Soal Dampak KRIS ke Iuran BPJS Kesehatan, Ini Kata Bos BPJS
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti
JAKARTA -- Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti berbicara blak-blakan terkait dampak penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) terhadap iuran kepesertaan.
Dia mengungkapkan sistem KRIS, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, diberlakukan untuk meningkatkan mutu layanan kesehatan.
Menurut Ali, penetapan standar mutu diperlukan, karena layanan berdasarkan kelas di rumah sakit bisa berbeda-beda.
"Namanya standar yang disebut Kamar Rawat Inap Standar atau KRIS artinya standar minimum itu seperti itu, bisa aja kalau dia (peserta) mau VIP lebih lagi enggak apa-apa," ujar Ali, Rabu (22/5).
Sementara, katanya, iuran adalah setoran yang dibayarkan oleh peserta untuk mendapatkan layanan BPJS Kesehatan.
Bagi peserta pekerja, besaran iuran adalah 1 persen dari gaji pegawai dibayarkan pekerja dan 4 persen oleh pemberi kerja. Adapun besaran iuran untuk peserta mandiri (peserta bukan penerima upah) kelas I Rp150 ribu, kelas II Rp100 ribu, dan kelas III Rp42 ribu (dengan subsidi Rp7 ribu).
Dalam hal ini, pemberlakuan KRIS tidak serta merta menghapus sistem kelas yang diterapkan pada iuran peserta.
"Enggak ada satu pasal pun di situ (PP 59/2024) yang bilang (sistem) kelas dihapus," ujarnya.
Baca juga:
Presiden Tinjau Lapangan Upacara di IKN, Pastikan Kesiapan HUT Ke-79 RI
Kendati demikian, pihaknya tak menutup kemungkinan penerapan KRIS akan berdampak terhadap iuran apabila hasil evaluasi merekomendasikan demikian.
"Berbasis pada evaluasi itu, akan ditetapkan paket manfaatnya seperti apa, tarifnya seperti apa, dan iurannya berapa? Sehingga kalau tanya sekarang, oh belum ada (perubahan iuran), sama seperti biasanya," terangnya.
Karenanya, ia berharap kualitas fasilitas RS bisa meningkat sesuai sistem KRIS yang akan diterapkan paling lambat pertengahan tahun depan.
Peningkatan itu terdiri dari pemerataan kasur untuk pasien di setiap ruangannya dan tenaga medis yang kompeten.
"Jangan sampai seperti sekarang tidak ada standarnya, satu kamar itu bisa 10 bed bisa 8 bisa 6. Kalau bisa seperti di KRIS itu maksimum 4 bed dalam satu ruangan, ada ukuran jaraknya, ada partisinya, ada oksigennya segala macam," jelas Ali.
"Yang kedua ya, tentu yang lebih menarik itu harus ada dokternya dong, tenaga medisnya harus obat tidak kosong, jangan sampai 'Waduh kamarnya bagus, obatnya nggak ada'," tandasnya. (*)
Comments (0)
There are no comments yet