Alarm Depopulasi Berbunyi di Jepang, China dan Korsel, Dampak Ekonominya Mulai Terasa

M. Gazali - News
30 July 2024 11:22
Depopulasi Jepang (Freepik)

JAKARTA -- Alarm krisis populasi berbunyi Jepang, Korea Selatan, hingga China. Penurunan populasi atau depopulasi ini dinialai mengancam kekuatan ekonomi negara tersebut.

 

Kecemasan ini sudah mulai terlihat jejaknya  dalam ekonomi Jepang. Negara Sakura tersebut mengalami depopulasi yang berujung negatif bagi perekonomian dan perusahaan.

 

Dari data National Institute of Population and Social Security Research mencatat, populasi Jepang terus mengalami peningkatan sejak 1872. Pada saat itu populasi Jepang hanya sejumlah 34,8 juta jiwa dengan didominasi oleh laki-laki sebanyak 17,66 juta dan perempuan 17,14 juta.

 

Namun, StatisticsBureau of Japandengan cut off setiap Oktober, menunjukkan bahwa populasi Jepang mencapai puncaknya pada 2010 sebanyak 128,06 juta.

 

Sejak saat itu, populasi Jepang terus mengalami penurunan didukung dengan rata-rata laju kontraksi secara tahunan.

Populasi Jepang pada Oktober 2023 tercatat hanya sebesar 124,35 juta atau turun 3,71 juta dalam kurun waktu 13 tahun terakhir.

 

Hal ini berdampak pada kebangkrutan perusahaan karena mereka tidak dapat memperoleh cukup tenaga kerja untuk mempertahankan operasi mereka.

Teikoku Databank mencatat bahwa terdapat 260 perusahaan mengalami kebangkrutan pada 2023.

 

Bukan hanya melanda Jepang, depopulasi ini juga membayangi China. Dikutip dari South China Morning Post (SCMP), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa negeri tirai bambu tersebut dapat mengalami penurunan jumlah penduduk terbesar yang pernah dialami oleh negara manapun, dengan kemungkinan 50% bahwa China bisa kehilangan lebih dari setengah populasi saat ini pada akhir abad ini.

 

Penurunan populasi yang sedang berlangsung di China disebabkan oleh jumlah wanita usia subur yang semakin sedikit, keterlambatan dalam pernikahan, serta semakin populernya pilihan untuk tidak memiliki anak sama sekali.

 

Pada tahun 2100, populasi China dapat kembali ke ukuran yang mirip dengan akhir 1950-an, karena menghadapi kemungkinan kehilangan 786 juta orang, menurut ringkasan hasil dari Proyeksi Populasi Dunia 2024 yang diterbitkan awal bulan ini.

 

Namun jika laju total fertilitas China mengalami peningkatan di level 2,1, maka bukan tidak mungkin populasi China akan cenderung stabil di angka 1,2 miliar.

 

Tidak hanya China, Korea Selatan (Korsel) juga memasuki fase kepunahan.

Melansir Yonhap News Agency, studi yang dilakukan Layanan Informasi Ketenagakerjaan Korea Selatan menunjukkan rasio penduduk berusia 65 tahun ke atas di Busan sebesar 23% pada bulan Maret tahun ini. Data tersebut menjadikan Busan satu-satunya kota metropolitan yang menjadi masyarakat superaging.

 

Adapun indeks risiko kepunahan kota Busan dihitung dengan membagi jumlah penduduk perempuan berusia 20-39 tahun dengan jumlah penduduk berusia 65 tahun atau lebih, dan hasilnya adalah 0,490.

 

Lebih lanjut, sebuah kelompok guru yang menyebut rata-rata jumlah siswa per kelas sekolah dasar bisa turun ke tingkat satu digit dalam 10 tahun, karena angka kelahiran yang amat rendah.

 

Dalam skenario terburuk, jumlah rata-rata siswa sekolah dasar per kelas bisa turun dari saat ini 21,1 menjadi 9,3 pada tahun 2033 dan 8,8 pada tahun 2034.

 

Dikutip dari NBC News, tingkat kesuburan di seluruh dunia menurun lebih cepat dari yang diperkirakan, membuat dunia berada di jalur untuk mengalami penurunan populasi sebelum akhir abad ini, menurut sebuah laporan dari PBB.

