Putra Mahkota Arab Saudi Disebut Ogah Kamala Harris Jadi Presiden AS
Pangeran Muhammed bin Salman (Reuters)
JAKARTA -- Ada kabar tak sedap terkait majunya Kamala Harris dalam pencalonan Pilpres Amerika Serikat usai mundurnya Joe Biden. Rupanya, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) dilaporkan tidak suka dengan kemungkinan Wakil Presiden AS tersebut menjadi Presiden AS selanjutnya.
Sosok Harris yang dikenal sangat liberal dan merupakan mantan jaksa terkemuka AS dinilai memicu kekhawatiran MBS.
Seperti dilansir Business Insider, Kamis (25/7/2024), pakar intelijen dan pandangan strategis di forum think-tank Stimson Center, Matthew Burrows, menyebut MBS kemungkinan akan mewaspadai Harris jika dia nantinya terpilih menjadi Presiden AS, menggantikan Presiden Joe Biden.
"Seorang kandidat presiden yang liberal seperti Kamala Harris, yang dekat dengan para aktivis hak asasi manusia, juga akan mengkhawatirkan," ujar Burrows yang merupakan anggota senior tim peneliti Stimson Center.
MBS, menurut Burrows, khawatir jika di bawah Harris yang liberal, Partai Demokrat akan lebih vokal mengenai "catatan hak asasi manusia Saudi yang suram".
Sementara Harris dalam kampanyenya tahun 2020 lalu, sempat menyampaikan pernyataan kritis soal pembunuhan Khashoggi. Dia menyebut pembunuhan Khashoggi sebagai "serangan terhadap jurnalis di mana pun" dan mendukung undang-undang di Senat AS untuk mempublikasikan lebih banyak informasi tenang kematian Khashoggi pada saat itu.
Pada saat yang sama, Harris juga menegaskan bahwa AS perlu untuk "secara mendasar mengevaluasi kembali hubungan dengan Arab Saudi, menggunakan pengaruh kita untuk membela nilai-nilai dan kepentingan Amerika".
Gedung Putih di bawah Biden pada akhirnya mencapai semacam kesepakatan dengan MBS, yang fokus menentang Iran dan mewujudkan stabilitas di kawasan Timur Tengah.
Burrows, dalam analisisnya, menyebut Harris dapat memperumit hal tersebut. Capres yang lebih konfrontatif, menurut Burrows, bisa menjadi hambatan bagi tujuan AS dalam menormalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel, sekutu penting Washington di kawasan.
Baca juga:
Buka World Hydropower Congress, Presiden Harapkan Rekomendasi Kebijakan bagi Bumi Lestari
AS telah berupaya untuk menjadi perantara hubungan yang lebih baik antara negara-negara Arab dan Israel, yang sebagian dimaksudkan untuk menjadi penyeimbang terhadap pengaruh regional Iran.
Tidak hanya itu, Harris juga dikenal sebagai pendukung utama bagi hak perempuan dan kelompok LGBT, yang semuanya secara hukum lebih rendah dari laki-laki dalam hukum Saudi.
Hubungan sesama jenis adalah ilegal di Saudi, kemudian semua perempuan diwajibkan memiliki wali laki-laki yang sah, dan wanita-wanita Saudi yang memperjuangkan lebih banyak hak mereka bisa dihukum berat.
Burrows dalam pernyataannya juga menyebut MBS mungkin enggan mengandalkan Harris setelah melihat bagaimana seorang pemimpin AS bisa dipaksa mundur karena tekanan dari dalam partainya sendiri.
Fawaz Gerges, seorang profesor Hubungan Internasional pada London School of Economics, menyampaikan sentimen serupa.
"Mundurnya Biden mungkin menjadi kejutan bagi para penguasa Timur Tengah yang tidak terbiasa menyerahkan kekuasaan dengan mudah. Motto mereka adalah 'sampai maut memisahkan kita'," cetusnya.
Namun, kedua pakar tersebut mengatakan bahwa para pejabat Saudi kemungkinan mengharapkan banyak kesinambungan dari kepresidenan Harris, yang memperluas pendekatan Biden yang sudah ada ke kawasan Timur Tengah. (*)
Comments (0)
There are no comments yet