juga dalam rangka menegakkan kedaulatan Iran.
Lantas kapan? Ketika Imam Khomeini ditanya tentang Revolusi Islam Iran, beliau menjawab bahwa ini hanyalah kelanjutan dari Revolusi Islam Karbala oleh Imam Husain. Iran dan komunitas-komunitas Syiah di seluruh dunia, karenanya berkabung, tak hanya pada tanggal 10 Muharram (Asyura), tapi sampai 40 hari berikutnya (Arbain). Sampai 20 Safar. Yang tahun ini bertepatan dengan 24 Agustus.
Bahkan menjelang puncak Arbain, berpuluh juta dari mereka melakukan long march (pawai panjang), berjalan kaki, sejauh 80 kilometer dari Najaf ke Karbala, Irak. Demi menghormati prosesi inilah sehingga Iran belum melakukan pembalasan.
Jadi sama sekali bukan karena takut atau ragu. Dalam beberapa kali konfrontasi langsung atau tidak langsung dengan pemerintahan Wilayatul Faqih, AS belum pernah menang.
KEKALAHAN AMERIKA
Revolusi Islam Iran (1978-1979) adalah penggulingan kekuasaan Amerika di Iran. Ketika Kedubesnya di Teheran dengan 53 staf di dalamnya disandera selama 444 hari (1979-1981), AS melakukan operasi intelijen terbesar dan termahal (Operation Eagle Claw) untuk membebaskannya, namun gagal total.
Lalu AS memprovokasi Saddam Hussein dan mempersenjatainya untuk menyerang Iran sehingga terjadi perang Irak-Iran (1980-1988). Juga hasilnya nihil. Iran tetap eksis, bahkan tambah kuat dan solid.
Tahun 2011, AS menyusupkan pesawat tak berawak (UAV) paling canggih, Lockheed Martin RQ-170 Sentinel, ke dalam wilayah Iran. Tetapi drone tersebut justru berhasil dibajak oleh Iran dan didaratkan dengan selamat. Saking malunya, satu minggu kemudian baru pemerintahan Obama mengakuinya.
Pada 2014, AS membentuk ISIS di Mosul Iraq sebagai ‘kendaraan’ untuk masuk kembali ke Irak dan menjatuhkan Basyar al-Assad di Suriah. Tetapi berkat strategi jitu Jenderal Soleimani, ISIS kalah, Amerika gagal di Iraq dan di Suriah. Kemarahan AS diwujudkan dengan cara membunuh Soleimani.
Masih 2014. Kancah perpolitikan di Yaman mulai didominasi Ansharullah Hautsi. Tahun berikutnya, Presiden Hadi, pengganti Ali Abdullah Saleh, melarikan diri ke Aden dan dalam perlindungan Saudi. ISIS dibantu Saudi, didukung sepenuhnya oleh Amerika dan sekutu Baratnya, tentu saja termasuk Israel, memerangi Hautsi. Perang besar dan berkepanjangan terjadi. Tapi, ending-nya, atas sokongan Iran, Hautsi menang.
Pertengahan Januari 2016, 10 marinir AS memasuki perairan Iran. IRGC kemudian bertindak dan menangkapnya. Semua diminta melipat kedua tangan di belakang kepala sambil berjongkok. Mereka lantas menangis bagai anak kecil. Gambarnya disebar ke seluruh penjuru dunia.
Terakhir, kekalahan Israel di Gaza adalah kekalahan AS dan sekutu-sekutunya. Makanya AS dan sekutu utama Israel di Eropa—Inggeris, Perancis dan Jerman—sangat ketakutan dengan rencana Iran membalaskan kematian Haniyeh. Mereka tak ingin menjadi bagian dari takdir sejarah. Berulang-ulang mereka meminta Iran agar mengurungkan niatnya dengan janji gencatan senjata permanen di Gaza.
Comments (1)
WOW just what I was looking for. Came here by searchingg for game development https://bandur-art.blogspot.com/2024/08/the-ultimate-guide-to-no-mans-sky-mods.html
Reply