
Oleh : Muhammad Taufiq Ali Yahya
Baca juga:
Tak Ingin Telat Ratas, Mentan Amran Terobos Kemacetan dengan Naik Motor
Makna dari ayat:
فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
(QS Al-Baqarah: 194)
1. Keadilan dalam Membalas
Makna utama ayat ini adalah membolehkan membalas kezaliman, tetapi sebatas setara dengan apa yang dilakukan kepada kita—tanpa berlebihan.
2. Batasan dalam Pembalasan
Allah tidak memerintahkan untuk diam terhadap kezaliman, tetapi memberi batas jelas agar tidak membalas dengan cara yang lebih buruk dari serangan awal.
3. Prinsip “Qishash” dan Kesetaraan ; Ayat ini menjadi landasan hukum qishash (pembalasan setimpal) dalam syariat Islam: “perlakuan dibalas sesuai perlakuan,” sebagai bentuk keadilan sosial.
4. Peringatan Agar Tidak Terseret Nafsu ; Perintah membalas dibarengi dengan peringatan untuk bertakwa, karena amarah bisa menjerumuskan pada tindakan melampaui batas yang akhirnya menjadi kezaliman baru.
5. Pembalasan adalah Hak, Bukan Kewajiban; Ayat ini menyatakan bahwa membalas adalah hak, bukan kewajiban. Seseorang boleh memaafkan, dan itu justru lebih utama dalam pandangan Allah.
6. Kesadaran Spiritual dalam Konflik; Frasa “وَاتَّقُوا اللَّهَ” menunjukkan bahwa bahkan dalam keadaan membalas pun, seorang mukmin harus tetap dalam keadaan takwa dan menjaga hubungan dengan Allah.
7. Pertolongan Ilahi Bersama Orang Bertakwa ; Penutup ayat, “وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ”, memberikan ketenangan bahwa siapa pun yang menjaga ketakwaan dalam situasi sulit, Allah bersamanya—bukan dengan mereka yang hanya membalas secara emosional.
8. Mekanisme Menghindari Kekacauan; Ayat ini menyeimbangkan hak membalas dan tanggung jawab moral, agar tidak terjadi balas dendam tak berujung yang merusak tatanan sosial.
9. Etika Jihad dan Perang ; Dalam konteks peperangan atau pembelaan diri, ayat ini mengajarkan kode etik perang Islam: hanya membalas secara proporsional, bukan membabi buta.
10. Ujian Keteguhan Hati; Bagi orang beriman, ayat ini menguji: apakah ia akan menuntut balasan setimpal, atau memilih memaafkan demi derajat yang lebih tinggi di sisi Allah. Ayat ini mengandung pilihan, dan yang lebih tinggi nilainya adalah menahan diri dengan penuh kesabaran dan takwa.
Makna dari ayat QS Al-Baqarah: 194 menurut Al-Qur’an sendiri (yaitu makna yang dijelaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an lainnya, bukan dari tafsir luar):
فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Maka barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia seperti apa yang dia lakukan terhadapmu. Tapi bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”
1. Pembalasan Setimpal Itu Dibenarkan (Al-Baqarah: 194)
Makna ini dikuatkan oleh ayat lain:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا
“Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal dengannya.”(QS Asy-Syura: 40)
2. Namun Memaafkan Lebih Baik (QS Asy-Syura: 40)
فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
Tetapi barang siapa memaafkan dan memperbaiki, maka pahalanya di sisi Allah.”(QS Asy-Syura: 40)
Al-Qur’an memberi pilihan: membalas boleh, tapi memaafkan lebih utama.
3. Jangan Melebihi Batas dalam Membalas (QS An-Nahl: 126)
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِ
Dan jika kamu membalas, balaslah dengan balasan yang setimpal dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.”(QS An-Nahl: 126)
4. Allah Bersama Orang Bertakwa (QS At-Taubah: 36) Penutup ayat “وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ” dikuatkan pula oleh ayat-ayat lain:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”
(QS At-Taubah: 36, dan banyak ayat lainnya)
5. Tidak Membalas dengan Kezaliman (QS Al-Ma’idah: 8)
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan janganlah kebencian terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil lebih dekat kepada takwa.”(QS Al-Ma’idah: 8)
6. Takwa Harus Selalu Menyertai Tindakan (QS Al-Imran: 102)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa.”
(QS Ali Imran: 102)
7. Ujian Bagi Orang Beriman (QS Al-Baqarah: 155)
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ…Dan sungguh Kami akan menguji kamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan…”(QS Al-Baqarah: 155)
Termasuk ujian ketika dizalimi: apakah membalas, atau bersabar.
8. Sabar dan Maaf Lebih Dicintai Allah (QS Fussilat: 34)
ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Tolaklah kejahatan dengan cara yang lebih baik…”(QS Fussilat: 34)
9. Membela Diri Bukan Kezaliman (QS Al-Hajj: 39–40)
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا
Diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi karena mereka dizalimi…”(QS Al-Hajj: 39–40)
10. Allah Tidak Suka Orang yang Melampaui Batas (QS Al-Baqarah: 190)وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”(QS Al-Baqarah: 190)
Makna ayat “فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ…” (QS al-Baqarah: 194) menurut hadis Nabi Muhammad ﷺ dan Ahlul Bait (عليهم السلام) — sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab hadis utama, baik dari Sunni maupun Syiah, yang menegaskan prinsip keadilan, takwa, dan batas dalam pembalasan:
1. Membalas secara setimpal itu dibolehkan, tapi memaafkan lebih utama; Hadis Nabi ﷺ:
ما زاد الله عبداً بعفو إلا عزّاً
“Allah tidak akan menambahkan kepada seorang hamba karena memberi maaf kecuali kemuliaan.”