 

Baca juga:
Di Penghujung Masa Jabatannya, Kehawatiran Jokowi Terbukti, Para Bankir Mengeluh Soal Likuiditas

Lebih dari 60 negara dan wilayah telah mencapai puncak populasi mereka, termasuk Italia, Jepang, Rusia, dan pada tahun 2021, China, menurut laporan yang diterbitkan pada hari Kamis. Artinya, 1 dari 4 orang di dunia tinggal di negara yang populasinya sudah mencapai puncaknya.

 

Perubahan dalam pertumbuhan populasi dan tingkat kesuburan sangat diperhatikan karena dampaknya yang besar terhadap sosial dan ekonomi di seluruh dunia. Jumlah orang di Bumi juga memengaruhi planet itu sendiri, memengaruhi tingkat konsumsi, penggunaan energi, produksi industri, ketersediaan sumber daya, dan dengan demikian, sampai batas tertentu, laju perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

 

Saat ini, tingkat kesuburan global adalah 2,25 kelahiran per wanita, satu anak per wanita lebih sedikit dibandingkan dengan tahun 1990.

 

Tingkat kesuburan terendah terdapat di Eropa, yang memiliki tingkat kesuburan yang disebut oleh PBB sebagai "sangat rendah": kurang dari 1,4 kelahiran hidup per wanita.

 

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Persoalan penurunan penduduk juga bisa mengancam Indonesia. Tercermin dari laju pertumbuhan penduduk yang mencapai rekor terendah sepanjang masa.

 

Ini artinya, akan ada banyak orang tua yang mendominasi di masa depan, seiring dengan itu akan terjadi krisis anak kecil, di mana populasi anak-anak menjadi sangat sedikit.

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata laju pertumbuhan penduduk dalam lima tahun terakhir (2020 - 2024) hanya 1,11%. Ini merupakan rekor terendah sepanjang masa sejak terhitung dari tahun 1971.

 

Penurunan pertumbuhan penduduk sebenarnya bisa dibilang keberhasilan program Keluarga Berencana (KB). Namun, ini bisa menjadi risiko karena jumlah kelahiran baru tidak mampu menggantikan generasi sebelumnya.

 

Jumlah penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh masyarakat berusia produktif berada di rentang usia 20 - 35 tahun. Jika dominasi penduduk usia produktif ini tidak bisa digantikan oleh generasi penerusnya, maka seiring dengan usia yang berlanjut dalam beberapa puluh tahun lagi, golongan lansia bisa mendominasi negeri.

 

Data BPS pada 2023 menyebutkan jumlah pernikahan di Indonesia telah turun 128.000 secara tahunan menjadi 1,57 juta. Sementara dalam satu dekade terakhir angka pernikahan sudah anjlok hingga 28,63%.

 

Angka pernikahan yang turun juga berimplikasi pada jumlah kelahiran anak yang turun, Hasil survei BPS pada 2020 menyebutkan angka kelahiran total (total fertility rate) hanya sebesar 2,10.

 

Hal tersebut berarti rata-rata perempuan di Indonesia akan melahirkan dua anak pada masa reproduksinya. Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, penurunan angka kelahiran total sudah turun 0,39.

 

Padahal, penduduk usia produktif akan terus bertambah usia dan suatu saat menjadi lansia. Berdasarkan data BPS pada 2022, jumlah penduduk usia produktif dari rentang 20 - 59 tahun menempati 57% dari seluruh penduduk Indonesia.Jika tren tingkat pernikahan dan kelahiran terus turun. Dalam 20 - 30 tahun ke depan, penduduk yang usia produktif sekarang bisa mendominasi menjadi penduduk usia lansia.

 

Ditambah dengan tren "child free" yang ada saat ini di mana pasangan suami istri memutuskan tidak memiliki anak maka jumlah penduduk ke depan bisa berkurang.

 

Dominasi penduduk berusia tua atau lansia di masa depan ini bisa menjadi beban negara. Pasalnya, negara mungkin menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakatnya.

 

Ini termasuk penurunan tenaga kerja yang produktif dan berkurangnya kontribusi pajak, yang dapat mempengaruhi keberlanjutan ekonomi negara. (*)


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment