Kelas Menengah Tumbang, Indonesia Sedang Tidak Baik-baik Saja

M. Gazali - News
27 July 2024 16:19
Kelas menengah Indonesia

JAKARTA -- Kelas menengah adalah penopang penting dalam gerak ekonomi sebuah negara. Dikabarkan akhir-akhir ini jumlah kelas menengah Indonesia semakin mengecil karena tekanan kenaikan harga bahan pangan dan menurunnya pendapatan.

 

Besarnya tekanan kelas menengah tercermin dari melonjaknya pengeluaran untuk pangan, menurunnya penjualan motor/mobil,  meningkatnya pekerja informal di Indonesia, hingga pesimisme mereka melihat ekonomi Indonesia.

 

Ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan era 2013-2014 Chatib Basri mengungkapkan jumlah kelas menengah di Indonesia terus merosot sejak 2019. Menurutnya, data Bank Dunia mengungkapkan pada 2018, kelas menengah sebesar 23% dari jumlah penduduk sedangkan 2019 tersisa 21% seiring membengkaknya kelompok kelas menengah bawah atau aspiring middle class (AMC) dari 47% menjadi 48%.

"Kecenderungan ini terus terjadi. Tahun 2023, kelas menengah turun menjadi 17%, AMC naik menjadi 49%, kelompok rentan meningkat menjadi 23%. Artinya sejak 2019, sebagian dari kelas menengah "turun kelas" menjadi AMC dan AMC turun menjadi kelompok rentan," tutur Chatib, dalam keterangannya. 

 

Dengan garis kemiskinan tahun 2024 sekitar Rp 550.000, Chatib menjelaskan mereka dengan pengeluaran Rp 1,9 juta-Rp 9,3 juta per bulan masuk kategori kelas menengah. AMC adalah kelompok pengeluaran 1,5-3,5 kali di atas garis kemiskinan atau Rp 825.000-Rp 1,9 juta. Adapun rentan miskin, kelompok pe- ngeluaran 1-1,5 kali di atas garis ke- miskinan atau Rp 550.000-Rp 825.000 per bulan.

 

Sejumlah indikator menunjukkan masyarakat Indonesia, termasuk kelas menengah, tertekan oleh kenaikan bahan pangan.

 

Data Mandiri Spending Index (MSI) yang menunjukkan porsi pengeluaran untuk groceries atau bahan makanan meningkat dari 13,9% pada Januari 2023 menjadi 27,4% dari total pengeluaran pada Juli 2024. Besarnya porsi pengeluaran salah satunya karena lonjakan harga bahan pangan.

 

Chatib Basri menjelaskan data itu secara sederhana dapat dipahami bahwa ketika pendapatan masyarakat turun, mereka akan tetap mempertahankan konsumsi kebutuhan pokoknya, seperti makanan. Jika pendapatan menurun, sedangkan konsumsi makanan tetap, maka porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya akan meningkat.

 

"Hukum Engel mengajarkan: semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya. Itu sebabnya, kenaikan porsi makanan dalam total belanja mencerminkan menurunnya daya beli," imbuh Chatib.

 

Baca juga:
Deretan Tokoh Sulsel Sambut Kedatangan Prabowo Subianto di Makassar, Andi Amran, Bahtiar, Andi Iwan Aras, Latinro, DM

Salah satu penyebab tingginya pengeluaran adalah lonjakan harga pangan, terutama beras. Harga beras terus merangkak naik sejak akhir 2022 dan terus mencetak rekor tertingginya.

 

Dalam setahun terakhir, harga beras sudah melesat 20% dan menembus rekor tertinggi pada Maret 2024. Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) rata-rata harga beras bulanan pada Januari 2023 dibanderol Rp 12.650/kg sementara pada Juni 2024 sudah mencapai Rp 15.350/kg.

Sementara itu, rata-rata harga beras bulanan tertinggi tercatat pada Maret 2024 di harga Rp 15.900/kg.

 

Kenaikan harga beras tentu saja membebani rumah tangga Indonesia karena beras menjadi salah satu pengeluaran terbesar bagi kelompok miskin ataupun menengah.

 

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan inflasi harga beras tembus 13,76% (yoy) pada Agustus 2023. Inflasi ini adalah yang tertinggi sejak Juni 2012 atau lebih dari 10 tahun. Menurut data BPS, pada Juni 2012, inflasi harga beras saat itu mencapai 16,22%.

 

Faktor lain adalah pandemi Covid-19 yang melanda dunia dan Indonesia pada Maret 2020 menjadi awal dari banyaknya tekanan kelas menengah di Indonesia. Pandemi membuat pendapatan perusahaan merosot sehingga mereka tidak memiliki pilihan lain selain memangkas jumlah pekerja.

 

Data BPS menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia sempat melonjak 2,67 juta menjadi 9,77 juta (7,07%) per Agustus 2020 dari 7,1 juta orang (5,35) per Agustus 2019 atau sebelum pandemi.

 

Demikian juga dengan makin banyaknya jumlah pengangguran karena terdampak PHK. PHK ini membuat masyarakat kemudian beralih dari pekerja formal ke informal. Data BPS menunjukkan proporsi pekerja informal Indonesia saat ini tercatat 59,17%, melesat dibandingkan per Agustus 2019 yakni 55,88%.

 

Banyaknya pekerja informal menunjukkan banyaknya angkatan kerja yang tidak bisa diserap oleh lapangan kerja. Pekerja informal ini menjadi rentan karena mereka tidak memiliki besaran penghasilan yang pasti, banyak yang tidak dilindungi oleh asuransi, dan akan kesulitan mencari akses keuangan untuk modal ataupun mengajukan kredit lainnya. (*)


Related Posts

Comments (0)

There are no comments yet

Leave a Comment