(HR. Muslim) Makna: Ayat ini bukan seruan untuk balas dendam, tapi memberi ruang kepada korban untuk mempertahankan diri tanpa melampaui batas, dengan pilihan terbaik adalah memaafkan.
2. Jangan membalas kezaliman dengan kezaliman; Imam Ali (ع):
إذا قدرت على عدوك فاجعل العفو عنه شكراً للقدرة عليه
“Jika engkau mampu mengalahkan musuhmu, jadikanlah maaf sebagai bentuk syukur atas kemampuan itu.”
(Nahjul Balaghah, Hikmah 11)
3. Allah bersama orang yang mampu menahan amarahnya
Hadis Nabi ﷺ:
من كظم غيظاً وهو قادر على إنفاذه ملأ الله قلبه أمناً وإيماناً
“Barang siapa menahan amarahnya padahal dia mampu melampiaskannya, Allah akan memenuhi hatinya dengan keamanan dan keimanan.”
(HR. Abu Dawud dan al-Tirmidzi)
4. Pembalasan yang melebihi batas menjadikan seseorang zalim
Imam Ja‘far al-Shadiq (ع):من ظلم الناس كان الله خصمه دون عباده
“Barang siapa menzalimi manusia, maka Allah akan menjadi lawannya sebelum para hamba-Nya.”
(al-Kāfī, Jilid 2, hlm. 332)
5. Balas dendam boleh dilakukan, tapi lebih tinggi derajat orang yang bersabar ; Imam Zain al-‘Ābidīn (ع):
وَإِنْ أَخَذْتَ بِالْمَظْلِمَةِ كُنْ مُقْتَصِداً،
وَإِنْ قَدَرْتَ فَاصْفَحْ
“Jika engkau menuntut hakmu, bersikaplah adil. Dan jika engkau mampu membalas, maafkanlah.”
(Risālat al-Ḥuqūq)
6. Hukum qishash bukan ajakan membalas, tapi pengendalian balas dendam;
Nabi Muhammad ﷺ:
القِصَاصُ حَيَاةٌ
“Dalam qishash itu ada kehidupan.”
(QS al-Baqarah: 179, didukung oleh hadis-hadis hukum dalam al-Kāfī & Shahih Bukhari) Makna: Tujuannya adalah mencegah kezaliman lebih lanjut dan menyelamatkan masyarakat dari dendam berkepanjangan.
7. Takwa harus menjadi batas setiap tindakan, bahkan dalam balas dendam; Imam al-Baqir (ع):
ما عُبِدَ الله بشيءٍ أفضلَ من الورع
“Tidak ada ibadah yang lebih utama daripada takwa (menjaga diri dari dosa).”(al-Kāfī, Jilid 2)
8. Memaafkan adalah tanda kedekatan dengan Allah
Nabi Muhammad ﷺ:
أحبُّ عبادِ اللهِ إلى اللهِ أحسنُهم خُلُقاً
“Hamba Allah yang paling dicintai adalah yang paling baik akhlaknya.”
(HR. al-Tirmidzi) Makna: Dalam konteks ayat ini, yang lebih dekat kepada Allah adalah yang mampu bersikap lembut dalam menghadapi kezaliman, bukan hanya membalas.
9. Balas dendam yang tidak dikendalikan akan menjerumuskan ke dalam dosa; Imam Ali (ع):
الغَضَبُ مِفْتَاحُ كُلِّ شَرٍّ
“Amarah adalah kunci semua keburukan.”
(Ghurar al-Hikam, no. 4232)
10. Puncak keadilan adalah memaafkan saat mampu membalas ; Nabi Muhammad ﷺ:
أفضل الجهاد من جاهد نفسه وهواه
“Jihad terbaik adalah melawan hawa nafsu sendiri.”
(HR. Abu Nu‘aym, Hilyatul Awliya’)
Makna: Orang yang benar-benar kuat bukan yang membalas, tetapi yang mampu mengendalikan hawa nafsu ketika tergoda untuk membalas secara berlebihan.
Makna ayat:
…berdasarkan hadis-hadis Ahlul Bayt (عليهم السلام), khususnya dalam dimensi akhlak, batin, dan irfan (makrifat):
1. Pembalasan Setimpal Boleh, Tapi Memaafkan Lebih Dekat dengan Takwa; Imam Ja‘far al-Shadiq (ع):
«الْعَفْوُ عِنْدَ الْقُدْرَةِ مِنْ سُنَنِ الْمُرْسَلِينَ»
“Memaafkan ketika mampu membalas adalah sunnah para rasul.”(Al-Kāfī, jld. 2, hlm. 108)
Makna: Ayat ini membuka ruang balas, tapi Ahlul Bayt mengarahkan pada puncak akhlak para nabi, yaitu memaafkan dalam kekuasaan.
2. Balas Sesuai Takaran, Tidak Lebih; Imam Ali (ع):
«وَإِنْ أَصَبْتَ مِنْ عَدُوِّكَ بَعْدُوَانِهِ فَاجْعَلِ الْعَدْلَ وَالْقِسْطَ حَكَمَيْنِ»
“Jika engkau membalas musuhmu atas kejahatannya, jadikan keadilan dan keseimbangan sebagai hakim.”
