Kisah Srikandi Asal Bulukumba di Balik Sekolah Rakyat Makassar: Fitnah, Ukir Sejarah, dan Jalan Sunyi

Mimpi yang Jadi Nyata
Bagi keluarga miskin ekstrem, melanjutkan sekolah hingga SMA sering kali hanya berakhir sebagai mimpi—cita-cita yang menggantung di langit yang terlalu jauh untuk dijangkau. Namun awal Juli lalu, mimpi itu berubah wajah menjadi kenyataan. Sebuah pintu terbuka: sekolah rakyat lahir dari program pemerintah di berbagai daerah, termasuk di Makassar, tepat di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Perintis, Kelurahan Tamalanrea Indah, Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Di sanalah harapan baru disemai, memberi ruang bagi anak-anak miskin ekstrem untuk berdiri sejajar, menatap masa depan dengan keyakinan, dan usaha.
Jalan Sunyi Sang Doktor
Di tengah hiruk-pikuk dunia pendidikan yang sering dihiasi perebutan kursi, fasilitas, dan gengsi, Andi Ernawati, S.Pd., M.Pd., Ph.D., memilih arah yang sepi. Ia meninggalkan singgasana empuk sebagai Kepala SMAN 21 Makassar—sekolah bergengsi dengan segala kemewahan fasilitas—untuk menakhodai sekolah rakyat pertama tingkat menengah atas di Makassar.
Bagi banyak orang, langkah itu mungkin terlihat mundur. Namun bagi Andi Erna, itulah lompatan besar menuju jalan sunyi: jalan pengabdian yang jarang dipilih, memiliki tantangan tersendiri, namun juga penuh cahaya.
Terpilih dari Ratusan Calon
Nama Andi Erna tak jatuh begitu saja. Ia muncul setelah melewati lorong panjang seleksi: mulai dari administrasi, wawancara, TOEFL, psikotes, hingga ujian akhir. Ratusan calon ikut bersaing, namun akhirnya hanya satu nama yang berdiri paling terang.
“Saya tidak pernah mengira akan dipilih. Tapi ketika amanah ini datang, saya yakin ini jalan yang harus saya tempuh. Bagi saya, sekolah rakyat adalah ladang pengabdian,” ucapnya, suaranya mantap, seperti berasal dari kedalaman hati.
Menanggalkan Kemewahan
Sebelum amanah itu datang, Andi Erna duduk di kursi kepala sekolah favorit: SMAN 21 Makassar. Sebuah posisi prestisius, penuh penghargaan. Namun, ia memilih meninggalkan kenyamanan itu, meskipun tak mudah, karena baginya SMAN 21 Makassar adalah rumah kedua, ada banyak kenangan, kerinduan dengan wajah-wajah anak bangsa, para guru dan orangtua murid yang terlanjur mengenalnya. Civitas akademik 21 kehilangan sosok yang bersahaja, tanpa neko-neko, dan adil memimpin.
“Banyak yang bertanya, kenapa meninggalkan sekolah favorit ke sekolah rakyat? Jawaban saya sederhana: di sinilah hati saya terpanggil,” tuturnya dengan senyum tenang.
Keputusan itu menjadi bukti bahwa bagi seorang pendidik sejati, panggilan hati lebih tinggi nilainya daripada gemerlap fasilitas, toh meski beda tanggung jawab, dulu secara horisontal--Disdik, dan sekarang vertikal--ke pusat, tapi pondasi dan kebijakan sama-sama ingin mencerdaskan anak bangsa, malah tantangannya di SRMA (Sekolah Rakyat Menengah Atas) lebih sulit meskipun muridnya hanya terdiri 6 (enam) Rombongan Belajar (Rombel) dari 150 murid. Sebab itu, sosok tokoh perempuan kelahiran Bulukumba itu merupakan figur yang sangat tepat menahkodai SRMA di Makassar. Ia pandai menerjemahkan keinginan dari atas untuk kemudian dielaborasi menjadi spirit bagi anak-anak miskin ekstrem. Bersama para guru, salah satunya fokus memberikan materi, pelatihan, dan keterampilan agar saat lepas, mereka bisa mengepakkan sayapnya di luar.