(Nahjul Balaghah, surat 53 – Wasiat kepada Malik al-Asytar)
3. Jangan Mengotori Jiwa karena Balas Dendam; Imam Zain al-‘Ābidīn (ع):
«إِذَا ظَفِرْتَ بِعَدُوِّكَ فَاجْعَلِ الْعَفْوَ عَنْهُ شُكْرًا لِقُدْرَتِكَ عَلَيْهِ»
“Jika engkau menang atas musuhmu, maka jadikanlah maaf sebagai bentuk syukur atas kuasa itu.” (Risālat al-Ḥuqūq)
4. Orang Bertakwa Tidak Terbakar oleh Dendam; Imam al-Baqir (ع):
«المؤمنُ لا يكونُ حَقُوداً»
“Seorang mukmin tidak menyimpan dendam.”(Al-Kāfī, jld. 2, hlm. 236)
Makna: Ayat mengajarkan keadilan dalam pembalasan. Ahlul Bayt mengajarkan bahwa dendam batin merusak cahaya iman.
5. Tingkat Terendah dari Keberanian adalah Membalas
Imam Ali (ع):
«العَفْوُ عِندَ الْمَقْدِرَةِ أَشْرَفُ الْمَكْرُمَاتِ»
“Memaafkan ketika mampu adalah kemuliaan paling luhur.”
(Ghurar al-Hikam, no. 2834)
6. Hanya Orang Lemah yang Membalas dengan Kezaliman
Imam al-Kazhim (ع):
«مَا تَرَكَ الْحَقَّ لِأَحَدٍ عُذْرًا»
“Kebenaran tidak meninggalkan alasan bagi siapa pun untuk berlaku zalim.”(Tuhaf al-‘Uqul, hlm. 409)
7. Takwa adalah Batas Reaksi Jiwa
Imam Ja‘far al-Shadiq (ع):
«لَا دِينَ لِمَنْ لَا وَرَعَ لَهُ»
“Tidak ada agama bagi orang yang tidak menjaga diri (takwa).”
(Al-Kāfī, jld. 2, hlm. 77)
8. Allah Bersama Orang yang Tahu Batas Marahnya; Imam Ali (ع):
«أشجعُ الناسِ من غلبَ هواه»
“Orang paling pemberani adalah yang mengalahkan hawa nafsunya.”
(Ghurar al-Hikam, no. 2349)
9. Jika Balas, Lakukan Demi Keadilan, Bukan Nafsu
Imam Ali (ع):
«كُنْ غَالِباً لِغَضَبِكَ، وَ لَا تَكُنْ مَغْلُوباً لَهُ»
“Jadilah penakluk amarahmu, jangan ditaklukkan olehnya.”
(Nahjul Balaghah, Hikmah 45)
10. Ahlul Bayt: Kami Membalas dengan Kebaikan
Imam Hasan al-Mujtaba (ع):
Ketika seorang mencacinya, ia membalas dengan kelembutan dan berkata: إن كنت جائعاً أطعمناك، وإن كنت عرياناً كسوناك…»
“Jika engkau lapar, kami beri makan. Jika engkau tak berpakaian, kami beri pakaian…”
Lelaki itu menangis dan berkata:
“الله أعلم حيث يجعل رسالته”
Makna menurut para mufassir besar, baik dari kalangan Ahlul Sunnah maupun Syiah, termasuk penafsiran zahir, batin, dan irfani:
1. Prinsip Qishāsh dan Keadilan dalam Pembalasan; Tafsir al-Mīzān (Allamah Thabathaba’i):
Ayat ini menegaskan bahwa Islam tidak melarang membalas, selama dalam batas keadilan, sebagai bentuk penegakan hak dan mencegah pelampauan batas.
2. Takwa sebagai Batas dalam Pembalasan; Tafsir al-Kāsyāni (Shafi al-Dīn al-Kāsyāni, Sufi Syiah): “Balas dendam boleh dilakukan, tetapi tidak boleh disertai niat kezaliman. Yang diukur adalah niat, bukan hanya tindakan.”
3. Allah Bersama Orang yang Menahan Diri; Tafsir al-Qummi (Ali bin Ibrahim al-Qummi):
“‘Allah bersama orang bertakwa’—maksudnya: orang yang tidak berlebihan dalam membalas kezaliman.” Ayat ini menunjukkan bahwa menahan diri dari pembalasan adalah bentuk tertinggi dari takwa.
4. Makna Batin: Jangan Jadikan Diri Seperti Musuhmu ;Tafsir al-Safi (al-Fayd al-Kashani): “Jika engkau membalas dengan cara yang sama, engkau telah menjadi seperti musuhmu. Maka, takwa adalah pemisah antara engkau dan dia.”
5. Balas yang Setimpal, Tapi Lebih Baik Bersabar; Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (Ibn ‘Ashur): “Islam mengizinkan pembalasan, tetapi juga mendorong untuk menahan diri dan memberi maaf sebagai tanda kekuatan spiritual dan sosial.
6. Hikmah Hukum Balas dalam Syariat; Tafsir al-Nūr (Muhammad Husayn Tabarsi): “Syariat memberi ruang balasan untuk melindungi hak orang lemah. Tapi, ayat ini langsung membatasi: wa-ttaqullāh — artinya kendalikan diri, bahkan dalam kebenaran.”
7. Keadilan itu Hak, Tapi Takwa itu Jalan Ilahi ; Tafsir Majma‘ al-Bayan (al-Ṭabarsi):”Keadilan adalah hakmu, tapi takwa adalah pilihan Allah untukmu. Maka, orang yang membalas tetap harus diawasi oleh takwanya.”
8. Makna Irfani: Balas Dendam adalah Hijab; Tafsir arifin Syiah, seperti Sayyid Haidar Amuli:
“Orang yang masih disibukkan dengan keinginan membalas, belum mencapai maqam fana’ fi Allah. Karena ‘bersama Allah’ adalah maqam orang yang memaafkan, bukan membalas.”
9. Konsep Syariat, Thariqat, dan Hakikat; Dalam madrasah hikmah Syiah:
• Syariat: boleh membalas
• Thariqat: lebih baik menahan diri
• Hakikat: hanya Allah yang membalas segala kezaliman
10. Konteks Historis: Balasan di Tanah Haram (Mekah)
Tafsir Jalalayn dan Tafsir Fi Zilal al-Qur’an: Ayat ini juga turun berkaitan dengan hukum membalas dalam bulan haram dan tanah haram. Maka, pembalasan yang diizinkan pun dibatasi oleh tempat dan waktu, bukan bebas tanpa kendali.
Makna ayat tersebut menurut mufasir Syiah, khususnya dari madrasah tafsir Ahlul Bayt yang mencakup dimensi zahir, batin, akhlak, dan irfani:
1. Keadilan adalah Batas Pembalasan; 📚 Tafsir al-Mīzān (Allamah Thabathaba’i):
Ayat ini menunjukkan bahwa membalas kejahatan dengan kejahatan yang setimpal itu dibolehkan, tetapi pembalasan itu harus dibatasi oleh keadilan dan tidak boleh melampaui batas
Takwa menjadi pagar spiritual agar hak tidak berubah menjadi hawa nafsu.
2. Takwa adalah Penyeimbang antara Hak dan Nafsu; 📚 Tafsir al-Sāfi (al-Fayd al-Kashani): Ayat ini secara zahir memperbolehkan pembalasan, tetapi pada hakikatnya mengajarkan bahwa takwa harus menjadi kendali dalam membalas.
Orang bertakwa adalah yang sanggup membalas tapi menahan diri.
3. Memaafkan adalah Derajat Lebih Tinggi; 📚 Tafsir al-Burhān (al-Bahrani) dan riwayat Ahlul Bayt:
Disebutkan bahwa ahlul ma‘rifah lebih memilih afw (memaafkan) daripada mu‘āqabah (membalas), karena itu bagian dari tajalli akhlak ilahi:
“إن الله عفو يحب العفو” — “Allah Maha Pemaaf dan mencintai pemaafan.”
4. Ayat Ini Tidak Memerintahkan, Tapi Memberi Izin ; 📚 Tafsir Nūr (Syaikh Misbah Yazdi): Ayat ini bukan perintah membalas, tetapi izin. Ia memberi hak legal, namun bukan tuntutan moral. Maka, meninggalkan pembalasan demi Allah lebih utama.
5. Pembalasan Adalah Jalan Syariat; Memaafkan Jalan Hakikat
📚 Tafsir al-Kāsyāni (Syafi al-Dīn al-Kāsyāni), mufassir sufi Syiah: Jalan syariat membolehkan pembalasan; Jalan thariqat mengajarkan sabar; Jalan hakikat menjadikan maaf sebagai maqam tertinggi.
6. Allah Bersama Mereka yang Tidak Terkait Nafsu ; 📚 Allamah Thabathaba’i (Tafsir Mīzān):
Frasa “وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ”
adalah peringatan agar pembalasan tidak berubah menjadi ekspresi ego.
Karena kehadiran Allah (‘ma‘iyyah’) bersama orang bertakwa, bukan pendendam.
7. Makna Batin: Jangan Menjadi Cermin Kejahatan Lawanmu
📚 Sayyid Haidar Amuli (mufassir irfani Syiah): Membalas dengan cara yang sama membuatmu menyerupai pelaku kezaliman. Orang arif menolak menjadi pantulan dari kejahatan, sebab jiwanya telah merdeka dari reaksi.
8. Ayat Ini Cocok untuk Tahap Jihad Fī Sabīlillāh 📚 Tafsir al-Qummi (Ali bin Ibrahim al-Qummi):
Ayat ini berkaitan dengan konteks jihad, tetapi penafsir Syiah mengambil pelajaran umum darinya:
Lawan hanya boleh dibalas sesuai kadarnya.
9. Kedamaian Lebih Sesuai dengan Jiwa Qur’an ; 📚 Tafsir al-Amthal (Ayatullah Naser Makarem Shirazi):
Ayat ini menyiratkan bahwa Islam bukan agama pembalasan, tapi agama keseimbangan. Ketika terpaksa harus membalas, maka ukurannya bukan amarah, melainkan al-mithl (setimpal).
10. Takwa adalah Energi yang Membatasi Reaksi 📚 Tafsir Riḍwan (Syaikh Jawadi Amuli): Reaksi manusia bisa meledak saat dizalimi. Tapi takwa adalah energi batin yang mengendalikan ledakan itu. Orang bertakwa bukan tidak bisa membalas, tapi memilih reaksi yang diridhai Allah.