Sekolah Rakyat dengan Wajah Manusiawi
Baca juga:
Presiden Prabowo dan Mentan Amran Hadiri KTT ASEAN ke-46, Pangan Jadi Prioritas
Pantauan u-meta.news, Sabtu (16/8), memperlihatkan wajah baru sekolah rakyat. Meski diperuntukkan bagi anak-anak keluarga miskin ekstrem, fasilitas yang tersedia justru membuat banyak orang terperangah: asrama dengan pendingin udara, toilet bersih, dapur, mushola, hingga ruang belajar yang nyaman. Semua gratis, semua ditanggung negara.
Kini, 150 siswa telah resmi menempati asrama itu. Mereka bukan sekadar murid; mereka adalah saksi hidup bahwa negara hadir, bahwa mimpi tak lagi berhenti di batas kemiskinan.
Fitnah yang Menguatkan
Namun perjalanan Andi Erna bukan tanpa badai. Saat masih menjabat Kepala SMAN 21, ia pernah diterpa fitnah yang nyaris merobohkan nama baiknya. Sebuah ujian berat yang bisa saja meruntuhkan langkahnya. Ia dituding terlibat jual beli bangku, padahal semua proses seleksi merupakan kewenangan panitia, dan itu dilakukan secara transparan, dan berdasarkan pemeringkatan, namun ia sadar, tak semua orang bisa menerima keputusan atas kenyataan. Baginya itu tidak mencoreng nama baiknya, karena tidak seperti yang dituduhkan.
“Fitnah itu berat, tapi saya belajar untuk tetap tabah. Melupakan, mendoakan kebaikan, dan dari situ saya semakin yakin bahwa pengabdian harus dijalani dengan hati yang kuat,” ungkapnya.
Dari luka itu, lahir keyakinan. Dari badai itu, ia justru menemukan kekuatan.
Sosok Langka di Dunia Pendidikan
Di mata Dinas Pendidikan Sulsel, Andi Erna adalah sosok langka. Gelar doktornya menjadikan ia aset berharga, mengingat jumlah kepala sekolah bergelar doktor di Sulsel masih bisa dihitung dengan jari, termasuk suaminya sendiri, Drs. Syahruddin, MPd, PhD.
Kepindahannya dari sekolah negeri favorit menuju sekolah rakyat seakan meninggalkan ruang kosong. Namun baginya, pengabdian tidak pernah bergantung pada tempat. Di mana pun ia ditempatkan, di situlah ia menyalakan pelita, menjadi pencerah dan yang paling penting benar-benar dapat diandalkan--pemutus kemiskinan ekstrem setidaknya bagi 150 siswa yang saat ini bersekolah di SRMA Makassar.
Srikandi di Jalan Sunyi
Andi Erna adalah Srikandi di jalan pendidikan. Ia menepis fitnah, meninggalkan kemewahan, dan berani melangkah di jalan sunyi yang tak banyak ditempuh. Baginya, jabatan tetap amanah, dan terkadang Pemilik amanah sejati, memilih, dan membukakan jalan untuk amanah baru. Ia berhasil mengubah banyak citra negatif menjadi sekolah terpandang dan disegani di SMAN 21 Makassar. Namun, itu masa lalu, biarlah orang lain menilai, satu yang pasti jejak kemuliaan sejati akan selalu dikenang, karena pengabdian tulus, selalu abadi di hati.
Kesuksesannya tidak terlepas dari doa orang tuanya, dan peran sosok suami tercinta, Drs. Syahruddin, M.Pd., Ph.D.—Kepala SMAN 23 Makassar—selalu berdiri di sisinya, menemaninya menakhodai bahtera kecil bersama ratusan anak miskin ekstrem. Kadang, di sela aktivitas, mereka singgah di villa kecil di puncak Moncongloe, Maros—tempat menenangkan hati, sebelum kembali menjemput hari dengan kerja pengabdian.
“Bagi saya, jabatan itu sementara. Yang abadi adalah jejak pengabdian. Sekolah rakyat ini adalah jalan sunyi saya, dan saya bersyukur bisa berjalan di atasnya,” pungkasnya.(*)
Comments (0)
There are no comments yet