🌌 Makna Menurut Ahli Makrifat dan Hakikat
1. Keadilan Zahir, Tapi Rahmat adalah Hakikat Allah
“Balaslah hanya jika kau mampu menjaga jiwamu tetap dalam rahmat. Jika tidak, lebih baik diam dan biarkan Allah yang membalas.”
— Sayyid Haidar Amuli
📌 Hakikat pembalasan adalah menegakkan keseimbangan, bukan melampiaskan dendam.
2. Pembalasan Tanpa Takwa = Kekerasan Bertopeng Keadilan
“Takwa adalah pagar agar ‘kebenaran’ tidak berubah menjadi kezaliman yang baru.”
— Imam Khomeini, Adabus Shalat
📌 Tanpa kesadaran ilahi, manusia bisa berdosa saat sedang ‘membela diri’.
3. Memaafkan Adalah Cermin Nama Allah: “Al-‘Afuw”
“Memaafkan bukan karena lemah, tapi karena engkau telah tenggelam dalam Nama-Nya: العفو.”
— Sayyid Ibn Thawus
📌 Orang yang mengenal Allah akan memantulkan sifat-Nya, bukan emosinya.
4. ‘Balaslah’ Bukan Perintah, Tapi Ujian Maqammu;”Allah menguji derajatmu dengan ayat ini. Apakah kau membalas? Atau naik ke maqam lebih tinggi: memaafkan?”— Mulla Sadra, Hikmah al-Muta‘aliyah
📌 Ayat ini mengandung ujian maqam: antara hak, sabar, dan fana’.
5. Jangan Menjadi Bayangan Musuhmu;”Jika engkau membalas dengan cara yang sama, engkau telah menjadi bayangannya. Sedangkan wali Allah hanya menjadi bayangan Allah.” — al-Fayd al-Kāsyani, Tafsir al-Shāfi
📌 Ahli hakikat hanya bertindak karena Allah, bukan karena reaksi pada makhluk.
6. Takwa = Tidak Reaktif, Tapi Aktif karena Allah;”Takwa bukan ketakutan. Tapi kesadaran penuh bahwa setiap langkah kita dilihat Allah, bukan oleh musuh.”— Allamah Thabathaba’i, al-Mizān📌 Orang arif tidak membalas karena dipicu hawa nafsu, tapi karena diperintah Allah.
7. Kebebasan Ruh adalah Tidak Terkurung dalam Dendam
“Dendam adalah rantai ghaib yang mengikat ruh pada dunia. Bebaslah dengan afw (pemaafan).”
— Syekh Bahā’ī📌 Memaafkan bukan melupakan, tapi membebaskan jiwa dari racun batin.
8. Maqam Takwa = Ma‘iyyah dengan Allah;”Ketika Allah berkata: ‘Aku bersama orang bertakwa’, itu artinya Dia bersamamu hanya jika hatimu bersih dari reaksi batin.”
— Imam Ja‘far as-Shadiq (as), dalam tafsir irfani riwayat
📌 Takwa bukan hanya ibadah lahir, tapi kehadiran batin bersama Allah.
9. Puncak Balas Dendam: Membalas dengan Kebaikan
“Balasan terbaik bukan serangan setimpal, tapi mengubah musuh menjadi saudara.”
— Amirul Mukminin (as)
“Ahsin ilā man asā’a ilayk.” – “Berbuat baiklah pada orang yang berbuat buruk padamu.” 📌 Inilah pembalasan paling tinggi menurut hakikat: mengubah musuh menjadi sahabat.
10. Sang Arif Tidak Melihat Musuh, Hanya Melihat Allah ; “Bagiku tak ada musuh. Semua adalah cermin kehendak-Nya untuk membentukku.”— Syekh Rajab Borsi, dalam “Mashariq Anwar al-Yaqin”
📌 Ketika sudah sampai pada hakikat tauhid, musuh pun adalah tajalli Allah.
🧭 Kesimpulan Makrifat: “Ayat ini bukan hanya hukum syariat. Ia adalah panggilan menuju maqam takwa. Orang biasa akan membalas, orang shalih akan menahan diri, dan wali akan memaafkan lalu mendoakan musuhnya.”
Makna QS al-Baqarah: 194:
berdasarkan pandangan para ahli hakikat Syiah, yaitu mereka yang mendalami dimensi batin, irfan, dan hakikat tauhid dalam cahaya Ahlul Bayt.🌿 Makna Ayat Ini Menurut Ahli Hakikat Syiah
1. Pembalasan adalah Izāh Syariat, Memaafkan adalah Jamāl Hakikat
Orang hakikat tahu bahwa pembalasan adalah izin syariat, tapi memaafkan adalah kemuliaan hakikat. 📌 Dalam maqam hakikat, seseorang tidak lagi membalas karena ia telah fana dalam kelembutan Allah.
2. Takwa adalah Penapis antara Nafsu dan Ilahi ; Ahli hakikat Syiah berkata:”Setiap gerak harus melewati takwa. Jika tidak, balasanmu hanyalah bentuk lain dari hawa nafsumu.” 📌 Takwa bukan sekadar menjauhi dosa, tapi hidup dalam pandangan Allah secara batin.
3. Ayat Ini Ujian Tauhid, Bukan Perintah Emosi ; Syaikh Rajab al-Bursi menulis: “Allah mengujimu dengan izin membalas, agar tampak siapa yang masih terikat reaksi duniawi.” 📌 Orang arif hanya bertindak jika Allah memerintah, bukan karena rasa sakit pribadi.
4. Balasan yang Seimbang adalah Ujian Kesabaran Jiwa ; Ahli hakikat berkata: “Keseimbangan dalam membalas bukan diukur dengan emosi, tapi dengan ‘adl (keadilan ilahiyah) yang ada di dalam batin yang jernih.” 📌 Jika engkau marah saat membalas, maka itu bukan lagi بمثل ما اعتدى عليكم.
5. Ma‘iyyah Allah Hanya untuk Mereka yang Melepas Egonya
Allah bersama orang-orang yang bertakwa,” artinya: Allah tidak bersama mereka yang membalas dengan ego. 📌 Kehadiran Allah hanya bagi yang jiwanya suci dari keinginan pribadi.
6. Balas Dendam Membentuk Bayangan Musuh dalam Dirimu Sayyid Haidar Amuli menyatakan:
Jika kau membalas karena dendam, kau telah menjadi cermin bagi kejahatan musuhmu.” 📌 Ahli hakikat menjaga jiwanya tetap bersih dari pengaruh lawan.
7. Ahli Hakikat Tidak Balas, Tapi Mendoakan; Imam Ja‘far al-Shadiq (as) bersabda: “Balaslah jika itu hakmu. Tapi jika kau mampu menahan diri dan memaafkan karena Allah, maka kau lebih dekat kepada kami.” 📌 Ahli hakikat menjadikan doa dan rahmat sebagai senjata tertingginya.
8. Setiap Kezaliman Adalah Tajalli Asma’ Jalal-Nya; Dalam irfan Syiah, musuh dan kezaliman dilihat sebagai manifestasi nama-nama keperkasaan Allah. 📌 Maka pembalasan bukan untuk memadamkan musuh, tapi untuk menyeimbangkan tajalli.
9. Yang Dikhawatirkan Bukan Musuh, Tapi Diri Sendiri; Syaikh Bahā’ī berkata: “Jangan takut musuhmu. Takutlah bahwa engkau membalas, lalu Allah tidak bersamamu.” 📌 Ahli hakikat lebih cemas kehilangan ma‘iyyah daripada kehilangan harga diri.
10. Puncak Tauhid: Melihat Segala Serangan sebagai Ujian Mahabbah Bila kau tahu semua berasal dari-Nya, maka tidak ada balasan selain kembali kepada-Nya.”— Ahli Irfan Syiah 📌 Seorang ‘arif tidak lagi melihat pelaku, hanya melihat Allah yang sedang menguji kesempurnaan cintanya.
✨ Kesimpulan dari Ahli Hakikat Syiah: Engkau boleh membalas, tapi jika engkau bisa melepaskan dirimu dari rasa ingin membalas, maka itulah kemuliaanmu di sisi Allah dan Ahlul Bayt.”
Kisah dan cerita sufi Syiah yang menggambarkan makna hakikat dari ayat:(Barang siapa menyerang kalian, maka balaslah dengan serangan yang setimpal seperti yang mereka lakukan kepada kalian. Tetapi bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.) Dari sisi ahlul irfan dan ahli hakikat Syiah, ayat ini bukan hanya soal pembalasan lahir, tetapi juga pelajaran agung tentang jiwa, keadilan batin, dan rahmat ilahi.
🕊️ Kisah & Cerita Hakikat Tentang Ayat Ini
1. Imam Ali (as) dan Musuh yang Meludah ; Saat Imam Ali (as) hendak menebas musuh di medan perang, musuh itu meludahi wajahnya. Seketika itu, Imam Ali mundur.
🔹 Ketika ditanya, beliau berkata:
“Aku hendak membunuhnya karena Allah. Tapi setelah ia meludahiku, aku khawatir jika aku membunuhnya karena marahku sendiri.”📌 Makna: Ahli hakikat tak membalas karena emosi, tapi karena ketentuan Allah. Takwa adalah filter utama.
2. Zuhd Imam Sajjad (as) kepada Hamba yang Menghinanya
Seorang lelaki mencaci maki Imam Zainal Abidin (as) di hadapan umum. Malam harinya, Imam mengetuk pintu rumah orang itu.
🔹 Orang itu gemetar, mengira akan dibalas. Tapi Imam berkata:”Jika apa yang kau katakan tentangku benar, semoga Allah mengampuniku. Jika tidak, semoga Allah mengampunimu.” 📌 Makna: Balasan tertinggi adalah pemaafan dan mendoakan yang menyakitimu – ini maqam ittihad dengan sifat Allah.
3. Syaikh Rajab Bursi dan Pencuri Sandalnya ; Sandal sufi besar Syiah ini dicuri saat ia sedang shalat. Usai shalat, ia tersenyum dan berkata:
Dia hanya mengambil kulitnya, tidak ruhnya. Aku tetap bisa berjalan menuju-Nya.”📌 Makna: Ahli hakikat tidak membalas jika kehilangan itu tidak menjauhkan dari Allah.
4. Allamah Thabathaba’i dan Penghina Kitab al-Mizān
Seorang pengkritik menghina tafsir al-Mizān di hadapan murid-murid. Mereka marah dan ingin membela sang guru. Namun Allamah menenangkan mereka: “Biarkan ia bicara. Mungkin ia melihat dari sudut yang belum aku lihat. Setiap celaan bisa jadi jalan untuk memperbaiki diri.” 📌 Makna: Orang arif tidak membalas karena harga diri, tapi menerima sebagai ujian dari Allah.
5. Hikayat Abu Dharr dan Pemuda Quraisy ; Abu Dharr al-Ghifari (ra) pernah dipukul oleh seorang Quraisy karena membela Rasulullah (saw). Ketika orang itu minta maaf, Abu Dharr menangis. 🔹 Ia berkata: “Aku bukan sedih karena dipukul, tapi karena aku nyaris membalas. Padahal Allah sedang melihatku.”
📌 Makna: Ketika hatimu sibuk dengan pandangan Allah, kau lupa luka dari manusia.
6. Sayyid Ibn Thawus dan Pelayan yang Memecahkan Piring
Seorang pelayan menjatuhkan wadah makanan hingga pecah. Ia gemetar karena takut akan dimarahi.
🔹 Tapi Sayyid berkata: “Kau pecahkan wadahku, maka aku pecahkan egoku. Semoga keduanya pecah menuju pengampunan Allah.”📌 Makna: Ahli hakikat mencari kesempatan untuk menghancurkan nafs, bukan membalas.
7. Kisah Mulla Sadra dan Musuh Filsafat; Di masanya, banyak ulama menentang filsafat. Mulla Sadra diusir dari Isfahan. Ia tidak membalas, malah mengasingkan diri ke desa Qum, menulis karya-karya hakikat seperti al-Asfār al-Arba‘ah.
📌 Makna: Balasan paling dalam bukan reaksi, tapi ciptaan. Kebaikan adalah respons para wali.
8. Kisah Syaikh Bahā’ī dan Pencuri Ilmu ; Seorang murid menyalin karya Syaikh Bahā’ī dan mengaku sebagai penulisnya. Namun, beliau berkata: Jika itu membawanya lebih dekat kepada Allah, biarlah ia menyandang namaku. Aku ingin namaku hanya di sisi-Nya.”
📌 Makna: Tidak semua serangan perlu dibalas di dunia, karena ganjaran hakiki ada di akhirat.
9. Imam Musa al-Kazhim (as) dan Si Penista ; Ada seorang tokoh yang terus-menerus memfitnah dan mencaci beliau di pasar. Namun Imam al-Kazhim (as) justru mengunjunginya dan memberinya hadiah. 🔹 Orang itu malu dan menangis lalu bertaubat. 📌 Makna: Membalas dengan kebaikan bisa memadamkan api kebencian dan menyalakan cahaya hidayah.
10. Kisah Uways al-Qarni dan Ibu yang Keras ; Ibunya sering memarahinya, kadang memukul. Tapi Uways selalu sabar dan memeluk ibunya sambil berkata: “Engkau sebab aku mengenal Allah, maka bagaimana aku bisa membalas buruk padamu?” 📌 Makna: Balasan sejati adalah syukur dan sabar, bukan reaksi duniawi.
✨ Penutup Hikmah; Ahli hakikat Syiah melihat ayat ini sebagai ujian tingkat spiritual, bukan dorongan emosional: “Engkau bebas membalas, tapi jika engkau mampu menahan balasan karena Allah, maka engkau berjalan bersama para wali.”
🌸 Manfaat Spiritual dari Ayat Ini Menurut Ahli Hakikat
1. Menumbuhkan Keadilan dalam Diri ; Membiasakan diri untuk tidak berlebihan saat membalas membuka jalan menuju maqam ‘adl (keadilan ruhani).
2. Melatih Kesabaran dan Kendali Emosi ; Ayat ini mengajarkan bahwa balas dendam yang tak terkontrol adalah perangkap hawa nafsu.
3. Menguatkan Takwa dalam Situasi Genting ;Takwa bukan hanya saat tenang, tetapi saat marah dan tersakiti — di sinilah takwa diuji.
4. Menarik Ma‘iyyah Allah Ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa”
→ Artinya: siapa yang menahan diri karena Allah, maka Allah akan bersama hatinya.
5. Meningkatkan Derajat Ruhani
Memilih memaafkan padahal mampu membalas akan meninggikan derajat ruhani dalam pandangan Allah.
6. Menghapuskan Dosa dan Memurnikan Hati; Memaafkan dan bertakwa di saat marah membersihkan jiwa dari kerak dendam dan dosa-dosa batin.
7. Menjadi Wasilah Hidayah bagi Musuh ; Balasan yang seimbang dan penuh adab bisa membuat hati musuh luluh dan kembali kepada Allah.
8. Mendapat Kekuatan Ilahiyah Melampaui Nafsu; Orang yang menahan balasan karena Allah akan diberi kekuatan batin yang tak dimiliki orang biasa.
9. Menghalau Gangguan Jin dan Syaitan; Menurut para arif, ayat ini jika diamalkan akan melindungi dari was-was, terutama saat terdzalimi.
10. Menjadi Wali Rahmat, Bukan Wali Dendam ; Orang yang mengamalkan ayat ini akan berubah dari makhluk reaktif menjadi tajalli rahmat Allah di bumi.
🤲 Doa-doa Pendek Ilham dari Ayat Ini
1. Doa Menahan Diri Saat Tersakiti
“Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang membalas keburukan dengan kesabaran, memadamkan amarahnya dengan mengingat-Mu, dan menjadikan takwa sebagai perisai dan pelindungnya.”
2. Doa agar Selalu dalam Ma‘iyyah Allah
“Ya Allah, bersamalah denganku saat aku melawan diriku sendiri agar tidak menjadi orang zalim. Jadikan aku termasuk orang-orang bertakwa yang Kau pilih untuk dekat kepada-Mu.”
3. Doa Saat Diuji dengan Kezaliman
“Ya Allah, jadikan aku termasuk orang yang bila dizalimi bersabar, bila memiliki kuasa memaafkan, dan bila punya pilihan, ia memilih ridha-Mu atas nafsunya.”
4. Dzikir Pendek Menguatkan Takwa dan Menolak Balasan Nafsu
“Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan Allah, dan Allah bersama orang-orang yang bertakwa.”
11. Menjadi Cermin Sifat Al-‘Adl (Yang Maha Adil) ; Orang yang membalas dengan adil dan tidak melampaui batas menjadi cerminan nama Allah al-‘Adl, bukan al-Qahhār atau al-Muntaqim secara nafsani.
12. Membuka Cahaya Basirah (Penglihatan Batin) Menahan diri saat bisa membalas memperkuat mata batin, karena nafs tidak lagi menutupi cahaya kalbu.
13. Menghindarkan Diri dari “Istidraj” Musuh; Kadang musuh sengaja menyerang agar kita terjatuh ke levelnya. Menahan diri menyelamatkan kita dari jebakan istidraj dan hawa nafsu.
14. Membentuk Sifat Ilahiyah dalam Jiwa; Allah tidak langsung membalas semua maksiat hamba-Nya. Maka menahan balasan adalah proses penyatuan sifat rahmat-Nya dalam diri kita.
15. Melatih Ketegasan Tanpa Kekerasan ; Ayat ini bukan mendorong pasif atau kekerasan, tapi ketegasan dengan batas ruhani. Seperti Nabi saw: tegas tapi penuh kasih.
16. Menjadi Wali Pembeda antara Nafsu dan Cahaya; Siapa yang menahan balas karena Allah, Allah akan membedakan dalam hatinya:
“Inilah amarahmu, dan itu adalah cahaya-Ku. Pilihlah Aku.”
5. Doa Menjadi Cermin Keadilan Allah
“Ya Allah, jadikan aku cermin bagi keadilan-Mu, bukan untuk nafsuku, bukan untuk amarahku, dan bukan untuk keinginanku.”
6. Doa Agar Tidak Balas Dendam karena Nafsu
“Ya Allah, lindungi aku dari kejamnya diriku sendiri. Karena ia lebih berbahaya bagiku daripada orang yang menzalimiku.”
7. Doa Agar Bisa Menjadi Saluran Rahmat
“Ya Allah, jadikan aku sebab bagi petunjuk orang yang menzalimiku, bukan sebab kehancurannya.”
8. Doa agar Tidak Membalas Melebihi Batas
“Ya Allah, jika Engkau mengujiku dengan kekuasaan untuk membalas, maka anugerahkan aku kebijaksanaan dan keadilan dalam menggunakannya.”
9. Doa agar Terhindar dari Reaksi Cepat; “Ya Allah, tundalah reaksi balasanku, hingga ridha-Mu yang lebih dulu berbicara dalam hatiku.”
10. Dzikir Cermin Ayat
“Wahai Rabbku, jadikan aku dari golongan orang bertakwa. Bersamalah denganku, dan berpihaklah padaku, jangan melawanku.”
Untuk Kasus Penjajah seperti Israel bukan hanya dibalas, harus dilenyapkan; karena penjajahan dimuka bumi harus dihapuskan dari muka bumi!!!!
Makna Kalimat
“Penjajahan harus dihapuskan” berarti bahwa:
• Segala bentuk penguasaan suatu bangsa atas bangsa lain secara paksa, tidak adil, dan menindas adalah tidak sah secara moral dan hukum.
• Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan…”
Alasan Mengapa Penjajahan Harus Dihapuskan ; Bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
Penjajahan merampas kebebasan, martabat, dan hak hidup suatu bangsa. Menimbulkan Penderitaan; Sejarah mencatat bagaimana penjajahan selalu diiringi eksploitasi, kekerasan, perampasan sumber daya, dan pembodohan. Menghambat Kemajuan
Bangsa yang dijajah tidak bebas menentukan arah pembangunan, pendidikan, dan budaya sendiri.
Bertentangan dengan Ajaran Agama dan Moral ; Hampir semua agama mengajarkan keadilan, kebebasan, dan melawan penindasan. “Penjajahan harus dihapuskan” sejalan dengan ajaran Al-Qur’an dan hadis, karena Islam menentang segala bentuk kezaliman, penindasan, dan penguasaan secara paksa atas orang lain. Berikut ini dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadis yang mendukung penghapusan penjajahan: Larangan Menjadi Penjajah atau Dijajah;Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka…”(QS. Hud: 113)🔹 Makna: Penjajahan adalah bentuk kezaliman. Mendukung atau membiarkannya berarti ikut menanggung dosanya.
Perintah untuk Membebaskan yang Tertindas ; dan (membela) orang-orang yang lemah di antara laki-laki, wanita, dan anak-anak…(QS. An-Nisa: 75)
Comments (0)
There are no comments yet